Kamis, 26 Agustus 2010

Mengapa Kita Takut Mati ?


Sebagian orang mengatakan dirinya tidak takut mati, tapi disaat berhadapan dengan kematiannya sendiri terlihat begitu ketakutan. Kenapa? Padahal mereka sudah mengatakan tidak takut mati. Sebagian orang lagi kalau ditanya, “Mau nggak jika sewaktu-waktu diambil nyawanya oleh Allah ?”. Kebanyakan bilang “Jangan dulu!”, kenapa ? “Belum siap”. Kalau ditanya lagi, “Apanya yang belum siap?”. Jawabnya kebanyakan “klise” yaitu, “Sangu atau bekalnya belum punya !” dan ini merupakan jawaban yang paling dominan selain alasan keberatan meninggalkan anak dan istri serta harta bendanya.

Alasan lain lagi mungkin kita telah banyak melihat “kematian” dan segala proses yang berkaitan dengan kematian itu sendiri. Suatu keadaan dimana tubuh mengejang disaat “sakaratul maut” dan terbujur lemas untuk kemudian diam, kaku, tak berdaya, mati. Lalu terdengar rintih tangis yang memilukan dari orang-orang dekatnya. Sesaat lagi tetangga dekat berdatangan ke rumah duka ingin menyaksikan untuk terakhir kali. Sampai beberapa saat kemudian, setelah puas dalam rintihan dan tangisan, tibalah waktunya untuk memperlakukan “jenazah” sebagaimana mestinya.

Dalam ruangan yang cuma tertutup tabir berupa kain, jenazah harus dimandikan lebih dahulu. Kenapa? Untuk di”suci”kan setelah dimandikan. Karena untuk menghadap Allah harus suci dari hadats. Alasan lain, karena sudah “mati”, maka tidak bisa mandi dan bersuci sendiri. Oleh karena itu harus orang lain yang merawatnya, terutama dari keluarga dekat dipandu oleh seorang modin atau pemimpin agama setempat. Setelah itu baru dikafani atau dibungkus kain putih untuk kemudian dishalatkan bersama-sama. Sesaat kemudian, dipersiapkanlah sebuah sambutan untuk para pelayat yang datang sebagai bentuk pesan-pesan terakhir sebelum diberangkatkan ke makam.

Isi dari sambutan berkisar pada permintaan maaf dari keluarga atas segala kesalahan yang telah diperbuat “almarhum” selama dalam hidupnya. Dan permohonan untuk mengiringi kepergian jenazah dengan do`a, agar semua kesalahan “almarhum” mendapatkan ampunan dari Allah. Diiringi kalimat tahlil, jenazah diberangkatkan menuju tempat “tidur” khusus untuk mereka yang sudah meninggal. Yaitu sebuah tempat yang sudah dipersiapkan atau digali sebelumnya. Sebuah lubang yang berukuran dua kali setengah meter dengan dalam berkisar kurang dari dua meter. Yang kadang terlihat kering di musim kemarau dan basah bahkan penuh air di musim hujan.

Dengan perlahan jenazah di”tanam” atau dikuburkan dalam ruangan yang sempit tersebut tanpa bekal materi apapun. Karena sesungguhnya setiap jenazah tidak memerlukannya. Yang paling penting bagi jenazah adalah bekal Iman dan amalan yang baik selama hidup di dunia. Setelah tanah urugan terlihat menggunduk dan sudah terpasang “nisan” sebagai identitas mayyit. Kemudian dibacakan talqin untuk menuntun mayyit menjawab semua pertanyaan dari malaikat utusan Allah tentang “Keimanan”nya selama hidup. Diakhiri dengan do`a untuk si mayyit dan sedikit sambutan keluarga, maka berakhir pulalah prosesi pemakaman.

Satu demi satu para pengantar kembali ke rumah masing-masing. Meninggalkan beberapa orang dari keluarga dekat yang masih enggan untuk meninggalkan kubur baru kerabatnya tersebut. Tapi pada akhirnya akan pergi pula meninggalkan “kerabat” dekatnya. Jadilah mayyit dalam lubang sendirian. Gelap, tak ada cahaya tak ada jendela. Tanpa teman, tanpa alas dan berada dalam lubang yang sempit. Semua pergi, yang terdengar hanya suara terseretnya langkah kaki yang semakin menjauh dari orang-orang yang telah mengantar kepergiannya.

Diantara sebagian orang ada yang mengambil hikmah atau pelajaran dari setiap peristiwa kematian yang diketahuinya. Tapi sebagian besar yang lain menganggap sebagai peristiwa biasa. Yang kejadiaanya berulang-ulang untuk orang yang berbeda-beda. Mereka menganggap tidak ada sesuatupun pelajaran yang bisa diambil dari prosesi kematian. Semuanya tetap sama dari dulu hingga sekarang tidak ada satupun yang berubah, hingga tidak ada sesuatu yang lain yang bisa membuat kesan baru tentang peristiwa sebuah kematian. Yang melekat hanya kata, “kita semua nantinya akan mati juga”. Kesannya hanya sampai pada “kematian” dan bukannya peristiwa “setelah” kematiannya.

Memang kebanyakan kita hanya menyadari kalau kita semua pasti akan mati. Tentang semua peristiwa setelah kematian, kebanyakan tidak banyak memberikan perhatian “khusus”. Kita lebih banyak bersikap “wis opo jare mengko wae”. Perkara sekarang ya sekarang, perkara mati itu urusan nanti. Yang penting sekarang dinikmati saja hidup ini dan biarkan semua mengalir begitu saja. Pada akhirnya nanti kan sampai juga. Tentu saja sampai pada “kematian” kita. Prinsip seperti inilah yang menyebabkan kecilnya arti kehidupan.

Sebenarnya kita sudah menggenggam kata “sangu yang minim” sebagai alasan ketakutan kita pada kematian. Tapi kepedulian kita pada “sangu” juga sangat minim. Hal itu bisa terlihat beberapa hari setelah sebuah peristiwa “kematian” seseorang yang ada di dekat kita. Tidak ada perubahan yang berarti pada perilaku ibadah kita selain hanya “partisipasi” dalam acara “tahlilan” selama tujuh hari. Ke empat puluh hari atau ke seratus harinya. Tapi keyakinan atau keimanan kita juga tidak pernah beranjak naik alias jalan di tempat.

Semua prosesi dalam sebuah peristiwa kematian yang kita saksikan harusnya bisa menjadi pengingat tentang peristiwa yang akan terjadi setelah kematian itu sendiri. Dan seharusnya pula bisa menjadi pengingat tentang “sangu” seperti yang kita jadikan alasan tentang takutnya kita pada kematian. Jika benar kita takut mati karena nggak punya “sangu” ya segeralah berusaha untuk “mencari” sangu tersebut. Bukan ilmu yang setinggi langit atau materi yang setinggi gunung, tetapi sangu atau bekal yang paling baik adalah ketaqwaan kita kepada Allah. Yaitu ketaatan dalam menjalankan semua perintah dan menghindari semua larangan.

Mungkin diantara kita banyak hafal tentang alunan syair dikala menunggu shalat di masjid. Yang kalau tidak salah berbunyi, eling-eling para manungsa, lanang wadon enom lan tuwo, mbesuk kabeh bakale mati, yen wis mati ora bakal bali. Sebuah pengingat kepada seluruh manusia, baik laki-laki maupun perempuan, kalau semuanya nanti pasti mengalami kematian. Dan jika sudah mati, kita semua tidak akan bisa kembali ke alam dunia seperti saat ini. Tapi syair seperti ini rasanya lewat saja di telinga, tak banyak yang berusaha menghayati.

Bait selanjutnya berbunyi, tumpak`ane kereto jowo, rodho papat rupa menungso, jujugane omah guwo, tanpo bantal tanpo keloso. Ditempatkan di “pendhuso” dan diangkat oleh minimal empat orang yang berjalan kaki menuju sebuah lubang yang sempit dan gelap. Lalu ditidurkan sendirian tanpa bantal yang biasanya kita pakai di tempat tidur. Juga tanpa alas tikar, apalagi kasur. Yang ada hanya kain putih yang langsung bersentuhan dengan tanah dan bantal dari bulatan-bulatan tanah basah. Bait inipun tidak banyak memberikan pengaruh “takut” dan “taat”. Mungkin hanya dianggap sebagai nyanyian belaka.

Syair lanjutannya, ditutupi anjang-anjang, diurugi disiram kembang, kabeh tonggo podho sambang, podho nangis koyo wong nembang. Setelah mayyit diletakkan pada posisi yang pas, lalu ditutup dengan papan miring atau ditutup dengan papan yang sudah dibentuk persegi panjang. Kemudian ditimbun dengan tanah asal galian sampai menggunduk. Setelah dipasang nisan sebagai identitas kubur, lalu ditaburi bunga untuk menebar wewangian dan sebagai tanda perpisahan. Tetangga-tetangga semua sama menghantarkan, diantara mereka ada yang menangis sesenggukan. Seperti sebuah alunan lagu atau tembang.

Akhir dari syair berbunyi, omah sumpeg ora ono lawange, petheng dedhet ora ono lampune, turu ijen ora ono kancane, klabang lan orong-orong kancane. Rumah yang begitu sempit, tanpa pintu lagi, semua tertutup rapat. Keadaan yang sangat gelap karena memang di dalamnya tak ada penerangan apapun. Sendirian, tanpa satupun teman. Hanya berteman dengan binatang-binatang tanah seperti “kelabang” dan “orong-orong”. Begitu mencekamnya kalau kita mau membayangkan dengan sungguh-sungguh. Tapi kebanyakan diri kita sudah terlanjur menganggap hanya sebuah nyanyian. Hingga tak pernah terbersit makna atau pesan yang sesungguhnya dibawa oleh kata demi kata syair tersebut.

Sesungguhnyalah, ketakutan kita pada kematian bukanlah perkara “sangu”, karena pada umumnya kita tidak pernah atau jarang memikirkan dan mengusahakan sangu tersebut. Hanya sebagian kecil orang yang memahami makna hidup sebenarnya sajalah yang mau mengusahakan “sangu” tersebut. Sedangkan sebagian besar yang lain hanya sibuk dengan urusan duniawinya saja. Alasan “sangu” yang belum ada hanya sebagai isyarat kalau kita sebenarnya masih ber-agama. Hanya saja kita lebih banyak dan lebih suka mengabaikan perintah dan larangannya.

Ketakutan kita pada kematian sebenarnya hanya bersumber pada dua hal. Yang pertama, karena kita terlanjur mencintai dunia sehingga kita begitu takut untuk meninggalkannya. Kita juga terlanjur memiliki sesuatu yang begitu kita cintai sehingga membuat kita begitu takut kehilangan semuanya. Sedangkan yang kedua adalah, kita takut mati karena kekhawatiran kita tentang kebenaran berita-berita yang bersumber dari kitab suci agama kita. Jangan-jangan semua berita tentang siksa yang akan ditimpakan kepada kita akan menjadi kenyataan. Juga karena keyakinan kita bahwa kita termasuk mereka yang akan mendapatkan siksa tersebut.

Sebenarnya kita semua ini meyakini, bahwa kita akan mendapat siksa setelah kematian kita. Karena kita juga yakin kalau perbuatan kita seringkali tidak mencerminkan sebagai orang yang ber-agama. Agama hanyalah sebuah identitas. Makna agama kita tidak tahu. Kitab suci kita nggak pernah membacanya. Shalat hanya kalau ingat. Itupun belum tentu ikhlas melakukannya. Lebih banyak “pokok`e” shalat. Lalu mudah sekali untuk meninggalkanya hanya karena urusan dunia yang sepele. Tak pernah berusaha untuk meningkatkan iman atau keyakinan dan lebih suka beragama “semau gue”.

Terkadang bisa juga dikatakan kalau kita ini “alergi” dengan agama. Kenapa ? Coba saja kalau mendengar orang berbicara tentang Iman dan amal shalih, telinga rasanya panas. Ingin segera keluar dari pembicaraan atau ingin segera pergi saja ke tempat lain. Kalau memilih channel TV dan ketemu dengan acara “dakwah” agama, pasti cepat-cepat kita pindah channel. Kadang juga disertai kata “pancet ae”, mblenger, sing dibahas kok iku thok ! Kalaupun mendatangi acara pengajian, yang dipilih dan didengarkan cuma banyolannya saja. Ketika sampai pada masalah inti tentang agama, mata langsung terpejam dan kepala “theklak-thekluk” atau ngantuk.

Itulah cermin kebanyakan dari diri kita. Belum lagi kalau disodori kaleng sumbangan di dalam masjid atau proposal permintaan sumbangan pembangunan masjid di lingkungan rumahnya. Kaleng langsung didorong ke orang disebelahnya. Sumbangan hanya sekedarnya saja. Memilih yang terkecil diantara nominal sumbangan yang paling kecil. Kebanyakan sumbangan hanya berkisar ribuan saja, tapi pakaian yang dikenakan kadang berharga ratusan ribu. Belum lagi perhiasan yang dipakai. Benar apa nggak ? Makanya, kita semua ini takut pada kematian ! Karena dalam hati, kita sudah yakin kalau “disana” pasti akan disiksa.

Untuk itu, sebelum segala sesuatunya terlambat, marilah segera sadar. Bahwa keberadaan agama adalah untuk membimbing manusia ke jalan Allah. Tidak ada satupun jalan yang ditempuh oleh manusia di dunia ini yang benar kecuali jalan Allah. Kalau kita tidak pernah berusaha untuk berpindah jalur ke jalan Allah, niscaya kita tidak akan pernah sampai pada tujuan hidup yang sebenarnya. Yang ada cuma kekhawatiran dan ketakutan tentang kebenaran siksa-siksa yang diinformasikan dalam kitab Al Qur`an. Dan banyak diceritakan oleh para ustadz dan ulama.

Jangan kita menjauhi ulama, karena para ulama adalah pewaris para nabi. Mereka mengajarkan ilmu agama sebagai jalan menuju kebenaran langkah hidup kita. Sebagian besar dari kita termasuk orang-orang yang jauh dari ulama. Kita cenderung menjaga jarak dengan para ulama, karena alergi dengan kata-kata yang baik, apalagi yang bersumber dari Al Qur`an. Kita tidak betah duduk berlama-lama dengan mereka. Sadarlah, mereka adalah sumber ilmu dan contoh perilaku. Jika kita mendekati insya Allah kita akan beroleh banyak kebaikan. Tapi jika kita menjauh, niscaya kita akan tetap terkungkung dalam kebodohan agama. Yang akan membuat kita senantiasa takut menghadapi kematian kita sendiri.

Banyak-banyaklah membaca Al Qur`an, jangan lupa juga membaca terjemahannya. Lebih bagus lagi jika mengetahui makna lewat tafsir dan penjelasan para ulama. Bacalah sejarah Rasulullah saw. Jangan pernah bosan untuk membaca. Karena membaca adalah perintah Allah. Jika kita tidak pernah membaca kita juga tidak akan pernah tahu apa isi yang terkandung di dalamnya. Padahal isi Al Qur`an yang lebih dari enam ribu ayat mengandung banyak pelajaran hidup dan bukti-bukti peristiwa yang bisa menguatkan keimanan.

Berfikirlah selalu, bahwa semua yang hidup di alam semesta ini ada yang mengatur. Dan yakinkan pula bahwa kematian adalah sebuah jalan atau jembatan untuk menuju kehidupan yang lain. Sebuah kehidupan yang lebih panjang dan lebih dari sekedar kehidupan dunia yang saat ini kita cintai. Kematian hanyalah sebuah pengingat buat mereka yang masih hidup, bahwa apa yang diinformasikan di banyak ayat dalam Al Qur`an adalah benar. Yang mengharuskan kita yang masih hidup berusaha untuk meraih kebaikan-kebaikan apa yang ada dalam kematian kita. Baik berupa nikmat kubur maupun janji surganya Allah.

Jika kita sadar dan tahu serta yakin, niscaya kita tidak pernah takut akan kematian, karena kita memang telah mempersiapkan kematian itu sendiri. Dan setiap hari kita berusaha untuk mencari bekal yang akan kita bawa untuk kematian kita. Berupa taat pada perintah dan menghindari semua larangan. Kematian adalah sesuatu yang pasti, jadi memang benar kita pasti akan mati. Karena datangnya tidak pernah kita ketahui, maka kita siap untuk setiap saat ajal datang menjemput. Hanya Allah yang ada di pikiran dan hati kita, oleh karena itu hati kita akan selalu tenang dan tentram. Baik dalam menjalani hidup maupun menghadapi kematian yang pasti akan datang.

Jangan takut pada kematian, karena kemanapun kita pergi dan bersembunyi, ajal pasti menemukan kita. Dan jangan lagi beralasan takut mati karena “sangu”, karena yang demikian ini hanya sebuah alasan untuk bisa tetap menikmati kesenangan-kesenangan atau nikmat dunia saja. Sedangkan diri kita masih jauh dari taubat. Hentikan langkah, dan segera putar haluan di jalan Allah. Niscaya kita akan menghadapai kematian kita dengan senyum. Seperti yang pernah dilakukan oleh banyak orang-orang shalih yang telah pergi lebih dulu.

Sekian.
Selengkapnya...

Kamis, 12 Agustus 2010

Buah Kebohongan


Kebohongan adalah penggambaran sesuatu yang berbeda dengan keadaan atau kejadian sebenarnya. Sebagian besar dari kita sangat akrab dengan kebohongan. Walaupun lisan kita mengatakan “saya jujur”, masih saja belum terbebas dari kebohongan. Karena dalam kata “saya jujur” justru mengandung banyak kebohongan. Selain kebohongan yang disajikan oleh banyaknya sinetron, banyak dari kita justru menjadi guru dalam ilmu kebohongan. Entah karena bergurau, sengaja berbohong atau karena gengsi. Sadar atau tidak kebohongan sudah menjadi sebagian dari pakaian kita.

Bohong karena cuma ingin bergurau atau bermaksud “mengerjai” bukan sesuatu yang aneh bagi kita. Disamping yang banyak kita lakukan terhadap teman atau rekan kita, juga banyak dilakukan oleh artis artis lewat acara-acara “bohong”nya. Bohong karena bergurau ini belum tentu memberikan gambaran seseorang adalah “pembohong” atau tidak jujur. Karena kebanyakan hanya ingin menggoda saja. Oleh karena itu bohong karena bergurau tidak banyak membuat keuntungan atau kerugian yang berarti bagi yang melakukannya.

Tapi jangan kaget, kebohongan karena bergurau ini bisa menjadi bibit-bibit ketidak jujuran dalam masa-masa yang akan datang. Bermula dari gurauan, suatu saat jadi sungguhan. Walaupun tidak merugikan secara materi baik bagi diri kita maupun bagi orang lain, hendaknya kita menjauhi “gurauan” yang bersifat “mengerjai” rekan sendiri. Karena suatu saat bisa terjadi salah paham dan bisa mengakibatkan “gesekan” kecil antara teman dekat. Kalau sudah seperti ini berarti bisa menimbulkan kerugian moril bagi kita.

Sedangkan bohong karena tidak mau kalah dalam banyak hal lebih banyak dipengaruhi oleh rasa “gengsi”. Seseorang yang takut turun pamornya tidak segan-segan untuk melakukan banyak kebohongan dalam realitas kehidupan sehari-harinya. Orang seperti ini tidak bisa ditempatkan lebih rendah dari siapapun. Dia akan memberikan berbagai alasan agar dirinya tidak merasa lebih rendah dari orang lain. Kadang bercerita tentang keluarganya yang kaya raya, punya jabatan tinggi. Dan itu semua cuma mengharapkan agar dirinya lebih dipandang sebagai kaum “priyayi”. Padahal belum tentu semua yang dikatakan benar atau bisa dibuktikan.

Atau seseorang yang ingin masuk dalam komunitas yang sebenarnya bukan “level”nya. Hingga dia harus melakukan banyak ketidak jujuran untuk menutupi keadaan diri yang sebenarnya. Baik tentang diri, keluarga maupun tentang ekonomi atau status sosialnya. Yang seperti ini banyak terjadi di kota- kota besar. Terutama mereka yang senang “dugem” baik yang sengaja datang sendiri maupun mereka yang awalnya hanya diajak. Bermula coba-coba akhirnya keterusan. Padahal untuk menjangkau gaya hidup “glamour” diperlukan modal materi yang kuat. Jika tidak, yang terjadi bisa sebaiknya. Bangkrut.

Mereka yang terlanjur bergaul dengan kehidupan “atas” akan berusaha untuk selalu mengikuti style teman-teman mereka. Padahal untuk mengusahakannya kadang harus memaksakan diri dan banyak melakukan kebohongan tentang keadaan atau status yang sebenarnya. Biasanya orang-orang seperti ini juga memelihara sifat sombong, sok kaya, sok pinter, tidak mau bergaul dengan masyarakat level bawah. Bahkan kadang memandang rendah. Mereka yang seperti ini kebanyakan tidak menyadari kalau dirinya telah masuk dalam kehidupan yang sebenarnya “semu”

Atau dalam lingkup lebih kecil, misalnya di tempat kerja. Kadang ada seorang rekan kerja yang selalu berbicara “tinggi” mengenai apa yang dia “punya”. Padahal “pembawaan” kesehariannya tidak menunjukkan kalau apa yang dia katakan adalah benar dan “sesuai”. Orang-orang seperti ini sebenarnya hanya menebar pesona dan berharap pujian atau ingin “diakui” saja oleh lingkungannya. Padahal keadaan sebenarnya sangat jauh dengan semua yang pernah di ceritakan kepada rekan-rekannya. Kadang sok royal, padahal dibalik itu dia punya beban finansial yang tidak sedikit pada orang lain.

Bohong karena gengsi ini sedikit banyak akan merugikan orang lain, karena semua informasi yang mereka terima ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Tetapi pada suatu saat jika semua kebohongannya terbongkar, maka yang didapat adalah kerugian moril yang lumayan berat. Terutama bagi dirinya sendiri. Walaupun kerugian yang ditimbulkan tidak begitu besar, tapi akan mempengaruhi tingkat kepercayaan dari mereka yang merasa dibohongi. Hal ini bisa menimbulkan sikap ke”hati-hati”an yang lebih besar jika suatu saat berhadapan dengan orang yang suka berbohong karena “gengsi” ini.

Sedangkan bohong yang paling berbahaya adalah bohong yang memang di sengaja. Tak bisa dibedakan antara hobby dan sifat, karena seorang pembohong akan berusaha untuk selalu berkata bohong dengan siapapun dan dimanapun. Dia akan selalu mencari seseorang yang bisa termakan oleh kebohongannya. Karena sifat ini cenderung mengarah ke hal-hal yang negatif. Seperti penipuan, pengelapan, korupsi, manipulasi bahkan kadang mereka tidak segan untuk memberikan kesaksian “palsu”. Mereka yang mempunyai sifat ini menjadikan “keahlian” bohongnya untuk memperdaya orang lain. Inilah yang disebut dengan sikap “munafik” atau hipokrit.

Mereka yang punya sifat seperti ini tidak perduli lagi pada kejujuran. Bahkan kejujuran akan terasa asing di telinga mereka. Karena kebanyakan mereka bekerja dengan kebohongannya. Mereka bekerja sendiri atau bisa berkomplot untuk usaha mendapatkan sesuatu yang banyak berhubungan dengan materi. Sebagian orang menganggap “bohong” sebagai pekerjaan, sebagian lagi menganggap sebagai “bagian” dari pekerjaan. Dalam arti apabila diperlukan, mereka tidak segan-segan untuk melakukan sebuah kebohongan.

Sebagai contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari, seorang ketua RT dan ketua RW yang berusaha untuk membohongi warganya dengan menyelewengkan dana bantuan dari pemerintah. Atau sebaliknya warga yang berusaha membohongi ketua RT and RW dengan memberikan keterangan identitas palsu agar tidak diketahui siapa sebenarnya dirinya. Biasanya mereka yang pernah melakukan sebuah kejahatan atau menjadi target operasi aparat penegak hukum akan melakukan hal yang seperti ini. Tujuannya sudah jelas untuk mengelabuhi aparat agar tidak mudah ditangkap dan diadili.

Dalam lingkup perusahaan misalnya, pemilik bisa berbohong kepada para karyawannya mengenai besarnya keuntungan perusahaan. Atau seberapa besar keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan per unit barang produksinya. Kadang juga berbohong mengenai hak-hak karyawannya. Baik tentang upah/gaji, upah lembur, jam lembur atau hak-hak lain seperti cuti dan lain sebagainya. Atau sebaliknya karyawan yang berbohong terhadap perusahaan, misalnya hasil tagihan dari langganan yang tidak disetorkan. Atau alasan-alasan lain yang berkaitan dengan ketidak hadiran, manipulasi data-data keuangan perusahaan dan lain sebagainya.

Dalam lingkup yang lebih besar lagi bisa juga para pemimpin yang membohongi rakyatnya dengan tidak merealisasikan janji-janji politik semasa kampanye. Atau menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan yang saat itu dipegangnya. Menyelewengkan amanat yang diberikan rakyat kepadanya. Misalnya, seorang wakil rakyat seharusnya membela dan melindungi kepentingan rakyat serta mengusahakan kesejahteraan bagi rakyat, tetapi kenyataanya mereka hanya mementingkan diri dan kelompoknya saja. Tidak lagi memperdulikan kepentingan rakyat dan lebih berpihak kepada penguasa.

Banyak sekali “kebohongan” yang terjadi di sela-sela kehidupan kita. Bahkan sangat sulit mencari manusia jujur. Bahkan kadang terlontar sebuah kalimat. “kalau sudah mati baru kita bisa jujur” alias terbujur kaku. Memang kadang tidak bisa dipungkiri juga. Kalau melihat berita yang banyak di dominasi dengan masalah “korupsi” dan “manipulasi” berarti kebohongan sudah begitu mendominasi dalam tubuh para pemimpin atau wakil kita di pemerintahan. Dan jika pemimpinnya sudah akrab dengan kebohongan, apalagi rakyatnya. Karena yang seharusnya dijadikan panutan saja begitu “suka” bohong, maka yang dibawahpun cepat atau lambat pasti akan mencontohnya.

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda: “Sesungguhnya jujur itu menunjukkan kepada kebaikan, sedangkan kebaikan menuntun menuju Surga. Sungguh seseorang yang membiasakan jujur niscaya dicatat di sisi Allah sebagai orang jujur. Dan sesungguhnya dusta itu menunjukkan kepada kemungkaran, sedangkan kemungkaran menjerumuskan ke Neraka. Sungguh orang yang selalu berdusta akan dicatat sebagai pendusta”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim )”

Sungguh, seseorang yang selalu bedusta akan dicatat sebagai pendusta. Hadist Rasulullah ini menegaskan orang yang suka berbohong atau berdusta akan dicatat sebagai pendusta. Dan “dusta” lebih dekat ke kemungkaran, dan kemungkaran akan menjerumuskan pelakunya ke neraka. Orang yang suka berdusta dan melakukannya dengan sengaja untuk keuntungan diri sendiri dan merugikan orang lain adalah seorang “pendusta”. Apalagi dusta tentang perkara yang berkaitan dengan agama. Pasti Allah akan langsung menjerumuskan pelakunya ke neraka.

Kita ambil sebuah contoh seseorang yang suka berbohong. Kalau seseorang sudah menyukai “bohong”, dia akan berbohong pada hampir setiap orang yang di temuinya. Baik orang lain ataupun keluarga dekatnya. Seorang suami yang tidak jujur terhadap pasangannya akan selalu berkata bohong untuk menutupi kebohongan yang sudah dilakukannya. Apabila pulang terlambat dan ditanya istrinya kenapa terlambat, pasti dia mencari-cari alasan untuk berbohong dan menutupi kebohongan yang telah dilakukannya.

Demikianlah seseorang yang berbohong pasti akan membuat kebohongan-kebohongan yang lain agar kebohongan yang telah dilakukannya tidak diketahui orang lain atau tertutupi. Sehingga satu kebohongan yang pernah dibuat akan “banyak” menghasilkan kebohongan-kebohongan yang lain. Dan bisa dipastikan kalau seseorang membuat kebohongan dalam beberapa hal dalam waktu yang berdekatan, pasti akan semakin banyak dan berlipat-lipat pula kebohongan yang akan dibuat. Hingga bisa dikatakan selama mata belum terpejam dia begitu akrab dengan dusta.

Selama belum terungkap kebohongan demi kebohongan yang telah dibuat, selama itu pula seseorang akan hidup dalam kebohongan. Dan ini sangat membahayakan bagi kita yang sampai saat ini melakukannya. Jika tidak segera berhenti dan berusaha mengatasi semua permasalahan yang mengakibatkan kita melakukan kebohongan, maka selamanya kita akan dalam kesulitan. Karena dampak dari kebohongan kadang bisa memporak-porandakan seluruh bangunan kehidupan yang pernah kita bangun dengan susah payah.

Bohong memang kadang membawa nikmat, tapi kenikmatan yang tercipta benar-benar “semu” dan hanya bisa bertahan selama kebohongan kita belum terungkapkan. Tapi sepandai-pandai kita menyimpan “terasi” suatu saat pasti akan ketahuan dan ketemu juga terasi tersebut. Atau sepandai-pandai kita menyembunyikan kebenaran, suatu saat akan terungkap pula kebenaran itu. Tidak pernah ada sebuah kebohongan yang kekal. Karena apapun yang ada dan terjadi di dunia ini tidak ada satupun yang bersifat kekal. Kekal hanya milik Allah swt.

Seperti seseorang yang menghindari “tagihan” hutangnya dengan alasan sudah pindah tempat atau alasan-alasan yang lain. Pasti suatu saat akan ketahuan orang juga. Yang pasti jarang sekali ada seseorang yang menghindarkan diri dari jerat hutang dengan alasan sudah “meninggal”. Bohong dengan me”mati”kan diri ini sangat dijauhi oleh hampir semua orang. Karena, mereka takut kalau-kalau akan benar-benar “mati”. Meskipun begitu ada pula diantara kita yang “nekad” menggunakan alasan “sudah” mati untuk menghindarkan diri dari para “debt colector” yang rata-rata bertampang sangar.

Atau sebuah kebohongan tentang manipulasi data keuangan yang banyak terjadi di banyak organisasai. Suatu saat pasti akan ketahuan juga. Dan kalau sudah ketahuan, apa yang akan kita dapatkan selain malu atau kalau orang jawa bilang “kewirangan”? Hanya orang-orang yang tidak punya “malu” yang masih bisa bertahan dalam sebuah komunitas dengan keadaan yang sudah “tercemar”. Atau orang-orang yang menurut bahasa jawa wajahnya terbuat dari “tembok” atau “gedeg”. Semua kata yang berkonotasi “jelek” akan menempel pada kita akibat dari kebohongan yang telah kita buat.

Hasil dari kebohongan itu akan membuat sengsara hidup kita. Dan kita tidak dapat mengatakan kalau kesengsaraan itu datangnya dari Allah swt. Tidak. Allah hanya membuat sebuah “hukum” terhadap diri semua manusia. Dan Allah telah pula memberikan sebuah solusi untuk menghindarkan dari hukuman yang akan menimpa diri seseorang apabila seseorang itu melakukan sebuah kesalahan. Yaitu berupa “petunjuk” bagaimana seharusnya kita menjalani kehidupan ini. Dan “bohong” adalah sesuatu kesalahan yang sedapat mungkin harus kita hindarkan. Agar kita bisa terbebas dari hukuman akibat perkataan bohong yang kita buat.

QS. An Nisaa` : 79.

مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ ۚ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولًا ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ شَهِيدًا﴿٧٩﴾
“Maa ashaabaka min hasanatin faminallahi, wa maa ashaabaka min sayyi`atin famin nafsika. Wa arsalnaaka linnasi rasuula, wakafaa billahi syahiidan”.

”Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi”.

Semua nikmat yang kita rasakan datangnya dari Allah. Tetapi semua bencana bukanlah dari Allah. Penyebab semua bencana yang menimpa diri kita kebanyakan datangnya dari diri kita sendiri. Karena kita telah banyak mengabaikan perintah-perintahnya dan cenderung melanggar semua yang telah dilarangnya. Jujur adalah sebuah keharusan, karena berperilaku jujur lebih mendekatkan kita ke perbuatan yang baik. Dan perbuatan yang baik akan menuntun kita ke jalan surga. Semua terserah kita. Mau surga atau neraka, masing-masing sudah ada jalannya. Tinggal pilih. Dan mereka akan menanti kedatangan kita.

Maka, bersegeralah kembali ke jalan Allah. Berbuatlah kebaikan. Dan berlomba-lombalah dalam melakukannya. Tinggalkanlah kebohongan, agar kita tidak terlanjur larut di dalamnya. Bertobatlah dengan sebenar-benarnya taubat. Selagi ada waktu, pergunakan untuk memperbaiki diri. Segera lakukan sebelum ajal datang menjemput kita. Ajal yang datangnya tidak kita ketahui dari arah mana dan tidak kita ketahui kapan datangnya. Yang setiap saat bisa saja mengambil diri dan jiwa kita serta bisa pula mengambil semua apa yang kita punya.

Mudah-mudahan Allah mempermudah jalan kita untuk keluar dari kebohongan. Baik diri kita, keluarga kita, orang-orang dekat kita, masyarakat di sekitar kita sampai pada para pemimpin kita. Hingga suatu saat dapat kita peroleh sebuah predikat yang lebih baik dari pada predikat yang saat ini melekat pada diri kita , masyarakat di sekitar kita, para pemimpin kita yang ada di daerah serta para pemimpin kita yang ada di pusat pemerintahan. Kebohongan adalah sumber korupsi, kolusi dan nepotisme. Oleh karena itu mari kita sama-sama mulai menghentikan semua bentuk kebohongan yang pernah lakukan menuju sebuah kata yang tidak banyak pengikutnya, yaitu “kejujuran”.

Sekian.
Selengkapnya...

Minggu, 08 Agustus 2010

Mengharap Berkah Ramadhan.


Marhabban yaa Ramadhan. Bulan yang penuh berkah. Bulan yang penuh rahmat, bulan yang penuh ampunan. Orang-orang yang berpuasa di bulan Ramadhan termasuk salah satu orang-orang yang dirindukan oleh surga. Bahkan sering pula kita dengar kalau hati kita merasa “senang” dengan datangnya bulan Ramadhan, insya Allah kita akan mendapatkan pahala dari Allah. Tetapi apa yang sebenarnya kita harapkan dengan datangnya bulan Ramadhan? Benarkah kita mengharapkan berkah Allah di bulan Ramadhan? Lalu berkah yang mana yang kita harapkan?

Jika kita ditanya, “Apakah anda senang dengan datangnya bulan Ramadhan ?” mayoritas dari kita akan menjawab dengan tegas, “senang”. Dan ketika ditanya lagi, “Apa alasan anda mengatakan “senang”? Jawaban kita selanjutnya akan sedikit menyerempet ke wilayah “ibadah”. Karena alasan senang di “luar” ibadah akan langsung memberikan image kalau kita kurang atau bahkan tidak perduli dengan kewajiban menjalankan perintah agama. Jawaban seperti ini kadang memang bisa dimaklumi, karena bertujuan untuk memberikan nilai “positif” bagi diri kita sendiri. Walaupun kadang tercium bau “dusta”nya.
Yang jelas dan pasti, dalam bulan ramadhan ada banyak berkah. Bukan saja untuk umat Islam, tetapi berkah itu juga untuk orang-orang diluar Islam. Hari Raya yang jatuh setelah berakhirnya ibadah puasa telah memberikan imbas yang luar biasa bagi ratusan juta umat manusia yang berada di bumi. Untuk menyambut hari yang sangat spesial tersebut umat Islam berusaha untuk mempersiapkan segala keperluan sesempurna mungkin. Dari mulai pakaian, makanan, rumah dan perabotnya serta uang atau dana “cash” yang “harus” ada.

Segala keperluan hari raya tersebut pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Baik untuk mereka yang masih lajang maupun yang sudah berkeluarga. Bahkan untuk yang sudah berkeluarga membutuhkan biaya jauh lebih banyak. Dari mana kita memenuhi semua kebutuhan tersebut? Tradisi yang umum di kehidupan kita adalah adanya Tunjangan Hari Raya atau THR yang diberikan kepada setiap karyawan atau pekerja di hampir semua perusahaan, baik yang termasuk kategori perusahaan kecil maupun yang besar.

Istilahnya “Tunjangan” hari raya. Tapi sebenarnya merupakan hak kita juga, sebagai kompensasi pembagian keuntungan perusahaan kepada para pemodal dan para pekerja. Hanya waktu pengeluarannya saja disesuaikan dengan moment yang tepat. Dimana waktu mendekati hari raya adalah waktu yang paling “membutuhkan” dana segar. Jika sampai mendekati hari raya seseorang tidak mendapatkan dana tunjangan, bisa-bisa “Rioyo gak nggoreng kopi”. Itu istilahnya orang jawa untuk menggambarkan seseorang yang tidak punya “dana” untuk berlebaran.

Adanya “tunjangan” dan “hari raya” inilah yang menjadikan alasan sebagian orang menunggu bulan Ramadhan. Kita bisa menggunakan berbagai alasan untuk mengatakan “senang” dengan datangnya ramadhan, tetapi “suasana” hari raya adalah sumbangan paling berarti untuk semua alasan yang ada. Belanja dan bersenang-senang di hari “kemenangan” adalah sebuah impian yang menjadi kenyataan. Ditambah lagi dengan libur agak panjang, pikiran yang lepas dari “pekerjaan” atau beban sehari-hari, berkumpul keluarga setelah sekian lama tidak bersua menjadikan hari raya begitu ditunggu kedatangannya. Dan bulan Ramadhan menunjukkan semakin dekatnya kita dengan “Hari Raya”

Alasan ibadah kadang bisa untuk menutupi semua alasan yang lain. Tetapi sebenarnya semua alasan selain ibadahlah yang telah menutupi essensi dari datangnya bulan Ramadhan. Jujur saja, sebagian besar dari kita berpikir “hari raya” pada saat ramadhan. Hanya sebagian kecil saja dari kita yang berfikir tentang berkah, rahmat dan ampunan dari Allah. Dimana sepertiga dari awal ramadhan merupakan turunnya berkah, rahmat dari Allah, dan sepertiga tengahnya merupakan turunnya maghfirah dari Allah serta sepertiga akhir merupakan pembebasan dari panasnya api neraka.

QS. Al Baqarah : 183.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ﴿١٨٣﴾
“Yaa ayyuhal ladziina aamanuu kutiba `alaikumush shiyaamu kama kutiba `alalladziina min qoblikum la`allakum tattaquuna”

”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”,

Puasa adalah sarana bagi semua makhluk untuk mencapai sesuatu tujuan. Secara umum kita memaknai pengertian puasa dengan menahan lapar dan dahaga dari mulai waktu fajar sampai matahari terbenam di sebalah barat. Atau lebih dalam lagi dengan memberi makna sebagai usaha untuk menahan nafsu, baik yang bersifat lahir maupun yang bersifat bathin. Yang demikian adalah pengertian puasa secara umum. Dan sebagian besar dari kita memberikan pengertian puasa secara umum. Yaitu menahan lapar dan haus serta menahan nafsu syahwat.

Allah mewajibkan puasa untuk manusia. Baik manusia yang hidup seperti kita saat ini, yang hidup sebelum kita maupun manusia yang hidup di masa yang akan datang. Mengapa Allah mewajibkan manusia untuk berpuasa? Jawabnya cukup sederhana, karena Allah sayang sama kita. Karena Allah hendak memberikan kita kesempatan untuk memperoleh derajat kemuliaan melalui petunjukNya di malam “lailatul Qadr”. Mengapa pula perintah puasa harus diabadikan dalam sebuah ayat di sebuah kitab suci? Jawabnya juga sederhana, karena manusia jarang yang mau memahami ayat-ayat alam atau ayat-ayat kaun. Hanya sebagian kecil manusia yang mau memahami ayat-ayat alam, hingga mereka berhak untuk mendapatkan berkah, rahmat dan ampunan dari Allah.

Mungkin kita masih bertanya, berkah yang mana? Rahmat yang mana yang diberikan oleh Allah kepada mereka yang berpuasa? Kita bertanya demikian karena sebagian besar dari kita tidak merasakan adanya perubahan apapun setelah menjalani puasa satu bulan. Dan kita tidak pernah mencari tahu apa penyebab semuanya itu. Kita hanya senang bahwa ramadhan telah berlalu. Hingga kita tidak lagi dibebani dengan “kewajiban” puasa yang menyebabkan perut kita lapar dan tenggorokan kita kering karena haus. Kita hanya senang bahwa “hari raya” telah tiba. Dan kebebasan makan dan minum sebelumnya telah kita temukan kembali.

Kecuali turunnya berat badan, tidak ada lagi yang bisa memberikan bukti kalau kita telah mendapatkan “sesuatu” dari Allah. Berkah nyata yang dapat kita rasakan hanyalah “rezeki” tunjangan dana untuk berlebaran. Untuk kemudian habis tak bersisa pada saat kita memulai aktifitas sehari-hari secara normal. Tapi kita merasa bangga telah bisa berpuasa selama satu bulan. Kita merasa bangga telah bisa melalui ujian atau perintah wajib bagi umat yang beragama. Kita merasa, bahwa kita telah atau akan mendapatkan semua “reward” bagi orang yang berpuasa seperti yang telah diutarakan oleh banyak ustadz atau para ulama.

Kita merasa bahwa kita akan mendapatkan semua pahala puasa. Tapi kita juga merasa pesimis. Ada keraguan yang besar tentang akan kita dapatkannya semua janji-janji pahala puasa. Karena kita juga yakin kalau dalam menjalani puasa satu bulan masih banyak terselip beberapa perilaku yang menodai kesempurnaan puasa kita. Lalu kita ragu mengenai sempurna atau tidaknya puasa yang kita jalani. Untuk sesaat kita resah tentang “kualitas” puasa kita. Lalu sampailah kita pada sebuah keputusan untuk menyerahkan semua hasil dari “puasa” kita kepada Allah.

Dengan ringan kita langkahkan lagi kaki kita untuk menjalani aktifitas hidup seperti sebelum bulan Ramadhan. Semua kembali seperti sedia kala. Tak ada perubahan yang berarti pada diri kita. Tetap seperti semula. Seperti memulai kembali sebuah permainan “delikan” yang biasa dilakukan oleh anak-anak. Bergembira dan berlari untuk bersembunyi lagi setelah beberapa saat “diam” dalam tempat persembunyiannya. Demikian terus berlangsung peristiwa yang sama sampai kita merasa letih dan memutuskan untuk mengakhiri permainan.

Allah telah menetapkan “puasa” bagi seluruh umat. Dan didalam puasa itu ada berkah dan rahmat serta ampunan. Ada sebuah “tanda” penegas lagi untuk manusia, bahwa didalam puasa ramadhan ada sebuah malam yang nilai malam itu lebih baik daripada seribu bulan. Dan kita menangkap makna semua informasi itu secara sederhana. Tanpa pernah berusaha untuk menggali lebih dalam lagi apa sebenarnya makna puasa, berkah, rahmat, ampunan serta adanya “malam qadar”. Yaitu sebuah malam penentuan seseorang memperoleh semua berkah, rahmat dan ampunan dari Allah swt. Sebuah malam, yang apabila kita mendapatkan petunjuk Allah pada malam tersebut, maka nilainya lebih baik dari ibadahnya seseorang yang beribadah seribu bulan tetapi dia mengingkari ketauhidan Allah.

Bulan Ramadahan penuh berkah karena Allah banyak mengabulkan do`a orang-orang yang mau berdo`a. Diantara berkah yang paling besar bagi umat Islam adalah kemenangan yang diperoleh dalam perang badr, dimana pasukan kaum muslimin yang jumlahnya hanya sekitar 330 orang bisa menaklukkan pasukan Quraisy Mekkah yang jumlahnya seribu orang lebih atau tiga kali lipatnya. Penuh rahmat karena Allah telah menurunkan sebuah petunjuk atau pedoman hidup bagi seluruh umat yaitu, Al Qur`an. Yang berfungsi sebagai pembeda antara yang haq dengan yang bathil. Yang dengannya manusia bisa menjalalni hidup di jalan yang lurus, yaitu jalan Allah swt.

Ramadhan penuh ampunan karena Allah memberikan ampunan atas semua dosa-dosa yang telah diperbuat oleh manusia dan menjadikannya sebagai makhluk yang lain. Dari manusia yang sebelumnya penuh dosa menjadi manusia yang suci karena terlepas dari semua dosa yang pernah di perbuatnya. Semua itu bisa kita dapatkan melalui “puasa” yang berkualitas, yaitu puasa yang didasarkan karena Allah ta`ala, bukan karena yang lain. Dengan bertobat kepada Allah atas semua dosa yang kita lakukan, lalu ber”puasa” dengan ikhlas dan memohon kepadaNya sebuah petunjuk yang bisa menjadikan kita sebagai manusia yang bertaqwa.

Selama ini kita memaknai puasa sebagai penahanan diri terhadap lapar dan dahaga serta nafsu syahwat. Dan kita menjalankannya sesuai dengan pengertian kita. Siang kita tahan lapar dan dahaga, malam kita shalat “tarawih”. Kemudian di sepertiga malam-malam akhir ramadhan kita berusaha untuk mendapatkan “lailatul qadar”. Tetapi kebanyakan sampai dengan akhir ramadhan kita masih bertanya, “Kira-kira malam yang ke berapa ya lailatul qadar terjadi ?” dan kita menyadari bahwa malam tersebut telah lewat tanpa sesuatu apapun yang bisa kita rasakan. Tanpa tanda-tanda dan tanpa kesan yang membekas di hati kita.

Shalat, zakat, infaq dan sedekah adalah sebuah jalan untuk bisa “berjumpa” dengan Allah. Demikian juga “puasa”. Puasa adalah sarana untuk “merubah” diri, tampilan dan kemampuan seseorang dari sesuatu yang “tidak berarti” menjadi sesuatu yang “sangat berarti”. Dalam kalimat yang lebih sederhana bisa dikatakan, bahwa puasa adalah sarana untuk “mengubah” kualitas diri. Baik secara lahir maupun secara batin. Secara lahir mungkin untuk manusia tidak akan tampak perbedaannya, hanya kesehatan dan kekuatan jasmani yang mungkin bisa dirasakan. Tapi secara batin seseorang akan merasakan perbedaan perilaku ibadahnya antara sebelum puasa dan setelah puasa.

Puasa bisa digunakan sebagai jalan untuk meraih apa yang menjadi keinginan kita. Bahkan bukan hanya kita saja, semua makhluk menggunakan puasa sebagai sarana untuk mewujudkan keinginannya. Tapi terwujud atau tidaknya keinginan kita tergantung “kualitas” puasa kita. Puasa yang berkualitas akan memberikan hasil sesuai dengan yang kita angan dan inginkan. Apapun yang kita angan dan inginkan akan bisa terwujud dengan “jalan” puasa. Tentu saja puasa yang “benar”, bukan puasa yang banyak “ternoda”. Dan harus pula dilandasi dengan keyakian yang kuat, bahwa Allah akan memberikan apa yang kita minta.

Kita ambil contoh seekor “ular”. Ular akan melakukan “ritual” puasa jika menginginkan “awet muda” dan “cantik”. Dan untuk mewujudkan keinginannya tersebut ular akan “benar-benar” puasa. Tidak makan, walaupun diberi makan. Sabar, tidak mudah marah walaupun sedang diganggu. Kesungguhan puasa ular ini memberikan hasil bergantinya kulit luar dengan kulit yang baru yang kelihatan “indah”. Sehingga ular akan selalu kelihatan “cantik”. Dengan kulit yang selalu baru, halus dan kencang. Membuat ular “senang” dan ihklas melakukan ritual puasa pada setiap kali dia menginginkan untuk ganti “baju”.

Tetapi karena keinginan ular hanya ingin awet muda dan cantik, maka, hanya dua keinginan itulah yang diperoleh ular. Selebihnya tidak mengubah apapun yang ada pada iri ular. Sifat jahat, membelit, ganas, melukai dan membunuh tetap melekat pada diri ular ketika selesai melakukan ritual puasanya. Dan apa yang ada pada diri ular ini sebenarnya memberikan pelajaran bagi kita. Dengan puasa yang sungguh-sungguh apa yang menjadi keinginannya kita akan terwujud. Tinggal kita mau “introspeksi” dengan kualitas puasa kita apa tidak. Dan mau meluruskan angan dan keinginan kita dengan keinginan yang sesuai dengan maksud dan tujuan “puasa”.

Terlalu banyak keinginan manusia. Tapi keinginan manusia yang diharapkan terkait dengan “puasa” ramadhan kadang tidak jelas. Pokok puasa. Karena puasa adalah perintah Allah. Asal dijalani saja, perkara pahala itu terserah Allah. Ada benarnya memang, tapi kewajiban “puasa” bukanlah tanpa tujuan. Pada ayat diatas tertulis, “agar kamu bertaqwa”. Jelas tujuan puasa yang benar bagi manusia adalah “muttaqiin” atau menjadi orang yang bertaqwa. Karena “taqwa” adalah pencapaian tertinggi manusia yang mengabdi hanya kepada Allah semata.

Dalam realitas kehidupan manusia, terutama di sekitar kita, banyak manusia menggunakan ritual “puasa” untuk tujuan-tujuan tertentu yang jauh dari kata “taqwa”. Misalnya minta “kesaktian” atau kemampuan “super” yang kemudian digunakan untuk tujuan negatif. Tujuan yang merugikan orang lain atau bahkan kadang menjerumuskan orang lain ke dalam perilaku “sirik”. Karena kebanyakan pelakunya bersekutu dengan setan atau jin. Padahal dalam “taqwa” seseorang akan mendapatkan semua kebaikan. Baik kebaikan dunia maupun kebaikan akhirat kelak.

Dan keinginan menjadi manusia yang “bertaqwa” melalui “puasa” ramadhan bukanlah sesuatu hal yang mustahil. Jika keinginan taqwa begitu kuat lalu di upayakan dengan puasa yang “benar”. Yaitu puasa yang disertai dengan kebersihan jiwa serta ikhlas menjalaninya hanya karena Allah. Bukan tidak mungkin seseorang akan memperolehnya. Tanda-tandanya adalah perubahan sikap dan perilaku keseharian yang lebih banyak menjurus ke “ibadah” atau pengabdian kepada Allah. Misalnya, shalatnya bertambah khusyu`, lebih dermawan, lebih sabar, lebih arif, lebih bijak, lebih giat belajar ilmu agama. Hal itu terus berlangsung selama sisa akhir hidupnya.

Sebuah contoh hasil dari sebuah ritual puasa yang bisa mengubah diri menjadi makhluk yang jauh lebih berkualitas adalah ulat. Semasa hidupnya ulat adalah seekor binatang yang menjijikkan. Bentuknya, bulunya, geraknya membuat orang enggan melihatnya apalagi memegangnya. Belum lagi perbuatannya yang cenderung merugikan manusia. Seperti merusak tanaman dengan memakan daunnya atau buahnya. Ulat bisa dengan cepat menghabiskan daun sebuah tanaman hanya dalam beberapa malam. Dan ini sangat merugikan, baik bagi tanaman itu sendiri ataupun bagi manusia yang telah merawatnya.

Demikian juga manusia, jika dalam hidupnya selalu berbuat kerusakan, kadang juga dijuluki “uler”. Karena perbuatannya selalu merugikan orang lain. Tetapi kita akan melihat sesuatu peristiwa lain yang terjadi pada diri ulat. Ketika ulat “bertobat” dan insyaf untuk tidak lagi melakukan perbuatan yang merugikan makhluk lain, sesuatu yang “aneh” tapi “nyata” bisa kita lihat. Dalam taubatnya, ulat melakukan ritual “puasa”. Tentu saja “puasa” yang sebenarnya. Setelah berpuasa sekian lama, ulat yang tadinya merupakan binatang yang menjijikkan bagi manusia, berubah fisiknya menjadi seekor “kupu-kupu”

Ya,.. ulat telah berubah diri menjadi seekor kupu-kupu yang demikian “indah” dan begitu diminati oleh manusia. Keindahan sayapnya, gerakan terbangnya telah menarik perhatian manusia. Tapi kebanyakan kita hanya tertarik pada keindahannya saja. Tidak pernah tertarik untuk mengambil pelajaran apa yang dibawa oleh peristiwa “metamorfosis” ulat ini. Padahal jelas, peristiwa ini adalah “ayat” Allah. Bukti bahwa Allah akan memberikan sesuatu yang diinginkan oleh makhluknya. Metamorfosis ulat adalah bukti kuasa dan kehendak Allah untuk mewujudkan “keinginan” hambanya. Dan sarananya adalah “puasa”. Tentu saja “puasa” yang sempurna. Bukan puasa asal puasa.

Demikian juga manusia. Sejelek apapun perbuatan yang telah dilakukannya, sebesar apapun dosa yang telah diperbuatnya, jika mau bertobat dan menjalankan semua perintah Allah dengan sungguh-sungguh, bukan tidak mungkin derajat taqwa akan diperolehnya. Semua kebaikan dunia dan akhirat akan diberikan kepada mereka yang ber”taqwa”. Termasuk kualitas “diri” dan “jiwa”nya. Dan orang-orang yang bertaqwa tidaklah sama dengan orang-orang pada umumnya. Ada perbedaan yang mencolok antara keduanya.

Muttaqiin adalah waliullah. Orang-orang yang disayang oleh Allah. Dan mereka yang “disayang” oleh Allah, segala sesuatu yang dimintanya pasti akan dipenuhi. Dan kemampuan mereka juga adalah kemampuan “kupu-kupu”. Dimana seseorang yang semula hanya mempunyai kemampuan sangat terbatas, berubah menjadi seorang hamba Allah yang mempunyai kemampuan diatas kemampuan manusia pada umumnya. Baik dari segi ilmu agama, kemampuan lisannya, kemampuan kelima inderanya serta kemampuan indera ke enamnya.

Sedangkan peningkatan kualitas ulat setelah menjadi kupu-kupu melalui ritual “puasa” adalah :

Beberapa pasang kaki yang mempunyai kemampuan memegang dengan kuat serta lebih terampil dari sebelumnya
Mata yang mempunyai pandangan yang lebih jernih dan jauh lebih luas dari sebelumnya.
Dua pasang sayap yang simetris dan bisa digerakkan dengan leluasa.
Sepasang radar yang sensitif dan bisa diandalkan
Corak sayap yang unik dan beraneka ragamnya.
Warna-warnanya yang begitu indah

Beberapa peningkatan kualitas diri dari ulat tersebut tidak akan bisa dicapai kalau ulat tidak melakukan “ritual” puasa. Dan perubahan lain yang terjadi adalah kupu hanya makan “madu”. Sesuatu yang bersih dan bernilai tinggi. Bukan lagi makan “sembarangan” dan mengandung kotoran. Inilah sebuah contoh nyata dari Allah. Bahwa puasa yang benar bisa menjadikan diri kita mencapai derajat hidup yang lebih baik dan lebih tinggi dari sebelumnya. Demikian juga kita, jika kita yakin dan menjalankannya dengan “kebenaran” puasa, bukan tidak mungkin kitapun akan bisa mempunyai “kemampuan” yang sebelumnya tidak pernah sekalipun kita impikan.

Secara umum kita akan menemui bulan Ramadhan setiap tahun sepanjang umur kita. Dan secara umum pula kita tidak pernah bisa memaksimalkan semua “ibadah” kita. Baik shalat, zakat, infaq, sedekah demikian juga dengan puasa. Bulan suci Ramadhan yang kita temui di setiap tahun telah memberikan kesempatan kepada kita seluas-luasnya untuk mewujudkan diri dan jiwa kita menjadi manusia-manusia yang berderajat tinggi, baik dimata manusia maupun dihadapan Allah. Semua tergantung kita, tertarik untuk menjadi hamba Allah yang sebenarnya atau memilih untuk hidup tak berarti sepanjang umur.

Jangan kita berfikir kita akan bisa terbang seperti kupu-kupu, jika dikehendaki oleh Allah, manusia bisa mempunyai kelebihan jauh lebih sempurna dari apa yang bisa dilakukan oleh kupu-kupu. Tapi semua itu bukanlah tujuan dari wajibnya manusia beribadah. Taqwa merupakan puncak dari pencapaian manusia dalam beribadah. Dan taqwa hanya bisa dicapai dengan kesungguhan dalam menjalankan semua perintah dan larangan bagi manusia yang beribadah. Bulan Ramadhan adalah sebuah kesempatan untuk bisa meraih semua nikmat-nikmat ibadah.

Dan hanya karena kesempatan yang diberikan oleh Allah kepada kita sajalah yang menyebabkan kita bisa bertemu dengan beberapa kali bulan Ramadhan. Jika kita tidak bisa menggunakan kesempatan “emas” di setiap bulan Ramadhan yang kita jumpai untuk meningkatkan kualitas iman kita, niscaya kita tidak akan bisa pula meningkatkan kualitas ibadah kita. Jika kita tidak pernah bisa meningkatkan kualitas ibadah, kitapun tidak akan pernah bisa meningkatkan kualitas diri dan jiwa kita. Dan kita akan kehilangan kesempatan untuk menjadi “kupu-kupu” yang indah dimata manusia dan mulia dihadapan Allah.

Mudah-mudahan tulisan ini bisa memberikan sedikit pencerahan kepada hati dan pikiran kita tentang essensi dan hakikat dari puasa yang setiap tahun kita lewati. Sekali lagi, “puasa” adalah sarana untuk mengubah kualitas diri dari manusia yang berlumuran dosa menjadi manusia yang berderajat mulia di mata manusia yang lain dan mulia pula dihadapan Allah swt. dan semua bisa terwujud “hanya” dengan kesungguhan hati dalam menempuh atau mengusahakannya. Tetapi, semua itu juga tergantung pada niat kita. Mau berpuasa ala “ular” atau berpuasa ala “ulat”. Keduanya membawa konsekwensi sendiri-sendiri.

Sedangkan “Lailatul Qadar” hanya bisa didapatkan oleh mereka yang benar-benar beribadah dengan sungguh-sungguh. Bukan mereka yang “main-main” dalam ibadah. Tanda-tanda orang yang mendapatkan “lailatul Qadar” adalah mereka yang “berubah” dari seseorang yang semula cuek atau main-main dalam beribadah menjadi orang yang “takut” dan “taat” serta “tawadhu`” dalam menjalani hidup sampai di akhir umurnya. Mudah-mudahan kita semua bisa menjadi orang-orang yang kelak bisa mendapatkan apa yang banyak diangankan dan diinginkan oleh semua umat muslim tersebut. Amiin.

Sekian.
Selengkapnya...

Rabu, 04 Agustus 2010

Infotainment Haram !


Alhamdulillah !! sudah ada sinyal keberanian dari pemimpin kita. Walaupun terasa masih setengah hati. Acara infotainment yang disukai banyak orang, yang telah membius jutaan umat Islam, yang “isi”nya bertentangan dengan ajaran agama telah di”haram”kan oleh Majelis Ulama Indonesia. Sebagai Umat yang berusaha untuk menjauhi larangan-larangan Allah kita patut “sedikit” bersyukur atas keluarnya keputusan tersebut. Kenapa cuma sedikit ? Karena masih begitu banyak tayangan-tayangan televisi yang pamer aurat perempuan. Sepertinya fatwa ini hanya sebagai “warning” saja untuk dunia pertelevisian.

“Ghibah” adalah sesuatu yang dilarang oleh agama, tapi media begitu bebas meng”komunikasi”kannya pada pembaca atau pemirsanya. Baik melalui tabloid maupun layar kaca. Hampir tiap stasiun TV mempunyai acara “Ghibah”. Bahkan bisa dikatakan merupakan acara yang diandalkan dan banyak menyedot iklan. Sehingga acara ini termasuk acara yang harus dipelihara dengan menyertakan inovasi dan kreasi agar selalu terlihat “up to date”. Tapi tetap saja isinya adalah pengungkapan pribadi seseorang yang kadang terlihat begitu “vulgar” dalam penyajiannya. Tidak lagi menghargai perasaan orang yang menjadi obyeknya.

Selain acara ghibah televisi juga banyak menayangkan acara yang para pemerannya menampakkan sebagian dada dan paha atau sebagian aurat. Seperti yang kita tahu, aurat adalah sesuatu yang benar-benar “privacy”, terutama untuk mereka yang mengaku diri sebagai orang Islam. Ajaran Islam begitu tegas mengatur tentang bagaimana menutup aurat. Tapi di Negara yang mayoritas penduduknya mengaku beragama Islam ini, aurat begitu bebas nampak di layar kaca. Ironis sekali nampaknya. Satu saat mereka berbicara dengan “baju” Islamnya, dengan kata-kata yang familier untuk umat Islam, tapi di saat yang lain berpose sensual dengan baju se”ada”nya.

Memang tidak semua acara yang disajikan hanya “sia-sia” untuk pemirsa. Cukup banyak juga acara yang benar-benar bermanfaat. Yang isinya bisa diambil sebagai pelajaran hidup atau ilmu pengetahuan yang sangat berguna untuk memahami sesuatu. Tapi kalau benar-benar dicermati banyak acara yang tidak perlu untuk dilihat. Karena tidak ada yang bisa diambil manfaat darinya. Dan ironisnya mereka justru jadi “idola”. Padahal sedikitpun tidak ada yang bisa kita ambil pelajaran dari tayangan tersebut. Kita hanya hanyut dalam gerak, kata dan tawa saja.

Mungkin anda beranggapan kalau seluruh tulisan diatas sangat bersifat subyektif. Memang benar. Karena saya hanya menghadapkan sesuatu masalah pada ada atau tidaknya manfaat yang bisa diperoleh untuk manusia yang mengabdi hanya pada Allah. Juga karena Allah menciptakan kita semua hanya untuk beribadah. Jadi sesuatu yang tidak ada korelasinya dengan ibadah, apalagi yang cenderung sia-sia, bahkan cenderung melanggar aturan atau ajaran agama, sudah selayaknya untuk dijauhi atau dihindari. Agar kita tidak semakin cinta dan larut pada tayangan-tayangan yang bernuansa “haram”.

Penayangan acara “dakwah” di televisi sepertinya hanya sekedar penyeimbang dari acara-acara “hiburan” yang kadang begitu “seronok”. Bertentangan sekali dengan apa yang disampaikan dalam dakwah oleh para ustadz. Lantas untuk apa sebenarnya ada tayangan “dakwah” ? Kalau yang menayangkannya sendiri saja nggak perduli dengan apa yang disampaikan dalam tayangan dakwah. Mereka tahu, tapi tetap saja melanggar aturan tentang batasan aurat. Lalu apa artinya semua tayangan dakwah? Sungguh ironis, disatu sisi dijejali dengan ilmu Iman tapi di sisi lain dipaksa untuk melahap larangan-larangan Allah.

Allah sudah mengingatkan kepada kita dengan satu ayat, “mengapa kamu menyuruh orang lain mengerjakan kebaikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri. Padahal kamu membaca kitab, apakah kamu tidak berpikir ?” Ayat ini adalah cermin bagi kita yang hanya bisa menyuruh berbuat baik, tapi sebenarnya menyukai hal-hal yang buruk. Hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama. Hingga suatu kali kita mengumpulkan orang banyak untuk “ngaji”, tapi kita sendiri tidak pernah ikut pengajian tersebut. Jadinya ya kita tak pernah tahu mana yang dilarang dan mana yang diperintahkan. Akibatnya pakaian “mini” yang sebenarnya dilarang, malah semakin sering tayang.

Sebenarnya bukan hanya infotainment yang harus diharamkan. Di sebuah negara yang mayoritas penduduknya mengaku beriman ini, tayangan-tayangan di televisi yang melanggar aturan atau ajaran agama harus pula diharamkan. Tapi apa ya bisa ? Wong kita semua sudah terlanjur menyukainya. Diam-diam kita juga menunggu-nunggu jam tayangnya. Jika di survey, lebih banyak mana mereka yang tidak setuju dengan yang setuju tayangan ghibah dan aurat di televisi ? Jawabnya tidak bisa dijadikan gambaran keinginan masyarakat yang sebenarnya.

Mereka yang ber-agama menjawab tidak setuju. Yang terang-terangan menyukai, menjawab setuju. Tetapi yang tidak menjawab jumlahnya tak terhitung, termasuk mereka yang berada diluar survey. Dan ironisnya juga, mereka yang tidak menjawab ini sebagian besar termasuk penikmat ghibah dan “mini wear” Sehingga pada saat ada sebuah demo anti ghibah dan pornografi mereka seakan-akan menghadapi sebuah tembok yang terbuat dari tubuh-tubuh saudara kita sendiri. Benar-benar ironis sekali. Sebuah larangan agama justru tumbuh subur dan terpelihara dengan baik oleh sekelompok orang yang mempunyai tujuan dunia jauh melebihi tujuan akhiratnya.

Infotainment sudah di”haram”kan oleh Majelis Ulama, tinggal bagaimana pelaksanaan lanjutannya. Apakah kalau sudah diputuskan haram lalu tidak boleh ditayangkan? Mengingat masih banyak tayangan lain yang juga pantas mendapat label serupa. Bagaimana pula jika stasiun yang bersangkutan tetap nekad menayangkannya? Jangan-jangan hanya disarankan untuk ganti baju saja lalu jalan terus tayangannya. Seperti yang sudah pernah terjadi. Kita tunggu dan kita lihat saja. Serius atau hanya sekedar lips service.

Mereka bisa saja berkelit dengan kata-kata “hanya” menayangkan. Masalah mau melihat atau tidak itu kan urusan pribadi masing-masing. Dan kalimat ini banyak dianut orang. Ironisnya juga, yang mengamini kalimat ini juga banyak dari orang yang ber”identitas” Islam. Lucu juga kan? Meskipun begitu masih bisa dimaklumi, mungkin mereka muslim yang tidak pernah peduli dengan perintah dan larangan yang ada di dalam agamanya sendiri. Jadinya ya, pandangan dan lontaran kalimatnya juga tidak mencerminkan aturan-aturan dalam agama Islam.

Lantas bagaimana pula kita harus menyikapi fatwa haram infotainment tersebut?

Sebenarnya fatwa haram dari MUI hanyalah mempertegas saja. Sedangkan isi dari tayangan tersebut sudah haram sejak lama. Seharusnya, sejak lama pula kita sudah berusaha untuk menjauhi tayangan-tayangan semacam itu. Kita harus lebih selektif lagi memilih acara-acara yang akan kita nikmati. Yakinkan dalam hati bahwa “isi” dari tayangan tersebut bertentangan dengan ajaran agama. Pastikan bahwa tayangan yang banyak mengandung ghibah dan aurat adalah musuh yang nyata-nyata harus kita lawan. Karena sudah disusupi oleh sekumpulan setan yang berusaha untuk melemahkan iman manusia.

Berikan pengertian pada anak-anak kita tentang tayangan-tayangan yang menurut agama tidak pantas atau tidak boleh untuk ditonton. Karena biasanya anak-anak hanya mengikuti berita tentang artis-artis yang menjadi idolanya atau yang mereka kenal lewat iklan dan sinetron. Kebanyakan anak tidak mengerti tentang halal dan haramnya sesuatu kalau tidak diberi pengertian lebih dulu. Memang agak sulit membelokkan mata anak-anak yang sudah terlanjur nge-fans pada sosok artis. Mereka lebih cenderung ingin tahu apa saja yang dilakukan oleh sang artis, baik dalam sinetron maupun di luar sinetron.

Jangan pernah bosan untuk memberikan pengertian pada anak-anak kita untuk tidak menonton tayangan-tayangan yang berlabel “haram”. Tapi jangan lupa pula pada diri sendiri. Jangan sampai terjadi, kita melarang anak-anak kita untuk menonton sebuah tayangan haram tapi justru kita sendiri menikmatinya di depan-anak-anak kita. Yang demikian itu akan memberikan dampak negatif pada diri anak dan persepsinya terhadap kita sebagai orang tua. Berikan contoh dihadapan mereka dengan landasan pengetahuan agama. Dorong anak-anak kita untuk lebih rajin menimba ilmu agama melalui kegiatan “ngaji” atau baca Qur`an.

Pilihlah tayangan-tayangan yang “mendidik”, jangan terlalu banyak menonton tayangan-tayangan “bohong”. Banyak tayangan yang bagus yang bisa diambil manfaatnya untuk keluarga kita. Memang tidak bisa dipungkiri juga kalau baik dan buruk kadang berada dalam satu wadah. Tergantung kecermatan kita dalam memilih mana yang paling baik buat kita. Sadarilah bahwa mengidolakan seseorang bukan karena perilaku baiknya adalah sebuah kesalahan fatal. Jika kita merasa sebagai orang Islam, palingkanlah segera mata dan hati kita pada perilaku-perilaku yang di contohkan oleh Rasulullah saw.

Sebuah keputusan Majelis Ulama Indonesia yang mengharamkan tayangan ghibah perlu ditanggapi secara positif. Mudah-mudahan akan keluar keputusan-keputusan lain yang cenderung pada aturan-aturan Allah dan bukan atas dasar hak asazi manusia saja. Karena dewasa ini banyak sekali orang berlindung pada kata hak asazi manusia hanya untuk melindungi perilakunya yang menyimpang dari aturan atau ajaran agama. Sampai-sampai mereka berani pasang badan hanya untuk membela hak asazi manusia dan secara terang-terangan menentang larangan agama. Padahal perintah dan larangan Allah adalah aturan tertinggi yang harus di taati oleh seluruh manusia

Sekian.
Selengkapnya...

Minggu, 01 Agustus 2010

Jum`atan di waktu Subuh.


Jum`at, sebuah hari yang begitu melekat di pikiran kita. Sebuah hari yang mengingatkan kita bahwa, ada kewajiban shalat bagi kita yang mengaku diri sebagai muslim. Sebuah hari yang juga mengingatkan kepada kita bahwa ada shalat dalam agama Islam yang seharusnya tidak boleh dianggap ringan dan ditinggalkan begitu saja. Begitu banyak umat muslim yang menjalankan shalat jum`at, sehingga terlihat “fenomenal” secara kuantitas. Tetapi secara kualitas masih perlu dibuktikan. Banyaknya jama`ah shalat jum`at bukanlah indikator kekuatan beragama seseorang. Indikator minimal yang bisa dilihat adalah, seberapa kekuatan kemauan untuk melaksanakan shalat “jama`ah” di masjid pada saat Isya` dan Subuh.

Untuk shalat Jum`at, luasnya masjid kadang tidak mencukupi dengan jumlah jama`ah. Hingga kadang sampai meluber ke halaman masjid, bahkan kadang meluber ke jalan-jalan umum. Sebuah potret kuantitas yang yang belum tentu berimbas pada kualitas Iman. Cermin kebesaran Islam? Bisa jadi ya! Tapi kesungguhan dalam menjalankan shalat, belum tentu. Shalat jum`at yang “hanya” 2 rakaat memang lebih banyak “dikehendaki” oleh sebagian besar umat. Terutama mereka yang “asal” beragama. Sedangkan shalat wajib 5 waktu adalah sesuatu yang berat. Apalagi shalat subuh dengan berjama`ah di masjid. Sangat berat, kecuali bagi mereka yang benar-benar khusyu` dalam beragama.

QS. Al Baqarah : 286.

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ ﴾
“ Laa yukallifullahu nafsan `illaa wus`ahaa, lahaa maa kasabat wa `alaihaa maaktasabat.....”

”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya......”

QS. Al A`raaf : 42.

وَالَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ﴿٤٢﴾
“Walladziina aamanuu wa `amilush shalihaati laa nukallifu nafsan `illaa wus`ahaa uulaa`ika ashhaabul jannah, hum fiihaa khaaliduuna”.

”dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh, Kami tidak memikulkan kewajiban kepada diri seseorang melainkan sekedar kesanggupannya, mereka itulah penghuni-penghuni surga; mereka kekal di dalamnya”.

Kedua ayat itu memberikan penjelasan kepada kita bahwa Allah tidak memberikan atau membebani manusia dengan sesuatu yang memberatkan. Tetapi Allah memberikan beban kewajiban kepada manusia sesuai dengan kesanggupan manusia. Baik secara fisik maupun psykis. Termasuk kewajiban shalat. Tetapi manusia banyak yang mengeluh berat, lalu banyak pula yang meninggalkannya. Meninggalkan semua shalat wajib atau meninggalkan sebagian dari lima waktu yang diperintahkan.


Ada yang shalat di waktu magrib saja, ada pula yang shalat dzuhur saja. Bahkan ada yang hanya sekali dalam seminggu lewat shalat jum`at saja. Sebuah keberanian yang luar biasa dalam melanggar perintah Allah. Padahal kita sadar apa konsekuensi yang akan kita terima apabila kita meninggalkan perintah shalat. Tetapi kita lebih sering mengabaikannya. Dan menganggap belum tentu semua berita-berita dari surga dan neraka itu benar. Sebuah keingkaran yang tersembunyi dibalik keengganan menjalankan perintah Allah swt.

Mengapa shalat jum`at masjid begitu penuh, sedangkan untuk shalat-shalat wajib yang lima waktu tidak bisa se”meriah” shalat jum`at? Ada beberapa sebab mengapa shalat jum`at masjid penuh dengan jama`ah. Pertama, shalat Jum`at hukumnya “wajib” bagi laki-laki. Kedua, shalat jum`at tidak bisa dilakukan sendirian di rumah, umumnya dilakukan di masjid. Ketiga, jumlah masjid tidak sebanyak langgar atau mushala. Keempat, shalat jum`at ada khotbahnya. Kelima, sebagai bukti “identitas” seorang muslim selain kartu identitas penduduk. Keenam, ada perasaan malu jika tidak shalat jum`at, sementara orang lain berbondong-bondong mengerjakannya.

Beberapa alasan itulah yang menjadi sebab lain selain dari kesadaran spiritual dari masing diri seorang muslim. Tapi secara kualitas jumlah yang besar tersebut belum bisa dijadikan barometer kuat tidaknya Iman seseorang. Sementara kita juga tahu kalau kekuatan Iman bisa menjadikan kuatnya ketaatan pada perintah. Terutama perintah yang paling utama yaitu shalat. Lebih utama lagi adalah shalat lima waktu sehari semalam. Jangan sampai kita justru salah dalam mempersepsi sebuah perintah. Shalat lima waktu jauh lebih utama dari pada hanya sekedar shalat jum`at untuk menghindari cibiran sebagai orang Islam yang tidak melakukan shalat.

Beberapa alasan yang menyertai kita dalam melaksanakan shalat jum`at menyebabkan kuantitas jama`ah shalat jum`at tidak mencerminkan kesungguhan umat dalam menjalankan perintah shalat lima waktu. Ada yang karena terpaksa berangkat shalat jum`at karena takut dikatakan Islam ktp. Ada yang berangkat shalat jum`at karena malu kepada atasan atau rekan kerja di kantor. Ada pula yang berangkat shalat jum`at hanya ingin mengakiri pekerjaan lebih awal. Yang seperti ini biasanya ada di perusahaan yang menetapkan jam istirahat tepat jam 12.00 wib. Sehingga kalau tidak lebih awal berangkat ke masjid, pasti akan kehilangan khotbah jum`at.

Dan lagi, mereka yang rajin shalat jum`at belum tentu memelihara seluruh shalat wajibnya. Mungkin shalatnya hanya pada saat di kantor atau tempat kerja saja. Dirumah sama sekali lalai karena sudah terbiasa tidak melakukan shalat. Bisa juga di kantor atau tempat kerja mereka hanya melaksanakan shalat dzuhur plus ashar. Ada juga yang mengerjakan shalat dzuhur, ashar lalu magrib berjama`ah di masjid atau mushala dekat rumah, tapi saat Isya tidak hadir di masjid. Mereka lebih suka shalat sendiri di rumah. Demikian juga dengan shalat subuh, waktunya suka-suka. Kata orang jawa “sak tangi-tangine”.

QS. Al Baqarah : 238.

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَىٰ وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ﴿٢٣٨﴾

“Haafidhuu `alaash shalawaati wa shalaatil wusthaa waquumuu lillahi qaanitiina”

”Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah) shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'”.

Ayat ini memerintahkan dengan jelas untuk memelihara semua shalat. Terutama shalat wajib. Shalat wusthaa disini diterjemahkan sebagai shalat ashar. Jelas ! Yang disuruh memelihara adalah semua shalat, yaitu shalat wajib, bukan hanya shalat Jum`at saja. Dan kalau bisa diusahakan di masjid dimana dikumandangkan adzan. Kalau tidak bisa di semua waktu shalat, usahakan untuk shalat berjama`ah pada waktu Isya` dan subuh. Di masjid. Karena shalat Isya` dan subuh berjama`ah di masjid bisa dijadikan cermin kuatnya Iman seseorang.

Rasulullah pernah bersabda, “Sesungguhnya shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat Isya’ dan shalat Subuh (berjama`ah di masjid). Sekiranya mereka mengetahui apa yang terkandung di dalamnya, niscaya mereka akan mendatangi keduanya dengan merangkak. Sungguh, aku ingin menyuruh melaksanakan shalat, lalu shalat itu ditegakkan, kemudian aku perintahkan orang lain untuk shalat bersama dengan orang-orang. Kemudian beberapa lelaki berangkat bersamaku dengan membawa kayu yang terikat, mendatangi suatu kaum yang tidak menghadiri shalat berjamaah, sehingga aku bakar rumah mereka.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).

Kata-kata rasulullah shahih, tapi banyak yang menyangkal ! Alasannyapun berbeda-beda. Ada yang beralasan, apa shalat harus di masjid ? Apa tidak boleh shalat di rumah ? Jawabannya, tentu saja boleh. Dimanapun kita berada kita bisa melaksanakan shalat, kecuali di tempat-tempat yang kotor dan mengandung najis. Tapi kalau mengingat masjid dibuat untuk mendirikan dan menegakkan shalat, maka lebih afdhal shalat wajib 5 waktu dilaksanakan di langgar, mushala atau masjid. Terutama di langgar, mushala atau masjid yang mengumandangkan adzan dan ada Imam rawatibnya. Sedangkan untuk shalat sunnah Rasulullah mengatakan lebih baik di laksanakan di rumah masing-masing.

Ada lagi yang beralasan ketiduran. Dan mereka menganggap bahwa ketiduran adalah nikmat dari Allah juga. Dan mereka tidak kuasa untuk “menolak” nikmat “ketiduran” tersebut. Sebenarnya ini adalah alasan bagi mereka yang malas atau tidak punya kemauan untuk taat melaksanakan shalat tepat pada waktunya bersama-sama dengan orang-orang yang taat shalat jama`ah di masjid. Juga alasan bagi mereka yang hobby tidur dan tidak mengakui kebenaran adzan subuh yang berbunyi “Shalat itu lebih baik dari pada tidur” dengan lafal “Ash shalaatu khairum minan nauum”.

Ada pula yang beralasan repot momong anak atau momong cucu. Hingga mereka merasa lebih baik mengorbankan kewajiban shalat berjama`ah di masjid dan memilih untuk shalat sendirian dengan waktu “suka-suka”. Tapi kalau shalat jum`at mereka mempersiapkan diri seakan-akan ahli shalat, seakan-akan orang yang takut ketinggalan shalat. Padahal kadang tak lebih dari penempelan identitas muslim saja. Banyak faktor-faktor yang menyertai shalatnya, sehingga faktor “lillahi ta`ala” menjadi kabur karena shalatnya yang banyak mengandung riya`.

Semua alasan yang dilontarkan oleh banyak orang mengenai perlu dan pentingnya shalat subuh berjama`ah di masjid seperti yang diperintahkan oleh Rasulullah saw adalah semata-mata karena keengganan mereka pada shalat subuh. Terutama perintah untuk melaksanakannya di masjid bersama dengan orang-orang yang telah melaksanakannya. Berbeda dengan shalat jum`at yang dikerjakan pada saat mata banyak yang terbuka, shalat subuh dikerjakan pada saat banyak mata tertutup. Hingga tidak banyak orang yang tahu mereka yang berangkat dan pulang dari masjid untuk shalat subuh.

Perbedaan semangat untuk melaksanakan shalat subuh dengan shalat jum`at itu juga mengindikasikan kalau semangat shalat kita di masjid baru timbul kalau dilihat banyak orang. Sementara pada saat banyak orang tidur kita memilih untuk shalat sendirian di dalam rumah. Padahal semangat untuk melaksanakan shalat Isya dan subuh, terutama dengan berjama`ah di masjid bisa menjadi indikator kesungguhan kita dalam mentaati perintah shalat. Jika seseorang rajin shalat Isya` dan subuh di masjid, niscaya shalat-shalat yang lain adalah sesuatu yang ringan untuk dilaksanakan.

Untuk itu, marilah kita segera sadar, bahwa masjid dibuat untuk menegakkan shalat dan syi`ar Islam. Kalau bukan kita sebagai umat Islam yang meng”hidup”kannya lantas siapa lagi. Marilah sama-sama berusaha untuk menjalankan perintah shalat dengan kekuatan yang datangnya dari Allah. Dengan mempertebal Iman atau keyakinan melalui pemahaman ilmu-ilmu agama. Bukan dengan mengusahakan untuk langsung shalat Isya` dan subuh berjama`ah di masjid, tetapi dengan membangun kekuatan Iman melalui pemahaman ilmu iman itu sendiri. Karena kemauan untuk datang berjama'ah di masjid itu datangnya dari kekuatan Iman.

Jika kita datang ke masjid dengan bekal Iman yang “tipis” maka yang demikian akan mudah sekali untuk “luntur” alias malas untuk datang lagi. Tetapi jika dibangun dari pemahaman ilmu Iman yang berakibat pada kuatnya keyakinan, maka kekuatan kemauan untuk datang memenuhi perintah shalat berjama'ah Isya` dan subuh ke masjid akan meningkat berlipat-lipat. Hal itu dikarenakan bertambahnya keyakinan tentang kebenaran semua apa yang ada dalam ajaran agama kita. Sehingga semangat itu akan datang secara otomatis dikarenakan taat dan takutnya kita kepada Allah dan semua yang dijanjikanNya.

Jadikan semangat shalat jum`at untuk memulai meningkatkan Iman. Jadikanlah semangat shalat jum`at sebagai awal dari pembuktian sebuah ketakwaan. Jadikanlah semangat shalat jum`at sebagai awal untuk memulai ketaatan kita pada perintah shalat wajib dan anjuran shalat-shalat sunnah yang lain. Dan jadikanlah semangat shalat jum`at untuk menempati shaf-shaf depan pada shalat Isya` dan shalat subuh. Serta jadikanlah semangat shalat jum`at sebagai awal dari syi`ar Islam pada waktu fajar seperti yang pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para sahabat selama masa hidupnya. Hingga secara kuantitas jama`ah shalat subuh di mushala dan masjid akan meningkat minimal sama dengan jumlah jama`ah shalat magrib.

Dan jangan jadikan shalat jum`at sekedar alat untuk mendapatkan identitas muslim. Jangan pula shalat jum`at dijadikan sebagai alat menutup rasa malu karena lubang yang banyak dibuat di shalat wajib. Laksanakan semua kewajiban shalat secara mutlak. Jangan banyak membuat alasan untuk sekedar memindahkan waktu shalat atau bahkan untuk meninggalkannya. Yang demikian itu akan membuat kita menjadi manusia yang sangat merugi di akhirat kelak. Karena amalan manusia yang paling awal dihisab atau diperhitungkan Allah adalah shalat. Dan janganlah kita lupa bahwa shalat adalah “tiang” agama, maka barang siapa mengerjakannya berarti dia menegakkan agama dan barang siapa meninggalkanya berarti dia telah merobohkan agamanya.

Sekian.
Selengkapnya...