Minggu, 30 Mei 2010

Allah Membenci NATO.


Abu Thalib adalah seorang paman Rasulullah saw. Seorang paman yang begitu sayang kepada Nabi. Setelah kakeknya meninggal dunia, tidak ada orang lain yang menyayangi beliau seperti pamannya tersebut. Begitu sayangnya kepada Rasulullah semasa kecil, sehingga Abu Thalib tidak rela ada seseorang yang mengganggu diri nabi. Masa kecil Nabi dihabiskannya dengan saudara sepupu, yaitu Aliy bin Abi Thalib.

Pada saat banyak penduduk Mekah memusuhi Nabi karena ajaran yang dibawanya, sang Paman ini tampil menjadi pembela di barisan depan bersama keluarga yang lain. Tapi tahukah anda ? Apakah sang Paman yang begitu sayang dan membela mati-matian keponakannya ini mati dalam keadaan Islam ?. Menurut riwayat ada yang mengatakan pada saat wafatnya Abu Thalib telah bersaksi dan masuk Islam. Tapi menurut riwayat yang lain Abu Thalib sampai dengan meninggalnya tetap dalam keyakinannya yang lama dan belum bersaksi menyatakan diri masuk Islam.

Kita tidak tahu apakah Abu Thalib meyakini ajaran yang dibawa keponakannya yaitu Nabi Muhammad saw. Yang jelas Abu Thalib tidak melarang Nabi untuk mengajarkan dan menyebarkan agama baru di masyarakat Mekah. Abu Thalib tahu kalau keponakannya adalah seorang nabi, bahkan beliau tahu lebih awal dari seorang pendeta Buhairah. Tetapi Abu Thalib adalah seorang pemuka di masyarakat Quraisy. Sehingga pengakuan dan masuknya kedalam agama Islam saat itu akan berpengaruh pada kedudukannya di masyarakat Quraisy Mekah.

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah saw pernah ditanya oleh seorang pamannya yaitu Al Abbas bin Abdul Muthalib, “Mengapa kamu tidak menolong pamanmu (Abu Thalib) padahal dia telah membentengimu dan memarahi (orang kafir Quraisy) untuk membelamu ?” lalu nabi Saw menjawab,”Dia berada di neraka yang paling dangkal, seandainya tanpa pertolonganku, dia akan berada di neraka yang paling dasar”.

Di riwayat lain Rasulullah saw berkata,”Mudah-mudahan syafaatku kelak pada hari kiamat akan berguna baginya, sehingga dia akan ditempatkan di bagian neraka yang dangkal, yang apinya hanya sebatas mata kakinya yang membuat otaknya mendidih”.

Abu Thalib adalah orang yang tahu dan mengakui kebenaran Islam tapi dia tidak mau masuk dalam agama Islam sampai wafatnya. Dari informasi hadist tersebut diatas Abu Thalib pun akan ditempatkan di neraka, walaupun neraka yang paling dangkal sekalipun. Karena Abu Thalib membiarkan keluarganya masuk Islam tapi dia sendiri tidak mau melakukannya.

Ada lagi seorang Yahudi Mekah yang menyuruh dan memerintahkan keluarganya untuk mengikuti dan mentaati Islam dan Nabi Muhammad karena tahu bahwa ajaran yang dibawanya membawa kebenaran. Tapi dia sendiri tidak mau masuk dan mengikuti agama dan ajaran Islam. Lantas diturunkannya satu ayat untuk mengingatkan orang-orang yang berperilaku seperti ini.

QS. Al Baqarah : 44

أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَتَنْسَوْنَ أَنْفُسَكُمْ وَأَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتَابَ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُونَ﴿٤٤﴾
”Ata`muruunan naasa bil birri wa tansauna anfusakum wa antum tatluunal kitaaba, afala ta`qiluuna”

”Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?”

Ayat tersebut diatas berkaitan dengan seseorang yang membiarkan dan menyuruh orang lain untuk berbuat suatu kebaikan seperti yang dia yakini, tetapi dia sendiri tidak mau melakukannya. Mungkin karena beberapa alasan pribadi. Yang bisa dibaca mungkin dari sisi posisi atau kedudukan seseorang itu di masyarakat pada saat kejadian.

Jika seseorang sudah mempunyai kedudukan kuat di masyarakat dalam agama dan ditokohkan oleh sebagian besar masyarakat, mungkin ada pertimbangan yang lebih matang untuk memutuskan akan menerima atau menolak sebuah tawaran agama atau ajaran yang baru. Sementara sebagian besar masyarakat yang selama ini memberi kepercayaan dan dukungan kepadanya belum tentu bisa menerima ajaran baru tersebut.

Konsekwensi yang harus diterima memang sangat besar. Ambil saja contoh Abdullah bin Salam, seorang pemimpin agama Yahudi di Madinah. Dia sudah mempunyai kedudukan yang kuat di masyarakatnya dan dari keturunan yang sangat dihormati. Pengetahuannya tentang Taurat yang membuat keyakinannya tentang datangnya seorang Nabi baru, menyebabkan dia merasa harus menemui saat nabi Muhammad menuju kota Madinah.

Setelah beberapa pertanyaan yang diajukan oleh Abdullah bin Salam di jawab oleh Nabi, saat itu langsung Abdullah bin Salam bersaksi dan masuk ke dalam agama Islam. Tentu dengan konsekwensi yang mau tidak mau harus dia terima. Dari orang yang sangat di hormati menjadi orang yang sangat di musuhi oleh orang-orang yang semula begitu menghormatinya. Dan ini adalah buah dari sebuah pilihan yang sangat berani. Demi suatu kebenaran yang tidak bisa dibantahnya sendiri, Abdullah bin Salam tidak menghiraukan akibat yang akan di terima apabila dia mengalihkan keyakinannya pada sebuah agama baru yang memang nyata membawa kebenaran itu.

Berbeda dengan diri Abdullah bin Salam yang memilih untuk langsung menerima dan masuk ke dalam agama Islam, Abu Thalib memilih untuk tetap dalam keyakinannya yang lama sampai dengan akhir hayatnya. Persamaannya adalah keduanya mempunyai kedudukan, pengaruh dan sangat di hormati di lingkungannya. Hampir semua orang segan kepada Abu Thalib. Karena garis keturunan orang-orang terhormat di kalangan penduduk Mekah.

Orang akan berpikir dua kali untuk mengganggu Nabi kalau tidak mau berhadapan dengan sang Paman. Dan Nabi sampai merasa begitu kehilangan dengan wafatnya sang paman ini. Juga sebuah penyesalan karena sampai dengan akhir hayatnya sang paman masih tetap kukuh dengan keyakinannya yang lama.

Ada sebuah kemungkinan yang sangat mungkin terjadi jika Abu Thalib berpindah keyakinan ke dalam agama Islam saat itu. Dimana kedudukan Nabi dan orang muslim yang belum begitu kuat dan masih banyak sekali masyarakat Mekah yang memusuhi mereka. Juga keyakinan dari kaum Quraisy dengan kebiasaan jahiliyah yang masih sulit untuk diubah, yang semua itu bisa menjadi batu sandungan yang sangat kuat dalam langkah penyebaran Islam.

Dengan bertahannya Abu Thalib dalam keyakinannya, menyebabkan Nabi dan para sahabat secara perlahan masih dapat menyampaikan ajaran tentang kebenaran Islam kepada orang-orang yang berkunjung ke Mekah. Sehingga sebagian kecil masyarakat Yatsrib ada yang sudah begitu yakin tentang kebenaran agama baru ini. Dan sosok dari seorang Paman Nabi yaitu Abu Thalib inilah yang sebenarnya mempunyai peran yang tidak kecil dengan berjalannya dakwah Nabi tersebut.

Kita tidak tahu apakah ini merupakan buah dari jeniusnya pemikiran atau memang kuatnya keyakinan Abu Thalib terhadap keyakinan lamanya. Sebab bukan tidak mungkin hal ini adalah karena kesediaan berkorban yang demikian tinggi dari Abu Thalib agar dakwah Nabi Muhammad tetap bisa berjalan dengan perlindungannya. Juga bukan tidak mungkin dengan masuknya Abu Thalib ke dalam Islam pada saat itu akan menyebabkan perang terbuka antara kabilah-kabilah yang memusuhi Nabi dengan kabilah-kabilah yang masih kerabat Nabi dan masih berusaha untuk melindungi beliau.

Namun, bagaimanapun juga Abu Thalib sudah berkehendak. Dia tidak menghalangi keluarganya , bahkan anaknya sendiri, Aliy untuk mengikuti ajaran agama baru yang di bawa oleh keponakannya sendiri, Nabi Muhammad saw. Demikian juga orang lain. Mengakui dan menyuruh orang lain untuk berbuat baik tapi dia sendiri tidak mau melakukannya adalah sesuatu yang patut “ditegur”. Menyuruh melakukan sesuatu tapi tidak pernah melakukannya sendiri bisa dimasukkan dalam kategori NATO atau No Action Talk Only.

Ada satu contoh yang lebih mendekati lagi tentang kebencian Allah terhadap orang-orang NATO. Yaitu orang-orang yang suka berbicara sesuatu, tapi dia sama sekali tidak pernah melakukannya. Dalam suatu peristiwa, beberapa orang telah bercerita mengenai kehebatan dirinya di medan perang. Mereka bercerita kalau mereka telah melakukan pemukulan, penusukan bahkan pembunuhan terhadap lawan dalam perang uhud. Padahal kenyataannya mereka adalah orang yang telah melarikan diri dari medan perang. Mereka menghindari perang karena takut. Tapi mereka bercerita kepada orang-orang bak seorang pahlawan.

QS. Ash Shaff : 2 dan 3.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ﴿٢﴾
“Yaa ayyuhal ladziina aamanuu lima taquuluunq maa laa taf`aluuna”

”Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?”

كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ﴿٣﴾
“Kabura maqtan `indallahi an taquuluu maa laa taf`aluuna”.

”Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”

Ayat tersebut diturunkan berkaitan dengan peristiwa diatas. Dimana seseorang banyak berbicara tentang sesuatu yang tidak pernah dilakukannya. Seolah-olah telah mengalaminya sendiri mereka bercerita tentang keadaan perang di bukit Uhud. Mungkin mereka bertujuan untuk memperoleh simpati dari mereka yang tidak berangkat berperang. Padahal pada perang Uhud ini kaum muslimin menderita kekalahan.

Terlepas dari peristiwa tersebut diatas, memang tidak sedikit orang yang mempunyai sifat-sifat seperti itu. Hanya suka berbicara tanpa pernah bisa membuktikan apa-apa yang telah dibicarakan. Suka memerintahkan berbuat sesuatu, tapi dia sendiri tak pernah bisa dan mampu untuk melakukannya. Di lingkungan mana saja orang-orang ini ada dan seakan telah menjadi bagian dari budaya masyarakat kita. Semakin hari semakin banyak saja kita temui orang-orang seperti ini.

Saya tidak tahu, apakah ini sebuah penyakit atau memang sudah menjadi semacam “hobby” atau kegemaran seseorang. Yang pasti memang ada orang yang hanya pandai bicara tetapi tidak tahu bagaimana harus merealisasikannya. Banyak mengeluarkan ide tapi dia sendiri tidak tahu bagaimana cara pelaksanaanya. Banyak memerintah tapi dia sendiri tidak pernah sekalipun terlibat dalam pekerjaan yang diperintahkannya. Di lingkungan tempat kita tinggal hampir pasti ada beberapa orang yang mempunyai sifat seperti itu.

Dalam dunia politik banyak sekali orang-orang yang hanya pandai untuk mengkritisi sebuah kebijakan dengan pelaksanaanya. Apapun yang dilakukan oleh lawan politiknya yang nota-bene merupakan Pemerintah selalu tidak pernah ada nilai positif di matanya. Statemen negatif dengan campuran bumbu-bumbu penyedap rasa banyak dilontarkan untuk mempengaruhi opini masyarakat agar termakan oleh isu-isu yang disebarkannya.

Padahal jika dia sendiri yang berada di lingkaran kekuasaan belum tentu akan bisa lebih baik dari yang ada saat itu. Bahkan mungkin bisa jauh lebih buruk keadaannya. Karena pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan sudah bercampur dengan kebohongan-kebohongan. Sesuatu yang hampir mustahil dilakukan dijadikan dasar untuk menyelesaikan sebuah permasalahan, padahal dia sendiri tidak yakin kalau apa yang di ungkapkan akan bisa menyelesaikan masalah.

Juga untuk orang-orang yang pekerjaan sehari-harinya hanya “berbicara”. Mereka yang mengaku konsultan dalam bidang apa saja mempunyai kemungkinan untuk masuk dalam golongan NATO alias bisa bicara tak bisa kerja. Dalam bahasa jawa “Iso ngomong gak iso nglakoni”. Banyak ide, banyak mengenal metode, tapi semua belum pernah dilakukannya sendiri.

Demikian juga mereka yang menyuruh untuk selalu berbuat baik, api dia sendiri sering melakukan perbuatan yang tidak baik. Menyuruh orang untuk bersedekah tapi dia sendiri tidak pernah mau untuk mengeluarkan hartanya untuk sedekah. Mereka termasuk orang-orang yang sangat dibenci oleh Allah. Seperti firman Allah di atas, amat besar kebencian Allah terhadap orang-orang yang hanya bisa berbicara tanpa pernah mau melakukan apa yang selalu di bicarakannya.

Orang-orang yang seperti ini memang patut untuk dimasukkan dalam kelompok kata “pembohong” besar. Dan seorang pembohong lebih dekat dengan “kemunafikan”. Suatu sifat manusia yang disarankan oleh Islam agar dijauhi. Suatu sifat yang oleh Islam telah di label “jahannam”. Karena kerugian yang ditimbulkannya jauh lebih besar dari manfaat yang bisa diperoleh dari orang-orang “hipokrit” tersebut. Jangan pernah untuk dekat dengan orang-orang yang mempunyai sifat-sifat seperti itu.

Negara kita memang bukan anggota NATO, tapi kita yang ada di negara ini mungkin banyak yang masuk dalam kelompok NATO. Yaitu manusia-manusia yang hanya bisa berbicara tapi tidak pernah bisa melakukan. Mereka banyak tergabung dalam kelompok “komentator”. Hanya berkomentar tapi tidak pernah membuktikan komentarnya. Lihat saja siaran langsung “world Cup”. Yang dikomentari permainan kelas dunia, tapi kita tidak pernah mencicipinya.

Di panggung politik, seseorang bisa banyak berbicara mengumbar janji, tapi satu demi satu janji-janji tersebur mereka ingkari. Demikian juga mereka yang menyuruh anak-anaknya melaksanakan shalat tapi dia sendiri tak pernah melakukannya. Menyuruh anak-anaknya “ngaji”, tapi dia sendiri membiarkan diri dalam kebodohan agama. Menyuruh orang shalat di Masjid, mengikuti majelis jama`ah pembacaan Yaasiin & Tahlil, tapi dia sendiri sangat jarang menghadirinya. Orang-orang seperti inilah anggota-anggota NATO atau NO ACTION TALK ONLY alias hanya pandai bicara tapi tak pernah ada relalisasinya

Memang lebih mudah untuk berbicara dari pada mengerjakannya. Tapi kebiasaan-kebiasaan NATO bukan tidak mungkin kita hindari. Dengan mempelajari ilmu agama yang sudah kita anut selama bertahun-tahun ini lambat laun pasti semua kebiasaan-kebiasaan yang buruk tersebut bisa luntur atau bahkan hilang sama sekali. Tergantung diri kita mau “kaffah” atau tidak dalam beragama Islam.

QS. Al Baqarah : 208.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ﴿٢٠٨﴾
“Yaa aiyuhal ladziina aamanuud khuluu fiis silmi kaffatan, wa laa tattabi`uu khuthuwaatisy syaithaani, innahu lakum `aduwwum mubin.”

”Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.”

Banyak orang beriman kepada Allah, tapi belum bersedia menerima Islam sebagai keyakinan mereka. Ayat itu merupakan seruan untuk masuk secara berbondong-bondong mereka yang mengaku telah beriman kepada Allah. Sekaligus untuk mengingatkan kepada mereka yang beriman dan masuk Islam untuk tidak tanggung-tanggung atau setengah-setengah dalam menerima Islam. Hendaklah mereka beriman dan menjalankan semua apa yang telah di perintahkan dalam kitab Al Qur`an. Jangan hanya berupa kesaksian saja. Karena sebuah kesaksian hanyalah sebuah pengakuan kalau kita masuk ke dalam agama Islam.

Sedangkan Islam adalah sebuah agama dengan dasar Iman dan pemahaman Ilmu. Tentunya pemahaman ilmu Iman dan ilmu Islam itu sendiri. Nah di dalam ilmu Iman itulah kita akan bisa mengubah perilaku-perilaku kita yang tidak sesuai dengan tuntunan-tuntunan yang ada dalam kitab dan sunnah Rasulullah saw. Demikian juga dengan sifat NATO, sifat pembohong, banyak bicara tanpa bukti, menjelekkan orang lain dan memandang baik diri sendiri serta menyebar fitnah, semua sifat-sifat tersebut adalah rekomendasi dari setan.

Dengan mempelajari ilmu Iman, semua sifat tersebut dapat di atasi bahkan bisa hilang sama sekali. Juga dengan memahami Islam dengan semua ilmu yang ada di dalamnya, Insya Allah kita akan bisa menemukan kebenaran, kedamaian dan keindahan dalam kehidupan beragama. Yang akan bisa mengantarkan kita pada akhir kehidupan dalam damai dan indahnya sebuah kematian.

Sekian.
Selengkapnya...

Selasa, 25 Mei 2010

Memecah Belah Agama.


Orang-orang Yahudi dan Nasrani sejak lama terbagi dalam banyak aliran atau sekte. Penyebab lahirnya banyak sekte atau aliran ada beragam alasan. Ada yang berpendapat Nasrani adalah salah satu sekte Yahudi, karena Yesus memerintahkan untuk mentaati ajaran-ajaran yang dibawa nabi Musa as. Tetapi melarang menerima ajaran dari para pendetanya saat itu. Dimana para pendeta Yahudi saat itu hanya bisa mengajarkan tetapi tidak bisa menjalankan.

Dalam agama Yahudi sendiri ada banyak sekte, misalnya yang sudah populer seperti saksi Yehova, yang begitu bisa di terima di negara Amerika. Ada pula sekte samiria, yang bertahan di sebuah kawasan sebastia, sebuah kota peninggalan Romawi di sebelah utara kota Nablus, yang menganggap alirannya-lah yang paling benar diantara sekte-sekte Yahudi yang ada sekarang. Karena mereka merupakan pewaris dan penerus Taurat dari keturunan Bani Israil. Dengan bahasa Ibrani lama yang masih terjaga sampai saat ini mereka berusaha meyakinkan masyarakat Yahudi, bahwa sekte samiria adalah aliran yang paling benar dan lurus menjalankan perintah-perintah Taurat.

Demikian juga yang terjadi di agama Nasrani. Banyak aliran atau sekte-sekte yang sampai saat ini masih bertahan dengan keyakinan yang dalam dan terjaga di dalam dada masing-masing pengikutnya. Karena agama ini begitu banyak menyebar di seluruh dunia, menjadikan aliran atau sekte yang ada begitu mudah untuk dikenali. Melalui propaganda besar-besaran, tiap-tiap sekte berusaha mendapatkan pengakuan masyarakat dunia dan berusaha untuk menarik orang-orang ke dalam kelompoknya.

Sama dengan dua agama pendahulunya, agama Islam juga banyak melahirkan aliran-aliran atau sekte-sekte. Yang masing-masing mempunyai keyakinan bahwa aliran merekalah yang paling benar. Aliran-aliran yang ada, baik yang sudah sangat lama atau yang baru berkembang karena mengadopsi aliran-aliran dari negara lain berusaha untuk menarik simpati masyarakat. Bagi yang sudah besar tentu tidak sulit untuk menarik minat pengikut baru. Tetapi bagi yang masih “kecil” akan bersusah payah dalam memperkenalkan dan menyebarkan keyakinan-keyakinan baru mereka, yang menurut mereka yang paling benar.

Bagaimana bisa terpecah belah seperti itu ?

Ada beberapa kemungkinan terjadinya perpecahan agama menjadi bermacam aliran. Yang pertama, kemungkinan adanya keinginan untuk tetap bertahan dengan keyakinan ajaran yang “murni”. Yang tidak ada perubahan-perubahan dalam ajaran dan pengamalannya. Yang kedua, kemungkinan adanya keinginan untuk memodifikasi ajaran-ajaran yang dianggap tidak sesuai dengan selera beragama modern. Yang ketiga, kemungkinan adanya keinginan dari orang-orang tertentu untuk menjadikan agama sebagai alat kepentingan pribadi atau kelompok dalam berpolitik. Yang tujuan akhirnya adalah kekuasaan.

Dan banyak alasan lain yang berakibat munculnya aliran-aliran dalam agama. Satu keinginan yang tidak terakomodasi dari salah seorang pemimpin agama untuk dimasukkan dalam rangkaian ritual upacara agamanya, bisa berakibat munculnya kelompok atau aliran baru. Dan yang seperti ini mempunyai andil besar dalam memecah belah umat sebuah agama. Juga mempunyai peran besar dalam menanamkan bibit kebencian diantara umat beragama.

Bagaimanapun, suara seorang pemimpin agama yang dihormati, akan dipatuhi oleh banyak umat atau pengikutnya. Jika seorang pemimpin dikuasai ambisi pribadi demi sebuah kedudukan dalam kelompok agama, yang akan terjadi pasti adalah sebuah kerugian yang secara tidak sadar akan diterima tiap-tiap pengikutnya. Umat yang sebelumnya terhimpun dalam satu wadah sebagai sebuah keluarga, terpaksa akan terpisah karena sebuah ambisi atau keinginan satu orang yang tidak dapat diakomodir oleh kelompoknya.

Mengapa bisa berkembang begitu cepat ?

Tiap-tiap agama mempunyai syariat masing-masing. Sebuah ajaran menuju kebaikan akhlak dan tata cara dalam menjalankan ibadahnya. Sebuah perintah yang datangnya dari Allah melalui RasulNya yang diabadikan dalam sebuah kitab suci tidak bisa ditawar-tawar lagi. Memang kadang ada yang dirasa terlalu berat dalam pelaksanaannya. Sehingga para pengikutnya banyak sekali yang merasa enggan untuk menjalankannya. Keikutsertaan mereka hanya terbatas pada kebutuhan isian Identitas agamanya saja.

Dan inilah yang biasanya dijadikan celah untuk memodifikasi pelaksanaan ibadah menjadi sebuah kewajiban yang ringan. Dengan menghilangkan aturan yang dirasa berat, akhirnya sebuah kewajiban yang mutlak harus di penuhi akan terpangkas besar-besaran menjadi sebuah kewajiban yang banyak memberikan toleransi. Sehingga sebuah ajaran agama yang awalnya mempunyai aturan yang sangat ketat, berubah menjadi agama baru yang mempunyai aturan yang begitu ringan dan fleksibel bagi pemeluknya.

Ternyata yang seperti inilah yang dikehendaki banyak manusia di dunia. Mereka membutuhkan agama dalam hidupnya. Karena dalam hati kecilnya masih terbersit kata “Tuhan”. Tapi mereka tidak ingin ketatnya aturan agama membelenggu kebebasan mereka dalam berperilaku. Sehingga apabila ada seorang pemimpin agama yang begitu mudah memperbolehkan sesuatu yang sebenarnya dilarang, yang sesuatu itu adalah yang mereka suka, mereka akan segera berbondong-bondong untuk masuk dalam kelompok baru tersebut.

Memang tidak semua umat menginginkan seperti itu, tapi sebagian besar umat manusia memang menghendaki yang seperti itu. Sebuah agama yang memberikan jaminan ampunan, menjamin masuk surga bagi para pengikutnya dan tidak banyak menerapkan aturan-aturan yang sangat ketat seperti yang mereka lihat dan rasakan. Mereka bahkan rela untuk memberikan sebagian materi yang mereka miliki sebagai ganti dari berat dan ketatnya aturan yang harus diikuti.

Kebanyakan kelompok baru yang cepat berkembang adalah mereka yang memberikan sedikit atau banyak kelonggaran dalam pelaksanaannya. Mereka cepat berkembang karena banyak dari umat yang masuk menjadi pengikut adalah dari kelompok orang-orang yang memang menghendaki adanya keringanan-keringanan dalam pelaksanaan syariatnya. Sehingga secara formal mereka tidak kehilangan identitas sebagai manusia yang beragama. Agama bagi mereka tak ubahnya hanya sebagai pakaian yang melindungi diri dari cacat-cacat yang ada di tubuhnya.

Bagaimana pertanggungan jawab sebuah aliran agama terhadap “kebenaran” yang dibawanya ?

Pecahnya sebuah agama menjadi berbagai aliran sebenarnya hanyalah disebabkan karena dua hal. Yang pertama adalah keinginan untuk mempertahankan prinsip cara beragama yang benar menurut syariat yang sudah ada dan sudah berlaku secara turun temurun. Kemudian yang kedua adalah disebabkan karena adanya sebuah kepentingan tertentu dari seseorang atau sekelompok orang untuk masuk dalam lingkaran kekuasaan.

Tiap-tiap aliran merasa dialah yang paling benar. Dan yang demikian akan ditekankan kepada seluruh para pengikutnya. Untuk membangun keyakinan agar mereka tidak lari dari komunitasnya, kadang diperlukan banyak kebohongan dalam mempropagandakannya. Dan seorang pemimpin agama yang “hipokrit” mempunyai peran besar dalam memperbanyak aliran di masing-masing agama. Hebatnya mereka bisa menyembunyikan kemunafikannya di hadapan para pengikutnya.

Mereka merasa apa yang dilakukannya adalah sebuah “kebenaran” yang harus dipertahankan. Tapi mereka tidak menyadari kalau kelompok lain di luar mereka juga menggenggam sebuah “kebenaran” yang sama-sama diyakini. Jika ada banyak aliran sama-sama menggenggam “kebenaran”, lantas siapakah diantara mereka yang paling benar ? Adakah sebagian besar dari mereka memang membawa kebenaran ? Atau justru sebagian besar dari mereka membawa ke-tidak benar-an ?

Agama Islam adalah agama yang paling akhir setelah agama yahudi dan Nasrani. Dan kedua agama pendahulunya sudah banyak memberikan pelajaran tentang problematika keberadaan sebuah agama. Dari mulai kebengkokan yang banyak terjadi sampai pada terpecah belahnya sebuah agama menjadi beberapa golongan. Dalam sebuah ayat diinformasikan,

QS. Al Mu`minuun : 53

فَتَقَطَّعُوا أَمْرَهُمْ بَيْنَهُمْ زُبُرًا ۖ كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ﴿٥٣﴾
“Fataqaththa`uu amrahum bainahum zuburan, kullu hizbin bimaa ladaihim farihuuna”

”Kemudian mereka (pengikut-pengikut rasul itu) menjadikan agama mereka terpecah belah menjadi beberapa pecahan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada sisi mereka (masing-masing)”.

Ayat ini sudah memberikan gambaran kalau agama yang ada pada saat itu sudah terpecah belah menjadi golongan-golongan. Dan masing-masing golongan juga bangga dengan apa yang telah mereka lakukan. Dalam lanjutan ayat ini Allah memerintahkan kepada Rasulullah saw untuk membiarkan mereka dalam kesesatannya sampai pada waktu tertentu. Berarti bisa juga dikatakan bahwa mereka yang saat itu memecahkan diri dalam golongannya masing-masing telah berada dalam kesesatan.

Allah juga melarang umat nabi Muhammad untuk terpecah belah seperti umat-umat yang lebih dulu, karena seluruh Rasul yang telah diutus, semua mengajak pada ketauhidan hanya kepada Allah swt. semua utusan Allah mengajak untuk bersatu dalam kedamaian hidup dengan berlandaskan pada ketauhidan Allah. Tidak ada seorang utusanpun yang mengajak untuk saling membenci dan memusuhi satu sama lain. Karena agama hanya bertujuan untuk mengajak umat manusia saling menyayangi, mengasihi dan saling mengingatkan tentang sesuatu yang “benar” secara universal.

QS. Asy Syuura : 13.

شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّىٰ بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَىٰ وَعِيسَىٰ ۖ أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ ۚ كَبُرَ عَلَى الْمُشْرِكِينَ مَا تَدْعُوهُمْ إِلَيْهِ ۚ اللَّهُ يَجْتَبِي إِلَيْهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي إِلَيْهِ مَنْ يُنِيبُ﴿١٣﴾
“Syara`a lakum minad diini maa washshaabihi nuuhan walladzii auhainaa `ilaika wa maa washshainaa bihi ibraahiima wa muusaa wa `iisaa, an aqiimuddiina wa laa tatafarraquu fiihi, kabura `alaal musyrikiina maa tad`uuhum ilaihi, allahu yajtanii ilaihi man yasyaa`u wa yahdii ilaihi man yuniibu”.

”Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya)”.

Kewajiban menjalankan syariat memang berat, tapi Allah sudah mengukur seberapa kekuatan manusia dalam menerima beban. Dan Allah tidak akan memberikan beban kepada umat manusia melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Allah juga masih banyak memberikan toleransi kepada masing-masing diri sesuai dengan situasi dan kondisinya. Hanya manusia memang mempunyai sifat malas dan cenderung hanya pada sesuatu yang serba mudah. Tidak mau bersusah payah tapi selalu menginginkan hasil yang serba melimpah.

Apa akibat dari terpecah belahnya agama ?

Seperti dua agama sebelumnya, agama Islam juga menghadapi hal yang sama. Bahkan sejak masih periode awal setelah wafatnya Rasulullah saw dan ketiga sahabatnya, kaum muslimin sudah terbelah menjadi dua. Yang satu dibawah naungan Muawiyah satunya lagi dibawah naungan Saiyidina Ali bin Abi Thalib. Bibit-bibit perpecahan ini terbawa sampai saat ini.

Begitu banyak aliran atau sekte-sekte yang ada membuat semakin beragam cara umat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-harinya. Cara detil shalat, cara berpakaian, cara menyampaikan ke umat. Dari perbedaan-perbedaan yang muncul mengakibatkan rasa “tidak tertarik” bahkan bisa timbul rasa “benci”, karena masing-masing mengklaim bahwa kelompoknyalah yang paling benar.

Kebencian yang muncul makin lama semakin mendalam seiring dengan perilaku-perilaku sebagian aliran yang kadang kelewat batas dalam perbuatan-perbuatan anarkis. Dengan melakukan perusakan dan pemukulan kepada orang lain sesama muslim. Sesuatu yang sebenarnya tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah saw. selama dalam hidupnya.

Fanatisme terhadap pimpinan menyebabkan ketundukan mutlak yang kadang justru melebihi kecintaan kita kepada Rasulullah saw. Apa yang dikatakan pimpinan seakan menjadi pegangan. Sehingga banyak orang mendasarkan perilaku pada perintah pimpinannya. Sering juga mengatakan sesuatu yang di dahului dengan kata : “kata guru saya,......” atau “kata kyai saya,....” bukan menurut Al qur`an dan kata-kata Rasulullah.

Jadi sebenarnya sudah jelas, kalau terpecah belahnya umat hanya akan menyebabkan saling benci diantara umat manusia. Sesuatu yang sangat tidak dianjurkan dalam agama Islam. Bahkan semua agama yang ada. Tapi anehnya, kita justru menikmati dan tenggelam dalam pecahan-pecahan agama dengan menganggap apa yang kita jalankan dan amalkan adalah sesuatu yang berada di urutan paling atas dalam “kebenaran” beragama.

Lantas apa yang difirmankan oleh Allah tentang diri kita dan kebanggan kita dalam aliran atau pecahan agama saat ini ? Sudahkan kita menemukan firman Allah tersebut ? Sudahkan kita mencarinya dalam tiap-tiap ayatNya ? Ataukah memang kita tidak tahu atau tidak pernah ingin tahu isi ayat tersebut ? Tidak sadarkah kita kalau Allah telah kepada kita untuk tidak terpecah belah dalam agama ? Marilah kit perhatikan bebrapa ayat di bawah ini,

QS. Ar Ruum : 31.

مُنِيبِينَ إِلَيْهِ وَاتَّقُوهُ وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ﴿٣١﴾
“Munibiina `ilaihi wattaquuhu wa aqiimuush shalaata wa laa takuunuu mina musyrikiina”.

”dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah,”

QS. Ar Ruum : 32.

مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا ۖ كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ﴿٣٢﴾
“minal ladziina farraquu diinahum wa kaanuu syiya`an, kulli hizbin bimaa ladaihim farihuuna”

”yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka”.

Di ayat 30 surat tersebut Allah memerintahkan untuk menghadapkan wajah kita lurus pada agama Allah, karena Allah telah menciptakan manusia menurut fitrah yang telah ditetapkan. Yaitu naluri beragama yang hanya bertauhid kepada Allah. Tidak kepada yang lain. Baik itu setan, berhala atau manusia-manusia yang akan membawa kita ke dalam perpecahan-perpecahan agama dan menyebarkan bibit-bibit kebencian antar umat.

Dan Allah telah memberikan jaminan kepada Rasulullah saw. dengan melepaskan tanggung jawab Rasulullah saw. terhadap mereka yang telah memecah belah agama dalam golongan-golongan seperti ayat di bawah ini,

QS. Al An`am 159.

إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ ۚ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللَّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُمْ بِمَا كَانُوا يَفْعَلُونَ﴿١٥٩﴾
“Innal ladziina farraquu diinahum wa kaanuu syia`an lasta minhum fii syai`in, innamaa amruhum ilallahi tsumma yunabbi`uhum bimaa kaanuu yaf`aluuna”

”Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agama-Nya dan mereka menjadi bergolongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat”.

Kemudian marilah kita perhatikan juga beberapa ayat di bawah ini, dimana Rasulullah saw menghadapi mereka yang banyak membantah tentang syariat yang dibawa oleh beliau. Allah memberikan kepastian tentang suatu pengadilan terhadap mereka yang selalu memperselisihkan tentang syariat yang telah di bawa oleh Rasulullah saw.

QS. As Sajdah : 25

إِنَّ رَبَّكَ هُوَ يَفْصِلُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ﴿٢٥﴾
“inna rabbaka huwa yafshilu bainahum yaumal qiyaamati fiimaa kaanuu fiihi yahtalifuuna”

”Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang memberikan keputusan di antara mereka pada hari kiamat tentang apa yang selalu mereka perselisihkan padanya”.

QS. Al Hajj : 69.

اللَّهُ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ﴿٦٩﴾
“Allahu yahkumu bainakum yaumal qiyaamati fiimaa kuntum fiihi takhtalifuuna”

”Allah akan mengadili di antara kamu pada hari kiamat tentang apa yang kamu dahulu selalu berselisih padanya”.

Sifat semua ayat dalam Al Qur`an adalah relevan, mungkin kita bisa menghindar atau mengelak kalau ayat tersebut tidak relevan dengan permasalahan yang saat ini dihadapi umat. Dan kita akan tetap konsisten dengan apa yang kita yakini saat ini. Boleh boleh saja kita bersikap demikian. Karena tiap diri memang diberi hak sepenuhnya untuk menentukan kemana mereka akan berjalan.

Ayat-ayat dalam Al Qur`an hanyalah mengingatkan kita tentang sesuatu yang seharusnya tidak kita lakukan. Dalam satu ayat Allah memerintahkan kepada Rasulullah saw di surah Al Israa ayat 84 untuk mengatakan, “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaanya masing-masing”, maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.

Oleh karena itu semua terserah kepada diri kita sendiri. Kembali kepada diri kita sendiri. Mana yang akan kita turut. Perintah yang ada di dalam Al Qur`an atau kita akan tetap memelihara perpecahan dalam berbagai aliran seperti sekarang ini. Terus tenggelam dalam memelihara kebencian yang terselubung dengan sesama muslim yang sebenarnya merupakan saudara kita.

Perlu juga di ingat bahwa Allah memerintahkan untuk tetap teguh berpegang pada tali atau agama Allah dan jangan bercerai berai atau berselisih. Dan memerintahkan kepada kita untuk selalu mengingat nikmat-nikmat Islam yang telah diberikan kepada diri kita sebagai penganutnya. Islam menyelamatkan manusia dari jurang neraka apabila kita mentaati semua yang telah diperintah dan menghindari semua yang dilarang. Termasuk menghindarkan diri dari semua perselisihan tentang Islam sendiri.

Sekian.

Wrote by : Agushar.
Selengkapnya...

Sabtu, 22 Mei 2010

Kebangkitan Sesudah Mati.

Kebangkitan, sebuah Kepastian dari Allah.

Sebuah keraguan.

Sejak awal, banyak manusia membantah tentang sebuah berita akan dibangkitkannya mereka yang ada di dalam kubur. Orang-orang kafir pada saat itu banyak yang tidak mempercayai kalau kelak mereka semua akan dibangkitkan setelah kematiannya. Bagi mereka kebangkitan sesudah mati adalah sesuatu yang meragukan. Ada beberapa ayat yang menginformasikan tentang keraguan orang kafir pada saat itu. Diantara ayat-ayat tersebut adalah QS. Al Mu`minuun 82 ; QS. Maryam 66 ; QS. Al Israa` 98 ; QS. An Naazi`at 11. QS. Ash shaaffaat 16 dan 53. Demikian juga 2 ayat di bawah ini.

QS. Al Waqi`ah : 47.

وَكَانُوا يَقُولُونَ أَئِذَا مِتْنَا وَكُنَّا تُرَابًا وَعِظَامًا أَإِنَّا لَمَبْعُوثُونَ﴿٤٧﴾
”Wa kaanuu yaquuluuna a`idzaa mitnaa wa kunnaa turaaban wa `izhaaman a`innaa lamab`utsuuna”

”Dan mereka selalu mengatakan: "Apakah bila kami mati dan menjadi tanah dan tulang belulang, apakah sesungguhnya kami akan benar-benar dibangkitkan kembali?”

QS. Al Israa` : 49.

وَقَالُوا أَإِذَا كُنَّا عِظَامًا وَرُفَاتًا أَإِنَّا لَمَبْعُوثُونَ خَلْقًا جَدِيدًا﴿٤٩﴾
”Wa qaaluu a`idzaa kunnaa `izhaaman wa rufaatan a`innaa lamab`utsuuna khalqan jadiidan”.

”Dan mereka berkata: "Apakah bila kami telah menjadi tulang belulang dan benda-benda yang hancur, apa benar-benarkah kami akan dibangkitkan kembali sebagai makhluk yang baru?"

Bagi orang-orang kafir saat itu, menyusun dan membangkitkan kembali seluruh tubuh yang sudah hancur dan terurai tulang-tulangnya adalah sesuatu yang benar-benar mustahil. Bahkan mereka benar-benar tidak mempercayai ayat-ayat yang disampaikan oleh Rasulullah saw. Mereka menganggap “kebangkitan” dari kubur adalah sesuatu tipuan belaka, bahkan hanya merupakan sihir.

Bahkan mereka orang-orang kafir itu sangat yakin tidak akan pernah dibangkitkan lagi sesudah matinya. Bagi mereka hidup hanya sekali dan sesudah itu mati. Kemudian tidak akan pernah dibangkitkan lagi. Seperti firman Allah di QS. Al An`am ayat 29 dan dua ayat di bawah ini.

QS. Al Mu`minuun 37.

إِنْ هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا نَحْنُ بِمَبْعُوثِينَ﴿٣٧﴾
“In hiya illa hayaatunad dunyaa namuutu wa nahyaa wa maa nahnu bi mab`utsiina”

”kehidupan itu tidak lain hanyalah kehidupan kita di dunia ini, kita mati dan kita hidup dan sekali-kali tidak akan dibangkitkan lagi,”

QS. Ad Dukhaan 35.

إِنْ هِيَ إِلَّا مَوْتَتُنَا الْأُولَىٰ وَمَا نَحْنُ بِمُنْشَرِينَ﴿٣٥﴾
”In hiya illa mautatunaal uulaa wa maa nahnu bi munsyariina”

"tidak ada kematian selain kematian di dunia ini. Dan kami sekali-kali tidak akan dibangkitkan,

Mereka tidak pernah menyadari kalau diri mereka adalah sebuah ciptaan Allah. Bahwa semua yang ada di alam semesta ini juga di ciptakan. Dan kalau saja tiap diri menyadari bahwa sebuah ciptaan ulang adalah jauh lebih mudah dari yang pertama, niscaya pada diri mereka tidak akan pernah untuk mengingkari sebuah “kebangkitan” dari sebuah kematian. Penciptaan manusia adalah sesuatu yang sangat hebat. Seperti di informasikan oleh Allah di QS. Al Mu`minuun ayat 12 sampai 14.

Berawal dari saripati zat yang ada di dalam tanah tanah. Kemudian Allah menjadikan air mani. Air mani yang bercampur itu kemudian di tempatkan di dalam suatu wadah yang kokoh, yaitu rahim. Lalu air mani itu oleh Allah dirubah menjadi segumpal darah. Dan dari segumpal darah itu Allah menjadikannya segumpal daging. Kemudian dari segumpal daging itu Allah menjadikan tulang belulang. Dan tulang belulang itu lalu dibungkus dengan daging. Lalu jadilah sebuah makhluk yang berbentuk lain yaitu, manusia.

Sebuah metode penciptaan yang sangat canggih dan sangat sempurna. Tetapi Allah bukan hanya menciptakan manusia saja. Allah juga telah menciptakan Jin dari panas api. Yang pada diri Jin itu juga berlaku sifat-sifat dari panas. Merambat dan bisa menembus benda-benda padat. Allah juga telah menciptakan Malaikat dari cahaya, yang mempunyai kecepatan ratusan ribu kilometer per detiknya. Apakah itu bukan merupakan sesuatu yang lebih hebat lagi ?.

Dengan demikian, apa susahnya bagi Allah untuk merekonstruksi ulang sesuatu yang sudah “mati” untuk untuk di hidupkan kembali ? Menghidupkan lagi manusia yang sudah mati tidaklah sulit bagi Allah. Dengan satu kali tiupan saja mereka semua yang ada di dalam kubur akan segera bangkit. Tapi ingat ! Apa saja yang dilakukan oleh Allah adalah sesuatu yang bisa di pertanggung jawabkan ke-Ilmu-annya. Tidak seperti tukang sihir. Yang tidak bisa di jelaskan secara ilmiah.

Sebuah penegasan dari Allah tentang kebenaran Kebangkitan manusia dari kubur.

Allah Maha Kuasa untuk berbuat sesuatu. Demikian juga dengan sebuah kebangkitan manusia setelah matinya. Bagi Allah menghidupkan, mematikan dan membangkitkan kembali hanyalah sebuah rangkaian pekerjaan yang sangat mudah. Manusia diciptakan dari sebelumnya tidak ada menjadi ada. Alam semesta diciptakan dari sesuatu yang awalnya padu, padat kemudian pecah meledak dan berpencar dan saling menjauh satu sama lain. Kemudian masing-masing “cluster” membentuk dirinya sendiri atas perintah Allah dan menjadi sesuatu yang kita tempati dan kita lihat seperti saat ini. Begitu mudah bagi Allah, tapi sangat rumit bagi kita.

Hal yang demikian mestinya menjadi sebuah bukti yang cukup untuk meyakini akan kuasanya Allah untuk berbuat apa saja menurut yang di kehendakinya. Tapi banyak manusia justru membantah tentang kebangkitan sebagai ketentuan yang sudah di tetapkan. Tidak mengapa, Allah tidak perlu berbantah dengan mereka yang tidak meyakini hari berbangkit. Allah telah memberikan “kehendak” kepada tiap diri manusia untuk Iman atau untuk ingkar.

Tetapi Allah Maha benar. Bahkan Maha benar dengan segala firmannya. Allah hanya menegaskan dalam firmannya, bahwa Allah kuasa untuk menyusun kembali tulang-tulang yang telah berserakan dan daging yang sudah hancur menyatu dengan tanah. Seharusnya ini tidak mengherankan kita karena Allah sudah melakukannya pada diri nabi Adam dan pada diri kita semua. Siapa yang telah menyusun tulang-tulang yang ada pada tubuh kita ? Siapa pula yang telah membungkus tulang-tulang kita dengan daging dan kulit?.

QS. Al Mu`minuun 16

ثُمَّ إِنَّكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ تُبْعَثُونَ﴿١٦﴾
“Tsumma `innakum yaumal qiyaamati tub`atsuuna”

”Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat”.

QS. An Naaz`iat 6.

يَوْمَ تَرْجُفُ الرَّاجِفَةُ﴿٦﴾
“Yauma tarjufur rajifatu”

”(Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan) pada hari ketika tiupan pertama menggoncang alam”,

QS. Al Muthaffifin 4

أَلَا يَظُنُّ أُولَٰئِكَ أَنَّهُمْ مَبْعُوثُونَ﴿٤﴾
“alaa yazhunnu `ula`ika annahum mabutsuuna”

”Tidaklah orang-orang itu menyangka, bahwa sesungguhnya mereka akan dibangkitkan”,

Beberapa ayat diatas menegaskan tentang kepastian sebuah kebangkitan manusia dari kematiannya. Cukuplah Allah menginformasikan tentang kepastian hari kebangkitan bagi seluruh manusia yang sudah mati dengan firman-firmanNya. Tiap-tiap diri yang meyakini dan tidak meyakini akan membawa konsekwensi sendiri-sendiri. Bagi mereka yang meyakini akan berdampak pada perilakunya sehari-hari dan bagi yang tidak meyakini tidak akan berdampak sama sekali pada perilakunya selama hidup di dunia ini.

Lalu dimanakah kita akan dibangkitkan setelah kematian kita ?

Ada satu ayat yang menginformasikan kepada kita bahwa kita akan dibangkitkan di bumi yang kita tempati ini juga. Di bumi ini kita dihidupkan, dibumi ini pula kita di matikan dan dari bumi ini pula kita akan dibangkitkan. Berarti kita akan tetap berada di bumi ini lagi. Tapi tentu saja kemungkinan dalam suasana yang lain. Setelah kehancuran bumi dan setelah Allah memperbaikinya kembali. Kita bisa membayangkan bagaimana saat kita dibangkitkan kembali dalam suasana yang tidak satupun makhluk berbuat kerusakan di atasnya. Pasti sangat indah sekali. Dan hasil karya Allah pasti jauh lebih indah dari pada hasil karya seluruh manusia yang ada di muka bumi.

QS. Al A`raaf 25.

قَالَ فِيهَا تَحْيَوْنَ وَفِيهَا تَمُوتُونَ وَمِنْهَا تُخْرَجُونَ﴿٢٥﴾
”Allah berfirman: "Di bumi itu kamu hidup dan di bumi itu kamu mati, dan dari bumi itu (pula) kamu akan dibangkitkan”.

Dalam wujud apa kita akan dibangkitkan sesudah mati kita ?

Sebagian dari kita meyakini bahwa kita akan dibangkitkan dengan tubuh kita saat ini sebagian yang lain mungkin meyakini akan dibangkitkan dalam keadaaan yang berbeda dari saat hidup di dunia. Dalam beberapa ayat Allah cuma menegaskan tentang kebangkitan. Tetapi tidak menyatakan secara langsung kita akan dibangkitkan dalam bentuk fisik yang rinci. Seperti misalnya dengan tulang dan daging yang sama dengan saat kita hidup di dunia.

QS. Al Waqi`ah 61.

عَلَىٰ أَنْ نُبَدِّلَ أَمْثَالَكُمْ وَنُنْشِئَكُمْ فِي مَا لَا تَعْلَمُونَ﴿٦١﴾
“Alaa an nubaddila amtsalakum wa nunsyi`akum fii maa laa ta`lamuun”.

”untuk menggantikan kamu dengan orang-orang yang seperti kamu (dalam dunia) dan menciptakan kamu kelak (di akhirat) dalam keadaan yang tidak kamu ketahui”.

Dalam bentuk yang bagaimana kita akan dibangkitkan kembali kelak, tidak ada yang tahu kecuali Allah. Memang Allah kuasa menyusun kembali tulang dan daging kita yang telah hancur berserakan, tapi Allah tidak menginformasikan kepada kita bahwa kita akan dibangkitkan kembali dalam benrtuk seperti sekarang ini. Ayat tersebut menegaskan kepada kita bahwa dalam bentuk apa kita akan dibangkitakan hanya Allah yang tahu. Terlalu cepat kita menyimpulkan kalau kita akan dibangkitkan dalam bentuk seperti sedia kala. Sedangkan Allah Maha kuasa untuk membangkitkan kembali manusia dalam bentuk yang Allah kehendaki.

QS. An Naml 65.

قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ ۚ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ﴿٦٥﴾
”Qul laa ya`lamuu man fiis samaawaati wal ardhil ghaiba `illallahu, wa maa yasy`uruuna aiyaana yub`atsuuna”.

”Katakanlah: "Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah", dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan”.

Jelas, tidak seorangpun di seluruh alam ini yang mengetahui sesuatu hal yang masih “Ghaib”. Karena periode akhirat belum dimulai, kebangkitan manusia dari alam kuburpun belum juga terjadi. Jadi tak satupun dari diri kita yang bisa memastikan bahwa kita akan kembali hadir di alam akhirat dengan tubuh berat dan lamban seperti saat ini. Masih banyak bahan lain yang sanggup membungkus jiwa kita kalau Allah menghendaki. Dan kalau kita meyakini sebuah teori terbalik atau berlawanan, kita bisa saja me-reka reka. Bahwa saat ini tubuh kita terdiri dari material yang begitu berat, mungkin kelak di periode akhirat Allah akan membangkitkan kita dalam bentuk tubuh dari bahan yang sangat ringan.

Seperti keberadaan dua bagian yang berlawanan atau berpasangan dari seluruh apa yang telah di ciptakan oleh Allah. Dunia akhirat, siang malam, baik buruk, laki perempuan, gelap terang, pasang surut dan lain sebagainya. Untuk manusia yang terbungkus material dari tanah mungkin akan bangkit dengan jiwa dan tubuh non material. Itupun masih jauh dari kebenaran, karena kita tidak pernah tahu apa kehendak Allah, sebelum Allah memperlihatkan kepada kita sesuatu yang benar-benar nyata untuk pandangan mata dan hati kita.

Seluruh tubuh kita akan menjadi saksi perbuatan kita kelak.

QS. Al Qiyaamah 14

بَلِ الْإِنْسَانُ عَلَىٰ نَفْسِهِ بَصِيرَةٌ﴿١٤﴾
“Balil`insaanu `alaa nafsihi bashiiratun”

”Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri,”

Masing-masing bagian tubuh kita akan menjadi saksi perbuatan kita pada hari penghisaban kelak. Sehingga kemungkinan besar mereka akan tampil terpisah dengan jiwa kita, seperti logika seseorang yang bersaksi untuk orang lain. Bahkan secara terpisah lidah, tangan dan kaki kita akan bersaksi atas semua ucapan dan tingkah laku kita. Seperti firman Allah di bawah ini.

QS. An Nuur 24

يَوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ أَلْسِنَتُهُمْ وَأَيْدِيهِمْ وَأَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ﴿٢٤﴾
“Yauma tasyhadu `alaihim alsinatuhum wa aidiihim wa arjuluhum bimaa kaanuu ya`lamuuna”.

”pada hari (ketika), lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan”.

QS. Yaasiin 65.

الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَىٰ أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ﴿٦٥﴾
“Al yauma nahtimu `alaa afwaahihim wa tukallimunaa aidiihim wa tasyhadu arjuluhum bimaa kaanuu yaksibuuna”.

”Pada hari ini Kami tutup mulut mereka; dan berkatalah kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan”.

Bahkan kulit yang menempel di tubuh kita juga akan turut bersaksi atas semua perilaku kita seperti firman Allah di bawah ini,

QS. Fushshilat 20

حَتَّىٰ إِذَا مَا جَاءُوهَا شَهِدَ عَلَيْهِمْ سَمْعُهُمْ وَأَبْصَارُهُمْ وَجُلُودُهُمْ بِمَا كَانُوا يَعْمَلُونَ﴿٢٠﴾
“Hattaa idzaa maa jaa`uuhaa syahida `alaihim sam`uhum wa abshaaruhum wa juluuduhum bimaa kaanuu ya`lamuuna”.

”Sehingga apabila mereka sampai ke neraka, pendengaran, penglihatan dan kulit mereka menjadi saksi terhadap mereka tentang apa yang telah mereka kerjakan”.

QS. Fushshilat 21

وَقَالُوا لِجُلُودِهِمْ لِمَ شَهِدْتُمْ عَلَيْنَا ۖ قَالُوا أَنْطَقَنَا اللَّهُ الَّذِي أَنْطَقَ كُلَّ شَيْءٍ وَهُوَ خَلَقَكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ﴿٢١﴾
”Wa qaaluu lijuluudihim lima syahidtum `alainaa, qaaluu anthaqanallahul ladzii anthaqa kulla syai`in wahuwa khalaqakum awwala marratin wa `ilaihi turja`uuna”.

”Dan mereka berkata kepada kulit mereka: "Mengapa kamu menjadi saksi terhadap kami?" Kulit mereka menjawab: "Allah yang menjadikan segala sesuatu pandai berkata telah menjadikan kami pandai (pula) berkata, dan Dialah yang menciptakan kamu pada kali pertama dan hanya kepada-Nya lah kamu dikembalikan".

Bagian-bagian dari tubuh kita ini kelak akan menjadi saksi perbuatan kita di dunia. Jadi mereka bisa mempermalukan kita di hadapan Allah dan memberatkan kita dalam hukuman yang akan kita terima. Tiba-tiba saja mereka pandai berbicara dan menunjukkan semua kesalahan-kesalahan kita di hadapan Allah. Suatu hal yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya selama kita hidup di dunia.

Hal yang masih mengganjal pikiran saya adalah, apakah semua bagian dari tubuh kita yang sudah bersaksi dihadapan Allah akan juga menanggung siksaan yang akan kita terima ? Apakah mereka semua juga akan di ajukan sebagai bagian yang rangkaian perbuatan dosa-dosa kita ? Jika hal tersebut benar adanya, apakah ini merupakan suatu keadilan juga bagi semua bagian tubuh yang telah bersaksi tersebut ?

Memang, seorang saksi bisa menjadi terdakwa. Tapi tetap dalam tempat yang terpisah. Saling berdiri sendiri dan mempertanggung jawabkan secara sendiri-sendiri pula. Pada akhirnya, saya pun tak punya kekuatan lagi untuk menggambarkan tentang bentuk diri dari kebangkitan manusia setelah mati ini. Saya serahkan kepada Allah diri dan jiwa ini untuk kemudian mendapatkan sedikit ampunan atau beratnya siksaan sesuai dengan ketentuan Allah swt.

sekian. Selengkapnya...

Kamis, 20 Mei 2010

Melambungkan Cita-cita.

Melambungkan cita-cita.

Gantungkan cita-citamu setinggi langit !
Ingat kata-kata diatas ? Sebuah kalimat pembakar semangat. Biasanya ditanamkan sejak anak-anak sampai mendekati usia remaja. Untuk apa ? Untuk memberikan motivasi kepada setiap anak agar bersemangat dalam belajar. Karena sebuah cita-cita mempunyai korelasi dengan “keberhasilan”. Dan sebuah keberhasilan akan sulit dicapai hanya dengan bermalas-malasan. Harus ada semangat yang tinggi untuk meraihnya.

Cita-cita berbeda dengan keinginan. Pada “diri” cita-cita ada sebuah keinginan, sedangkan pada sebuah keinginan belum tentu ada cita-cita. Cita-cita adalah sebuah obsesi. Obsesi adalah sebuah keinginan. Jadi cita-cita adalah sebuah keinginan paling tinggi dan paling akhir dari seseorang yang ingin diwujudkan sampai batasan umur tertentu. Sedangkan “keinginan” lebih banyak digunakan pada kebutuhan jangka pendek. Yang kebanyakan bisa dipenuhi saat itu juga atau dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Masalahnya adalah sebuah cita-cita kadang ditetapkan sebelum seorang anak bisa mengukur kemampuannya. Baik kemampuan inteligensi maupun finansial pendukungnya. Dalam istilah lain cita-cita ditetapkan secara tidak proporsional, karena itulah kadang sebuah cita-cita sering tidak terwujud. Dan sering berubah ditengah jalan. Hal ini disebabkan, dalam menetapkan cita-cita seseorang banyak mengabaikan faktor-faktor pendukung terwujudnya keinginan itu sendiri. Misalnya inteligensi, bakat, kondisi fisik, finansial dan lain-lain.

Sedangkan pada sebuah obsesi penetapannya lebih proporsional. Dimana seseorang mempunyai keinginan pada saat dia sudah bisa memprediksi bisa mewujudkannya. Seperti seseorang yang berusaha untuk mewujudkan keinginan mendirikan sebuah usaha restoran atau usaha home industri. Pada awalnya mungkin hal tersebut tidak pernah terpikirkan. Tetapi sejalan dengan waktu dan pengalaman, seseorang bisa membelokkan sebuah angan jadi seorang dokter pada keinginan menjadi seorang pengusaha.

Sebuah cita-cita biasanya dihubungkan erat dengan keberhasilan kehidupan dunia. Sebuah “impian' atau keinginan untuk sebuah martabat atau harga diri di hadapan manusia lain. Sangat erat hubungannya dengan pembentukan dan penempatan diri dan keluarga di masyarakat. Pada umumnya juga sebuah penetapan cita-cita tidak dihubungkan dengan Iman. Entah hanya sekedar “guyon” apa melatih kemampuan anak, yang jelas profesi favorit anak adalah dokter, insinyur, presiden atau apa sajalah.

Walaupun ada, tapi sangat jarang sekali yang menjawab jadi seorang “ustadz” atau seorang “Kyai” atau bahkan jadi seorang “modin”. Karena apa ? Karena kebanyakan dari kita menginginkan anak-anak kita nanti jadi seorang yang berhasil dalam kehidupan dunia. Urusan agama atau Iman urusan belakangan. Agama bisa dipelajari secara sambilan. Asal sudah bisa membaca Al Qur`an saja sudah bagus.

Agama dalam pikiran orang tua kepada anaknya adalah “ngaji” membaca Al Qur`an dan nilai-nilai “baik” pada rapot di sekolah. Masalah ke-Iman-an menjadi sesuatu yang terabaikan. Apa yang didapat di tempat “ngaji” dan di sekolah sudah cukup bagi anak. Tetapi untuk mewujudkan sebuah “cita-cita” orang tua kadang sampai begitu “sangat” peduli. Sehingga akan mengusahakan tambahan pelajaran di luar sekolah, meski dengan konsekwensi keluar banyak biaya.

Begitulah, kepintaran atau kecerdasan anak selalu menjadi prioritas utama. Karena anak yang pandai dan berprestasi pasti akan membuat kita bangga. Bisa mengangkat martabat orang tua dan bisa menjamin masa depan dunianya. Sedangkan untuk agama, asal sudah bisa “shalat” dan melakukannya, sudahlah cukup. Walaupun shalatnya banyak “lubang” disana-sini dan terkesan asal shalat.

Mengapa bisa terjadi seperti ini ?

Karena secara umum manusia lebih cenderung kepada sesuatu yang bersifat keduniaan. Juga karena ketidak pedulian manusia pada kehidupan akhirat. Jujur saja, bagi sebagian besar manusia, akhirat adalah sesuatu yang meragukan. Belum teryakini secara mendalam. Kalaupun ada yang mengatakan “yakin kebenarannya” hal itu adalah sebuah keraguan yang “nyata” . Karena secara umum sudah terlihat di masyarakat kemana manusia banyak “cenderung”.

Bagi orang-orang yang benar-benar yakin kehidupan akhirat, niscaya dia akan memperjuangkannya dengan sungguh-sungguh. Dengan memberikan banyak perhatian kepada ilmu agama atau setidaknya memberikan porsi yang seimbang dalam memperjuangkannya. Tidak pincang seperti saat-saat sekarang. Dimana ilmu dunia diusahakan dengan pengorbanan materi yang “unlimited” dan ilmu agama diusahakan secara “terbatas” sekali.

Orang tua yang benar-benar beriman pasti peduli dengan masa depan Iman anak-anaknya. Jika orang tua mempunyai kemampuan ilmu agama anak akan lebih mudah belajar dari keduanya di “rumah”. Tetapi jika orang tua sadar akan kemampuan agamanya yang terbatas, mereka akan berusaha untuk mencarikan dimana anaknya harus belajar ilmu agama. Sehingga akan terjadi keseimbangan antara ilmu umum dan pengetahuan agama.

Manusia menyakini bahwa dirinya akan “mati”. Dan kita juga yakin bahwa kita akan menghadapi sebuah pengadilan. Sebuah penghisaban atas segala amal perbuatan kita. Kita yakin bahwa tingkah laku kita di dunia saat inilah yang akan kita pertaruhkan untuk akhirat kita kelak. Tetapi pada saat hidup di dunia kita menunda-nunda untuk sebuah kata “Taubatan Nasuuha”. Kebanyakan dari kita menyadari pentingnya taubat dan ibadah pada saat-saat kita tak berdaya. Pada saat-saat kita kehilangan banyak kemampuan untuk beraktifitas secara normal.

Disaat itulah kita baru sadar akan pentingnya mempertebal Iman. Dan kita melihat anak-anak kita dimasa mudanya tak jauh dengan masa muda kita. Tak paham agama, tak bisa berdoa untuk kedua orang tuanya. Yang dipikirkan dan banyak dikejar hanya kehidupan dunia. Bahkan perhatian anak kepada orang tua tak kita dapatkan disaat-saat kita membutuhkannya. Karena apa ? Karena kepedulian kita pada Iman dan masa depan Iman anak-anak kita sangat “terbatas”. Tidak sebanding dengan usaha kita dalam meraih kehidupan dunianya.

Sebuah cita-cita untuk meraih kesuksesan dunia adalah sesuatu yang baik. Cuma kita banyak yang lupa menambahkan dalam cita-cita tersebut sebuah bentuk cita-cita yang lain. Yang akan berfungsi sebagai penyeimbang cita-cita yang pertama. Kenapa harus dua ? Ya memang segala sesuatu harus berpasangan. Kalau tidak, hampir bisa dipastikan kegunaannya sangat terbatas atau tidak maksimal. Seperti sebuah baut, jika tanpa mur baut tidak akan banyak berguna.

Demikian juga cita-cita. Jika hanya terpancang pada hal yang bersifat duniawi saja, kelak juga tidak akan banyak berguna. Karena kesuksesan dunia berupa banyaknya materi tidak akan bisa digunakan untuk menebus sebuah ampunan dari hukuman yang akan dijatuhkan. Yang dibutuhkan saat itu adalah modal keimanan dan bukti perbuatan yang baik selama hidup.

Maka dari itu marilah kita sama-sama untuk merekonstruksi lagi tujuan kita, cita-cita kita. Selagi belum terlambat, marilah kita berbuat sesuatu untuk diri kita dan untuk anak-anak kita serta orang-orang di dekat kita. Dengan cara saling mengingatkan tentang tujuan hidup sebenarnya dari Allah. Bahwa kehidupan kita ini bukan hanya untuk saat sekarang saja. Masih ada sebuah kehidupan yang lain yang keberadaanya sudah pasti tapi kita masih meragukannya bahkan mengabaikannya.

Keyakinan akan kehidupan yang lain itulah yang justru harus kita bangun mulai saat ini. Tidak ada kata terlambat untuk sebuah tujuan yang baik. Sebuah perubahan diri yang terlambat masih lebih baik dari pada terus menerus menenggelamkan diri dalam kebodohan agama. Agama ada karena kehidupan manusia yang kacau. Baik secara personal maupun secara komunitas. Agama mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau. Bukan kacau dalam arti tatanan bermasyarakat saja, tetapi agar pikiran manusia tidak kacau dalam menentukan sebuah jalan hidupnya.

Agar manusia tidak selalu hidup dalam keraguan tentang kebenaran akhirat. Agama memberikan penjelasan secara rinci tentang kehidupan dunia maupun akhirat. Bagaimana harus hidup dan bagaimana harus berbuat. Agar terjadi keseimbangan dalam diri pribadi dalam keluarga dan dalam masyarakat. Keseimbangan yang dimaksud adalah keseimbangan dalam hal spiritual dan material. Sebuah keyakinan atau iman yang kuat, akan menjadi sebuah landasan dalam melakukan suatu perbuatan. Sehingga setiap kaki melangkah kita masih berada pada jalur-jalur yang telah di tentukan oleh Allah dan Rasulnya.

Antara dunia dan akhirat itu di pisahkan oleh sebuah peristiwa yang setiap orang pasti akan mengalaminya, yaitu sebuah “kematian”. Dalam sebuah kematian menempel sebuah predikat. Sebuah predikat kematian yang bisa dijadikan tolok ukur sebuah keimanan dan amal shalih. Hanya kita tidak ada yang tahu mana sebuah kematian yang baik dan mana sebuah kematian yang buruk.

QS. Ali Imran : 185.

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۖ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ﴿١٨٥﴾
“kullun nafsin dzaa`iqatul mauti, wa innamaa tuwafauna ujuurakum yaumal qiyaamati. Faman zuhziha `anin naari wa udkhilal jannata faqad faaza, wa maal hayaatudunyaa `illa mataa`ul ghuruuri”.

”Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan”.

Kematian dengan membawa bekal iman dan amal shalih adalah sebuah kematian yang “Khusnul Khatimah” dan kematian dengan membawa bekal banyak perbuatan buruk adalah sebuah kematian yang “Su`ul Khatimah”. Untuk itu, marilah kita tambahkan dalam setiap keinginan jangka panjang kita dengan sebuah harapan bahwa kelak kita akan mati dengan membawa iman dan amalan yang shalih.

Dan yang tetap harus di sadari adalah bahwa sebuah keinginan hanya akan menjadi sebuah keinginan. Tanpa adanya usaha untuk meraih, keinginan bisa diibaratkan seperti sebuah hadiah atau pahala yang tergantung di atas pohon “pinang”. Yang menjadi incaran banyak manusia di bawahnya. Ada yang berusaha untuk meraihnya secara sendiri-sendiri. Tapi banyak pula dari mereka yang tidak berhasil karena “licin”nya jalan di permukaan batangnya.

Pada akhirnya hadiah atau sebuah balasan yang ada di ketinggian pohon pinang bisa diraih dengan cara saling bergotong royong diantara pesertanya. Demikian juga kita jika kita tidak mampu untuk meraih sesuatu yang kita anggap sulit atau tidak mungkin dalam meraihnya, hendaknya kita juga berusaha untuk mencari ilmunya pada orang-orang yang mempunyai kompetensi dalam hal tersebut.

Jika yang kita cari adalah ilmu untuk menambah kekuatan Iman, ya kita harus mencari seorang Ustadz atau banyak mengikuti pengajian2 yang di laksanakan di banyak masjid di setiap kota di Indonesia. Di majelis tersebut kita akan banyak mendapat teman dengan tujuan yang sama dengan kita. Dengan begitu kita bisa belajar bersama-sama dan bisa saling berbagi pengetahuan agama.

Kemudian untuk anak-anak kita , hendaknya kita lebih perduli dengan pengetahuan agama mereka. Jangan hanya mengejar prestasi untuk pelajaran sekolahnya saja. Pelajaran akhlak tidak kalah pentingnya dengan semua prestasi di sekolah. Alangkah lebih baik kalau prestasi di sekolah di imbangi dengan pengetahuan tentang agama yang mencukupi. Sehingga ada keseimbangan antara ilmu dunia dan ilmu akhirat.

Dan yang demikian itu akan sangat banyak membantu anak-anak kita kelak setelah dewasa dan pada saat kita sudah sampai pada usia lanjut. Sebab apabila sejak anak-anak sampai dewasa hati mereka telah terbungkus oleh iman, niscaya mereka akan tahu bagaimana harus memperlakukan orang tua. Niscaya mereka juga tahu bagaimana memperlakukan anak-anaknya, saudara-saudaranya, tetangganya dan anak-anak yatim piatu yang membutuhkan banyak uluran tangannya.

Sekian. Selengkapnya...

Minggu, 16 Mei 2010

Akal, Modal Sebuah Pemahaman.

Yang berakal, yang bisa mengambil pelajaran.

QS. Adz Dzariyaat : 56

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ﴿٥٦﴾
“Wa maa khalaqtul jinna wal insa illa liya`buduuni”.

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.

Ayat ini adalah sebuah pengingat dan penegasan manusia hanya boleh mengabdi atau beribadah kepada Allah swt, bukan kepada yang lain. Karena yang menciptakan manusia adalah Allah swt. sehingga tidak patut seseorang berpaling dari dzat yang telah menciptakannya. Mengapa harus ada penegasan seperti ini ?

Sebuah pengingat atau penegasan bukanlah sebuah tujuan. Antara tujuan dengan maksud juga berbeda. Tujuan mempunyai sebuah “pelabuhan” atau “terminal” artinya, ada sebuah kata akhir dalam sebuah tujuan. Sedangkan maksud bersifat “meluruskan” sebuah kemauan atau keinginan. Seperti sebuah kata “maksudku gak ngono, tapi ngene”. Sebuah cara atau metode untuk sampai pada satu keinginan.

Allah yang menciptakan manusia. Kemudian diberikannya sebuah kepastian hukum pada setiap apa yang akan dilakukannya. Sebuah “examination” atau ujian bagi manusia dan jiwanya. Untuk apa ? Untuk mengetahui siapa diantara semua manusia yang mempunyai amalan yang paling baik. Kemudian Allah memberikan sebuah label “taqwa” bagi yang ber amalan positif dan label “ingkar” bagi yang ber-amalan negatif.

Kemudian akan tiba pula waktu “penempatan”. Ada dua tempat favorit terkait dengan “istiqamah”nya Iman dan amalan sewaktu masih tegak di permukaan bumi. Yang satu “basah” yang satu “kering”. Kalau di dunia untuk menempati sebuah “tempat” yang basah seseorang kadang sampai harus berkorban materi begitu banyak. Tapi tempat yang “basah” di akhirat tersebut karena banyak sekali sungai-sungai yang mengalir dibawahnya serta berbagai kenikmatan-kenikmatan yang ada dan tersedia untuk penghuninya. Itulah tujuan manusia yang sebenarnya.

Dan tujuan Allah ? Saya pasti tidak tahu dan tidak sanggup untuk mengetahui apa tujuan Allah dengan semua yang ada di alam semesta ini. Tapi yang pasti Allah menciptakan dua tempat surga dan neraka adalah untuk menampung kehidupan manusia setelah selesai melaksanakan “USA” atau “ujian semesta alam”nya. Tentu dengan acuan nilai-nilai standart kelulusan yang sudah di tentukan oleh Allah. Tidak ada HER atau Ujian Ulang. Yang ada hanyalah hukuman. Jadi ya memang benar-benar harus hati-hati dalam menjalaninya.

Lalu kenapa harus diingatkan atau di tegaskan ?

Masih ingat peristiwa pemilihan “khalifatul ardh” ? Allah memberikan ijin penangguhan mati Iblis dan sebuah “licence” untuk memalingkan kebanyakan manusia dari Iman dan Ketauhidan hanya pada Allah. Pengingat dan penegasan sangat berguna agar manusia tetap dalam kewaspadaan dalam semua tingkah laku dan ucapannya serta kemantapan keyakinan hanya kepada Allah swt saja. Bukan kepada yang lain. Apalagi Iblis atau setan.

Untuk bertauhid manusia membutuhkan sebuah keyakinan. Sebuah keyakinan diperoleh dari sebuah kepahaman. Kepahaman akan sebuah kebenaran suatu ayat di kitab atau tanda-tanda yang terdapat di alam. Dan kebenaran akan di ketahui setelah melalui proses berpikir yang relatif panjang pendeknya. Buah dari proses berpikir itu akan menghasilkan sebuah kesimpulan. Yang kemudian akan di eksekusi oleh hati menjadi sebuah kebenaran atau sebuah kesalahan.

Untuk sebuah proses berpikir itulah Allah menyertakan sebuah perangkat “akal” yang terpasang pada “otak” yang ada di bagian kepala manusia. Fungsi otak itu untuk berfikir. Tapi jika seseorang kehilangan “akal” dipastikan orang tersebut tidak akan lagi bisa berpikir, walaupun masih mempunyai otak di dalam kepalanya. Mungkin semacam kartu sim yang ada di sebuah ponsel. Jika kartu sim dikeluarkan dari ponsel, mungkin ponsel masih bisa digunakan untuk game atau kalkulator. Tapi ponsel tidak akan bisa bekerja sesuai dengan fungsi utamanya yaitu sebagai alat komunikasi. Walau demikian ponsel tetap memerlukan asupan power dari battery.

Sama seperti orang yang hilang akal. Dia tidak bisa berpikir secara normal, tapi masih juga membutuhkan makanan untuk bisa menggerakkan aplikasi-apliksi yang lain yang menempel di tubuhnya. Seperti kaki untuk melangkah, tangan untuk meraih dan memegang, dan mata untuk melihat serta telinga untuk mendengar.

Al Qur`an adalah sebuah pelajaran.

QS. Al Haaqqah : 48

وَإِنَّهُ لَتَذْكِرَةٌ لِلْمُتَّقِينَ﴿٤٨﴾
”Wa innahu latadzkiratun lil muttaqqiina”.

”Dan sesungguhnya Al Quran itu benar-benar suatu pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa”.

QS. Ali Imraan : 138.

هَٰذَا بَيَانٌ لِلنَّاسِ وَهُدًى وَمَوْعِظَةٌ لِلْمُتَّقِينَ﴿١٣٨﴾
“Haadzaa bayaanun linnaasi wa hudan wa mau`idzatun lil muttaqqina

”(Al Quran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa”.

Kedua ayat di atas menjelaskan kepada kita kalau Al Qur`an selain sebagai penerangan dan petunjuk bagi seluruh umat manusia adalah juga sebuah pelajaran. Sebagai penerangan, Al Qur`an memberikan suatu informasi yang dijamin kebenarannya oleh Allah swt. yang sebagian ayat-ayatnya secara sederhana dapat di pahami dengan mudah.

Sebagai petunjuk, Al Qur`an memberikan informasi bagaimana seseorang harus beribadah dan bertingkah laku dalam menjalani kehidupannya. Dan sebagai pelajaran, Al Qur`an berisikan ayat-ayat yang memancing kita untuk bereaksi dengan berpikir menggunakan otak yang telah disertai akal untuk mengolah masukan data agar bisa menyimpulkan hasil proses pikir menjadi sebuah kebenaran.

Kesimpulan tentang kebenaran suatu ayat akan diyakini oleh “hati” dan akan berimbas pada keimanan pada satu dzat yang dimaksud, yaitu Allah swt. Proses berkali-kali dari olah pikir mengenai makna dari ayat-ayat yang ada dalam Al Qur`an akan menghasilkan banyak pemahaman tentang “kebenaran” tentang Allah dan semua sifat-sifatNya. Dan hal itu tidak akan dapat diperoleh jika kita tidak mempergunakan “aksesoris” yang telah di pasang oleh Allah di kepala kita berupa mata, telinga dan otak normal serta hati atau Qolbu sebagai “hakim” tentang benar atau tidaknya kesimpulan yang didapat setelah melalui pertimbangan yang sangat matang.

QS. Al Ankabuut : 51

أَوَلَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَرَحْمَةً وَذِكْرَىٰ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ﴿٥١﴾
“Awalam yakfihim anna anzalnaa `alaikal kitaaba yutlaa `alaihim, `inna fii dzaalika larahmatan wa dzikraa li qaumin yu`minuuna”

”Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) sedang dia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam (Al Quran) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman”.

Dalam Al Qur`an terdapat rahmat yang sangat besar. Apa saja ?

Disamping sebuah pelajaran Al Qur`an adalah sebuah petunjuk. Yaitu sebuah petunjuk yang mengarahkan bagaimana seseorang harus berbuat sesuatu dalam hidupnya. Sebuah petunjuk yang akan mengarahkan manusia pada tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu mati dalam Iman dan Islam. Sebuah arahan yang akan menyebabkan seseorang akan mendapatkan sebuah pengakuan sebagai manusia yang bertaqwa.

Sebuah jalan bagi manusia untuk memperoleh kemuliaan hidup di dunia dengan peneguhan kedudukan di sebuah komunitas di masyarakat sekitarnya. Dan sebuah jalan yang akan menyebabkan seseorang mendapat ridha dari Allah dalam menjalani kehidupannya dan dalam kematianya. Dan ridhanya Allah untuk sebuah tempat yang akan di huni manusia kelak di periode akhirat.

QS. Al Qomar : 22

وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْآنَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ﴿٢٢﴾
“Wa laqad yassarnaal qur`aana lidzdzkri fahal min mudzdzakkirin”

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Quran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?”

Tidak ada alasan “kesulitan” dalam mempelajari Al Qur`an. Karena Al Qur`an telah dibuat dengan bahasa manusia. Sebuah bahasa yang menjadi bahasa nabi Muhammad yang telah terpilih sebagai manusia penerima wahyu dan utusanNya. Dan Al Qur`an telah di terjemahkan dalam berbagai bahasa yang ada di dunia. Sehingga semua manusia di bumi mendapatkan kemudahan dalam mempelajarinya.

Juga telah dibuat tafsirnya dalam berbagai bahasa. Tujuannya tak lain adalah, agar manusia lebih mudah untuk mempelajari makna yang terkandung dalam setiap ayat di dalamnya. Dan keberadaan buku pendamping berupa terjemahan dan tafsir adalah buah dari bekerjanya “akal”. Disebabkan proses berpikir dari otak yang ber”akal” saja yang bisa menghasilkan sebuah karya. Baik karya yang riil maupun karya yang abstrak berupa ilmu-ilmu pengetahuan yang di transfer dari memori otak seseorang ke otak orang lain melalui sebuah komunikasi inderawi.

Sekali lagi, bahwa keberadaan akal pada diri manusia adalah untuk kepentingan “Pemahaman”. Pemahaman ayat-ayat atau tanda-tanda alam untuk sebuah keyakinan akan ketauhidan adalah tujuan utama. Akal inilah yang menyebabkan otak bisa bekerja. Dengan mengambil data dari penglihatan mata dan suara dari telinga, atau dari penciuman berupa bau dan sentuhan dari kulit jemari kita, otak yang berakal akan mengolah data-data tersebut untuk di simpulkan. Kemudian hasilnya dikirimkan ke hati dan dipertimbangkan untuk kemudian diyakini sebagai sebuah kebenaran yang harus diikuti atau sebagai sebuah kesalahan yang harus di tinggalkan.

Disamping Al Qur`an, alam dan semua gerakannya adalah tanda-tanda tentang wujud dan kuasanya Allah. Berputarnya bumi, kemiringannya dalam berputar, keberadaan bulan, matahari, hujan, panas, pasang surutnya air laut, awan, angin dan seluruh keberadaan makhluk di alam ini adalah sebuah bukti, bahwa ada satu dzat yang menjadi penyebab utama semua yang ada dan terjadi di alam semesta ini. Dialah Allah, yang tidak ada Tuhan selain Dia.

Cukup banyak ayat yang menyatakan bahwa, hanya mereka yang berakal sajalah yang dapat mengambil atau menerima pelajaran. “Berakal” bisa diartikan sebagai orang yang mempunyai “akal” atau bisa juga di artikan sebagai orang yang menggunakan akalnya. Bisa juga diartikan berpikir atau orang yang mau menggunakan pikirannya atau otaknya. Untuk apa ?

Untuk menampung dan mengolahnya. Untuk meneliti atau menganalisa tentang suatu hal yang berkaitan dengan ilmu. Dan ilmulah yang menyebabkan sebuah kepahaman tentang sesuatu hal yang sebelumnya tidak di mengerti sama sekali. Sebuah kepahaman akan berakibat pada keyakinan. Dan keyakinan inilah yang diperlukan oleh manusia untuk bisa melangkahkan kakinya dengan pasti ke arah mana tujuan hidupnya.

Sedangkan tujuan manusia yang pasti hanyalah sebuah penghambaan diri hanya kepada Allah. Yang akan menghasilkan sifat tunduk dan patuh terhadap semua yang diperintahkan dan semua yang dilarangNya. Tunduk dan patuh akan berakibat pada tingkah laku yang bersumber pada Al Qur`an dan contoh-contoh perilaku Rasulullah Sayyidina Muhammad saw.

Hanya mereka yang mau berpikir dan menggunakan akalnya saja yang bisa mengambil pelajaran. Seperti yang diinformasikan di ayat berikut ini. Dan beberapa ayat yang lain diantaranya adalah QS. Ar Ra`d : 19 ; Ibrahim : 52 ; Thahaa : 54 dan 128 ; Jaatsiyah : 5 ; Az Zumar : 9 dan 21.

QS. Al Baqarah : 269

يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ﴿٢٦٩﴾
“Yu`tiil hikmata man yasyaa`u, wa man yu`tal hikmata faqad `uutiya khairan katsiran. Wa maa yadzdzakkaru illaa `uluul albaabi”.

”Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah)”.

Untuk itu, marilah kita selalu berusaha menggunakan akal pikiran kita untuk memahami ayat-ayat Allah yang terdapat dalam Al Qur`an dan tanda-tanda eksistensinya Allah yang terdapat di seluruh alam ini. Dengan memahami kejadian-kejadian alam seperti siang dan malam, musim hujan, musim kemarau, pasang surut air laut atau yang lain, Insya Allah kita akan dapat pencerahan tentang bukti-bukti ketauhidan Allah swt di alam semesta ini.

Sekian. Selengkapnya...

Jumat, 14 Mei 2010

Pemilu dan Penetapan Nabi Adam as.

Pemilu dan Penetapan nabi Adam as.

Berpuluh tahun kita hanya mengenal pemilu sebagai pesta demokrasi lima tahunan sekali. Itupun hanya untuk memilih para wakil rakyat. Bukan seorang perdana menteri atau seorang presiden. Pemilihan presiden kira serahkan kepada para wakil kita di Dewan Perwakilan Rakyat. Tapi beberapa tahun belakangan ini kita dihadapkan pada seringnya pelaksanaan Pemilihan Langsung para pemimpin rakyat.

Diantaranya adalah pemilihan bupati atau walikota. Walikota adalah seorang pejabat yang memimpin suatu wilayah perkotaan yang mempunyai penduduk relatif lebih padat dari pada daerah lain. Sedangkan Bupati adalah seorang pejabat yang memimpin sebuah wilayah yang lebih luas dari pada kota, tetapi jumlah penduduknya relatif lebih sedikit dari pada kota. Jika di perkotaan lebih banyak industri, di wilayah kabupaten lebih dominan kegiatan pertanian.

Jika dahulu kedua jabatan tersebut tidak melibatkan rakyat dalam penempatannya, sekarang rakyatlah yang memilih langsung. Sehingga segala sesuatunya juga harus dipersiapkan secara matang. Dari mulai lembaga pemilu berupa Komisi Pemilihan Umum sebagai pelaksana pemilu sampai kepada partai-partai seluruh pesertanya. Serta rakyat yang terlibat sebagai saksi-saksi pelaksanaan pemilu dan para pengawas-pengawas pelaksanaan pemilunya.

Alasan utama diadakannya pemilu adalah status negara yang menganut paham demokrasi. Dimana kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Jadi tak berlebihan jika yang menentukan Pemimpin Rakyat adalah rakyat sendiri. Melalui sebuah pemilihan yang langsung, umum, bebas dan rahasia. Sebuah slogan yang diharapkan bisa menjamin pelaksanaan pemilu akan berjalan dengan lancar berdasarkan kejujuran dan kebebasan.

Tetapi dalam pelaksanaannya banyak terjadi ketidakpuasan dari masing-masing pesertanya. Yaitu partai-partai politik yang anggotanya adalah rakyat atau masyarakat yang bersimpati pada partai tersebut. Banyaknya partai membuat rakyat secara otomatis terpecah belah. Sebagian bersimpati pada partai tertentu dan sebagian lain bersimpati pada partai yang lain.

Para simpatisan ini, biasanya akan membela partai yang didukungnya sampai dia sendiri merasa bosan atau kecewa. Kebanyakan dari mereka ada yang sekedar mendukung, ada pula yang menjadi anggota dengan dukungan dan kesetiaan yang tinggi. Ada beberapa alasan penyebab perbedaan kesetiaan yang terjadi diantara simpatisan sebuah partai. Ada alasan moril ada pula karena alasan materil.

Sebuah proses pemilu dimulai dari kekosongan sebuah jabatan. Baik presiden, gubernur, bupati atau walikota sampai pemilihan kepala desa. Sebuah lembaga pemilu kemudian menyiapkan segala sesuatunya yang berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan yang akan melibatkan seluruh rakyat di suatu daerah. Setelah segala sesuatunya siap, baik sarana dan prasaranya berupa peralatan-peralatan yang dibutuhkan sampai pada kertas-kertas suara yang akan digunakan, ditetapkanlah calon-calon yang diajukan oleh partai-partai yang mempunyai hak untuk mengajukan seorang calon peserta yang akan “berlaga” pada hari yang telah di tentukan.

Tahap selanjutnya adalah mencari “tambahan” simpatisan melalui sebuah “kampanye” berupa pengenalan diri partai, visi serta misi-nya. “Magnet” penyedot massapun segera disiapkan. Dari mulai kampanye “garingan” sampai mendatangkan artis-artis yang lagi berada di puncak popularitas. Berbagai atribut partai dan T shirt atau rompi baju serta jaket dibagikan agar mereka mau datang ke tempat yang sudah disiapkan.

Kemudian mulailah pemasaran visi, misi dan tujuan jangka pendek jika menjadi peserta pemenang pemilu. Berbagai cara biasanya digunakan untuk memikat pemilih. Dari mulai janji-janji yang realistis sampai dengan janji-janji yang pasti akan diingkarinya kelak atau janji-janji palsu. Kemampuan berbicara dan memikat menjadi taruhan akan jumlah pemilih yang akan diraih nantinya. Tak jarang pula kampanye diwarnai dengan saling menjelekkan calon-calon pesaing yang lain.

Pada masa-masa kampanye masih belum terlihat gesekan-gesekan yang berarti kecuali hanya gesekan-gesekan kecil dari para pendukung masing-masing partai yang kadang kelewat batas dalam ucapan ataupun tingkah laku. Peran aparat keamanan sangat berpengaruh dan sangat dibutuhkan pada saat-saat kampanye berlangsung. Sedikit lengah, gesekan kecil akan bisa menjadi penyulut api yang sangat besar. Sebab kebanyakan dari para pendukung mempunyai kesadaran politik yang rendah.

Semakin hari akan semakin mendekati hari pelaksanaan pemilihan. Dan tibalah saat massa harus menenangkan diri akibat emosi yang telah dibakar selama berhari-hari oleh para jurkam masing-masing partai. Semua atribut partai dicabut dari tempatnya. Karena pada saat pelaksanaan pemilihan semua tempat harus steril dari atribut partai peserta pemilu.

Kemudian tibalah saatnya rakyat untuk melakukan pemilihan di tempat-tempat yang telah disiapkan. Dengan sukarela ataupun terpaksa rakyat datang untuk memenuhi panggilan petugas untuk “memilih” pemimpin mereka. Dengan panduan petugas, satu per satu rakyat menggunakan haknya untuk memilih siapa pemimpin yang akan diberi kepercayaan berupa “amanat rakyat”.

Setelah pelaksanaan berupa “pencoblosan” atau “pencontrengan” selesai, tibalah saat penghitungan suara yang sah maupun yang tidak sah. Saat-saat penghitungan adalah saat-saat yang mendebarkan bagi para calon dan pendukungnya. Mereka was-was, jangan-jangan “jago”nya kalah telak. Setelah beberapa hari kemudian nampaklah hasil dari pada pemilihan umum tersebut.

Seperti sebuah perlomban atau pertandingan, pemilihan umum juga menghasilkan pemenang. Mereka yang menang dan yang kalah sama-sama sibuk. Yang menang sibuk mempersiapkan “pohon-pohon” yang akan ditancapkan atau mempersiapkan menteri-menteri yang akan membantu kerja presiden. Dan yang kalah sibuk mencari sebab-sebab kekalahannya. Dengan berbagai alasan yang kadang dibuat-buat, mereka yang kalah berusaha untuk menelanjangi pelaksanaan hasil pemilu.

Yang kalah sibuk mencari dukungan dari mereka yang sama-sama kalah. Atau berusaha untuk mendekati yang menang dengan harapan akan mendapatkan bagian dari hasil kemenangan. Disana sini terjadi banyak penawaran politik. Mereka yang menginginkan jabatan cenderung untuk mendekati yang menang. Dan mereka yang menggenggam “gengsi” merasa malu kalau harus “berbaikan” dengan lawan. Akhirnya sebuah keputusan diambil untuk berada di tempat yang berseberangan. Mungkin juga bisa dikatakan menempatkan diri sebagai penyeimbang pemerintahan atau menyatakan diri sebagai partai oposisi.

Keberadaan mereka yang memilih bertempat di seberang itu, tidak hanya sebatas melihat atau jadi penonton yang baik, tapi kadang-kadang juga berusaha untuk menggoyang bibit-bibit tanaman yang mulai tumbuh. Upaya ini mungkin kadang memang di perlukan agar mereka yang menang akan tetap berada di garis-garis lurus “amanat rakyat”. Cuma kadang ada keraguan juga mengenai ketulusan dalam melakukannya. Meragukan, antara “mengimbangi” dan “mengganggu” jalannya pemerintahan.

Pemilihan umum ini juga mengingatkan saya akan rangkaian ayat-ayat yang ada di Al Qur`an. Saya pernah menulis tentang pembangkangan Iblis pada saat pemilihan “Khalifatul ardh” yaitu pemilihan pemimpin yang akan mewakili Allah dalam pelaksanaan hukum-hukum dan peraturan Allah swt. di bumi. Yang didalamnya ada peristiwa yang agak-agak mirip dengan kejadian-kejadian yang ada pada pemilihan umum di bumi.

Pada pemilihan umum di bumi dikarenakan sebuah negara menganut paham demokrasi. Dimana kekuasaan tertingggi ada di tangan rakyat. Disini rakyat berperan sebagai Owner kehidupan politik. Cuma bedanya rakyat di muka bumi terpecah belah dalam “kotak-kotak” partai politik. Sedangkan pada pemilihan “Khalifatul ardh” manusia mungkin hanya satu yaitu nabi Adam as.

Allah adalah pencipta seluruh apa yang ada di langit dan bumi serta diantara keduanya. Dengan demikian Allah adalah Owner dari seluruh kehidupan di alam semesta. Allah pemegang kekuasaan tertinggi kehidupan, karena Allah yang menghidupkan segala sesuatu yang hidup dan menghidupkan segala sesuatu yang sudah mati.

Dan Allah sudah menjatuhkan pilihan, yaitu Adam as. dari jenis manusia. Suara atau pilihan Allah yang “ahad” ini seakan mewakili semua anak cucu Adam yang akan diciptakanNya. Para malaikat yang semula meragukan kapabilitas manusia akhirnya tunduk dan patuh pada keputusan Allah. Mereka menerima dengan “besar hati” terpilihnya jenis manusia sebagai “Khalifatul Ardh”.

Sedangkan Iblis, mereka tidak bisa menerima keputusan Allah. Dengan alasan “dirinya” masih lebih baik dari manusia. Mereka merasa diciptakan dari bahan yang lebih baik, yaitu api. Yang mempunyai kecepatan dan kemampuan untuk merambat dan menembus benda-benda yang terbuat dari besi sekalipun. Sedangkan manusia dibuat dari tanah liat yang lebih berat. Yang menyebabkan langkah manusia begitu lamban.

Namun keputusan telah dibuat. Jenis manusialah yang akan menjadi khalifah di muka bumi. Tapi Iblis tetap membangkang dan tidak mau mengakui nabi Adam as. dengan bersujud. Maka Allah mengusir Iblis dari surga. Dan hanya malaikat yang berdiri dan bertempat disamping Allah. Sebagai makhluk yang menerima dan mengakui sebuah keputusan dari penguasa tertinggi alam semesta, sehingga para malaikat banyak yang mendapat tugas “khusus” dari Allah. Seperti yang telah di emban oleh 10 malaikat yang selama ini kita kenal dan kita yakini.

Iblis kemudian meminta tangguh atas kematiannya serta bertekad untuk memalingkan mayoritas manusia dari keimanan kepada Allah swt. Dan permintaan dari Iblis itu dikabulkan oleh Allah. Kemudian jadilah sebuah permusuhan antara manusia dengan Iblis dan teman-temannya sampai saat yang telah ditentukan kelak. Permusuhan ini adalah sebuah permusuhan abadi dari awal penunjukan jenis manusia menjadi khalifah di bumi sampai dengan berakhirnya kehidupan yang fana ini.

Memang tidak etis untuk menyamakan atau membandingkan pemilihan presiden dengan pengangkatan Khalifah di bumi oleh Allah. Juga tidak etis kalau kita menyamakan mereka yang menolak hasil pemilu dengan pembangkangannya Iblis. Karena mereka yang menang dan terpilihpun belum tentu bisa menjamin kesejahteraan rakyat. Bahkan cenderung membagi kepentingan yang tidak proporsional antara kepentingan pribadi dan partai dengan kepentingan rakyat.

Siapapun pemenang pemilu mempunyai kesempatan yang sama untuk membagi kepentingan pribadi dan partai di atas kepentingan rakyat. Karena kita semua tidak sekualitas dengan nabi dan para sahabatnya. Dan karena sebuah kepastian, jika seseorang mengalami sebuah momen yang menyenangkan dan memuaskan dirinya, yang ada dipikirannya adalah bagaimana dan kapan kejadian tersebut akan terulang lagi pada kali yang lain.

Jika dilihat di awal peristiwanya, dengan menyodorkan diri, mempromosikan, membentuk citra diri agar terlihat menyakinkan, menjanjikan sesuatu yang belum tentu bisa direalisasikan, memberikan nilai yang jelek kepada saingan, rasanya hampir mustahil kalau tidak tendensi sedikitpun dalam hati mereka.
Jabatan adalah amanat. Tapi bagaimanapun juga jabatan dan kekuasaan identik dengan materi. Materi inilah yang sering membuat seseorang lupa. Lupa pada janji-janji, lupa pada amanat yang di emban, lupa pada rakyat dan lupa pada Allah.

Apalagi jika kita mendengar seseorang yang mencalonkan diri untuk meraih kursi jabatan dengan pengorbanan materi yang begitu besar. Semakin meragukan kalau mereka melakukan atas nama Allah. Memang kebanyakan mereka akan mengucap “Bismillah” bila akan melakukan sesuatu. Tapi tingkah laku selanjutnya justru banyak yang tidak mencerminkan tindakan atas nama Allah. Yang sering adalah atas nama pribadi, atas nama keluarga, atas nama partai, atas nama golongan dan lain-lain.

Pemilu adalah sebuah jalan. Sebuah jalan untuk pengabdian. Pengabdian kepada Allah sekaligus pengembanan amanat rakyat. Sebuah jalan amal shalih sebagai perwujudan sebuah Iman. Sebuah jalan menuju kebenaran yang akan berakibat pada kebaikan-kebaikan yang dilakukan demi sebuah kedekatan. Yaitu semakin dekatnya kita kepada Allah.

Pemilu bukanlah sebuah jalan untuk mengambil alih kekuasaan. Bukan pula jalan untuk menumpuk kekayaan. Bukan jalan untuk mengingkari amanat rakyat. Juga bukan jalan untuk membuang para saingan. Oleh karena itu seorang pemimpin yang benar adalah mereka yang tidak bertambah cepat kaya karena kepemimpinannya. Mereka yang tidak melupakan janji-janjinya pada saat dia bisa memenuhinya. Mereka yang tidak takut akan jatuh demi sebuah keputusan yang menguntungkan rakyat. Dan mereka yang tahu apa yang dikehendaki rakyatnya.

Dan kebesaran hati dari masing-masing pribadi partailah yang bisa memberikan kesadaran rakyat, bahwa pemilu adalah sarana. Sarana untuk menentukan siapa yang akan memimpin bangsa. Bukan berarti yang kalah harus terlempar atau harus berada jauh di “pengasingan” politik. Bukan itu. Setiap warga negara bertanggung jawab atas bangsa ini. Pembangunan demi kemajuan bangsa harus melibatkan seluruh elemen politik yang ada. Jika yang kalah harus menyingkir dan harus “bertapa” maka mereka sudah menyia-nyiakan waktu untuk berbuat sesuatu demi bangsa dan negara.

Mereka yang menang harus merangkul yang kalah, dan yang kalah harus menerima dengan besar hati. Tapi pengabdian harus terus berjalan. Untuk mewujudkan keinginan rakyat dan cita-cita bangsa. Dan hal itu tidak akan bisa dicapai tanpa harus menyertakan anak-anak bangsa yang mempunyai kemampuan “mumpuni” yang tersebar banyak di berbagai partai yang ada.

Sekali lagi, pemilu hanyalah sebuah jalan. Bukanlah sebuah “bom” untuk menyingkirkan orang-orang yang mempunyai pandangan berbeda dengan kita. Kebersamaan menjadi sesuatu yang sangat dibutuhkan demi keutuhan negara dan bangsa. Dan hal itu bisa terwujud apabila masing-masing diri bisa mengendalikan emosi, mengesampingkan kepentingan pribadi dan partai serta tetap menempatkan kepentingan rakyat diatas kepentingan-kepentingan yang lain.

Sehingga nantinya yang akan memimpin negara dan bangsa ini adalah sekumpulan para “malaikat” yang tunduk patuh pada keputusan Allah swt. Dan Iblis ? Tidak ada kuasa bagi Iblis karena para pemimpinnya adalah orang-orang yang tunduk patuh pada keputusan Allah. Dan menjadikan Allah sebagai pemimpin nya. Juga menjadikan kepemimpinan Allah sebagai dasar untuk memimpin rakyatnya demi kesejahteran, kemandirian dan kemajuan bangsa serta negaranya.

Sekian. Selengkapnya...

Selasa, 11 Mei 2010

Cinta dan kualitasnya

Cinta dan kualitasnya.

“Cinta” adalah perasaan mendalam yang tumbuh pada seseorang atau sesuatu yang bersifat riil atau abstrak. Perasaan mendalam sering juga disebut “intuisi”. Intuisi yang tumbuh pada diri seseorang akan berakibat pada rasa keinginan untuk memiliki, memperhatikan, menyayangi, menghargai, berbagi emosi, memanjakan dengan memenuhi apa yang diinginkan.

Cinta yang singgah di hati anak anak sampai hampir remaja sering disebut dengan cinta “monyet”. Sebuah rasa yang mempunyai keinginan untuk selalu memberikan perhatian, berdekatan, mencuri pandang pasangan dan keinginan untuk memberikan sesuatu agar pasangannya merasa senang. Pada kondisi ini cinta belum dilumuri oleh nafsu. Juga mengabaikan elemen-elemen lain seperti status sosial, inteligensi, moralilas dll. Yang dibutuhkan hanyalah perasaan “bahagia”, perasaan senang yang kadang-kadang bisa menimbulkan ekstase atau mabuk karena yang ada dipikirannya yang melintas hanya wajah si “dia”.

Ada banyak jenis cinta sesuai dengan hubungan yang terjalin antara seseorang dengan sesuatu yang di cintainya. Diantaranya adalah :
Cinta terhadap diri sendiri. Yaitu perasaan bangga akan kelebihan-kelebihan yang ada pada dirinya sendiri, baik fisik maupun non fisik. Efek dari perasaan seperti ini adalah si pelaku sering membangga-banggakan diri sendiri. Sering juga disebut Narsisisme.
Cinta terhadap keluarga. Yaitu sebuah hubungan kasih sayang yang terjalin karena ikatan darah atau ikatan keluarga.
Cinta kepada teman. Rasa sayang yang timbul akibat dari perkenalan atau pertemanan yang terjadi antara seseorang dengan orang lain.
Cinta kepada lawan jenis. Sebuah perasaan kasih sayang berbalut asmara antara dua orang yang berbeda genital yang selalu diikuti dengan keinginan-keinginan pribadi. Yang paling dominan adalah sifat ingin memiliki sepenuhnya.
Cinta terhadap negara. Sering juga disebut Patriotisme.
Cinta terhadap bangsa. Sering disebut Nasionalisme.

Secara umum jenis cinta di kategorikan menjadi 4 jenis :
Cinta Eros. Yaitu perasaan mendalam yang cenderung pada sifat-sifat romantis, asmara yang berapi-api, hawa nafsu (terutama sex).
Cinta Philia. Yaitu perasaan kasih sayang yang tumbuh kepada keluarga, teman-teman dekat atau teman sekedar kenal.
Cinta Agape. Yaitu perasaan kasih yang cenderung tertuju kepada keluarga dan kepada Tuhan.
Cinta Storge. Perasaan cinta dan bangga yang cenderung tertuju pada diri sendiri, bangsa dan negara, yang menimbulkan sebutan Narsisisme, Patriotisme dan Nasionalisme.

Cinta Asmara.

Yang paling sering dibahas dan dibicarakan adalah cinta yang berkaitan dengan asmara. Yang melibatkan dua remaja menuju kedewasaan. Termasuk dalam jenis Cinta Eros. Sebuah cinta yang menimbulkan perasaan bahagia, yaitu perasaan senang yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Ada lagi yang mengatakan bahwa cinta itu membuat hati berbunga-bunga, baunya semerbak, menebar kemana-mana. Bahkan di dalam water closed room sekalipun. Ha,...ha,,... ha,... apa iya ya ?

“Tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata”. Memang, asmara hanya sedikit membutuhkan kata. Yang banyak dibutuhkan adalah usaha untuk memenuhi hasrat atau nafsu syahwat yang membutuhkan pelampiasan. Kata-kata yang keluar hanyalah basa-basi belaka. Yang “urgent” adalah hasrat yang harus segera tersalurkan. Baunya semerbak, karena masing-masing selalu bersolek, menjaga penampilan, memakai parfum pilihan yang harganya kadang dijangkau dengan keterpaksaan. Ya pasti semerbak lah !

Cinta asmara adalah salah satu jenis cinta yang banyak sekali peminatnya. Bahkan mereka rela untuk “antri” mendapatkan giliran merasakan manisnya lewat ungkapan kata-kata atau sentuhan-sentuhan yang mengandung seribu makna. Sebuah cinta yang bisa melahirkan puisi-puisi begitu indah dan tak penah kehabisan kata-kata. Salah satu jenis cinta eros yang kadang begitu indah di awal tetapi hancur lebur di akhir.

Tapi karena keindahan yang di ciptakan, cinta yang berbalut asmara ini tak pernah sepi dari peminat. Jarang sekali mereka yang sudah hancur di akhir cintanya lalu “kapok” untuk tidak mendekat lagi. Pesona bunga dan keindahan yang di bawa terlalu sayang kalau dilupakan atau ditinggalkan begitu saja. Begitu bahagianya “member” dari jenis cinta ini bahkan sering terlihat tersenyum-senyum seorang diri.

Bahkan banyak orang yang memanfaatkan cinta asmara ini sebagai komoditas. Disana sini banyak muncul konsultan-konsultan cinta. Mereka memberikan berbagai macam tips bagaimana memilih cinta sejati, lalu bagaimana memelihara dan mempertahankannya. Lalu bagaimana pula jika dilanda prahara atau badai cinta yang tak jarang menerjang mereka yang sudah terlanjur “mabuk”.

Juga muncul “dukun” cinta. Mereka menjanjikan bagaimana mencari “jodoh” dengan mudah. Dari mempekerjakan “mak comblang” sampai dengan menggaet seseorang dengan cara kasar tapi begitu halus mereka sanggup mengerjakannya. Bahkan mereka juga siap dengan benda-benda “jimat” pemikat hati kaum wanita, mantra-mantra penakluk dan yang paling canggih yaitu “ilmu pelet”. Begitu banyak orang terlibat dalam kata “cinta” ini. Apa sih sebenarnya yang menarik dari kata ini ?

Cinta merupakan satu kata. Tetapi jika dipenggal per suku kata, tidak akan memberikan makna. Dan “cinta” hidupnya bagai sebuah sel. Sel yang berkembang biak dengan membelah diri. Belahan dari sebuah kata “Cinta” adalah Cinta sejati dan Cinta palsu. Seperti sebuah penemuan yang telah dicetak nyata. Cinta ada yang “orsi” tapi juga ada yang “imitasi”. Karena pada diri “cinta” ada kualitas. Yang mengharuskan kita untuk dapat memilih dan meneliti mana cinta yang “orsi” dan mana cinta yang “imitasi”.

Cinta dengan kualitas “rotan” akan menjamin “member”nya dengan kenyamanan, keserasian, keawetan, kebahagiaan dan kelanggengan dalam mengarunginya. Tapi cinta dengan kualitas “akar” akan menyebabkan sering ”mogok” dan berhenti di tengah jalan. Menyebabkan frustasi, uring-uringan, banting sana banting sini tak jelas apa alasannya. Sebuah situasi dan kondisi yang begitu kontradiktif akibat dari perbedaan “kualitas” cinta.

Apa penyebab perbedaan situasi dan kondisi tersebut ?

Ibaratnya cinta hanyalah sebuah lembaga. Sebuah wadah yang di dalamnya sudah pula bergabung lebih dulu “member2” lain. Yang tujuannya mungkin saja hanya sebagai penonton yang baik, tapi bisa juga sebagai “provokator” yang selalu menginginkan sebuah pertikaian dari sebuah pasangan. Mereka tergabung dalam sebuah kelompok dengan label “Blistan” club alias perkumpulan Iblis dan setan.

Sedangkan kualitas cinta yang akan diperoleh sebuah pasangan sangat tergantung dengan kualitas masing-masing pesertanya. Masing-masing orang membawa “bodyguard”. Bisa berupa “Angle” bisa juga berupa “blistan”. Para bodyguard ini menentukan kualitas masing-masing pasangan peserta. Dan menentukan pula “kualitas” cinta yang akan dibawa sebagai bahtera dalam mengarungi sebuah lautan atau samudra “cinta”.

Pasangan “member” yang membawa “bahtera” cinta berkualitas “rotan” akan berjalan lurus. Dengan fasilitas jalan yang halus, mereka akan melewatinya dengan mulus. Hambatan-hambatan kecil di tiap ruas jalan hanyalah sebagai “alarm pengingat” agar jangan sampai terlena dengan halus dan lurusnya jalan yang dilalui. Agar selalu waspada meskipun jalan yang dilaluinya adalah sebuah jalan yang pembangunannya dikerjakan oleh para malaikat atas perintah Allah swt. Sebuah jalan yang diberi nama “God Street” atau jalan Tuhan.

Ciri-ciri dari pasangan tersebut adalah, perasaan yang sama sebagai makhluk Tuhan. Yang berefek pada sikap saling menyayangi, saling menghormati, saling menghargai, saling mengasihi, saling memaafkan jika salah satu diantara keduanya melakukan sebuah kesalahan. Rasa saling memberi dan menerima apa adanya menjadi sebuah komitmen bersama.

Mereka sadar benar bahwa cinta yang sejati bermula dari rasa cinta kasih yang tulus. Yang tidak mengharapkan balasan apapun. Bahkan balasan berupa balikan kasih sayang. Cinta yang tulus adalah kasih sayang yang berjalan searah. Yang ikhlas dalam memberikan sesuatunya. Baik berupa perhatian, materi atau solusi atas sebuah permasalahan. Semuanya dilakukan tanpa ada rasa ingin dibalas dengan sesuatu. Apapun bentuknya. Walaupun hanya sekedar perhatian atau sedikit materi.

Bahwa cinta yang sejati adalah keinginan agar orang-orang yang kita cintai selalu merasa bahagia. Dan kebahagiaan orang yang kita cintai adalah kebahagiaan kita juga. Kita akan merasa bahagia jika orang-orang yang kita cintai merasa bahagia. Dan kita akan mengusahakan, akan mengorbankan apapun asal orang-orang yang kita cintai bisa berbahagia.

Bahwa cinta sejati tidaklah harus memiliki. Yang ada adalah upaya agar orang-orang yang kita cintai bisa meraih kebahagiaan. Cinta yang sejati menuntut banyak pengorbanan. Yaitu sebuah pengorbanan moril maupun material yang tulus. Yang hanya ditujukan agar mereka telihat bahagia di mata kita.

Cinta yang sejati adalah cinta Allah kepada hambanya. Cinta orang tua kepada anaknya, cinta seorang kakek kepada cucunya dan cinta seorang hamba kepada Tuhannya. Dan “sejati”-nya cinta adalah rasa kasih sayang yang akan membawa orang-orang yang di cintainya menuju ridhanya “Allah”swt. Dan keinginan untuk bersama-sama dalam satu tempat di akhirat kelak.

Sedangkan cinta berkualitas “akar” adalah cinta yang di dominasi rasa ingin memiliki, menguasai, memanfaatkan, bahkan membuat bertekuk lutut tanpa setitikpun harga diri yang tersisa. Cinta seperti ini tidak membolehkan seseorang yang mereka cintai berinteraksi dengan orang lain selain dirinya dan orang-orang yang dikehendakinya. Bahwa dia sepenuhnya “milikku” tidak boleh orang lain memilikinya. Walaupun kedua orang tuanya dan seluruh kerabatnya, tak satupun boleh mengganggu keberadaanya.

Cinta seperti ini juga banyak dibalut kotoran-kotoran hati seperti rasa cemburu yang sangat besar. Egoisme yang sangat tinggi, ingin menguasai dan memanfaatkan seluruh apa yang dimiliki dan yang akan dihasilkan. Terutama yang berkaitan dengan materi. Rasa khawatir akan kehilangan pasangannya dan bagaimana seandainya benar-benar ditinggalkan. Rasa takut yang begitu dominan bisa menyebabkan seseorang bisa berperilaku seperti ini

Ada juga yang bersifat ingin memiliki dan menguasai sepenuhnya diri dan hidup pasangannya dengan menjamin keseluruhan kebutuhan hidupnya. Konsekwensinya adalah harus selalu menuruti kemauannya, tidak akan berbuat sesuatu yang mengakibatkan luka perasaannya. Dia akan merasa sangat bahagia apabila pasangannya menuruti segala keinginannya. Begitulah cinta yang diliputi nafsu semata. Tidak ada keseimbangan dalam semua sisi kehidupan. Tidak ada kebebasan. Yang ada hanya kungkungan. Baik diri maupun kata hati, yang tak bisa diungkapkan.

Begitulah cinta asmara. Berbeda dengan cinta yang terjalin antara seorang ibu dengan anaknya atau Allah dengan hambanya. Yang berjalan searah, tulus, ikhlas, tak ada tendensi setitikpun berupa balasan yang bersifat moral maupun material. Keinginan seorang ibu hanyalah agar anaknya benar-benar bisa menjadi seorang yang baik, berbudi pekerti yang luhur, berguna baik bagi diri dan keluarganya kelak serta berguna pula untuk kepentingan yang lebih besar seperti agama, negara dan bangsanya.

Masalahnya adalah cinta “imitasi” sudah terlanjur banyak di produksi. Dan kita tidak banyak tahu dan perduli tentang perbedaan yang “orsi” dan “abalan”. Akibatnya adalah, mayoritas diri kita banyak yang menyimpan cinta-cinta dengan dengan kualitas “akar” atau “abalan”. Ada yang menyesal ada pula yang menikmati. Karena setiap kali pergantian cinta akan memberikan suntikan motivasi baru bagi mereka dan tentunya lebih bersemangat lagi. Ah,...ah,.. ah,.... seperti sebuah permainan sepak bola saja ya !

Sekian. Selengkapnya...