Rabu, 28 Juli 2010

Tradisi "Buwuh"


Sebuah hajatan tak ubahnya seperti sebuah perayaan. Sekecil apapun bentuknya perayaan masih saja mengandung pengertian “pesta”. Dan sebuah pesta membawa makna bersenang-senang bersama. Tentu disertai dengan sebuah jamuan makan dan minum yang tidak seperti “biasanya”. Kebiasaan hampir semua komunitas adat di masing-masing daerah akan merayakan sebuah peristiwa yang berkesan khusus. Misalnya sunatan, mantu, ngunduh mantu, tingkeban. Ada juga acara seperti tunangan, ulang tahun dan lain sebagainya. Diantara semua hajatan yang ada, yang umum mengandung kata “buwuh” adalah sunatan dan pernikahan. Selain kedua peristiwa tersebut istilahnya lebih umum menggunakan kata hadiah atau “kado”

“Buwuh” mempunyai makna sebuah “pemberian”. Rupa awalnya adalah bahan makanan atau bahan pokok seperti beras, gula, minyak goreng atau bisa berupa buah kelapa yang sudah tua. Bahan-bahan ini dikemas dalam sebuah wadah plus “uang” dalam amplop yang nilainya relatif kecil. Sepertinya hanya untuk formalitas atau syarat saja. Lalu bahan dan amplop tersebut diantar pada seseorang yang sedang mempunyai “hajat”. Yang paling umum adalah hajatan pernikahan dan khitanan atau sunatan. Kebiasaan “buwuh” ini sudah menjadi tradisi hampir di semua komunitas masyarakat di daerah masing-masing. Dengan adat istiadat yang juga berlaku di masing-masing kelompok atau suku.

Semula tradisi seperti ini terlihat hanya sebagai buah atau bukti “kerukunan” antar penduduk sebuah desa atau penduduk di luar desa. Berbeda dengan kebiasaan di kota besar. Awalnya kata “buwuh” mengandung pengertian memberikan sejumlah “uang” yang telah dimasukkan ke dalam amplop dan sudah diberi nama ke seseorang yang mempuyai hajat. Dan semula “buwuh” hanya akrab di kaum “tua”. Sedang untuk mereka yang muda umumnya memberikan hadiah berupa “kado”. Yaitu sebuah barang yang telah dibungkus sedemikian rapi sebagai kenang-kenangan bagi mereka yang “dihajatkan”.

Sejalan dengan perubahan jaman, tradisi buwuh pun sedikit mengalami perubahan. Kecenderungan masyarakat untuk tidak terlalu ribet dalam memilih dan memberikan “hadiah” kepada mereka yang mengundang, membuat kaum mudapun mulai melirik apa yang dilakukan kaum “senior”nya. Yaitu memilih untuk mengemas “uang” dalam amplop dan memberikan secara “sembunyi-sembunyi” melalui jabat tangan dengan mereka yang berhajat. Cara ini dianggap lebih praktis. Karena hadiah “mentahan” seperti ini dianggap lebih “manusiawi”. Lebih fleksibel penggunaanya kelak setelah selesai acara hajatannya.

Semakin lama Tradisi Buwuh semakin menemukan jati dirinya. Yaitu pemberian “hadiah” yang lebih menjurus ke pemberian “sumbangan”. Karena sifat “buwuh” yang “berputar” menjadikan tradisi ini semakin dekat dengan aktifitas “arisan” tidak resmi. Padahal sebenarnya “buwuh” bukanlah “arisan”. Tetapi aktifitas “buwuh” berpotensi menjadi sebuah “arisan”. Hanya tidak ada “pathokan” mengenai besarnya nominal uang yang ada di dalam amplop. Tetapi janganlah kita berpikir kalau besarnya uang buwuhan tidak tercatat. Nilai nominal uang yang ada di dalam amplop akan dicatat oleh “Tuan Rumah” untuk suatu saat dibuka kembali guna “mengintip” seberapa besar uang buwuhan orang yang saat ini mengundang kita.

Itulah realitas saat ini. Bahkan ada sebuah desa yang mengkoordinir “hajatan” warganya dengan membentuk sebuah panitia khusus menangani “buwuhan”. Yang ini benar-benar rapi administrasinya. Panitai akan tahu berapa nilai uang yang sudah diterima seseorang, dan berapa besar orang itu harus mengembalikan “buwuhan” yang pernah diterimanya plus “investasi” baru dengan jumlah nominal “sesukanya”. Jadi jika seseorang berniat “hajatan” panitia sudah bisa menghitung berapa nilai minimal yang akan diterimanya selesai hajatan nanti.

Salahkah ? Tidak juga. Hal itu sangat tergantung pada kesepakatan masyarakat yang bersangkutan. Tapi ada yang terasa “hilang” dari tradisi buwuh ini. Yaitu sesuatu yang semula hanya simbol kerukunan dan kepedulian yang dibalut keikhlasan, berubah menjadi suatu “investasi” yang harus selalu diingat “jumlahnya” untuk kemudian di tarik lagi atau “diunduh” pada suatu saat yang tepat. Biasanya momentum yang digunakan adalah pada saat mantu, ngunduh mantu atau sunatan. Selain acara itu sepertinya masih terlihat kurang “pantas”. Dan lagi menimbulkan banyak persepsi dari mereka yang diundang.

Demikianlah, uang bisa merubah sebuah tujuan. Perayaan yang seharusnya merupakan wujud berbagi kebahagiaan dengan banyak membagikan sedekah, terutama jamuan makan dan minum telah berubah menjadi sebuah keinginan yang bermuara pada “profit”. Hingga lama kelamaan tradisi buwuh inipun berubah menjadi sesuatu yang kadang dipaksakan. Demi meraup “amplop” sebanyak mungkin, sesuatu yang seharusnya tidak dilakukanpun akan “tega” dilakukan. Seperti misalnya, awalnya undangan hanya akan diberikan kepada seseorang yang telah dikenal sebelumnya. Tapi saat ini mereka yang belum pernah dikenalpun akan “kebagian” undangan. Lalu apa maksudnya?

Dengan alasan apapun orang akan berpikiran bahwa orang yang mengundang tersebut sedang melakukan “spekulasi” dengan kertas undangan. Dengan bahasa yang lebih halus orang tersebut sedang memancing dengan mata kail “kertas undangan”. Jika mata kail dimakan dan mereka datang pada acara hajatan, maka umpan atau sedekahnya baru diberikan. Tentu saja mereka yang datang sudah mempersiapkan amplop berisi uang yang akan dimasukkan ke dalam kotak “tombang”. Jika tidak datang maka nilai nominal selembar undangan akan “hilang”. Lantas benarkah mereka yang berhajat akan menangguk keuntungan ? Belum tentu, hajatan “nikah” dan “sunatan” mempunyai perbedaan dalam biaya yang harus dikeluarkan.

Untung atau tidak akan sangat bergantung pada biaya yang telah dikeluarkan oleh yang empunya hajat. Mereka yang berniat merayakan dan berbagi kebahagiaan akan memperhatikan “jamuan” yang akan mereka hidangkan kepada para undangan. Mereka akan menjaga “harga diri”nya dengan memberikan sesuatu yang “layak” untuk dihidangkan. Sehingga suasana pesta akan benar-benar terasa. Sedangkan mereka yang berniat “gambling” dengan hajatan dan undangan, mereka tidak perduli dengan apa yang akan disajikan untuk tamunya. Yang penting sudah “disuguhi”. Dimakan atau tidak dimakan terserah. Yang penting amplop sudah masuk “tombang”.

Mereka yang bertujuan membelokkan arti sebuah perayaan yang semula berniat “mengumumkan” kepada khalayak dan berbagi kebahagiaan pada tujuan untuk “menangguk” keuntungan pasti sudah mempersiapkan “make up” yang tebal untuk menutupi seluruh wajah. Karena keuntungan dari sebuah hajatan hanya bisa di dapat dengan pelayanan yang seadanya. Tidak perduli “harga diri” dan tidak perduli pada tamu yang diundang. Asal sudah ada terop, kursi, dan hidangan ala kadarnya ya sudah ! Dimakan silahkan tidak dimakan ya biarkan saja.

Inilah realitas. Sebuah tradisi yang semula didasari perasaan tulus dan ikhlas untuk berbagi kebahagiaan dari mereka yang mempunyai hajat. Dan rasa tulus ikhlas dari para undangan melalui sebuah langkah kaki yang disertai sekedar “buwuh”, berubah menjadi tradisi yang penuh dengan tendensi. Terutama berharap akan mendapat pemasukan yang jauh lebih besar dari pada biaya yang akan dikeluarkan untuk sebuah hajatan. Jika benar tendensi mengharap “susuke hajatan” telah mendominasi dalam pelaksanaan hajatan, berarti lambat laun pelaksaan hajatan akan “full image” dengan kata “buka warung”, “dodol sego” atau “golek susuk”.

Namun begitu tidak seluruh hajatan akan diberi “label” demikian. Hajatan yang “menghormati” tamu, terutama dengan jamuan yang “pantas” otomatis tidak akan mendapatkan label yang berkonotasi negatif. Penentu label adalah pelayanan tamu dan jamuan atau hidangan. Meriahnya acara dengan mendatangkan kelompok penghibur papan ataspun tidak akan bisa menghapus kesan yang ditinggalkan oleh “Maa`idah” atau hidangan. Oleh karena itu kita mesti hati-hati dengan “jamuan” yang akan kita hidangkan dalam sebuah acara hajatan. Salah sedikit bisa “jatuh” nama kita di hadapan para tamu.

Hidangan yang pantas tidak harus mewah atau beraneka ragam macamnya. Tidak. Hidangan yang pantas adalah hidangan yang “umum” dihidangkan di sebuah resepsi. Jenis makanan tidak begitu mutlak. Tapi jika anda menghidangkan jamuan yang tidak lebih baik dari apa yang biasa di beli di warung pinggir jalan, maka siap-siaplah dicibir banyak orang selesai hajatan. Jika yang anda hidangkan “soto” maka janganlah “asal soto” atau jika yang anda hidangkan “rawon” maka jangan asal “hitam” plus satu atau dua iris daging rawonan. Karena yang paling banyak meninggalkan kesan minus adalah dua jenis hidangan ini, maka kita harus berhati-hati dengan hidangan “soto” dan “rawon”.

Image hajatan terletak pada pelayanan dan apa yang akan kita berikan pada orang-orang yang kita undang. Jika kita peduli pada harga diri kita dan peduli pada orang yang kita undangan. Layanilah mereka dengan baik dan berikan jamuan kepada mereka dengan hidangan yang ”pantas”. Karena bagaimanapun juga, mendatangi sebuah hajatan tidak sama dengan pergi ke warung. Jadi buatlah para tamu anda mempunyai kesan mendatangi sebuah “resepsi” bukan hanya “ngiseni” tombang terus pulang dengan senyum “kecut”.

Memang tidak ada standart khusus antara kata “puas” dan “kecewa”. Sangat relatif sekali. Semua sangat tergantung pada selera tiap-tiap tamu yang diundang. Tapi asal tidak “terlalu” dalam jamuan atau hidangan, Insya Allah kita akan terhindar dari komentar-komentar yang bernada negatif. Kita semua juga menyadari bahwa tidak ada sesuatu yang bisa begitu sempurna dilakukan. Orang punya hajat itu, “apik dicacat elek yo dicacat”. Tapi jika kita tidak ada kepedulian untuk berbuat sesuatu yang lebih baik niscaya yang kita terimapun akan tidak lebih baik pula. Yang harus kita ingat adalah, kesan dari sebuah hajatan tak mudah sirna tertiup angin. Buatlah hajatan “minim” masalah dan buwuh yang meninggalkan “kesan” indah.

Semua paparan diatas sedikit mengesampingkan nilai-nilai ajaran agama. Seharusnya semua kejadian yang ada di depan mata kita dan yang sedang kita hadapi adalah sebagai cobaan buat kita. Kesan yang terjadi setelah berlangsungnya hajatan yang kita laksanakan adalah sebuah cobaan bagi kita. Tetapi jika kita telah berusaha dengan sebaik-baiknya dalam pelaksanaan dan pelayanan terhadap orang-orang yang kita undang, niscaya semua cobaan itu dapat kita minimalkan. Hingga kita tidak terlalu menanggung banyak beban pikiran akibat pelaksaan sebuah hajatan kita yang terlalu banyak kekurangan.

Demikian juga dengan mereka yang diundang, apapun yang akan kita temui dan kita dapatkan di sebuah resepsi hendaknya kita jadikan sebuah cobaan. Baik atau buruk, hendaknya kita tidak terlalu banyak mempermasalahkan. Yang demikian akan menjadi lebih baik buat kita. Terlepas dari niatan mereka yang mempunyai hajat, baik sekedar berbagi kebahagiaan ataupun ada tendensi yang lain dari hajatannya kita sikapi dengan positif saja. Karena kalau tidak demikian kita justru bertindak atau berbuat zhalim pada diri sendiri. Yaitu dengan mengotori jiwa dengan hal-hal tidak seharusnya bersemanyam di dalamnya.

Jadikanlah apa yang telah kita keluarkan sebagai sesuatu yang kita lepaskan secara ikhlas, jangan selalu mengingat-ingat dan jangan pula berharap untuk kelak akan kita “tagih” lagi semua pemberian kita. Yang demikian itu akan menjadikan diri kita sebagai manusia yang jauh dari ketulusan dan keihklasan karena Allah semata. Berikan sesuatu pada seseorang dikarenakan hak mereka. Sertailah pemberian anda dengan ucapan karena “Bismillahir rahmanirrahim”.

Dan jika pada suatu saat tiba giliran kita berhadapan dengan resepsi yang akan laksanakan, usahakan mengingat sedikit paparan di atas. Dan jangan kita melanggar norma-norma yang kurang bisa diterima oleh masyarakat pada umumnya. Berikan undangan terbatas hanya pada orang-orang yang kita kenal, terutama sekitar rumah tinggal kita. Janganlah “memancing” amplop dengan kertas undangan. Alias jangan kita berspekulasi dengan orang-orang yang tidak seberapa kita kenal dengan mengirim undangan. Karena yang demikian bisa memancing persepsi-persepsi yang kurang enak di dengar.

Bersihkan keinginan jiwa dari hal-hal yang bersifat duniawi, terutama “uang” yang diperoleh dari hasil spekulasi yang lebih mendekati “judi nasib”. Yakinlah bahwa Allah akan memberikan jalan bagi semua kesulitan urusan kita. Terutama untuk urusan dunia yang kadang begitu membelit hati dan pikiran. Jangan pula melanggar atau membuat sesuatu yang baru yang mendatangkan praduga tentang tujuan kita yang sebenarnya. Lakukanlah sesuatu menurut aturan yang lazim di pakai oleh sebagian besar masyarakat. Jangan pertaruhkan “muka” atau wajah kita dengan sesuatu yang tak lazim atau cenderung mengada-ada.

Belokkanlah keinginan jiwa ke arah yang menjurus pada ketakwaan. Karena dalam ketakwaan Allah akan memudahkan segala urusan kita dan akan memberikan kita rezeki dari arah yang tidak pernah kita sangka datangnya. Selain itu, dalam ketakwaan Alah akan memperbaiki amalan-amalan kita, akan melipat gandakan pahalanya dan akan mengampuni seluruh dosa-dosa kita. Kemudian Allah akan memasukkan kita pada surganya jika kita benar-benar bisa mencapai derajat takwa yang sebenarnya.

Sekian.
Selengkapnya...

Minggu, 25 Juli 2010

Miskin itu Dosa ?


Pahala dan dosa adalah wilayah teritorial agama. Sehingga keduanya “tidak” lazim digunakan untuk sebuah perbuatan yang tidak ada korelasinya dengan “keyakinan” tentang perintah dan larangan. Lalu bagaimana dengan judul diatas? Bahwa judul diatas adalah judul sebuah buku mungkin benar. Tapi kita tidak akan membahas isi buku tersebut. Saya hanya ingin mencari sebuah kemiskinan diantara banyaknya kemiskinan yang ada. Yaitu sebuah kemiskinan yang sebenarnya paling patut diberi “label” dosa. Agar kita semua tahu dan paham tentang kemiskinan yang menyeret sebuah kereta yang penuh dengan muatan “dosa”

Seorang motivator yang berorientasi profit pribadi adalah seorang “sales”. Mereka memasarkan diri dan kemampuan influince-nya seperti layaknya memasarkan produk sebuah perusahaan. Sebuah “jasa” motivasi bagi seorang karyawan atau pekerja dalam lingkup sebuah perusahaan. Motivasi tak ubahnya seperti “jamu” yang menumbuhkan semangat dan gairah kerja, hingga perusahaan bisa berharap “loncatan” Out put yang sesuai dengan hitungan “awangan”. Yang berimbas pada peningkatan profit yang sesuai dengan hitungan “awangan” juga.

Untuk itu diperlukan pemahaman yang lebih dalam terhadap setiap tawaran yang kadang terasa begitu menggiurkan. Dalam konteks meningkatkan output dan penjualan serta memperbesar market share sebuah perusahaan, motivasi karyawan saja belumlah cukup. Lingkungan kerja yang sehat, infrastuktur yang “fit”, hubungan antar lini dan departemen yang “hidup”, pelayanan yang baik, tersedianya bahan dengan lancar dan “salary” yang berbeda dengan perusahaan sejenis pada umumnya. Pengakuan-pengakuan atas keberhasilan atau prestasi yang dicapai masing-masing karyawan juga harus mendapatkan perhatian yang serius.

Dan yang tidak kalah penting jaminan sosial dan kesehatan serta jaminan terpenuhinya kebutuhan ruhani karyawan dalam mewujudkan diri menjadi makhluk yang hanya mengabdi pada Allah swt. melalui kewajiban-kewajiban pelaksanaan ibadah dan usaha-usaha pencerahan batin. Semua itu menjadi bagian atau aspek-aspek yang harus terintegrasi dalam sebuah kapal atau gerbong perusahaan yang di dalamnya terjadi proses produksi yang saling mendukung antar bagian.

Secara personal motivasi menawarkan sebuah janji sebuah “surga” dunia. Yaitu sebuah keberhasilan dalam mengumpulkan materi atau kekayaan yang sangat berlimpah. Yang bisa menyebabkan kita bisa meraih apa yang ingin kita raih. Yang bisa berakibat kita mendapat “label” jutawan, milyarder ataupun milyuner plus label konglomerat. Sehingga mereka bisa mengatakan bahwa dirinyalah pewaris “kekayaan” Tuhan. Sesungguhnya tidak demikian. Allah hanya “mewariskan” dalam arti memberikan semua nikmat dunia dan akhirat nanti pada saat semua manusia selesai menjalani penghitungan amal baiknya selama di dunia. Tentu saja amal baik yang didasari pada sebuah keyakinan tentang “tauhid”nya Allah swt.

Tapi jangan kaget ! Semua label kaya yang melekat tersebut belum tentu berakibat “pahala”. Karena semua kekayaan material pribadi bukanlah tujuan utama diciptakannya manusia di muka bumi. Sehingga kemiskinan materialpun belum tentu berakibat “dosa” karena pada dasarnya Allah tidak memerlukan “materi” yang dikumpulkan oleh manusia. Materi hanya untuk manusia secara keseluruhan. Apabila terjadi ketimpangan materi antara manusia sehingga timbul “kaya” dan “miskin” maka yang yang lebih “berhak” untuk menanggung dosa adalah mereka yang “kaya”. Bukan yang miskin !

Anda bisa saja menyanggah bahwa yang membuat kata-kata itu tentu orang “miskin”, dan jika yang membuat orang “kaya” pasti akan lain, karena sifatnya subyektif sekali. Tapi jika kita adalah orang ber”agama” yang membaca firman-firman Allah tentu akan cenderung membenarkan kata-kata tersebut, baik orang itu kaya atau miskin. Tapi apakah benar miskin itu dosa? Dan kemiskinan apa yang membuat seseorang menanggung banyak dosa? Inilah yang akan kita lanjutkan pembahasannya. Mudah-mudahan kita bukanlah seseorang yang melihat sebuah kemiskinan hanya berkaitan dengan material saja.

Sesungguhnya, kata miskin bisa menempel pada beberapa kata, misalnya miskin harta, miskin ilmu, miskin wawasan, miskin pengalaman bahkan miskin anak bagi mereka yang tidak mempunyai keturunan. Tapi yang paling berbahaya adalah miskin Iman. Karena miskin keyakinan tentang kebenaran Allah dan segala sifatnya akan berujung pada perbuatan-perbuatan yang tidak direkomendasikan oleh agama. Dalam bahasa yang lebih jelas, seseorang yang miskin “Iman” akan cenderung berbuat sesuatu yang melanggar norma atau aturan. Baik aturan agama maupun aturan-aturan lain yang dibuat demi kebaikan hidup bersama.

Mereka yang mempersempit makna kata miskin hanya pada miskin harta dan mengatakan bahwa miskin itu “dosa” maka bisa dipastikan bahwa orang-orang seperti ini orientasi hidupnya hanya pada “materi”. Karena menganggap bahwa hidup harus kaya atau berkecukupan materi. Jika hidup belum sampai pada status “kaya” maka harus ditempuh sebuah jalan dengan berbagai macam jurus yang di “Iman”i bisa menjadikan dirinya sebagai orang yang “berhasil” meraih “pahala” dunia berupa melimpahnya materi dalam kehidupannya.

Sifat-sifat seperti inilah yang banyak melahirkan manusia-manusia “tamak” atau “serakah”. Yang tidak akan pernah puas dengan apa yang telah didapat. Sehingga seluruh energi dan waktu yang dimiliki hanya ditujukan pada terwujudnya hidup dalam gelimang materi. Essensi dari kehidupan yang sebenarnya bahkan justru ditempatkan pada urutan yang paling akhir. Pengabdian kepada Allah sampai akhir hayat hanya diberi waktu yang sangat “minim”. Dari 24 jam yang ada mungkin hanya beberapa menit saja yang dipergunakan untuk “ingat” kepada yang telah menciptakannya. Dalam tujuh hari mungkin hanya puluhan menit saja yang digunakan untuk “memenuhi” seruanNya. Itupun dengan santai dan tak banyak keluar energi. Beda sekali dengan apa yang telah diusahakan untuk dunianya.

Mereka yang materialsentris seperti inilah yang mempunyai peran besar dalam menciptakan jurang pemisah antara manusia yang hidup dengan kekayaan hartanya dan manusia yang hidup dalam kemiskinan harta. Mereka yang hidup sederhana atau “miskin” hanya mengambil sebagian yang menjadi “hak”nya. Mereka yang hidup mewah dengan kekayaan harta tidak pernah menyadari kalau mereka telah mengambil “milik” Allah dengan berlebihan. Bahkan melebihi dari yang mereka butuhkan untuk “mengabdi” kepada Allah swt. Mereka lupa bahwa seluruh apa yang ada di alam ini adalah milik Allah, tapi dengan sombong mereka meng”klaim” bahwa semua yang diperolehnya adalah “milik”nya pribadi.

Orang-orang yang serakah tersebut dengan bangga memelihara status “kaya” mereka sampai beberapa keturunan. Mereka tidak sadar kalau pemeliharaan status kaya mereka itu sekaligus juga memelihara status “miskin” orang-orang diluar pagar rumah mereka. Bisa saja mereka berkilah dengan kekayaanya mereka bisa membantu orang-orang miskin. Seberapa besar yang mereka berikan untuk orang-orang miskin dibanding dengan harta yang mereka simpan? Jangan-jangan pemberian bantuan tersebut hanya untuk menutupi ketamakan dan keserakahan mereka semata? Agar tidak terlihat sebagai seorang yang pelit di mata orang-orang sekitarnya. Padahal yang mereka keluarkan sangat tidak sebanding dengan harta yang mereka miliki.

Mereka juga lupa kalau orang miskin bisa masuk surga dengan mudah karena kemiskinannya. Dan mereka juga lalai tentang sebuah kepastian tentang orang kaya yang masuk neraka karena kekayaanya. Tentu saja setelah mereka semua dihisab kadar Iman dan amalan baik yang pernah mereka lakukan semasa hidup. Dan Allah tidak membedakan antara orang kaya dan miskin. Yang paling mulia dalam pandangan Allah adalah mereka yang mempunyai ketaqwaan atau ketaatan dalam menjalankan perintah dan menghindari semua larangan yang telah ditetapkan dalam Kitabullah Al Qur`an.

Di dunia hanya ada pahala dunia, sedangkan di akhirat ada pahala dunia dan akhirat. Jika kita hanya mengusahakan menumpuknya pahala dunia, waktu yang gunakan untuk mengusahakan pahala akhirat begitu “minim”. Padahal akhirat tidak kalah pentingnya dari pada dunia. Kita terlena oleh bujuk rayu orang-orang yang sebenarnya tidak tahan hidup dalam kemiskinan. Kita terlena oleh bujuk rayu orang-orang yang menempatkan Iman kepada Allah dan perbuatan baik diurutan akhir setelah ketamakan terhadap harta. Kita lupa bahwa sebuah kematian tidak bisa ditebus dengan harta. Kematian justru akan memisahkan kita dengan harta kita. Dan harta yang berlimpah akan banyak menimbulkan pertanyaan pada pengadilan akhirat kelak.

Miskin Iman dan Amal shalih.

Dalam perspektif Islam, Iman atau keyakinan tidak bisa lepas dari amalan atau perbuatan. Oleh karena itu ada sebuah slogan yang pernah begitu populer di pakai oleh seseorang, yaitu sebuah kata : Hidup adalah perbuatan. Memang benar. Mereka yang bisa berbuat sesuatu adalah mereka yang “masih” hidup. Sedangkan mereka yang sudah mati tidak akan bisa berbuat sesuatu lagi di dunia. Kecuali apa yang telah di wariskannya berupa ilmu dan contoh-contoh perilaku atau teladan. Perbuatan yang bagaimana yang harus kita lakukan? Tentu saja perbuatan baik yang banyak memberikan manfaat baik bagi diri kita sendiri maupun bagi orang lain.

Seseorang bisa saja merasa telah berbuat baik. Karena perbuatan yang baik pada dasarnya bisa di lihat dari bermanfaat atau tidaknya perbuatan itu untuk diri sendiri maupun orang lain. Tetapi pada saat ditanya karena apa seseorang berbuat baik, akan banyak jawaban yang muncul. Diantara jawaban itu adalah karena “seseorang”. Yaitu seseorang yang lain yang menyebabkan dia berbuat kebaikan itu. Jika bukan karena orang lain tersebut, belum tentu kebaikan itu akan terjadi. Atau mungkin karena mengharapkan sesuatu balasan dari apa yang telah di perbuatnya tersebut. Mungkin juga karena ingin dipuji atau dipilih sebagai pemimpin.

Itulah sebagian kemiskinan dalam Iman atau keyakinan. Sebesar atau sebanyak apapun perbuatan baik yang kita lakukan, jika tanpa disertai dengan keyakinan hanya karena Allah semata niscaya akan menjadi sebuah fatamorgana. Yang kalau dilihat dari jauh seakan-akan nyata, tapi ketika didekati ternyata tidak ada di tempatnya. Itulah mengapa Iman atau keyakinan adalah sesuatu yang pertama-tama harus dibangun dalam hidup. Bukannya keberhasilan dalam pencapaian materi untuk meraih kekayaan. Hanya orang-orang yang ber-Tuhan pada materi saja yang mengatakan bahwa miskin harta itu sebuah dosa.

Miskin Iman dan amalan yang baik itulah yang justru menjadi penyebab terkumpulnya banyak dosa. Karena semua apa yang dilakukan tidak mempunyai landasan sama sekali. Hanya menurut persepsi pribadi dan tidak melibatkan Allah sebagai dzat yang menjadi penyebab semua ini terjadi. Termasuk bisa atau tidaknya kita berbuat sesuatu dengan seluruh anggota tubuh kita. Imanlah yang harus lebih dulu diwujudkan dalam hidup. Dan sebuah keimanan mempunyai konsekwensi pada perbuatan yang harus dilakukan dan tidak boleh ditinggalkan. Sedangkan materi dunia bukanlah sesuatu yang pertama harus diusahakan, tetapi bukan pula sesuatu yang harus ditinggalkan. Keseimbangan dan keselarasan dalam mengusahakan kuatnya Iman dan tetap berlangsungnya amal shalih serta mencari karunia Allah berupa harta dunia menjadi sebuah kewajiban demi berangsungnya “hidup” itu sendiri.

Takut miskin dan cenderung kaya akan menyebabkan terabaikannya sebuah kepastian yang akan menimpa diri kita. Yaitu sebuah “kematian”. Yang waktu atau saatnya semakin hari semakin mendekati masing-masing diri kita. Sementara waktu kita banyak terbuang sia-sia mengejar materi dan mengabaikan banyak kewajiban sebagai insan abdi Allah. Jika kita tidak segera menyadari dan memutar haluan niscaya kita akan sampai di tempat tujuan hidup tanpa membawa bekal sesuatupun. Itulah yang seharusnya kita takutkan. Sebuah akhir kehidupan tanpa makna dan tanpa asa. Yang akan membawa kita pada sebuah penyesalan yang panjang. Sepanjang alam semesta mengakhiri umurnya.

Jika saja dunia merupakan segalanya bagi manusia niscaya bumi ini kan hancur lebih cepat. Karena ekplorasi kekayaanya menjadi tak terkontrol lagi. Manusia akan saling berebut harta walaupun harus mempertaruhkan nyawa. Slogan “hidup kaya atau mati lebih awal” pasti akan semakin populer. Tapi sayang, dunia bukanlah segala-galanya dan Allah tidak menciptakan manusia untuk dunia, tetapi Allah menciptakan “bumi” untuk manusia. Dunia adalah sebuah jembatan. Dunia adalah sebuah cobaan. Dunia adalah sebuah ujian bagi manusia untuk masuk dan hidup pada dunia yang sebenarnya. Sebuah dunia lain yang menurut Allah akan berbeda dengan kehidupan dunia saat ini.

Tapi manusia, yang telah diberi hak untuk menentukan kehidupan dengan seleranya sendiri lebih cenderung untuk memilih “hanya” yang tampak di mata telanjang saja. Mereka menganggap sesuatu yang masih berupa janji bukanlah sebuah kenyataan. Mereka juga menganggap bahwa sesuatu yang tidak tampak di “mata” tidaklah bisa diterima akal. Sehingga mereka tidak perlu untuk berpikir lebih jauh untuk hal-hal yang belum tentu menjadi kenyataan. Baik dalam jangka waktu yang dekat atau jangka waktu yang akan datang sesudah datangnya kematian.

Pada akhirnya yang mereka kejar hanyalah yang nampak di depan mata juga, yaitu sebuah kekayaan, kedudukan dan kekuasaan serta kemuliaan hidup di dunia. Walaupun untuk mewujudkan semua itu mereka harus mempertaruhkan sebuah kebenaran dengan sebuah kata yaitu “pengingkaran”. Pengingkaran terhadap sesuatu yang “ghaib” yang sebenarnya hanya karena keterbatasan pandangan yang dimilikinya. Padahal mata kita ini begitu kecil dibanding dengan luasnya wajah kita. Dan mata kita hanya bisa kita gunakan untuk melihat sesuatu yang berada di depan nya saja, dibelakang kepala mata hampir tidak berguna. Ironisnya juga yang berada di belakang kepala kita jauh lebih besar dan lebih luas dari apa yang bisa kita lihat.

Manusia tak ubahnya setitik debu yang berterbangan di alam semesta. Begitu kecil sekali. Hingga yang bisa dilihatnyapun sangatlah terbatas. Celakanya, yang tidak bisa tertangkap oleh mata ditolak pula oleh akal, dengan alasan tidak bisa melihat dengan mata dan kepala sendiri. Sehingga yang ada dalam otak hanyalah apa yang tampak di mata. Lalu apa saja yang tidak tampak dan tidak bisa diterima akal dengan mudah kita ingkari. Akibatnya, kita tidak pernah lagi berpikir tentang dunia yang “lain”. Dan hanya terfokus pada apa yang ada di dunia “fana” ini saja. Lalu jadilah kita sebagai manusia-manusia yang hanya mengutamakan harta kekayaan. Dan mengusahakannya dengan tak kenal lelah dan tak kenal waktu, karena mereka menganggap “Waktu adalah Uang”.

Sekian.
Selengkapnya...

Rabu, 21 Juli 2010

Bukan Tanpa Makna


Yakinkah kita tentang wujudnya Allah ? Yakinkah kita tentang kuasanya Allah ? Yakinkah kita bahwa Allah kuasa untuk berbuat segala sesuatu menurut kehendakNya? Juga yakinkah kita bahwa segala sesuatu bisa datang dan menimpa diri seseorang yang sebelumnya begitu yakin akan keselamatannya, lalu tiba-tiba datang badai yang lantas menghempaskannya? Yakinlah bahwa Allah kuasa untuk melakukan semua yang menurut kita sebelumnya begitu mustahil. Begitu banyak peristiwa yang bisa dijadikan bukti akan kekuasaan Allah terhadap alam semesta ini.

Kita bisa mengatakan bahwa diri kita meyakini semua itu, tapi dalam kenyataan hidup, kita jarang membuktikan keyakinan kita dalam sebuah perbuatan. Kita mencintai hidup dan kehidupan kita. Kita juga mencintai semua apa yang kita punya. Seorang istri atau suami yang kita cintai. Anak-anak kandung yang kita sayangi. Harta benda yang kita bangga-banggakan dan selalu kita hitung-hitung jumlahnya. Dan kita juga meyakini kalau semua itu merupakan nikmat dari Allah, walaupun keyakinan itu masih perlu banyak pembuktian.

Kita juga sering mengatakan bahwa kita harus mensyukuri semua yang kita peroleh saat ini. Tapi kita tidak pernah tahu makna dari kata syukur itu sendiri. Jika di tanya bagaimana kita harus bersyukur, kebanyakan kita menjawab, ya berucap “alhamdulillah”. Jadi kebanyakan kita memaknai syukur hanya sebatas “lisan” saja. Belum bersama “hati” yang ada di dalam dada. Apalagi bersyukur dengan seluruh “jiwa dan raga”. Syukur kita kepada Allah masih kita batasi lisan dan pikiran. Belum banyak menyentuh perwujudan syukur yang sebenarnya. Yaitu mewujudkan diri dalam usaha menuju atau menjadikan diri sebagai manusia yang menghamba pada Allah.

Dalam batas ingatan, seberapa banyak kita mengingat Allah dalam aktifitas hidup kita sehari-hari? Karena Allah maha kuasa untuk menjadikan sesuatu yang hampir mustahil menjadi kenyataan, maka setiap peristiwa atau kejadian yang kita lalui akan menjadi sebuah peristiwa yang selalu membawa makna bagi diri kita. Untuk itu diperlukan pembuktian berdasarkan kejujuran dalam menjawab tentang sikap atau perbuatan setiap melalui sebuah peristiwa sehari-hari tersebut.

Mulailah dari malam sewaktu kita akan pergi tidur. Mungkin kita telah mengajarkan doa ketika akan pergi tidur pada anak-anak kita. Tapi apakah kita sendiri mengamalkannya? Atau justru kita tidak pernah tahu doa tersebut. Padahal waktu atau kesempatan tersebut adalah waktu yang sangat minim untuk sekedar mengingat Allah. Tidakkah kita ingin terlindungi selama dalam tidur kita? Tidakkah kita ingin terhindarkan dari mimpi-mimpi buruk selama dalam tidur? Dan tidakkah kita ingin bangun dalam keadaan masih sehat seperti saat berangkat tidur? Renungkanlah bahwa ingatan kita kepada Allah adalah sesuatu yang sangat besar guna dan manfatnya.

QS. Al An`am : 60

وَهُوَ الَّذِي يَتَوَفَّاكُمْ بِاللَّيْلِ وَيَعْلَمُ مَا جَرَحْتُمْ بِالنَّهَارِ ثُمَّ يَبْعَثُكُمْ فِيهِ لِيُقْضَىٰ أَجَلٌ مُسَمًّى ۖ ثُمَّ إِلَيْهِ مَرْجِعُكُمْ ثُمَّ يُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ﴿٦٠﴾

“Wahuwal ladzii yatawaffakum billaili wa ya`lamu maa jarahtum binnahaari tsumma yab`atsukum fiihi liyuqdhaa ajalum musamma, tsumma ilaihi marji`ukum tsumma yunabbi`ukum bimaa kuntum ta`maluun”

”Dan Dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan di siang hari, kemudian Dia membangunkan kamu pada siang hari untuk disempurnakan umur(mu) yang telah ditentukan, kemudian kepada Allah-lah kamu kembali, lalu Dia memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan”.

Kemudian saat bangun tidur, tidakkah kita menyempatkan diri untuk sedikit mengingat Allah? Dengan bersyukur lisan dan hati kita memuji kebesaran dan keagungan Allah atas nikmat istirahat dan kembalinya kekuatan yang sebagian telah hilang saat beraktifitas di siang hari kemarin. Yakinlah bahwa Allah kuasa untuk “menidurkan” kita untuk selama-lamanya pada saat kita tidur lelap. Juga betapa banyak mereka yang menemukan diri dan hartanya dalam keadaan hancur disaat bangun tidur. Peristiwa meletusnya gunung merapi dan hancurnya tanggul sebuah bendungan air di jawa barat adalah bukti nyata kuasanya Allah untuk merestui sebuah peristiwa apapun.

Sesaat setelah sampai di tempat tujuan kita mencari karunia Allah, yaitu di tempat dimana kita bekerja. Tidakkah lisan dan hati kita memuji dan meninggikan kalimat Allah karena telah terselamatkannya diri kita dari sebuah perjalanan yang mengandung banyak resiko? Yaitu sebuah resiko musibah kecelakaan yang terjadi selama perjalanan. Yang sudah pula banyak memberikan bukti kepada kita dengan banyaknya kejadian kecelakaan lalu lintas yang menelan banyak korban meninggal dunia. Maka sudah sepantasnyalah kalau kita mengingat dan selalu memuji serta mengagungkan nama Allah dalam setiap peristiwa yang telah kita lewati.

Demikian juga ketika kembali pulang ke rumah dalam keadaan tak kurang sesuatu apapun. Dalam arti kita telah selamat sampai di rumah dan bertemu kembali dengan keluarga kita. Yakinkah kita bahwa Allah tidak melindungi kita dari perjalanan yang sebenarnya banyak mengandung resiko tersebut? Allah telah melindungi kita dari semua musibah atau marabahaya yang sewaktu-waktu bisa mengancam keselamatan kita selama dalam perjalanan pulang dari tempat kerja ke rumah. Juga Allah telah pula melindungi keluarga kita selama kita tinggal seharian di tempat kerja.

Tidakkah ini merupakan kenikmatan yang besar yang diberikan oleh Allah kepada kita? Sudah sepantasnyalah kita memuji dan mengagungkan kebesaraan Allah karena nikmat-nikmat tersebut. Belum lagi sebuah kenikmatan yang lain yang akan kita temui di malam hari. Disamping makanan yang telah disediakan oleh istri kita juga bisa berbagi rasa dan cerita tentang kejadian-kejadian seharian sebagai bentuk curahan hati. Yang karenanya pikiran bisa menjadi lebih relaks dan seakan terlepas semua beban seharian. Bukankah semua itu merupakan sebuah kenikmatan? Maka sudah sepatutnyalah kita bersyukur kepada Allah yang telah memberikan semua nikmat tersebut.

Peristiwa yang terjadi seharian yang kita lalui bukanlah tanpa makna. Jika mau mencermati tentang keterlibatan Allah dalam semua urusan kita, niscaya kita akan selalu berusaha untuk mensyukurinya. Sedangkan pewujudan syukur ada 3 (tiga). Yang pertama adalah wujud syukur hanya di lisan saja. Dengan mengucap “segala puji bagi Allah seru sekalian alam” kita merasa sudah bersyukur, padahal belum tentu kita melibatkan “hati”. Yang kedua adalah wujud syukur di lisan dengan melibatkan hati. Yang ini lebih baik sedikit dari yang pertama, walaupun masih belum menyentuh essensi dari rasa syukur. Yang ketiga adalah wujud syukur dengan lisan, hati dan ketaatan untuk mengabdi kepada Allah dengan berusaha untuk mentaati seluruh perintah dan menghindari seluruh apa yang dilarang.

QS. An Nisaa` : 79

مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ ۚ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولًا ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ شَهِيدًا﴿٧٩﴾
“Maa ashaabaka min hasanatin faminallahi, wa maa ashaabaka min sayyi`atin famin nafsika, wa arsalnaaka linnaasi rasuulan, wa kafaa billahi syahiidan”

”Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi”.

Dalam setiap peristiwa ada kenikmatan dari Allah. Dan semua kenikmatan datangnya adalah dari Allah. Demikian juga setiap peristiwa yang melintas di depan mata kita. Semua membawa makna. Yakni keterlibatan Allah dalam setiap detik dan setiap denyut jantung kita. Jika kita bersikap apatis terhadap terlibat atau tidaknya Allah dalam hidup kita, maka kitapun tidak akan mendapatkan makna atau pelajaran apapun dari peristiwa tersebut. Tapi jika sempatkan untuk merenung tentang semua yang terjadi, insya Allah kita akan mendapatkan jawaban dari semua peristiwa yang terjadi itu pula. Baik yang kita lihat langsung maupun yang terjadi di kejauhan.

Jangan tunda lagi untuk bersyukur kepada Allah dengan sebenar-benarnya syukur. Renungkan setiap kejadian dan temukan hulu dan muara dari semua kejadian tersebut. Niscaya kita akan sampai pada satu pencerahan hati. Lalu lakukan berkali-kali setiap kita menjumpai sebuah peristiwa yang melibatkan alam. Carilah hulu dan muaranya. Usahakan untuk sering membaca kitabullah Al Qur`an. Yakinilah bahwa semua informasi di dalamnya adalah benar. Lakukan setiap hari dan yakinlah bahwa kita punya waktu untuk mempelajarinya.

Taat tidak bisa dicapai tanpa Iman. Sedangkan Iman tidak bisa dibangun tanpa pemahaman. Jika kita merasa sebagai makhluk ciptaan, sudah seharusnya kita mencari siapa yang menciptakan kita. Siapa yang sebenarnya merawat kita hingga kita tumbuh dewasa. Dan siapa pula yang menyebabkan kita hidup sampai saat ini. Kita bisa melihat dan membaca semua tanda-tanda atau ayat-ayat yang ada untuk bisa sampai pada suatu pencerahan batin. Dimana batin akan mengatakan bahwa hanya ada satu dzat yang menyebabkan semua ini bisa terjadi. Hanya ada satu dzat yang bisa menyebabkan kehidupan di muka bumi ini. Hingga datang saatnya kita untuk merajut keyakinan tentang Allah swt.

Tanda-tanda yang lebih mudah untuk dijadikan pertimbangan dalam memahami Allah adalah bergantinya siang dan malam, musim hujan dan musim kemarau, matahari yang pada akhir bulan maret dan akhir bulan september berada tepat di atas garis equator, lalu di akhir bulan Juni berada di belahan utara bumi dan di akhir bulan Desember berada si belahan selatan bumi. Bulan yang sabit menuju ke purnama atau sebaliknya. Semua itu merupakan bahan yang paling terlihat dan paling mudah untuk di pahami bahwa ada sebuah dzat yang mengatur semua peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam ini.

Jika keyakinan sudah tertanam, yakinlah bahwa ada segerombolan setan yang selalu mengilkuti langkah kita baik di depan di samping maupun di belakang kita. Jika kita tidak “eling” lan “waspada” seperti kata orang jawa, niscaya kita akan mudah terperangkap dalam bujuk rayunya setan yang memang menggiurkan. Untuk itu kita perlu selalu ingat kepada Allah dan selalu waspada terhadap setiap bentuk tawaran. Baik yang datangnya dari orang yang kita kenal maupun dari orang yang tidak kita kenal yang kadang bertindak sebagai “kurir” setan.

Itulah kenapa kita harus selalu ingat dalam setiap perubahan aktifitas kita. Dari mulai benagkat tidur, bangun tidur, selamat sampai di tujuan, kembali lagi ke rumah dengan selamat pula, waktu mau makan, ke kamar kecil, berkaca, berganti pakaian, masuk keluar masjid. Tujuannya adalah agar kita tidak mudah terperangkap oleh bujukan setan dan semua tingkah laku kita diharapkan merupakan cerminan dari sifat-sifat Allah. Hingga kita bisa merasakan bahwa selama hidup kita bisa benar-benar “bersama” Allah dengan bukti teraplikasikannya “asmaul husna” pada diri kita.

Sekian.
Selengkapnya...

Minggu, 18 Juli 2010

Trik "Menjual" Diri


Jangan keburu berpikiran negatif. “Menjual” diri yang akan saya sajikan bukanlah “trafficking”. Atau sejenis jual beli dalam “perbudakan”. Tidak. Sekali lagi tidak ! Menjual diri yang akan kita bahas adalah “menawarkan” diri dengan segala kemampuan yang kita miliki ke “pasar” sumber daya manusia. Lebih tepat lagi, mempersiapkan diri ke dalam persaingan pasar tenaga kerja yang semakin lama semakin menuntut kita untuk lebih banyak mengeksplor bakat dan kemampuan yang ada pada diri kita. Sesuatu yang mau atau tidak mau harus kita pertimbangkan jika kita perduli pada diri dan masa depan kita sendiri.

Dalam keseharian kita banyak menghadapi permasalahan pekerjaan yang bermuara pada “perniagaan”. Dan sebuah perniagaan tidak pernah lepas dari kata “pasar”. Dimana didalamnya terdapat transaksi berupa permintaan dan penawaran yang berakhir dengan sebuah keputusan untuk “membeli” atau membatalkan sebuah rencana pembelian. Sedikit dari kita yang menyadari kalau “pasar” sumber daya manusia juga beraktifitas seperti layaknya “pasar” hasil produksi sebuah perusahaan. Mereka yang melirik “ilmu” memasarkan diri masih terbatas pada level-level tertentu. Belum menyentuh semua level tenaga kerja. Padahal, untuk saat ini semua level sumber daya manusia harus benar-benar menyadari kalau dirinya sudah masuk dalam aktifitas “market” dan “marketing”

Seorang pekerja yang beorientasi “asal kerja”, memahami bahwa pekerjaan, dimanapun tempatnya adalah “sama”. Posisi di tempat kerja bukanlah sesuatu yang penting. Asal sudah mendapat pekerjaan yang bisa memberikan penghasilan sudah “alhamdulillah”. Soal posisi itu urusan nanti. Jika beruntung bisa saja akan berubah ke posisi yang lebih baik, tapi jika tidak ya dijalani saja. Semua sudah ada yang mengatur. Lahir, rezki, dan mati itu urusan Tuhan, oleh sebab itu tidak usah terlalu “ngongso” atau berambisi untuk meraih posisi yang tinggi. Jangan-jangan nanti malah jatuh dan “cacat” mental.

Ada pula mereka yang bersikap cuek atau tidak perduli. Mereka tidak perduli tentang bahan-bahan yang akan digunakan dalam proses produksi, peralatan yang dihadapi, hasil produksi. Mereka juga tidak perduli tentang perintah atasan yang harus di taati, aturan-aturan perusahaan yang harus diikuti, bahkan mereka tidak perduli pada situasi dan kondisi tempat kerja serta rekan-rekan kerja yang bersama-sama bekerja setiap hari. Kata “Gak Ngurus” sangat akrab di ucapannya setiap kali di ingatkan rekan-rekannya tentang sifat dan perilakunya yang “menyebalkan”.

Orang-orang seperti ini biasanya akrab dengan perilaku sombong, merasa pinter, merasa benar, merasa selalu berbuat baik, merasa dibutuhkan. Padahal tidak ! Tenaga kerja saat ini sudah demikian banyaknya yang siap masuk ke semua devisi kerja yang ada di setiap perusahaan. Mereka yang berlaku “bodoh” dalam pekerjaan mungkin baru akan menyesal jika sudah kehilangan pekerjaan yang mereka “cintai' dan merasakan betapa sulitnya mencari jenis pekerjaan seperti yang mereka miliki sebelumnya. Jika kita tidak segera berbenah bukan tidak mungkin sebuah “kesalahan” dalam bersikap bisa menjadi bumerang yang menyerang dan menusuk ke jantung kita sendiri.

Saat ini sudah tidak lagi diperlukan sikap sombong, merasa pinter, merasa disenangi rekan kerja apalagi merasa dibutuhkan oleh perusahaan. Yang diperlukan pasar kerja saat ini adalah mereka yang siap bekerja baik dari segi fisik maupun psykis. Karena keduanya telah menjadi sebuah simbol kemasan dan isi serta kualitas yang ada pada setiap diri kita. Jika anda tertarik untuk mengetahui beberapa tip agar kita tidak terlalu ketinggalan dalam tehnologi sumber daya manusia. Anda bisa mempertimbangkan beberapa kiat di bawah ini agar anda bisa memasang kaca cermin di depan mata anda. Sehingga anda akan mengetahui apa saja kelemahan yang saat ini anda “pelihara” dan menjadi kartu “mati” di hadapan rekan dan atasan anda.

Tips meningkatkan kemampuan diri dalam bekerja.

Percaya Diri : Kenali diri anda dan jangan melakukan perubahan secara frontal terhadap penampilan selama ini. Sebuah kebohongan dalam tampilan akan lebih cepat terlemparnya diri kita ke tempat “sampah”. Perbaiki apa yang sudah ada dalam batas kewajaran. Misalnya cara berpakaian, berjalan, duduk dsb. Bisikkan kata-kata pada hati bahwa, “aku bisa melakukannya !”, hingga anda memperoleh motivasi untuk berusaha dengan lebih bersemangat.

Komunikasi yang baik : Komunikasi menjadi suatu yang amat penting untuk memperkenalkan diri kita dan memperoleh informasi tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan kelancaran pekerjaan. Jangan mendominasi pembicaraan yang bisa mengakibatkan jenuh yang mendengar. Usahakan juga untuk selalu bersedia menjadi pendengar yang baik untuk kemudian memberikan umpan balik yang saling melengkapi. Hingga sampai pada sebuah kesimpulan yang lebih sempurna.

Aktif : Bersikap aktif dalam bekerja akan memberikan nilai lebih dari pada bersikap pasif dan cenderung menunggu. Sikap aktif akan banyak membantu terselesaikannya pekerjaan dengan lebih cepat. Tidak banyak meninggalkan sisa pekerjaan yang cenderung memancing “lembur”. Sebab sikap pasif kadang justru sengaja di ciptakan untuk menjaring ”uang” lembur. Atau kelihatan aktif tapi tidak menghasilkan sesuatu. Cuma sekedar action saja agar kelihatan sibuk.

Berinteraksi dengan rekan kerja : Bergaul dengan rekan kerja dan buat diri anda “berarti” dihadapan rekan-rekan anda. Dengan gerak tubuh yang wajar dan gaya bicara yang baik serta isi pembicaraan yang ber”mutu”. Lalu dirangkai dengan perilaku sopan dan sikap yang santun, tidak merasa diri lebih tinggi dan tidak pula merendahkan rekan yang lain, maka anda akan jadi sesuatu yang berbeda bagi rekan-rekan anda.

Mengasah bakat : Tentukan dan pastikan tentang sesuatu yang anda suka dan kuasai. Lantas jangan ragu-ragu untuk memulainya. Jika minat sudah tumbuh pasti akan menghasilkan sesuatu yang lebih baik dan akan memancing keinginan tahu orang lain serta keinginan untuk mengenal lebih dekat. Tentu saja ini adalah sebuah kesempatan untuk memperkenalkan diri dan kemampuan kita.

Teruslah berusaha : Jika anda pernah mengalami kegagalan dalam sebuah usaha untuk meraih sesuatu, janganlah selalu merasa dihantui kegagalan tersebut. Teruslah berusaha dengan cara yang lebih baik. Pengalaman masa lalu akan bisa menjadi guru yang baik, asal kita bisa memperbaiki kesalahan-kesalahan yang terjadi serta tidak mudah putus asa.

Manfaatkan kesempatan yang ada : Gunakan semaksimal mungkin kesempatan yang ada dan jangan pernah menyia-nyiakannya. Sebab kesempatan jarang datang dua kali dalam jangka waktu yang berdekatan. Segeralah ambil peluang yang sudah ada di depan mata, jika tidak ingin peluang itu diambil orang lain yang juga menginginkannya. Karena kecepatan dalam bertindak atau menggunakan peluang akan memberikan kesempatan kepada kita untuk memperoleh point atau angka-angka penilaian dari atasan atau pimpinan kita dengan lebih cepat pula.

Menghargai waktu : Jangan pernah menunda atau memperlambat pekerjaan. Sebab trend pekerja kebanyakan adalah memperlambat untuk mendapatkan kesempatan “lembur”. Karena orientasi “uang” masih menjadi isi “kepala” sebagian besar pekerja. Bekerjalah tepat waktu jika dan akhirilah pekerjaan pada waktunya juga, jika anda tidak ingin mendapatkan label “time thief” atau pencuri waktu.

Jaga kondisi kesehatan : Olah raga yang teratur serta asupan makanan yang sehat akan mengurangi resiko sakit, walau tidak dapat menghindarkan diri semua penyakit. Setidaknya sudah ada usaha untuk selalu berada dalam kondisi selalu sehat. Sebab hanya tubuh yang sehat yang bisa memberikan kontribusi yang maksimal untuk sebuah prestasi. Jika sering sakit atau absen otomatis kita kehilangan banyak kesempatan untuk meraih point.

Jangan mudah bosan : Jika kita dihinggapi rasa mudah bosan, berarti selamanya kita tidak akan bisa meraih apa yang seharusnya bisa kita raih. Cintailah apa yang selama ini anda dapat dan miliki. Jangan pernah lepaskan sebelum datang pengganti yang jauh lebih baik. Ganti rasa mudah bosan dengan mencintai apa yang ada di sekitar kita. Sehingga kita akan merasa betah dan bersemangat untuk menyelesaikan semua tugas-tugas yang ada di depan kita.

Pahami karakter orang lain : Hal ini penting untuk menghindari kesalahan-kesalahan dalam berkomunikasi dengan rekan kerja. Menumbuhkan sikap toleransi terhadap kekurangan-kekurangan yang ada pada rekan kerja kita. Dan menghindarkan diri dari perkataan atau ucapan yang akan menyinggung atau menyakiti perasaan mereka yang kita ajak bicara. Dengan demikian kita bisa bertindak lebih arif dalam mensikapi kelebihan dan kekurangan seseorang yang setiap hari berinteraksi dengan kita.

Dan yang lebih penting lagi adalah pandai-pandai membawa diri dalam segala situasi. Usahakan untuk selalu introspeksi diri terhadap segala kekurangan kita. Tingkatkan kemauan untuk selalu bisa bekerja sama dengan rekan yang lain, jangan selalu menunggu untuk di perintah. Perhatikan selalu ucapan yang keluar dari lisan kita , barang kali ada yang mengusik perasaan lawan bicara kita. Perhatikan juga nada bicara kita, kira-kira terasa enak di dengar telinga orang lain apa nggak. Juga perhatikan respon rekan-rekan kita terhadap diri dan tingkah laku kita. Dan jangan merasa berat untuk meminta maaf apabila dirasa ada ucapan atau kata yang tidak seharusnya kita katakan.

Biasanya seseorang akan merasa kalau mereka banyak di sukai rekan-rekannya. Padahal tidak demikian. Sebenarnya banyak rekan kita yang “sebel” sama kita, karena tingkah laku kita selama kita bergaul dengan mereka. Hal ini kebanyakan tidak kita sadari. Seseorang kadang tidak merasa kalau rekan adalah “pita perekam magnetis” segala sifat dan sikap kita. Dan rekaman itu tidak mudah hilang terhapus begitu saja. Rekaman sifat dan sikap kita di rekan-rekan kita adalah sebuah “image” tentang diri kita yang sebenarnya. Walaupun kadang juga kurang realistis karena terlalu bersifat subyektif dalam penilaiannya terhadap diri kita.

Yang paling “save” adalah selalu berusaha berinteraksi dengan rekan secara santun, baik tingkah laku, ucapan yang enak didengar dan tidak menyakitkan perasaan, kepedulian terhadap kesulitan teman, suka memberi bantuan walaupun sekedar saran. Lalu bekerja dengan kejujuran, semangat, mengambil peran jika beban kerja kurang atau terlalu sedikit. Tidak memecah konsentrasi kerja dengan kepentingan pribadi yang cenderung membawa keuntungan finansial. Tidak suka menyimpan dendam, apalagi menebarkan kebencian yang menjurus ke pembunuhan karakter seseorang rekan.

Mudah-mudahan paparan diatas bisa sedikit membantu kesulitan kita dalam memahami sifat ego yang ada pada diri kita. Juga bisa sedikit mengurangi sifat narsis atau terlalu bangga terhadap diri sendiri yang kadang menghinggapi hati kita. Dan mudah-mudahan pula sedikit demi sedikit kita akan memahami bahwa pembentukan diri dengan karakteristik yang menarik akan menaikkan nilai “jual” kita ke “pasar” sumber daya manusia. Sehingga tanpa “memohon” otomatis kita akan “dilirik” oleh pengguna jasa tenaga kerja untuk di berikan “place” and “job” serta “salary” yang juga tak kalah menarik.

Selamat mengubah penampilan dan pembawaan diri serta selamat meningkatkan kemampuan untuk dapat bersaing di pasar sumber daya manusia atau di bursa tenaga kerja berkualitas. Syukuri apa yang anda dapatkan saat ini, sebab diluar masih banyak tenaga kerja yang jauh lebih baik dari kita. Baik dari segi penampilan fisik, komunikasi, sikap dan bahasa tubuh serta kemampuan mengenai bidang kerja maupun royalitas dan loyalitasnya terhadap rekan dan perusahaan.

Sekian.

Ditulis oleh : Agushar, 17 Juli 2010.

Selengkapnya...

Kamis, 15 Juli 2010

Mengendalikan Keinginan Jiwa


Nafs adalah jiwa, tetapi kita sudah terlanjur mengidentikan nafs dengan nafsu. Yang mempunyai makna sebagai sebuah keinginan menggebu yang cenderung ke arah perilaku negatif. Sebuah makna yang sengaja di lepaskan dari subyek yang sebenarnya yaitu “jiwa”. Nafsu yang sebenarnya adalah jiwa yang selalu mempunyai keinginan-keinginan. Yaitu sebuah keinginan atau kemauan untuk melakukan sesuatu hal yang kadang bernilai positif kadang juga bernilai negatif. Keberadaanya melekat pada diri setiap manusia yang masih bernafas. Manusia yang “hidup” pasti disertai nafs atau jiwa. Sementara mereka yang sudah mati nafs nya akan terlepas dari raga seperti juga ruh yang “pergi” meninggalkan jasad.

Jadi secara umum kita telah memberikan pengertian tentang nafsu dengan sebuah makna yang lepas dengan jiwa. Yaitu sebuah keinginan untuk selalu berperilaku yang menjurus ke arah yang berlawanan dengan ajaran agama. Dan pada akhirnya kita hanya menghubungkan nafsu dengan keinginan-keinginan yang banyak bernilai negatif, walaupun kita juga tidak mengingkari kalau nafsu kadang juga kita perlukan untuk membangkitkan semangat berbuat baik kita yang kadang loyo bahkan hilang sama sekali. Padahal tidak demikian. Nafsu tidak pernah meninggalkan kita dan tidak pernah hilang dari diri kita.
Jiwa dan raga selalu bersama. Nafs atau jiwa adalah bagian dari diri manusia yang “aktif”. Nafsu bagai sebuah kendaraan tunggangan yang disertakan pada tiap manusia sebagai sarana untuk mencapai tujuan kehidupan dunia dan akhirat. Nafsu ibarat kuda tunggangan kita. Nafsu atau jiwa akan menggunakan raga untuk merealisasikan rencana dan keinginan-keinginannya. Ibarat kuda yang menarik kereta, apabila dilecut, nafsu akan berlari kencang, liar dan tanpa arah. Ketidakmampuan kita dalam mengendalikan akan menjadikan kuda tunggangan kita menjadi binal dan tak terarah jalannya.

Binalnya kuda tersebut tidak hanya berbahaya bagi penumpangnya, tapi juga berbahaya bagi orang lain yang terkena dampaknya. Karena manusia cenderung untuk berinteraksi dengan manusia lain, maka kadang kala manusia juga bisa menjadi obyek pelampiasan hawa nafsu atau keinginan jiwa yang tak terkendali. Oleh karena itu diperlukan sebuah kemampuan mengendalikan dan mengarahkan kuda atau hawa nafsu agar kereta bisa berjalan atau berlari secara terarah sesuai dengan keinginan tuannya. Bukan tuannya yang harus tunduk pada keinginan kuda. Tapi kuda atau hawa nafsulah yang harus tunduk pada keinginan kita agar kita selamat selama dalam perjalanan.

Dalam realita sehari-hari kita tidak pernah berusaha untuk memahami tentang kuda dan tuan atau kusirnya. Dalam bahasa yang jelas kita tidak pernah mau memahami tentang jiwa dan raga. Kita lebih banyak tahu secara tekstual tentang diri “nafsu”. Sehingga pikiran kitapun terisikan tentang jenis-jenis nafsu yang telah disesuaikan dengan kecerendungan perilakunya. Seperti nafsu amarah, nafsu lawwamah, nafsu mutma`inah dan nafsu lainnya. Bukan terisi tentang diri nafsu atau jiwa yang sebenarnya.

Nafsu membutuhkan perlakuan. Yaitu sebuah perlakuan yang baik atas nama Allah. Untuk itulah diperlukan sebuah komunikasi antara raga dan nafsu atau jiwa yang kita miliki. Dan komunikasi harus selalu terjalin antara raga dan nafs atau jiwa. Raga meliputi seluruh fisik manusia yang ada termasuk “hati”. Raga dengan “hati” nya inilah yang mempunyai korelasi dengan pembentukan nafsu atau jiwa. Jika kita menghiasi “hati” dengan Iman atau keyakinan hanya kepada Allah saja, niscaya jiwa akan terisi oleh sesuatu yang “baik” pula. Tapi jika kita menghiasi “hati” dengan keyakinan pada selain Allah, maka jiwa akan terisi dengan sesuatu yang “jelek” atau buruk pula. Sehingga perilaku yang akan munculpun akan selalu bernuansa buruk atau negatif.

QS. Asy Syams 7 & 8.
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا﴿٧﴾
“Wa nafsin wa maa sawwaahaa,

”dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),

فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا﴿٨﴾
“Fa alhamahaa fujuurahaa wa taqwaahaa”

“maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”.

Karena tidak adanya minat untuk memahami tentang diri nafsu inilah banyak dari kita yang justru terlena dengan kerancuan yang terjadi antara “nafsu” dengan “jiwa”. Sehingga usaha kita lebih terfokus pada “pembunuhan” diri hawa nafsu. Yang justru mengakibatkan terlumatnya jiwa dengan kematian hawa nafsu itu sendiri. Padahal jiwa tidak boleh kosong. Jiwa harus terisi dengan “sesuatu'. Entah sesuatu itu bernilai baik atau bernilai buruk. Karena kesempurnaan jiwa adalah terisinya jiwa dengan rekaman-rekaman perbuatan kita selama hidup di dunia.

Isi jiwa inilah yang akan berbicara banyak tentang diri kita kelak. Kita akan menjadi orang yang beruntung di akhirat, jika kita mengisi jiwa kita dengan sesuatu yang baik, bersih dan suci. Yang berimbas pada keinginan-keinginan untuk tunduk pada Allah swt. dengan jalan melaksanakan semua apa yang diperintahkan bersama-sama dengan raga atau jasad. Dan merugilah kita apabila kita mengisi jiwa kita dengan perilaku-perilaku kotor yang dilarang oleh Allah seperti yang termaktub dalam kitab dan ucapan-ucapan Rasulnya.

QS. Asy Syams 9 & 10.
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا﴿٩﴾
“Qad aflaha man zakkaahaa”

”sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu”,

وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا﴿١٠﴾
“Wa qad khaaba man dassaahaa”

”dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”.

Itulah nafsu atau jiwa. Tak berlebihan kiranya Rasulullah saw mengatakan bahwa jihad yang paling besar dan berat adalah perang melawan “hawa nafsu” atau keinginan jiwa. Karena keinginan jiwa lebih tertuju pada sesuatu yang nyata dan bersifat duniawi. Logis, karena kehidupan yang sedang kita jalani adalah kehidupan dunia. Hingga keinginan-keinginan yang munculpun lebih banyak bersifat duniawi. Permasalahan menjadi lebih jelas tatkala kita mengetahui dan meyakini tentang adanya informasi tentang kehidupan lain setelah periode kehidupan dunia. Yaitu kehidupan akhirat.

Kehidupan akhirat mensyaratkan tentang “kualitas” jiwa untuk bisa mendapatkan “ridha” dari Allah swt. maka dari itu jiwa atau nafs yang mempunyai kualitas “baik” saja yang bisa dengan mudah memperoleh ridha Allah. Sedangkan persepsi tentang nafsu juga harus diubah. Selama ini kalau kita menyebut nafsu, yang terlintas di pikiran kita hanyalah suatu keinginan yang menggebu-gebu terhadap sesuatu. Jarang sekali terlintas di pikiran kita tentang jiwa dan penyempurnaannya. Yang bisa menyebabkan diterima atau tidaknya penyerahan diri kita kelak kepada Allah.

Nafs atau jiwa harus diberi sesuatu. Seperti seorang anak yang mempunyai banyak keinginan, hawa nafsu harus dikendalikan. Mana yang harus dipenuhi dan mana yang “tidak” harus dipenuhi. Bukan demi siapa-siapa tapi demi jiwa kita sendiri. Jika semua keinginan jiwa kita penuhi tanpa banyak pertimbangan, yang terjadi adalah, penuhnya “jiwa” dengan sesuatu yang hanya bisa di rasakan di dunia, tetapi sama sekali tidak berguna untuk kehidupan selanjutnya, yaitu akhirat.

Lantas bagaimana untuk bisa mengendalikan keinginan jiwa yang begitu banyak tersebut ?

Banyak dari kita yang berkonsentrasi untuk menahan nafsu atau keinginan dengan menghindar dari larangan yang telah tertulis dalam banyak buku pengetahuan agama. Kebanyakan dari kita juga hanya ingin tahu, apa larangan-larangan yang ditetapkan untuk manusia yang ber-agama. Padahal ada cara yang lebih efektif untuk bisa mengendalikan banyaknya keinginan jiwa dalam keduniaan tersebut. Yakni dengan membungkus jasad dengan perbuatan yang baik dan menghiasi hati dengan iman disertai pemahaman terhadap tanda-tanda Allah di seluruh alam semesta.

Hati harus bisa menjadi pemimpin atas jiwa dan raga. Jika hati tidak mampu memberikan solusi yang baik terhadap keinginan-keinginan jiwa yang berorientasi keduniaan, maka yang terjadi adalah pemenuhan jiwa dengan sesuatu yang tidak banyak membawa manfaat bagi kepentingan akhirat kita. Karena hati tidak pernah bisa menolak apa yang di inginkan oleh jiwa. Untuk itu hati harus sesering mungkin kita “traning” dengan lebih banyak memahami ilmu-ilmu agama. Dengan banyak belajar melalui para alim ulama` atau kitab-kitab yang mereka susun dan sebarkan.

Tujuannya adalah membentuk sebuah keyakinan yang kuat terhadap ketauhidan Allah dan kekuasaan Allah yang tak terbatas. Hingga hati mempunyai kekuatan dan otoritas untuk mengatur keinginan jiwa dan perilaku raga atau jasad. Dengan demikian tidak semua keinginan jiwa akan terpenuhi. Hal ini dikarenakan adanya sebuah kepentingan yang lebih besar berkaitan dengan jiwa dan raga. Bahwa hidup adalah sebuah persiapan menuju kematian. Dan kematian adalah jembatan menuju kehidupan akhirat yang jauh lebih kekal dari kehidupan dunia.

Hati adalah pemimpin jiwa dan raga. Jika hati tidak mempunyai kekuatan Iman, maka hati tidak bisa menjadi pemimpin yang baik. Sedangkan Raga adalah jasad. Yaitu tubuh atau fisik manusia yang bisa tumbuh dan mempunyai kekuatan. Untuk bisa kuat, raga membutuhkan “makan”. Untuk bisa sehat raga harus banyak bergerak dan makan dari bahan yang berkualitas “baik”. Demikian juga jiwa. Jiwa juga memerlukan asupan makanan. Jika yang di”konsumsi” berupa makanan yang “baik”, niscaya jiwa akan selalu sehat. Dan jiwa yang sehat tentu akan membawa kita pada situasi dan kondisi yang “normal” dan sehat pula.

Hati yang mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah pasti akan bisa memilah-milah mana keinginan jiwa yang harus dipenuhi dan mana keinginan jiwa yang harus di tolak. Hati akan selalu bertindak selektif dalam memilihkan makanan untuk jiwa dan raganya. Baik mengenai kualitas maupun kuantitasnya. Sehingga antara jiwa dan raga nantinya akan bisa berjalan secara selaras sesuai dengan tuntunan-tuntunan yang bersumber dari Allah melalui petunjuk-petunjuk yang ada dalam kitabNya dan contoh-contoh perilaku RasulNya.

Untuk itulah hati harus selalu diusahakan kekuatan Imannya, sehingga hati bisa memimpin jiwa dan raga dalam batas-batas perilaku orang yang beriman. Yang memerintah dan mengajak raga bertindak atas nama Allah serta mengisi jiwa dengan keinginan-keinginan yang bermanfaat bagi kebersihan dan kesucian jiwa sendiri. Serta memurnikan niatan-niatan berbuat sesuatu dalam keikhlasan karena Allah semata. Sehingga secara otomatis hati yang penuh Iman akan menghindarkan diri kita dari “hawa nafsu” atau keinginan jiwa yang kadang tidak memperdulikan keselamatan diri sendiri di hadapan Allah swt.

Bagaimana jika hati tidak berhias Iman ?

Hati yang tidak tersentuh oleh Iman atau keyakinan tentang tauhid dan kuasanya Allah tidak akan mempunyai kemampuan untuk menjadi pemimpin dalam mengisi kekosongan jiwa dari sesuatu yang baik dan tingkah laku raga atau jasad. Hingga hati akan selalu menyetujui apa yang menjadi keinginan jiwa atau “hawa nafsu”. Jika hati tidak bisa memimpin dan menghadang kemauan jiwa yang selalu “haus dan lapar”, maka yang terjadi adalah lahirnya ke-angkara murka-an di muka bumi. Yang bukan saja berbahaya bagi diri sendiri, tapi juga berbahaya bagi orang lain dan makhluk-makhluk Allah yang lain yang hidup bersama-sama kita.

Bagaimana tidak ? Jiwa yang kosong seperti keberadaan perut yang lapar. Selalu membutuhkan sesuatu untuk dimasukkan ke dalamnya hingga kenyang atau puas. Kemudian timbul lagi dan timbul lagi di saat yang lain. Seperti sebuah disket atau flash disc dalam kesatuan sebuah komputer. Manusia yang mengoperasikan bertindak sebagai “hati”, monitor bertindak sebagai raga dan memory penyimpanan berupa cakram di dalamnya bertindak sebagai jiwa.

Makanan raga atau layar monitor adalah data yang dimasukkan dari keyboard, sedang makanan jiwa atau harddisk adalah file-file yang tersimpan di dalamnya. Jika manusia atau hati komputer berkekuatan Iman, maka yang tampak di layar dan tersimpan di harddisk adalah sesuatu yang benar menurut ajaran agama. Jika manusia atau hati komputer tidak berkekuatan Iman, maka yang tampak di layar dan tersimpan di harddisk adalah sesuatu yang tidak banyuak berguna bahkan bertentangan dengan ajaran agama. Demikian akan berlangsung terus sepanjang kita menggunakan komputer tersebut sampai monitor rusak atau harddisk penuh sesak.

Demikian juga dengan manusia, jika mayoritas manusia mempunyai hati yang lemah Iman, yang terjadi adalah sebuah kekacauan dalam kehidupan. Baik bagi diri sendiri, keluarga, lingkungan sekitarnya sampai lingkungan dalam skala yang lebih luas lagi, yaitu komunitas sebuah masyarakat. Dimana tidak ada kejelasan antara yang benar dan yang salah. Yang ada hanyalah sifat-sifat kebinatangan. Dimana berlaku hukum rimba, siapa yang kuat dialah yang menang. Yang akan berlanjut pada perlakuan perebutan kekuasaan, penindasan, pelecehan hak-hak manusiawi dan pemusnahan masal etnik-etnik manusia yang dianggap tidak berguna bagi dirinya atau kelompoknya.

Demikianlah, hawa nafsu atau keinginan jiwa jangan hanya dibunuh atau dimusnahkan, tetapi kendalikan dan gantikan dengan sebuah keinginan-keinginan yang positif. Yaitu sebuah keinginan yang berlandaskan pertimbangan hati yang penuh kekuatan Iman. Sehingga keinginan-keinginan jiwa yang sebelumnya banyak berorientasi pada nikmatnya dunia bisa berubah orientasi menjadi kepentingan dunia dan akhirat dengan penekanan pada kehidupan akhirat yang lebih utama.

Sekian.
Ditulis oleh : Agushar, 13 Juli 2010.
Selengkapnya...

Selasa, 13 Juli 2010

Berpalingnya Bola Mata


Kunci dari pada hilangnya Iman adalah berhentinya keterlibatan hati dalam mempertimbangkan sesuatu. Hati tidak lagi dijadikan “dewan penasihat dan pertimbangan” tentang benar atau tidaknya sebuah keputusan yang akan diambil. Juga berpalingnya kelima indera dalam menjalankan fungsinya. Lima indera yang seharusnya digunakan untuk memberikan informasi tentang tauhid dan kuasanya Allah kepada hati, ternyata hanya berhenti pada batas atau sekat antara lima indera dengan hati. Sehingga yang ada hanyalah rasa nikmat dunia atau nikmat material. Yang sama sekali tidak berguna dalam membangun kedekatan diri dengan sebuah dzat yang pernah menciptakan dan paling berkuasa atas segala sesuatu yang ada di alam semesta ini.
Mengapa bisa begitu ?

Karena kita ingin menikmati “informasi” yang mempunyai “rasa” tersebut sampai puas, untuk kemudian membuangnya ke tempat sampah. Hal itu berlangsung terus menerus. Bahkan bisa berlangsung seumur hidup untuk orang-orang yang ingkar tentang kebenaran adanya Allah. Oleh sebab itu tak berlebihan kiranya kalau dikatakan bahwa jihad yang paling berat adalah “menahan” hawa nafsu. Karena hawa nafsu cenderung hanya untuk memenuhi kebutuhan jasmaniah duniawi. Sangat jarang nafsu membawa seseorang pada peningkatan perilaku ibadah. Kalaupun ada prosentasenya sangat kecil sekali. Dan itupun belum bisa dijadikan jaminan akan terus eksis dalam hati.

Marilah kita coba untuk meneliti tentang berpalingnya indera, khususnya “mata” yang ada pada diri manusia. Jumlah indera yang “nyata” ada lima dan selalu kita gunakan sehari-hari sebagai alat penerima atau reaciever. Insya Allah keempat indera yang lain selain mata akan saya coba tulis lain kesempatan. Mata adalah salah satu indera yang bisa menyebabkan seseorang rela untuk menukar Iman yang sudah tertanam dihati dengan sebuah keingkaran terhadap Allah dan kuasaNya terhadap alam semesta.

Mata adalah kamera yang mempunyai fungsi menangkap obyek dan meneruskan data-data obyek yang telah dilihatnya pada otak. Jika mata melihat sesuatu, otak akan mengolah apa yang telah dilihat oleh mata. Lalu otak memberikan kesimpulan apa yang telah dilihat oleh mata. Disamping mengolah data yang masuk, otak juga meneruskan informasi ke hati untuk diolah lagi dan dipertimbangkan apakah sesuatu yang telah kita lihat tersebut membawa manfaat yang baik atau tidak. Jika baik maka mata boleh meneruskan aktifitasnya. Jika tidak membawa manfaat maka mata harus mengalihkan le obyek yang lain yang lebih memberikan manfaat.

Mata akan selalu mencari “sasaran” untuk di lihat. Karena memang demikianlah tugas mata. Apa yang telah di lihat oleh mata diteruskan ke hati oleh otak. Pada otak ada “akal”. Yang bisa membolak balikkan sebuah fakta. Jika seseorang menjadikan akal sebagai pemimpin dalam setiap langkah hidupnya, maka yang terjadi dalam setiap langkahnya hanyalah akal-akalan saja. Tidak pernah bisa mengungkap apakah sebuah langkah sudah berada di jalan yang benar atau justru berada di jalan yang tidak benar.

Otak yang “egois”, pasti akan cenderung untuk menikmatinya sendiri dan tidak tidak perduli apa yang akan dikatakan oleh hati. Karena kita menjadikan akal yang ada di otak sebagai pemimpin langkah kita. Bukannya hati. Jika hati yang kita jadikan pemimpin, pasti ada sebuah tawaran antara benar dan tidak terhadap setiap langkah yang akan kita ambil. Jika kita menghiasi hati kita dengan Iman niscaya langkah kita akan senantiasa berjalan diatas jalan yang benar. Tetapi jika kita menghiasi hati kita dengan sesuatu makhluk selain Allah, maka yang terjadi adalah kesalahan dalam setiap langkah dalam kehidupan kita. Sangat berbeda dengan mereka yang menjadikan hati sebagai pemimpin di setiap langkahnya.

Jika hati mengeluarkan keputusan “tidak” layak untuk dilihat, maka orang yang menggenggam Iman harus segera memalingkan matanya dari apa yang telah dilihatnya. Jika tidak, maka sebagian Iman akan keluar dari hati yang menyebabkan berkurangnya Iman. Dan jika hal ini berlangsung terus menerus bisa dipastikan, Iman akan meninggalkan hati orang tersebut. Apalagi jika mata melakukannya bersama-sama dengan indera yang lain. Maka akan lebih cepat lagi Iman akan meninggalkan hati seseorang.

Fungsi mata yang sebenarnya adalah mencari dan melihat obyek yang bisa dipakai untuk menjelaskan tanda-tanda ada dan eksisnya Allah di alam. Juga digunakan untuk membaca ayat-ayat yang tertulis dalam Al Qur`an. Sehingga tujuan hidup manusia sebagai makhluk ibadah akan bisa tercapai. Tapi dalam kenyataan sehari-hari manusia banyak yang menggunakan mata hanya untuk kesenangan dunia saja. Hanya digunakan untuk mendeteksi sesuatu baik dan berguna secara fisik saja. Dan hanya dinikmati tanpa direnungkan siapa yang telah membuat semua itu dengan begitu bagus indah.

Marilah kita coba sedikit memperhatikan aktifitas mata kita selama sehari semalam. Saat bangun dari tidur, apa yang dilakukan oleh mata kita ? Mungkin melihat Jam dinding lalu mencari air untuk berwudlu kemudian shalat subuh dan diteruskan membaca Al Qur`an. Atau melihat jam dan memastikan, bahwa sesuatu yang dimiliki masih tetap ditempatnya seperti disaat kita berangkat tidur. Kemudian ke kamar mandi untuk cuci muka lantas mencari sesuatu yang bisa dimakan atau menyulut rokok. Lalu duduk-duduk sambil membaca koran. Atau mencari remote televisi dan menghidupkannya untuk melihat sajian-sajian acaranya.

Manakah diantara aktifitas tersebut yang paling sering kita lakukan ? Jika ada aktifitas membaca Qur`an, berarti kita masih peduli dengan diri kita. Masih bisa menggunakan mata sebagaimana fungsinya. Jika kita membaca koran, masih ada “benarnya” walaupun tidak se”benar” membaca Kitabullah Al Qur`an. Mungkin akan semakin menambah wawasan pengetahuan walaupun tidak berefek pada bertambahnya kepahaman ayat-ayat Allah. Masih mending dari pada duduk-duduk dengan tatapan mata kosong yang membuat mata tidak begitu berarti di pagi hari yang sebenarnya penuh arti.

Jika kita melihat televisi, acara apa yang kita perhatikan. Jika acara kajian ilmu agama, berarti kita perduli dengan diri dan Iman kita. Jika berita-berita keduniaan yang kita nikmati, hal itu masih mending. Karena kita tidak akan ketinggalan tentang suatu berita yang akan banyak menjadi pembicaraan orang banyak. Walau tidak banyak berefek pada betambahnya Iman. Jika kita melihat acara “ghibah”, yang banyak mengupas kehidupan pribadi seseorang, terutama sisi negatifnya, maka kita telah melakukan kesalahan dalam menjalankan fungsi mata yang sebenarnya.

Semua tergantung diri kita sendiri. Pagi hari yang diawali dengan shalat dan membaca kitabullah serta keluar rumah sejenak untuk memastikan bahwa malam akan berganti dengan siang adalah awal yang baik untuk sebuah “hari”. Kemudian berpikir sejenak tentang kejadian bergantinya malam ke siang yang membawa bukti bahwa ada sebuah dzat yang membuat malam dan siang selalu berganti atau bertukar, yaitu Allah swt. Yang menyebabkan semua makhluk bisa meneruskan dan menyempurnakan umur yang telah ditetapkan. Yang bisa menyebabkan manusia bisa berusaha mencari karunia-karunia Allah yang begitu berlimpah di alam.

Kemudian di siang hari. Setiap diri mempunyai aktifitas masing-masing yang antara satu dengan yang lain relatif berbeda. Ada yang menuntut Ilmu. Ada yang mencari nafkah. Dan keberadaan serta normal atau tidaknya mata menjadi sesuatu yang sangat vital di siang hari. Sehingga mata yang normal harus bisa menjadi penyebab “kesyukuran” seseorang kepada Allah swt. Aktifitas yang baik disiang hari termasuk “ibadah”. Baik menuntut ilmu atau mencari nafkah untuk keluarga. Dan diantara waktu siang itu ada dua shalat yang harus ditunaikan oleh seorang muslim, yaitu dzuhur dan ashar. Maka apabila tiba waktu shalat tersebut kita harus segera kembali untuk mengingat Allah.

Sepanjang mata digunakan untuk menunjang aktifitas kerja, berarti kita telah memfungsikan mata sesuai dengan kegunaanya. Tapi jika disela-sela ibadah kerja dan menuntut ilmu itu kita menggunakan mata untuk melihat sesuatu yang tidak diperbolehkan oleh agama, maka berarti kita telah mengotori ibadah kita disiang hari tersebut. Sepanjang hanya melihat sekilas mungkin tidak seberapa berarti dosanya. Tapi jika dengan kesengajaan untuk menikmati pemandangan yang “diharamkan”, maka kita telah berlaku zholim pada diri kita sendiri. Dan tidak menggunakan funsi mata dengan seharusnya.

Di malam hari untuk apa paling banyak kita menggunakan mata kita ? Mungkin untuk belajar bagi yang tertarik untuk belajar. Tapi bagi banyak orang penggunaan mata di malam hari sangatlah beragam. Ada yang digunakan untuk membaca. Baik itu kitabullah atau bacaan-bacaan yang lain yang bermafaat untuk menambah keimanan. Ada yang hanya sekedar membaca untuk hiburan, seperti majalah, tabloit yang berisikan aneka berita. Ada yang menggunakan untuk menonton televisi. Dan ini yang paling banyak. Karena memang pada jam-jam tersebut televisi menyajikan tayangan-tayangan yang “merangsang” mata untuk melihat.

Tayangan televisi setelah maghrib sampai tengah malam adalah waktu yang riskan buat mata kita. Karena jam-jam tersebut paling banyak menayangkan acara hiburan. Dari mulai sinetron yang sedikit “berguna” untuk konsumsi Iman sampai dengan tayangan yang benar-benar tidak berguna bagi Iman. Begitu banyak tayangan yang menyajikan aurat wanita yang seharusnya tak boleh terlihat oleh mata. Dada atas yang terbuka, paha yang memang sengaja diperlihatkan. Pakaian yang begitu ketatnya hingga tak berbeda bentuknya antara telanjang dan berpakaian.

Kalau kita tidak hati-hati dan selektif, bukan tidak mungkin mata kita akan terjejali dengan pemandangan-pemandangan yang seharusnya tak boleh dilihat oleh mata orang beriman. Karena budaya televisi mengadopsi tayangan-tayangan negara-negara lain yang tidak mengenal “aurat”. Sehingga tak ada lagi batasan antara setengah telanjang dan berpakaian. Sepertinya ada misi untuk membiasakan mata orang-orang Islam untuk melihat “aurat” wanita yang memang dalam Islam “sangat” tidak diperbolehkan. Seperti sebuah kesengajaan untuk “menjual” aurat demi keuntungan dalam bisnis semata.

Itu yang ada di dalam rumah. Belum lagi pemandangan yang ada diluar rumah. Di banyak tempat hiburan malam yang tersebar di kota-kota besar. Acara mengumbar aurat seperti sudah dilegalkan. Juga yang banyak ditawarkan di cakram-cakram DVD. Jika mata kita sering terjejali dengan sajian-sajian hiburan malam, maka benar-benar kita telah merugikan diri sendiri dan telah salah memanfaatkan mata dari Allah yang melekat di wajah kita. Apalagi kita menikmatinya hampir setiap malam. Sudah bisa dipastikan pula bahwa pikiran kita akan penuh dengan sesuatu yang pernah atau biasa kita lihat tersebut.

Sebenarnya apa yang harus dilihat oleh mata pada saat-saat tersebut selagi tidak ada kesibukan yang positif. Selain membaca ayat-ayat qouliyah yang ada dalam Al Qur`an, kita bisa keluar halaman rumah untuk melihat ke atas atau angkasa. Kita bisa melihat bulan dan berfikir tentang diri bulan. Dari mulai terciptanya bulan sampai pada bersinar dan bulat atau tidaknya penampakan diri bulan. Demikian juga dengan bintang-bintang yang bertebaran di langit. Apa sebenarnya bintang tersebut. Bagaimana terciptanya, untuk apa diciptakan. Semua itu bisa kita explore dengan pikiran kita. Tujuannya adalah agar kita memahami bahwa alam ini ada yang menciptakan. Yang berkuasa atas apa yang ada di dalamnya. Termasuk diri kita.

Lantas apa yang dilakukan oleh mata kita pada saat malam mulai larut ? Mungkin kebanyakan kita mengatupkan mata untuk tidur. Istirahat setelah seharian disibukkan oleh urusan pekerjaan. Tidur ini bisa berakhir sampai mendekati waktu subuh atau bahkan menabrak waktu subuh sampai matahari benar-benar terlihat. Tergantung seberapa kuat keinginan kita untuk melakukan shalat subuh tepat pada waktunya atau justru ingin memperlambat. Atau mungkin memang enggan untuk melakukan shalat subuh. Tapi yang pasti mata digunakan untuk tidur.

Ada sebagian orang yang memilih tidur lebih awal untuk kemudian bangun di malam hari. Mereka membuka mata dan mengambil air wudlu untuk melakukan shalat malam atau membaca Al Qur`an serta memahami maknanya. Dan yang seperti ini bisa dikatakan mengajak mata beribadah untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Hanya orang yang berkeinginan kuat terhadap Iman sajalah yang akan membuka matanya untuk shalat malam. Keinginan yang lain adalah dekatnya diri dengan Allah dan ampunan serta tempat yang nyaman kelak di akhir kehidupan dunia.

Demikianlah, hendaknya kita memperhatikan kegunaan mata kita dan mengerti manfaat apa yang bisa diambil dari diberikannya mata oleh Allah di bagian wajah kita. Dan senantiasa menggunakan untuk hal-hal yang bermanfaat bagi bertambahnya Iman. Sehingga tujuan akhir dari hidup berupa kematian dalam Iman dan Islam nantinya bisa terwujud serta mendapatkan ridha dari Allah swt.

Sekian.
Ditulis oleh Agushar, 7 Juli 2010.
Selengkapnya...

Minggu, 11 Juli 2010

Mempermainkan Iman


Iman yang menghiasi diri orang-orang mukmin adalah sebuah anugrah dari Allah. Sebuah rahmat yang menjadi impian dan dambaan orang-orang yang menginginkan mati dalam keadaaan Islam. Dimana antara pahala dan dosa sudah jelas perhitungannya. Antara surga dan neraka yang begitu dekat keberadaanya. Dalam Islamlah orang beriman berharap akan benar-benar bertemu dengan TuhanNya. Dialah Allah swt. Tuhan yang sebenar-benarnya Tuhan. Yang akan memberikan keadilan atas semua amalan yang telah dibawa oleh masing-masing orang ketika masih berada di alam dunia.
Sebuah ajaran yang membawa keseimbangan dalam penyampaian berita dari alam akhirat. Berita-berita dari neraka dengan berbagai siksanya. Berita-berita dari surga dengan berbagai kenikmatannya. Semua tersaji dengan transparan, tanpa ada yang perlu disembunyikan. Sebuah agama yang benar-benar membawa kejujuran kepada para pengikutnya. Sebuah agama yang dicari dan dibutuhkan. Sehingga orang-orang mengikutinya dengan kerelaan diri dan keikhlasan hati. Bukan sebuah agama yang hanya menjual surga dengan mengingkari neraka. Seperti sebuah agama yang selalu ingin menambah pengikutnya dan selalu disibukkan dengan perekrutan anggota-anggota baru untuk menunjukkan sekedar “keberadaan”nya.

Islam membawa pesona. Sehingga mereka yang mau menggunakan akalnya, hampir pasti seluruh hasil pemikirannya akan bermuara pada ketauhidan hanya kepada Allah swt. Inilah yang membuat pemimpin agama yang ada sebelum Islam begitu khawatir akan perkembangan agama baru ini. Hingga dengan susah payah mereka berusaha dengan berbagai cara untuk mempengaruhi orang-orang yang telah mengikhlaskan dirinya masuk agama Islam. Dengan jalan halus maupun dengan jalan kekerasan. Hal ini berlangsung terus sejak jaman Rasulullah saw sampai dengan saat ini.

Mereka yang telah membulatkan tekad untuk mati dalam Islam tidak akan ada yang bisa menghalangi niatannya. Seberat apapun siksa yang akan diterimanya dari orang-orang yang sebelumnya menjadi tuan atau pernah menjadi kawannya, tak kan bisa menggoncangkan Iman mereka. Contoh nyata yang masih banyak diingat orang-orang yang hidup saat ini adalah kisah Bilal yang sangat mengharukan. Dimana kekuatan Iman tidak bisa menggoncangkan keinginan untuk tetap dalam ketauhidan. Siksaan dan cacian hanya semakin menambah kuatnya keyakinan, bahwa apa yang dibawa Nabi Muhammad saw, adalah sebuah kebenaran yang nyata.

Disamping perjalanan hidup Rasulullah saw dalam mempertahankan dan menawarkan kebenaran ber-Tuhan, masih banyak kisah para sahabat yang patut dijadikan contoh atau teladan untuk orang-orang yang hidup pada saat sekarang. Dimana kesibukan pelaksanaan ibadah tidak membuat mereka enggan atau bosan. Bahkan semakin menambah kuat Iman mereka. Juga manis dan gemerlapnya dunia tidak pernah membuat mata mereka silau. Hingga cita-cita untuk mati dalam Islam benar-benar bisa kesampaian. Dan harapan untuk bisa “hidup” bersama-sama dengan orang-orang saleh menjadi sebuah kemungkinan yang sangat besar.

Realitas kehidupan umat saat ini tidak jauh berbeda dari jaman dulu. Mereka yang telah menggenggam Iman belum tentu akan terus menggenggamnya. Bahkan Iman bisa begitu mudah akan meninggalkan diri seseorang jika orang tersebut memalingkan diri dan hatinya dari Allah. Iman senantiasa bergerak. Seperti pasang surutnya air laut atau bergeraknya angin. Sedangkan manusia senantiasa dihadapkan pada dinamisnya perkembangan budaya kehidupan. Dimana manusia bertingkah laku selaras dengan laju perkembangan gaya hidup kapitalis. Yang menyebabkan manusia saling berlomba meraih sukses dunia. Hingga hampir tidak ada waktu yang tersisa untuk sekedar mengingat Allah.

Membangun Iman adalah sesuatu yang berat. Hasil riilnyapun baru bisa kita rasakan kelak setelah kita meninggalkan semua apa pernah kita miliki di dunia. Antara satu orang dengan orang yang lain berbeda “keteguhan” dalam beriman. Sedangkan teguh atau tidaknya sebuah keimanan sangat bergantung pada respon kita terhadap segala sesuatu yang kita terima melalui kelima indera yakni mata, telinga, hidung, lidah dan kulit. Jika kita jujur, tentu respon itu akan kita teruskan pada “hati”. Jika kita tidak jujur, tentu kita akan berlaku khianat dengan menghentikan laju informasi pada saat kita merasakan nikmat atau senang.

Seseorang beriman yang terbiasa hidup susah belum tentu bertahan dalam keimanannya apabila ditawarkan kepadanya sejumlah materi yang akan membuat dia bisa hidup bergelimang harta. Walaupun orang yang menawarkan lapangan kerja tersebut mempunyai tendensi tertentu. Misalnya ingin menariknya kedalam komunitas mereka yang berlainan agama. Dan hal seperti ini sangat sering terjadi di masyarakat. Satu contoh, mereka yang kesulitan mendapatkan lapangan kerja dalam jangka waktu yang begitu lama akan mempertimbangkan tawaran materi tersebut, walau dengan taruhan berpindah keyakinan.

Dan sebuah keputusan yang “salah” bisa saja begitu mudah untuk diambil. Dalam kebingungan yang panjang seseorang akan menutup mata dan hati dari lingkungan sosial sekitarnya. Demi lapangan kerja sebuah keyakinan tentang sesuatu yang “benar” rela dipertaruhkan. Ditukar dengan sebuah lapangan kerja yang dianggap akan bisa menjamin kebutuhan perut, lalu merelakan diri menerima sebuah keyakinan yang sebelumnya begitu dia yakini sebagai sesuatu yang “tidak” logis. Padahal lapangan kerja yang ditawarkan kadang hanya penjaga dan perawat rumah, penjaga keamanan rumah, atau pelayan toko.

Seperti juga mereka yang rela untuk tidak lagi berjama`ah di masjid dan perlahan namun pasti berjalan menjauhi saudara-saudaranya seiman demi bingkisan bahan pokok pengisi perut yang akan diterimanya pada setiap bulan. Mereka adalah orang-orang yang tidak tahan terhadap ujian yang diberikan oleh Allah kepadanya. Padahal Allah menjanjikan sebuah balasan di akhirat yang jauh melebihi dari apa yang telah diterima sekedar untuk mengenyangkan perut. Tapi bagaimanapun pilihan telah dijatuhkan. Mereka lebih memilih untuk berpaling dari Allah demi sesuap nasi.

Mereka inilah orang-orang yang memalingkan perutnya dari rasa lapar ke “asal” kenyang. Tidak perduli lagi dengan arti sebuah keyakinan dalam beragama. Mereka adalah orang-orang yang tidak tahan menderita dalam keimanan. Sangat berbeda dengan mereka yang mengikhlaskan dirinya dalam Islam. Mereka tetap akan bertahan untuk tetap mempertahankan Iman, walaupun harus hidup dalam kesulitan dan kekurangan materi. Mereka lebih memilih untuk hidup miskin asal tetap bertahan dalam Iman dan ketauhidan pada Allah dari pada “kenyang” tapi mengingkari sebuah kebenaran tentang Allah.

QS. Ali Imran 177.

إِنَّ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الْكُفْرَ بِالْإِيمَانِ لَنْ يَضُرُّوا اللَّهَ شَيْئًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ﴿١٧٧﴾
“Innal ladziinasy tarawul kufra bil Imaan lan yadhurrullaha syai`an wa lahum adzaabun aliimu”

”Sesungguhnya orang-orang yang menukar iman dengan kekafiran, sekali-kali mereka tidak dapat memberi mudharat kepada Allah sedikitpun; dan bagi mereka azab yang pedih”.

Kalau dijaman Rasulullah banyak orang berbalik arah menjadi kafir lagi karena takut dengan kaum musyrik dengan segala ancamannya, maka orang di jaman sekarang bukan takut akan serangan dengan senjata, tapi takut hidup dalam kefakiran dan takut tidak bisa memperoleh sesuatu untuk makan esok harinya. Dan Allah tidak akan merasa dirugikan sedikitpun dengan ulah orang-orang seperti itu. Dan tidak pula akan mengurangi kekayaan dan kekuasaanNya atas langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada diantara keduanya. Dan hendaknya semua orang tahu bahwa siksa Allah sangatlah pedih buat mereka yang menukar Iman dengan kekafiran.

Ada lagi yang rela meninggalkan amalan-amalan yang tadinya begitu dida`wamkan atau lebih berani menerjang larangan-larangan yang tadinya begitu dia takuti. Hal seperti ini biasanya terjadi pada seseorang yang “lugu” dan terbiasa hidup dalam kesederhanaan. Lalu tiba-tiba ada kesempatan terbentang di depan mata, yaitu sebuah jalan atau cara agar bisa menjadi orang kaya dalam waktu yang “singkat”. Yang membuat pikirannya senantiasa tertuju pada tawaran tersebut. Mereka juga berpikir bahwa sangatlah sayang kalau kesempatan emas harus dilewatkan begitu saja. Padahal kesempatan tersebut sudah terbuka demikian lebar dan tinggal berkata “ya” atau “tidak”.

Cara-cara yang ditawarkan untuk bisa “kaya” begitu banyak ragamya. Ada yang bersedia memberikan persetujuanya dengan imbalan “uang” yang sangat “wah” jumlahnya. Bisa dilakukan sendiri atau secara berjama`ah. Seperti yang sering terjadi di level eksekutif maupun legislatif dalam sebuah pemerintahan. Ada yang meng”ada-adakan” sesuatu yang seharusnya tidak perlu ada demi keluarnya anggaran yang nantinya bisa digunakan secara pribadi. Ada pula yang dengan sengaja melakukan manipulasi data-data yang ada sehingga terjadi “surplus” dana. Sudah barang tentu kelebihan dana ini nantinya akan dipakai secara pribadi atau akan dipakai “bancakan” dengan sesama rekan.

Orang-orang seperti ini tidaklah perlu untuk berganti keyakinan. Mereka “cukup” mengingkari apa yang telah dilarang oleh Allah dalam KitabNya. Mereka mempertaruhkan Iman dengan berbuat sesuatu yang dilarang oleh agama yang mereka anut. Yang penting ada uang “masuk”. Toh kebutuhan sehari-hari juga sangat besar. Tak perduli kualitas Iman akan berkurang. Yang penting hasrat bisa terpenuhi. Perkara Iman menurun atau surut itu urusan nanti. Kan masih ada waktu buat menaikkannya kembali ?

Masih banyak cara untuk menjadi kaya dengan cepat. Diantara jalan tersebut ada sebuah jalan yang juga banyak ditempuh oleh orang-orang yang lemah Iman. Sebuah jalan yang disebut dengan “pesugihan”. Cara ini adalah cara yang paling berbahaya bagi diri sendiri. Dengan mempertaruhkan Iman kepada Allah dengan berganti keyakinan terhadap bangsa Jin untuk memperoleh apa yang di inginkan. Terutama kekayaan materi untuk hidup di dunia. Bukan tanpa resiko mencari kekayaan dengan cara seperti ini.

Sebuah perjanjian dengan jin harus dilakukan. Dan sebuah “wadal” atau sebuah “pengorbanan” harus dipenuhi jika tidak ingin sesuatu akan terjadi dengan dirinya sendiri. Sesuatu ini menyangkut keselamatan diri mereka yang mengadakan perjanjian dengan setan atau jin untuk sebuah “pesugihan”. Jika berhasil seseorang akan mendapatkan apa yang menjadi keinginan mereka. “Kekayaan” akan mereka dapatkan. Tentu saja bukan tanpa resiko. Orang-orang sekitarnya akan banyak pula yang meragukan. Sebab kekayaan yang diperoleh dengan tidak wajar pasti mengundang banyak pertanyaan .

Dan Allah mengancam orang-orang yang berperilaku seperti ini dengan neraka. Perilaku syirik atau menyekutukan Allah tidak akan mendapatkan ampunan sampai kapanpun dari Allah. Dan mereka akan berada di neraka selama kekalnya langit dan bumi. Orang-orang seperti ini “mengabaikan” Iman dan cenderung bertuhan pada selain Allah. Mereka berteman, bersekutu, bersandar dan meminta apa yang mereka hajatkan pada selain Allah. Sebuah dosa yang tidak akan pernah terampuni karena telah menyekutukan Allah.

Ada lagi seseorang yang mempertaruhkan diri dengan menukar sebuah keimanan dengan kekafiran. Seseorang yang rela membuang semua keimanannya kepada Allah hanya untuk melegalkan hubungan melalui sebuah pernikahan. Baik laki-laki atau perempuan, yang semula bertauhid kepada Allah lalu dengan ringan seakan tanpa beban berganti keyakinan lain dengan meninggalkan agama Islam ke keyakinan yang lain hanya demi mempertahankan “cinta”. Mereka merasa bahwa tidak ada seorangpun yang bisa memisahkan kebersamaannya kecuali sebuah kematian. Hingga mereka merelakan Iman hanya kepada Allah lepas dari hatinya.

Lantas bagaimana semua itu bisa terjadi ?

Penyebab utama tidak lain kecuali hanya lemahnya Iman. Iman yang lemah secara hirarki akan bertempat di posisi paling bawah. Tidak begitu penting keberadaannya. Dengan posisi yang lemah Iman tidak bisa berbicara banyak dalam menentukan langkah dan arah mana yang harus di tempuh. Iman hanya bisa bertindak sebagai pengikut atau penumpang sebuah caravan. Tidak punya andil dalam menentukan tujuan karena tidak punya power atau kekuatan. Sehingga lama kelamaan Iman akan memisahkan diri dari kafilah jika arah dan tujuan tidak lagi menuju pada satu titik sentral yaitu sebuah ketauhidan hanya kepada Allah swt.

Sudah seharusnya Iman menjadi pilot atau pengendali sebuah perjalanan, bukan sebagai penumpangnya. Karena pilot ataupun nachoda sebagai pengendali sebuah perjalanan lebih pantas dan terhormat untuk tetap bersama-sama pesawatnya dalam “kehancuran” jasad setelah menyelamatkan semua penumpangnya berupa amal perbuatan yang baik. Jika Iman tidak mempunyai power dan otoritas dalam merencanakan langkah dan arah mana yang akan dituju, maka yang terjadi adalah ke-tidakberdayaan Iman dalam menghindarkan diri dari musibah-musibah yang akan terjadi selama dalam perjalanan.

Maka dari itu setiap orang yang merasa beriman harus memberikan ruang dan otoritas kepada Iman dengan berusaha memperkuat atau memperkokoh kedudukan Iman sebagai pengendali perjalanan hidup kita. Agar kita senantiasa tetap berjalan pada jalur yang benar dan senantiasa terlindung dari bahaya-bahaya yang tampak di depan mata maupun yang tidak terlihat oleh mata. Dan menempatkan hawa nafsu di tempat yang tersimpan rapat dan tidak mudah lepas. Sehingga perjalanan kita akan menjadi sebuah perjalanan yang tenang, nyaman, aman, lancar dan selamat sampai di tujuan yaitu Allah swt.

Sekian.
Wrote by Agushar, 6 juli 2010.

Selengkapnya...

Senin, 05 Juli 2010

Pangkalan Militer Setan


Sebelum ada video player dengan kaset “pita” orang secara sembunyi mencari dan menyimpan majalah porno terbitan eropa atau amerika. Tidak begitu banyak, tapi ada. Apalagi di kalangan pelajar saat itu. Lalu datang perangkat pemutar film jenis pita, lebih dikenal dengan kaset VHS. Mulailah era film biru atau BF. Sebuah film yang menyuguhkan permainan sex normal dan abnormal. Tidak semua orang bisa menikmati BF saat itu. Hanya orang-orang tertentu yang “mampu” membeli perangkat pemutarnya yang bisa dengan leluasa menikmatinya.

Lama kelamaan semakin banyak beredar player-player sejenis, dan BF pun punya tempat tersendiri di masyarakat. Terutama orang “kaya” dan kalangan muda atau pelajar tingkat menengah. Pada akkhirnya BF dipertontonkan secara umum dengan sembunyi-sembunyi karena takut razia petugas. Dan anak-anak setingkat SMP dan SD pun akhirnya bisa menikmati dengan membayar sejumlah uang sebagai “ticket”nya. Jadilah kita masyarakat penikmat film porno secara ilegal. Juga buku-buku “putih” yang berisikan cerita-cerita sex yang sangat digemari kaum muda.

Beberapa waktu kemudian datang perangkat yang lebih baru yang disebut Laser Disc. Saat itu harganya masih begitu mahal. Hanya orang “kaya” yang leluasa menikmatinya. Termasuk menikmati film biru produksi manca negara. Walaupun secara resmi “dilarang” tapi orang dengan mudah mendapatkan film-film porno di tempat-tempat tertentu yang sudah menjadi langganan mereka. Belum begitu lama laser disc beredar, muncul lagi tehnologi pemutar film yang relatif lebih murah harganya. VCD Player yang kemudian disusul dengan DVD player. Yang membuat banyak orang bisa membeli dengan mudah.

Mulailah kebiasaan memutar film di rumah menjadi kesenangan baru. Hampir tiap rumah mempunyai perangkat pemutar film ini. Dan peredaran film biru pun semakin transparan. Bahkan banyak dijual secara sembunyi-sembunyi di kios-kios pedagang kaki lima. Ditambah lagi dengan beredarnya ponsel berkamera dan kemudahan mengakses internet serta masuk ke situs-situs porno, membuat semakin merajalelanya pornografi di mata dan pikiran masyarakat dari segala lapisan.

Kita boleh mengingkari semua paragraf diatas, tapi kalau kita merasa hidup sekitar tahun 80-an sampai saat ini, saya yakin banyak yang bisa menjelaskan lebih detil lagi tentang maraknya peredaran film biru di kalangan remaja pelajar dan masyarakat tertentu yang menggemari jenis film tersebut. Apalagi untuk saat ini. Tehnologi kamera yang teraplikasi pada ponsel yang sudah seperti “jajanan” anak-anak membuat hampir setiap mata dengan mudah untuk melirik adegan sex mulai dari yang “sopan” sampai yang demikian “kurang ajar”.

Jika boleh diambil kesimpulan, bahwa pornografi saat ini ada di depan mata kita dan benar-benar sudah “telanjang” bulat. Betapa tidak ? Dari mulai majalah, tayangan televisi, yang penuh “dada” dan “paha” sampai lempengan cakram dan “siaran langsung” dari kamera digital maupun kamera ponsel. Dan sebagian besar dari kita sudah sangat akrab dengan perangkat-perangkat tersebut. Lantas ? Masihkah kita akan mengingkarinya ?

Realitas yang ada saat ini adalah, kita semua tidak punya daya atau kekuatan untuk menghentikannya. Tidak masyarakat, aparat atau pejabatnya sekalipun. Bahkan merupakan sebuah kemungkinan yang besar, bahwa kita adalah penikmat pornografi “dibelakang” pintu. Kalau diluar pintu kita sok bersih, sok suci, sok tidak pernah melirik adegan “panas”. Berteriak keras-keras menolak dan ikut menghujat. Tapi bagaimana seandainya kita berada di ruangan yang steril dari penglihatan manusia beneran ? Hanya diri kita masing-masing dengan kejujuran yang sangat “langka” yang bisa memberikan informasi mengenai aktifitas hati dan mata kita yang “apa adanya”.

Sekali lagi kita boleh membantah semua paragraf di atas. Tapi pertimbangkan juga realitas yang terjadi saat ini di masyarakat. Pergaulan remaja yang demikian bebas, tempat hiburan malam yang bertebaran hampir di semua sudut kota. Tempat prostitusi yang dipertahankan keberadaannya, bahkan para “karyawan”nya banyak yang di ”bina” demi “kepuasan” pelanggan. Masihkah kita berpikir bahwa, pornografi akan segera hilang ? Atau mungkin justru semakin “vulgar” penyajiannya.

Kalau ditanya salah siapa ? Kita banyak mengelak dengan saling tuding antara siapa yang seharusnya bertanggung jawab dengan berlangsungnya semua kemaksiatan ini. Kita ini lebih banyak bersembunyi dibalik kata “urusan” moral. Dan moral itu merupakan wilayah agama. Ujung-ujungnya kita justru menyalahkan para ulama yang telah bersusah payah menyampaikan pesan-pesan yang terkandung dalam Kitabullah dan hadist Rasulullah saw. Dengan memberikan label kegagalan dalam pembinaan moral keagamaan.

Yang paling tidak kita sadari adalah peran para ulama yang hanya sebatas menyampaikan ilmu agama dengan segala kebenaran yang dikandungnya. Bukan “menyihir” seseorang agar berubah menjadi seperti yang kita kehendaki. Kita sebagai penerima ilmunya-lah yang justru mempunyai kewajiban untuk merubah diri menjadi seseorang yang benar-benar ber-agama. Salah satunya dengan tidak memberikan ruang gerak untuk kegiatan-kegiatan pornografi di semua tempat atau wilayah Islam.

Banyak orang hanya menyandarkan moralitas dan perilaku yang baik pada “kualitas” Iman. Sedangkan kita tahu bahwa keberadaan Iman seperti halnya juga air laut. Ada pasang dan surutnya. Jika tidak ada “proyek” besar untuk membendung agar air yang sudah pasang tidak segera surut atau bahkan kering, maka yang terjadi adalah bersoraknya pasukan setan karena lawan mereka tidak punya senjata pemecah pasukan berupa aturan yang melarang berdirinya tempat hiburan malam yang memberikan ruang dan kesempatan terjadinya transaksi sex. Yang bisa menyebabkan setan kesulitan untuk berkumpul dan berserikat dengan bangsa manusia.

Saat ini pasukan setan justru berada di atas angin. Mereka dengan mudah berserikat dengan bangsa manusia di tempat-tempat yang dilindungi oleh hukum produk manusia sendiri. Dengan leluasa pasukan setan membaur dengan rekan-rekannya di remang-remang jalanan, di tempat-tempat hiburan malam, bebas keluar masuk tempat pijat plus. Bahkan sangat bebas berkeliaran di daerah lokalisasi yang dilegalkan. Dan yang paling canggih setan dengan leluasa masuk melalui situs-situs internet di warung-warung atau di rumah-rumah manusia.

Banyak orang yang berusaha membela dan melindungi fasilitas-fasilitas perusak moral dengan dalih bahwa mereka tidak memanggil orang untuk datang ke tempatnya. Tapi orang-orang sendirilah yang dengan sukarela datang ke tempat-tempat mereka. Karena mereka membutuhkan menu yang disediakan di dalamnya. Alasan mereka bisa dimaklumi, karena mereka mungkin telah menempatkan konsultan dan bodyguard dari pimpinan para setan. Sehingga mereka begitu berani untuk melakukan perlawanan dengan sesama manusia.

Kadang memang sangat tidak masuk di akal. Kita sebagai manusia yang mengaku mengenggam Iman, sudah semestinya memberikan fasilitas-fasilitas yang bisa melindungi manusia dari kekeringan Iman, bukan malah memberikan fasilitas kepada lawan manusia. Hukum atau aturan yang tegas yang didasarkan pada keyakinan hanya pada Allah semata, akan sangat membantu manusia dalam melindungi diri dari lawan. Fasilitas-fasilitas untuk sarang setan tidak semestinya ada di bumi yang menjadikan Allah sebagai pimpinan dalam hidupnya. Kalau kita tetap bersikeras dengan beribu alasan perut dan hak untuk berserikat dengan setan, maka sudah sepatutnya kita membungkus diri kita dengan cermin yang berbentuk tabung. Bukan dengan bahan yang terbuat dari tekstil. Agar kita dengan mudah bisa mengenali diri kita terjangkit atau tidak dengan “virus” setan.

Ada pula orang yang berdalih, sebesar dan sekuat apapun fasilitas yang diberikan untuk membentengi manusia dari setan, masih sangat tergantung dari diri manusia itu sendiri. Kalimat ini mengandung kebenaran. Tetapi, selama belum ada usaha yang mengarah ke sana, selama itu pula kita tidak pernah tahu akibat yang akan dihasilkan. Dan dasar keluarnya pernyataan seperti ini tidak lebih karena condongnya kita pada kemaksiatan-kemaksiatan yang selalu ditawarkan oleh bagian pemasaran perusahaan yang dipimpin oleh setan.

Maka sudah sepantasnyalah kalau bumi yang dihuni mayoritas orang-orang beriman, para pimpinannya juga memberikan perlindungan kepada Iman rakyatnya. Dengan tidak memberikan kesempatan kepada musuh manusia mendirikan pangkalan-pangkalan militernya di wilayah kekuasaan Islam. Dengan perlahan namun pasti para pimpinan beriman yang hidup diatas bumi Islam harus berusaha untuk mem”bina”sakan tempat-tempat maksiat yang berkedok tempat hiburan. Hingga jelas yang mana pemimpin yang peduli Iman dan mana pemimpin yang tidak mempedulikan Iman.

Jujur atau tidak, maraknya pornografi telah membuat sebagian kecil orang untuk mempunyai keinginan ambil bagian di dalamya. Dari mulai menirukan seluruh adegan yang pernah di lihat sampai pada membuat film sejenis dengan bintang saudara-saudara kita. Bahkan jika memungkinkan kita sendiri yang jadi bintangnya. Semua peralatan sudah tersedia di pasar. Tinggal klik saja. Langsung jadi dan bisa langsung dinikmati pula. Sudah berapa banyak video porno beredar dengan bintang lokal. Dari mulai pelajar, suami istri yang sah dan tidak sah sampai dengan para eksekutif dan artis yang notabene seorang publik figure.

Dan bebasnya peredaran film-film porno dari manca negara mempunyai peran yang tidak kecil. Bahkan inspirasi pembuatan film-film porno dengan bintang lokal lebih banyak diambil dari film-film manca negara. Hal ini semestinya sudah bisa kita sadari jauh-jauh sejak sebelum warnet mewabah di sudut-sudut kampung. Tapi yang terjadi adalah, sikap “menunggu” apa yang akan terjadi dengan maraknya video porno di masyarakat. Sambil mencari-cari di pasar gelap barangkali ada video porno yang paling di tunggu-tunggu tersebut.

Ketika barang yang ditunggu-tunggu muncul, yang terjadi adalah “demo” atau unjuk rasa dan tuntutan proses hukum bagi para pelakunya, tentunya setelah semua yang terlibat dalam demo dan proses hukum “melihat” barang buktinya. Kenapa harus ada hukuman penjara kalau yang selama ini beredar dan meracuni masyarakat tidak bisa dibendung dengan hukum ? Inilah yang saat ini terjadi. Banyak orang yang mungkin sebenarnya “penikmat” Triple X menyuarakan penolakan dan tuntutan hukum. Padahal ada kemungkinan dia “suka" film-film seperti itu. Apa sebenarnya yang mereka dicari ?

Biarlah kita tidak usah ikut berkomentar dengan peristiwa yang sedang terjadi. Kualitas filmnyapun tidak se”hebat” produksi manca negara. Serahkan saja semuanya pada aparat hukum dan aturan hukum yang ada. Lantas ? Lantas kita koreksi diri kita sendiri. Apa yang selama ini telah kita perbuat dengan maraknya pornografi produksi luar negeri ? Kita lebih banyak “diam”. Tak bereaksi. Bahkan kadang ikut menikmati meskipun hanya kadang kala.

Mestinya kita bersuara lantang meminta kepada wakil-wakil kita untuk mem-”bina”-sakan sarang-sarang setan yang dihuni oleh manusia. Yang sama dan satu species dengan kita. Kita membiarkan sarang-sarang setan tetap exist bahkan cenderung meng-update-nya. Dengan bersembunyi dibalik kata karaoke, transaksi-transaksi sex berlangsung aman dan terkendali. Tak pernah terpikirkan untuk membebaskan bumi yang kita cintai ini bebas dari tetesan-tetesan kemaksiatan.

Sudah waktunya kita berpikir tentang islam secara “kafah”. Dengan jalan masuk dan menerima semua konsekwensi hukum-hukum Islam. Dengan demikian secara tidak langsung kita akan mengarahkan diri dan masyarakat ke dalam kebenaran Iman. Kita “bina”sakan lokasinya, kita arahkan penghuninya ke arah hidup ber-agama dan kita angkat derajat mereka sebagai manusia yang terhormat. Dan yang terakhir, kita selamatkan mereka dari pedihnya azab Allah yang kemungkinan besar akan diterima. Lalu kita ajak mereka dalam indahnya hidup di atas bumi yang berlandaskan Iman. Tentunya dengan Iman hanya kepada Allah semata. Bukan yang lain. Apalagi Setan atau Iblis yang seharusnya menjadi musuh bersama manusia yang mengaku bahwa dirinya adalah pemeluk agama Islam yang mengutamakan Iman.

Sekian.

Ditulis oleh : Agushar, 25 juni 2010.

Selengkapnya...