Rabu, 22 September 2010

Ramadhan Telah Berlalu.


Tak terasa kita telah berada di bulan syawal. Sebuah bulan yang diawali dengan persiapan dua rakaat shalat sunat hari raya fitri. Kemudian berlanjut dengan sebuah momen yang sangat indah dari keseluruhan rangkaian kehidupan kita selama setahun penuh. Sebuah peleburan dosa yang mulai mengeras atau bahkan telah membatu. Karena telah teronggok dan terbiarkan selama hampir satu tahun. Dosa-dosa yang terabaikan karena ego kita, karena kesombongan kita, karena keengganan kita untuk mengakui kesalahan yang telah kita perbuat, karena nafs kita yang penuh sampah, karena pikiran negatif kita yang telah banyak berperan merajut dan melahirkan dosa-dosa, baik kepada Allah maupun kepada sesama manusia.

Allah telah mengampuni semua dosa-dosa yang telah kita perbuat dan membebaskan kita dari api neraka kelak. Tentu saja jika puasa yang telah kita jalankan benar-benar puasa yang ber”kualitas”. Tidak terjangkiti oleh penyakit-penyakit hati dan terbungkus oleh keikhlasan karena Allah semata. Tetapi dosa-dosa yang telah kita perbuat kepada orang tua kita, sanak saudara kita, tetangga kita, rekan kerja kita belumlah terhapus tanpa keikhlasan mereka dalam memberi maaf atas semua kesalahan yang kita perbuat atas diri mereka. Oleh karena itu, bulan syawal adalah sebuah kesempatan yang paling baik dan indah untuk saling meminta dan memberi maaf atas semua bentuk kesalahan, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja.

Sebuah kesempatan yang benar-benar indah, tapi benarkah kita telah mendapatkan apa yang kita harapkan? Dosa antara sesama kita memang ada kemungkinan besar untuk lebur atau luluh lantak, tapi kegemaran kita memelihara kebencian telah membuat kita tidak pernah bisa melupakan sebuah perlakuan yang pernah melukai perasaan kita. Kebebasan yang kita berikan kepada lisan kita cenderung lebih banyak melahirkan dosa-dosa baru yang kadang lebih menyakitkan dari dosa-dosa lama kita. Sehingga momen di awal bulan syawal tak lebih berarti dari pada sekedar basa-basi saja. Karena pertemuan pertama setelah kita berpisah dari peristiwa jabat tangan akan mengingatkan kembali pada luka lama yang sulit untuk kita lupakan.

Ramadhan adalah misteri bagi sebagian besar orang. Rahmat, ampunan dan pembebasan yang ada di dalamnya menjadi tanda tanya yang pernah berimbas pada keinginan untuk bertanya dan menggali apa sebenarnya manfaat puasa bagi kita. Baik bagi jasad maupun bagi jiwa kita. Ketidak pahaman kita tentang puasa menjadikan diri kita tak ubahnya seperti meng ”copy paste” sebuah “contoh salah” yang seharusnya kita hindarkan. Jika kita mencontoh puasa ular atau ayam, perilaku kita setelah puasa tak ubahnya seperti sebelum kita berpuasa. Sedangkan contoh “nyata” dari puasa ulat tak pernah menggerakkan hati kita untuk meyakini sebuah keniscayaan dari janji Allah untuk mengubah diri dan jiwa menjadi lebih baik dan lebih berkualitas.

Bertahun-tahun kita bertemu ramadhan bahkan selama hidup kita. Tapi selama itu pula kita tidak pernah bisa memahami arti dan makna puasa kecuali hanya sekedar tekstual atau “katanya” saja. Kita lebih banyak mengawali puasa dengan niat “diluar” hati. Lalu makan sahur semaksimal dan senikmat mungkin. Kemudian menahan diri terhadap makanan dan minuman diwaktu siang. Mengabaikan hal-hal yang justru banyak mengurangi kesempurnaan puasa. Membiarkan mata, telinga, lisan dan hati bebas sebebas-bebasnya. Dan mengakhirinya dengan melahap berbagai jenis makanan yang telah dipersiapkan sebelumnya secara sempurna. Dan menambah dengan makanan lain diwaktu malam ketika tak ada sesuatu yang menghalangi antara mulut dan perut kita.

Padahal pada diri puasa terdapat manfaat yang sangat besar untuk manusia. Sebagai pencegah dan pelindung diri dari berbagai macam penyakit yang dibawa sebagian besar makanan dan minuman yang kita buang ke perut kita. Lalu sebagai sarana untuk mengubah kualitas diri dari yang semula ingkar menjadi beriman. Dari yang semula asal beriman menjadi sungguh-sungguh beriman. Dari kesungguhan beriman menjadi orang-orang yang bertakwa. Ibaratnya sebuah perubahan dari dari sebuah makhluk rakus dan selalu berbuat kerusakan menjadi sebuah makhluk yang indah, tajam penglihatannya, kokoh cengkeramannya, sensitif perasaanya dan tak terbatas langkahnya.

Pernahkah kita berpikir bahwa kita akan menjadi diri yang berbeda dengan sebelum kita berpuasa ? Bagaimana perilaku lisan kita setelah kita berpuasa satu bulan ? Bagaimana kualitas shalat kita ? Bagaimana pemahaman Al Qur`an kita ? Seberapa besar kepedulian kita terhadap sesama ? Seberapa besar pengorbanan kita di jalan Allah melalui jihad ? Dan seberapa besar kemauan kita mengaplikasikan akhlak Al Qur`an dalam kehidupan keseharian kita. Dan yakinkah kita bahwa “puasa” bisa mewujudkan semua perubahan yang kita kehendaki ? Jika kita tidak yakin, tentu saja kita harus mencari lebih banyak bukti-bukti bahwa puasa bisa mewujudkan semua perubahan yang kita kehendaki.

Begitu pentingnya arti puasa bagi manusia dan begitu sayangnya Allah kepada kita, sampai-sampai Allah menawarkan turunnya rahmat di sepertiga awal bulan ramadhan. Lalu janji ampunan atas semua dosa di sepuluh hari kedua. Dan janji pembebasan dari panasnya api neraka serta sebuah malam yang disebut lebih baik dari seribu bulan yaitu “Lailatul Qodr”. Rahmat, ampunan, pembebasan dan lailatul qodar adalah janji yang tak akan dipungkiri oleh Allah, karena Allah tidak pernah mengingkari janji seperti kita biasa melakukannya. Karena apa ? Karena pentingnya hidup dengan Iman dan amal shalih. Karena pentingnya mensyukuri kenikmatan hidup dengan mengabdi hanya kepada Allah. Karena pentingnya hidup dengan ketaqwaan.

Ya, hanya taqwa yang bisa memberikan ridhanya Allah kepada kita. Dan jika kita memahami arti penting dari keridhaan Allah pada hidup kita, tentunya kita mengharapkan terjadinya perubahan pada diri kita. Agar kita bisa hidup dengan Iman, agar kita bisa hidup dengan amalan yang shalih, agar kita bisa hidup dengan pengabdian sepenuhnya hanya kepada Allah, agar kita bisa hidup dengan ketaatan pada perintah dan larangan Allah dan agar kita bisa mencapai derajat hidup orang-orang yang bertaqwa. Yang semua itu bisa menjadikan kita lebih mudah untuk mendapatkan ridhanya Allah. Bisa mencapai derajat orang-orang yang disayang oleh Allah dengan terpenuhinya semua apa yang kita minta. Dan tempat yang paling indah kelak, yaitu di sisi Allah.

Semua janji yang baik dari Allah adalah keinginan buat kita. Dan kita bisa memintanya kepada Allah. Tentu saja semua syarat terpenuhinya permintaan kita juga harus kita laksanakan. Allah mengabulkan permintaan orang-orang yang meminta, maka iman dan amal shalih adalah sesuatu yang pasti harus kita penuhi. Kemudian sabar dan tetap menjalankan shalat serta selalu berbuat baik kepada orang lain. Dan puasa adalah amalan yang sangat penting untuk terkabulnya semua permintaan kita. Jika semua syarat tersebut sudah kita penuhi, maka bertawakallah kepada Allah. Dan hasil terbaik pasti akan kita peroleh. Baik secara langsung, tertunda waktunya atau terkabulkan kelak di periode akhirat dengan kenikmatan-kenikmatan yang tidak kita pernah kita jumpai di dunia.

Oleh karena itu janganlah kita menganggap remeh puasa ramadhan yang hampir setiap tahun kita jumpai. Dan bulan ramadhan yang penuh keberkahan bukanlah omong kosong. Kewajiban puasa di bulan ramadhan adalah sebuah kesempatan yang mungkin tidak akan kita jumpai lagi di tahun yang akan datang. Karena hanya Allahlah yang mengetahui dengan pasti kapan ajal kita akan datang. Jika umur kita masih panjang kemungkinan besar kita akan mendapatkan kesempatan bertemu dengan bulan ramadhan yang akan datang. Tapi jika ajal kita akan jatuh pada tahun ini juga berarti kita kehilangan kesempatan di tahun yang akan datang. Padahal puasa ramadhan kita kemarin belum memberikan sesuatu yang berarti pada kita.

Untuk itu marilah kita segera mengevaluasi sikap dan tingkah laku kita kedepan. Tentu saja sikap dan tingkah laku yang ada hubungannya dengan ibadah. Yaitu usaha untuk memenuhi semua permintaan Allah dan mengutamakan Iman diatas semua kepentingan dunia. Jika ramadhan yang lalu kita shalat, bagaimana shalat kita setelah ramadhan berlalu. Jika kita rajin untuk shalat berjama`ah di masjid, terutama di waktu Isya` dan subuh, bagaimana shalat berjama`ah kita di masjid setelah ramadhan berlalu, jika kita menahan makan dan minum selama ramadhan yang lalu, bagaimana nafsu makan dan minum kita setelah ditinggalkan bulan ramadhan. Karena kebanyakan kita mengutamakan selera makan yang berlebihan.

Semua perilaku kita haruslah kita evaluasi lagi dengan teliti. Jika tidak ada perubahan dan perilaku kita kembali seperti disaat sebelum berpuasa, maka pastikan bahwa kita tidak mendapatkan sesuatu apapun dari ritual puasa satu bulan yang telah kita lakukan. Karena puasa adalah sarana menggapai keinginan dan sarana untuk mengubah kualitas diri dari orang yang tidak perduli ibadah menjadi orang yang menghamba kepada Allah. Introspeksilah diri anda dengan cermat. Jika memang benar-benar tidak berefek apapun setelah berpuasa ramadhan, segera lakukan taffakur. Berpikir dan teruslah berpikir untuk apa sebenarnya kita hidup dan dihidupkan oleh Allah di dunia ini.

Teruslah berusaha. Karena tidak ada kata terlambat bagi sebuah “taubat” dan sadar akan spiritual yang mutlak kita butuhkan. Baik selama dalam hidup di dunia maupun kelak saat hidup di dunia yang lain. Pertahankan iman dan usahakan agar selalu bertambah kuat waktu demi waktu. Jagalah lisan dengan selalu mengucapkan sesuatu yang benar. Jangan suka mengobral ucapan-ucapan yang tidak perlu. Apalagi yang tidak berkaitan dengan ibadah. Jagalah selalu untuk shalat diawal-awal waktu, karena yang demikian itu menunjukkan semangat ibadah kita. Usahakan selalu berjama`ah Isya` dan subuh di masjid. Kerena dua waktu tersebut adalah waktu terberat bagi orang-orang yang mewajibkan shalat atas dirinya.

Jadikan ibadah shalat menjadi sebuah kebutuhan diri dan pribadi kita. Jangan hanya terbatas pada sekedar menjalankan kewajiban saja. Karena ibadah yang dilakukan dengan “terpaksa” tidak akan menghasilkan apa-apa kecuali sekedar gugurnya kewajiban atas diri kita. Dan keikhlasan adalah “ruh” dari sebuah ibadah yang kita lakukan. Tanpa keikhlasan kita tidak akan sampai pada ridhanya Allah atas kehidupan kita di dunia. Keterpaksaan hanya akan melahirkan beban dan keraguan sedangkan keikhlasan akan mendekatkan kita kepada Allah. Dengan selalu berjalan di atas jalanNya dan selalu bertindak atau betingkah laku atas namaNya. Dan selalu menyelaraskan dengan perintah berperilaku yang ada dalam kitabNya, yaitu Al Qur`an.

Perubahan kualitas diri bukanlah sesuatu yang mustahil terwujud, tetapi merupakan sesuatu yang sangat mungkin terwujud jika kita benar-benar mengusahakannya. Berkali-kali berjumpa dengan bulan ramadhanpun, jika tidak memahami apa yang ada di bulan bulan ramadhan dan paham akan diri “puasa” niscaya kita tak akan pernah mendapatkan apa yang ada pada ramadhan dan puasanya. Kita akan selalu kembali dan kembali seperti sediakala seperti saat sebelum ramadhan. Dan jika membiarkan hal ini berlangsung terus selama hidup kita, berarti kita hidup dalam kejahilan tentang agama. Oleh karena itu segeralah untuk mengevaluasi diri setelah ramadhan berlalu dan segera tentukan langkah untuk segera melakukan perubahan diri ke arah yang lebih baik dalam beribadah.

Makna Idhul fitri bukan hanya untuk meyakinkan diri tentang kebenaran janji Allah akan bebasnya kita dari api neraka. Tetapi harus bisa dirasakan oleh mereka yang berpuasa ramadhan. Satu syawal bukan hanya ritual saling memaafkan antara sesama tetapi harus bisa dijadikan pembatas antara kebodohan dalam beragama dengan pemahaman arti pentingnya ibadah buat kita. Jika di setiap satu syawal kita bisa meningkat satu tahapan ibadah saja, itupun lebih baik dari pada tidak meninggalkan efek sama sekali. Satu tingkat tahapan beribadah jika kita tempuh berkali-kali selama hidup kita pada saat bertemu bulan ramadhan niscaya bisa mengantarkan kita pada arti dan makna sesungguhnya tentang pentingnya ibadah bagi kehidupan kita.

Bukan berarti di luar bulan ramadhan kita tidak dapat meningkatkan Iman dan kualitas ibadah. Waktu yang hampir sebelas bulan adalah lebih dari cukup untuk dipakai meningkatkan Iman seseorang. Tapi kekhususan bulan suci ramadhan bisa membuat sebuah lompatan kualitas Iman seseorang dari sebuah keraguan menjadi sebuah keyakinan yang sangat dalam. Apalagi jika dilakukan dengan sepenuh hati dan bisa mendapatkan pahala ibadah di malam kemuliaan yang sangat besar nilainya. Mengapa? Karena ada puasa. Dan inilah yang menjadikan bulan ramadhan menjadi bulan yang penuh berkah karena Syahadat, shalat, zakat, infaq, sedekah, puasa dan keinginan untuk berhaji ada di sini.

Tapi jangan kita lalu berpikir, bahwa kita pasti akan mendapatkan pahala ibadah di malam kemuliaan hanya dengan mengkhususkan secara khusyu` ibadah hanya di bulan ramadhan. Pahala ibadah dimalam tersebut hanya bisa diperoleh apabila kita intens beribadah selama setahun sebelum ramadhan atau bahkan mungkin selama bertahun-tahun sebelum ramadhan terakhir yang kita jumpai. Dengan demikian dituntut kesungguhan dalam menjalankan ibadah. Dan kesungguhan dalam beribadah hanya bisa diperoleh hanya jika mengetahui dan menguasai ilmunya ibadah. Jika tidak, kita tetap akan terapung-apung dalam keraguan tentang kebenaran semua janji-janji Allah tentang tentang indahnya surga dan hebatnya siksa neraka.

Setengah bulan syawal telah kita lalui. Walaupun kita telah melewatinya dengan kebiasaan-kebiasaan yang telah berjalan dari tahun ke tahun, seperti tradisi pulang kampung atau bepergian kemana saja untuk mengisi liburan yang relatif panjang, janganlah kita lupa akan arti pentingnya ramadhan dan satu syawal. Sebagai tanda kembali “fitrah” atau kembali suci seperti bayi yang baru lahir kita usahakan untuk selalu ingat dan selalu berusaha agar jiwa yang bersih dan terisi dengan hal-hal yang baik tidak lagi kita kotori dengan sesuatu yang akan membuat kotor lagi jiwa kita. Mempertahankan diri dari kekotoran jiwa adalah sesuatu yang sangat sulit dari pada membersihkan jiwa di bulan ramadhan.

Sebab bulan ramadhan sudah di design oleh Allah menjadi sebuah bulan yang mempunyai banyak keistimewaan. Berbeda dengan bulan-bulan lain. Sehingga dalam kerugian yang besarlah orang-orang yang berjumpa dengan bulan ramadhan, tapi tidak memanfaatkannya dengan baik dan sungguh-sungguh. Hingga setelah lewatnya bulan tersebut kita masih bertanya-tanya tentang apa istimewanya bulan ramadhan. Hal ini biasa terjadi pada mereka yang tidak perduli pada ibadah dan dan tidak mengenal ilmu ibadah. Tidak perduli diri sendiri juga tidak perduli orang lain, sehingga bulan yang seharusnya menjadi sarana untuk menyeberang dari keraguan ke keyakinan, hanya lewat dan tersia-siakan.

Berbeda dengan orang-orang yang berilmu, lewatnya bulan ramadhan menyebabkan tangis yang tak bisa lagi dipertahankan cucuran air matanya. Kesedihan yang mendalam karena ditinggalkan bulan ramadhan menyebabkan seseorang untuk lebih intens dalam beribadah. Sebab mereka masih berharap agar bisa kembali menjumpai lagi bulan ramadhan ditahun yang akan datang. Maka mereka berdoa agar dipanjangkan umurnya dan bisa berjumpa lagi dengan bulan ramadhan. Dan jika Allah menghendaki lain dengan ajalnya, merekapun tak kuasa menghadangnya. Dan satu-satunya jalan adalah ibadah yang lebih bersemangat dan lebih baik agar kalau kelak kita dijemput ajal sebelum datangnya ramadhan yang akan datang, kita akan benar-benar mati dalam keadaan berserah diri kepada Allah swt.

sekian.
Selengkapnya...

Kamis, 02 September 2010

Surga Merindukannya.


Setiap gerak dan langkah mengandung sebuah keinginan, walaupun hanya sebuah keinginan untuk bergerak dan melangkahkannya saja. Bergerak dan melangkah untuk tujuan ibadahpun demikian juga. Penyebab atau alasan paling utama kita beribadah adalah perintah Allah swt. Yang berimbas pada sebuah kata, yaitu “pengabdian”. Pada alasan ini kita akan mengabaikan semua alasan yang telah ada maupun yang akan muncul. Tidak ada keinginan lain kecuali “keridhaan” Allah swt terhadap setiap gerak dan langkah kita. Tak ada tendensi atau maksud lain kecuali sebuah keinginan agar kita termasuk orang-orang yang berpredikat “Hamba Allah”. Sebuah level tertinggi untuk seorang makhluk.

Alasan kedua kita ber-ibadah adalah, terbebasnya kita dari siksa atau azab neraka akibat kelalaian kita terhadap perintah ibadah. Neraka yang digambarkan begitu hebat dan pedih siksanya membuat kita “takut”, hingga kita memilih untuk “taat” kepada perintah Allah. Sedangkan ketakutan kita terhadap “neraka” juga menimbulkan sebuah keinginan untuk mencari sebuah tempat yang menjanjikan suasana sebaliknya. Yaitu sebuah suasana yang jauh dari siksa dan dekat dengan suasana yang selalu membahagiakan. Dan Allah telah mempersiapkan dan menyediakan apa yang menjadi keinginan kita tersebut. Yaitu “surga”.

Surga yang digambarkan penuh dengan kenikmatan telah mengusik keinginan kita untuk menjadi salah satu orang yang akan menghuninya kelak. Semakin tinggi kekuatan keimanan kita semakin yakin pula kita tentang kebenaran semua berita tentang “surga”. Dan keyakinan kita tentang kebenaran surga telah memberikan motivasi yang sangat besar terhadap “semangat” ibadah kita. Hingga tanpa sengaja alasan atau penyebab kita beribadah adalah keinginan yang besar untuk menjadi salah satu penghuninya kelak. Dan itu bukanlah sebuah kesalahan, karena Allah menciptakan surga memang untuk “dihuni” oleh mereka yang menginginkannya dan berhak atas warisan dari Allah tersebut. Yaitu Surga dengan segala kenikmatan yang ada di dalamnya.

Surga adalah makhluk Allah juga. Keberadaan surga juga untuk ditempati. Dan sampai saat ini surga masih menunggu makhluk-makhluk yang akan menjadi penghuninya. Khusus untuk manusia ada kriteria-kriteria tertentu yang menjadikannya sebagai orang-orang yang dirindukan oleh surga. Rasulullah saw memberitahukan kepada kita bahwa ada empat amalan yang harus atau selalu dilakukan. Jika kita mengamalkanya secara konsisten, Insya Allah akan memberikan dampak “takut” dan “taat” kepada ancaman dan perintah Allah swt. Diantara amalan-amalan tersebut adalah :

Pertama adalah, orang yang senantiasa membaca Al-Qur’an.

Al Qur`an adalah kalamullah. Ayat-ayat suci yang berisikan petunjuk dan pembeda antara yang haq dan yang bathil. Sebuah petunjuk yang akan mengantarkan kita ke jalan yang lurus, yaitu jalan Allah. Maka siapapun yang suka membacanya, tahu artinya, paham maknanya lalu mewujudkannya dalam perilaku sehari-hari, maka sudah sewajarnyalah kalau surga merindukannya. Jangan salah ! Hanya orang yang membaca Qur`an dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari saja yang akan dirindukan oleh surga, bukan mereka yang hanya membaca tapi sama sekali tidak berakibat pada meningkatnya kualitas ibadah.

Al Qur`an adalah sebuah petunjuk. Jika petunjuk yang ada di dalamnya di ikuti atau dijalankan, pasti akan menjadikan diri kita orang yang taat, tetapi jika kita tidak perduli dengan isi atau kandungan Al Qur`an, kitapun tidak akan mendapatkan apa-apa. Karena kita menjadikan Al Qur`an hanya sebagai bacaan, bukan sebagai tuntunan hidup untuk beribadah. Maka dari itu, jika kita menginginkan diri kita menjadi orang-orang yang dirindukan oleh surga hendaknya kita senantiasa membacanya. Dengan memberikan atau menyempatkan waktu untuk membaca, memahami maknanya dan merealisasikan dalam kehidupan kita sehari-hari.

Tanpa memahami arti dan makna yang terkandung dalam Al Qur`an, mustahil kita akan bisa mengetahui apa pesan sebenarnya yang dibawa oleh Al Qur`an. Dan ini kebanyakan terjadi pada diri kita yang sudah merasa puas bisa membaca huruf-huruf yang terangkai dalam ayat-ayatnya. Padahal belum bisa memberikan dampak yang nyata pada kualitas keimanan kita. Maka dari itu janganlah kita merasa sudah “Islam” sebelum kita bisa memahami apa makna “Islam” itu sendiri. Karena segala sesuatu pasti ada ilmunya. Demikian juga dengan Islam yang kita anut selama ini.

Islam adalah agama Ilmu. Disamping ayat-ayat alam yang banyak tersebar di jagad raya, Al Qur`an adalah sumber ilmu ketauhidan, Juga merupakan sumber kekuatan Iman. Maka dari itu banyak-banyak membaca Al Qur`an akan membawa kita pada ketaatan yang akan berujung pada ketakwaan kita kepada Allah swt. dan kita juga harus ingat bahwa, hanya ketakwaan yang akan membawa kita pada kemuliaan. Baik dimata manusia maupun dihadapan Allah swt. Jadikanlah Al Qur`an sebagai bacaan wajib sehari-hari, dan janganlah melupakan arti dan maknanya.

Kedua, mereka yang menjaga “lidah”nya.
Lemas, tidak ada tulangnya, tapi jika sudah aktif bisa mengubah dunia. Tidak keras, tapi bisa begitu tajam seperti tajamnya sebilah pedang. Jika tidak berhati-hati dalam menggunakannya lidah bisa sangat berbahaya. Baik bagi orang lain maupun bagi diri sendiri. Sumber sebuah pertikaian kebanyakan di awali dengan kata-kata atau ucapan yang menyinggung perasaan. Oleh karena itu Rasulullah saw, pernah bersabda, barang siapa mengaku beriman kepada Allah, hendaklah ia berkata benar atau diam. Begitu pentingnya peran “lidah” hingga Rasulullah pun sampai berkata demikian.

Dengan lisan kita bisa berkomunikasi. Jika lisan tidak berfungsi, rasanya hidup kurang berarti. Tapi ingat, jika salah dalam menggunakan lisan, maka temanpun bisa menjadi lawan. Semakin sering salah dalam penggunaan lisan semakin banyak pula orang yang akan memusuhi kita. Allah memberikan kepada kita nikmat berbicara, tapi bukan untuk berbicara sembarangan, apalagi pembicaraan yang mengandung banyak dosa, seperti bicara kotor, bohong, memfitnah orang lain. Lisan diberikan untuk berkata benar, untuk mengingatkan dalam kebenaran dan kesabaran.

Janganlah terlalu banyak mengumbar kata-kata, apalagi kata-kata yang tidak banyak berguna. Mungkin maksud kita kadang hanya untuk “bergurau”, tapi jika orang yang kita maksud tersinggung perasaanya, bisa jadi merupakan awal sebuah malapetaka. Karena kebanyakan konflik bermula dari kesalahan dalam ucapan. Dan diam kadang bisa menjadi pilihan yang baik untuk menghindari banyaknya kesalahan dalam ucapan. Bukan berarti kita harus selalu diam. Jika dibutuhkan kita “wajib” untuk berbicara. Tentu saja hanya pembicaraan yang benar saja yang harus kita ucapkan.

Hanya ucapan yang baik yang bisa menghasilkan kebaikan. Ucapan yang jelek, kotor, kasar hanya akan menjadi sumber pertikaian, permusuhan, pertengkaran dan peperangan. Sebuah perintah yang diikuti oleh banyak orang akan sangat berbahaya jika dipergunakan untuk kejelekan. Maka sudah sewajarnya pula kalau surga merindukan orang-orang yang bisa menjaga lidahnya, mengingat peran lidah yang begitu penting untuk kedamaian umat manusia. Dan hanya mereka yang berimanlah yang bisa menjaga lisannya.

Ketiga, memberi makan orang yang kelaparan.

Dalam bahasa jawa, Urip iku Nguripi. Dalam pengertian kita hidup adalah menghidupi atau mendukung kehidupan. Allah maha hidup. Allahlah yang membuat hidup, maka Allah pulalah yang menghidupi semua ciptanNya. Dan kita sebagai manusia, yang bisa menggunakan akal dan pikirannya sudah sepatutnya mendukung kehidupan. Dengan tidak berbuat kerusakan di muka bumi yang bisa menyebabkan “musnah”nya mahkluk hidup yang lain. Bahkan kita harus berbuat kebaikan terhadap kehidupan. Dengan merawat dan menyayangi makhluk lain seperti kita menyanyangi diri kita sendiri.

Makan adalah sebuah usaha untuk mempertahankan hidup. Dan hidup tidak lain hanyalah untuk beribadah kepada Allah. Sedangkan lapar adalah sebuah keadaan yang membahayakan bagi kelangsungan hidup. Sebuah keadaan yang bisa menyebabkan hilangnya kesempatan seseorang untuk beribadah dan berbuat amal shalih. Maka, memberi makan kepada mereka yang kelaparan adalah kontribusi yang sangat baik bagi kelangsungan kehidupan. Sebuah perilaku baik yang pantas untuk mendapatkan balasan dari Allah dengan berlipat ganda.

Segayung air yang kita siramkan pada sebatang pohon adalah sebuah kebaikan. Siraman air pada tanaman di sebuah taman adalah sebuah usaha untuk melanggengkan sebuah kehidupan. Walaupun kematian pasti akan menjemput, tapi dukungan kita terhadap kelangsungan kehidupan adalah sebuah nilai yang sangat tinggi dan sangat bemanfaat. Seember air yang kita sediakan untuk minuman binatang ternak adalah sebuah dukungan terhadap kelangsungan kehidupan juga. Dan kelak Allah akan memperlihatkan semua kebaikan-kebaikan tersebut. Bahkan tidak ada yang tersembunyi. Semua akan nampak dihadapan kita.

Dan sesungguhnya, Allah akan memberikan balasan kepada kita, sekecil apapun kebaikan yang pernah kita perbuat. Seteguk air yang kita berikan kepada seseorang yang menderita kehausan akan menolong kita di akhirat kelak pada saat banyak orang dilanda kehausan. Karena Allah akan memberikan minum kepada kita. Dan sebungkus makanan yang kita berikan kepada mereka yang kelaparan, juga akan menolong kita kelak di akhirat pada saat banyak orang dilanda kelaparan. Karena Allah memberi makan kita. Dan yakinlah, bahwa Allah akan memberikan pertolongan kepada kita, manakala kita mau memberikan pertolongan kepada mereka yang membutuhkan.

Keempat, Orang-orang yang berpuasa di bulan ramadhan.

Allah mewajibkan kita puasa di bulan Ramadhan, maka barang siapa berpuasa berarti merupakan sebuah ketaatan. Allah memberikan berkah, rahmat dan ampunan serta pembebasan dari api neraka, maka ibadah puasa “hanya” untuk Allah. Mengapa ? Karena kesungguhan kita dalam berpuasa atau menjalankan kewajiban ibadah tersebut hanya Allah saja yang mengetahui. Karena sesungguhnya banyak dari kita tidak tulus dalam menjalankan perintah puasa. Dan banyak pula dari kita mengabaikan larangan-larangan yang harus dihindari oleh orang yang sedang berpuasa.

Maka hanya mereka yang berpuasa dengan ikhlas karena Allah sajalah yang akan mendapatkan semua pahala puasa. Disiang hari mereka menahan lapar dan haus, menahan lisan, menahan semua nafsu yang timbul dari dalam jiwa, menahan syahwat. I`tikaf atau berdiam di dalam masjid. Dimalam hari mereka memanfaatkan waktu untuk shalat, membaca Qur`an dan berkholwat serta ibadah-ibadah yang lain. Tujuannya tidak lain hanya mengharapkan ridhanya Allah atas puasa dan ibadah yang sedang dilakukannya. Maka tidaklah berlebihan kalau surga merindukan orang-orang yang seperti ini.

Jika kita selalu berusaha dan bisa mewujudkan diri kita dengan empat perilaku diatas, Insya Allah surga akan selalu merindukan kita. Tapi jangan lupa, perintah ibadah yang utama seperti Shalat, zakat dan amalan-amalan yang lain jangan sampai diabaikan. Karena meninggalkan salah satu ibadah yang mutlak harus dilaksanakan adalah sebuah kepincangan dalam beribadah. Maka dari itu landasan Iman haruslah dibangun sedemikian kuat, sehingga semua perintah utama akan bisa dilaksanakan tanpa ada rasa lebih utama salah satu dari yang lain.

Sebenarnya, kita beribadah ini tidak harus terpancang pada keinginan terbebasnya kita dari neraka atau keinginan kita untuk masuk surga dengan segera. Tetapi yang paling penting untuk orientasi adalah ibadah karena Allah semata. Surga dan neraka adalah milik Allah, yang akan dipergunakan untuk memberikan “balasan” kepada umat manusia yang taat dan yang ingkar. Jika kita menyediakan diri untuk “taat” kepada Allah, niscaya kita akan mewarisi surga. Akan tetapi jika sebaliknya, pasti kita akan mewarisi neraka. Karena, semua itu sudah merupakan ketentuan dari Allah untuk makhluknya.

Untuk itu kesadaran tentang “keadilan” Allah dalam memberikan balasan kepada seluruh umatnya hendaknya juga menjadi keyakinan yang harus dibangun. Karena bukan surga dan neraka yang menyebabkan kita hidup di dunia, tetapi karena “kesempatan” yang diberikan oleh Allah saja yang menyebabkan kita “ikut” dalam kompetisi atau perlombaan yang banyak sekali memberikan ujian hidup. Kesempatan hidup yang mengandung banyak ujian itu tidak lain untuk membuktikan siapa diantara kita yang paling baik amal ibadahnya. Dan Allah akan memberikan hak masing-masing diri kita sesuai dengan apa yang telah kita perbuat semasa kita dalam masa “ujian”.

Sekian.
Selengkapnya...