Senin, 30 Mei 2011

Obyektifitas Pemberian Nilai Ujian


Nilai yang diperoleh siswa dalam ulangan atau ujian seharusnya mempunyai korelasi yang erat dengan kemampuan “sebenarnya” siswa. Tapi adakah standarisasi pemberian nilai masing-masing guru bisa mendekati “limit” yang sama ? Tentu saja kita bisa menjawab ada, tidak ada atau masih meragukannya. Mengapa? Sebab jumlah guru yang mengajar dibidang sama begitu banyak dan tersebar di berbagai sekolah. Dan masing-masing diri guru mempunyai “hati” yang berbeda. Kondisi seperti inilah yang menjadi penyebab sedikit “ketidak adilan” bagi siswa. Karena besaran nilai yang sama dari dua siswa yang berbeda tidak secara langsung bisa membedakan kualitas keduanya. Terutama dari sekolah yang berbeda. Apalagi jika ada sekolah yang menerapkan “team order” zero accident alias lulus seratus persen.

Nilai ujian nasional bisa juga sebagai alternatif. Jika naskah unas tidak “bocor” bisa juga nilai yang dihasilkan dijadikan standard. Tapi bagaimana jika bocor dan tersebar ? Pasti ada sekelompok siswa yang “diuntungkan” dengan bocornya naskah unas tersebut. Dan mereka bisa dengan mudah “melenggang” masuk ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Karena nilai ujian nasional inilah yang dijadikan dasar diterima atau tidaknya siswa pada jenjang sekolah yang lebih tinggi. Dan hampir pasti akan ketahuan kualitas sebenarnya siswa tersebut pada saat “uji ulang” yang diadakan oleh sekolah yang menerimanya. Tapi apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. Ini baru beberapa bidang study. Belum bidang study yang tidak masuk dalam kelompok uji nasional. Meskipun tidak ikut menentukan lolos tidaknya masuk sekolah negeri. Tapi bisa ikut menentukan kelulusan.Saya kurang yakin, apa nilai “katrolan” masih diterapkan di banyak sekolah. Sebab dalam situasi dan kondisi tertentu “katrol” merupakan alat yang sangat penting dan dibutuhkan. Meskipun metode belajar mengajar saat ini sudah cukup bagus dan canggih. Juga memancing siswa untuk lebih “serius” belajar dan mengejar nilai minimal. Tapi alat yang namanya katrol ini rasanya juga sulit untuk ditinggalkan atau bahkan dibuang. Kenapa ? Sebab setiap guru mempunyai “hati”. Dan setiap siswa jarang yang bisa mengerjakan dengan benar diatas 60 persen nilai total. Bahkan untuk bidang study exact lebih banyak yang “jatuh” nilainya dibawah 60. ini kalau mau jujur.

Kalau standard minimal kelulusan satu bidang study harus mencapai nilai 6 (enam) misalnya, bagaimana mayoritas siswa yang mendapat nilai dibawah enam. Alternatif pertama adalah remedi atau perbaikan nilai. Tapi kalau yang harus “remedi” jumlahnya di atas 50 % bisa berakibat tidak baik bagi guru bidang study yang bersangkutan atau bahkan bagi sekolah. Alternatif kedua adalah mengunakan alat bantu “katrol”. Dengan demikian pekerjaan guru untuk mengangkat nilai mereka yang tidak memenuhi standard jadi lebih “ringan”. Lalu jadilah nilai-nilai katrolan itu nilai final yang pasti bertengger di kolom-kolom nilai raport masing-masing siswa. Disinilah letak ketidakseragaman nilai di satu sekolah dengan sekolah lain.

Mengapa bisa demikian ? Seperti yang tertulis di awal bahwa guru mempunyai hati yang berlainan satu sama lain. Jadi, subyetivitas dalam pemberian nilai “katrol” sedikit banyak ada perbedaan. Selain “hati” guru, kemungkinan masih ada beberapa point yang bisa digunakan sebagai bahan pertimbangan nilai katrol tersebut. Misal, tingkah laku keseharian siswa. Termasuk anak yang “nakal” bin “bandel” apa tidak. Pintar tapi “mesakat” atau “lemot” tapi sopan. Mungkin masih banyak lagi faktor yang mempengaruhi katrolan nilai ini. Sangat tergantung dari guru masing-masing bidang study. Kalau gurunya “gak benci” mungkin masih bisa aman. Tapi kalau siswaya “mesakat” sampai gurunya begitu benci bisa-bisa berakibat fatal bagi siswa.

Faktor “like” and “dislike” tetap nggak bisa lepas dari “pemberian” nilai siswa. Sejujur apapun ucapan yang keluar dari lidah, tidak akan pernah sejujur kata “hati. Apalagi kalau guru bidang study tertentu memberikan “les” untuk siswanya sendiri. Kejujuran dan obyektivitas pembuatan soal serta pemberian nilai bisa berada diantara “ada” dan “tiada”. Dengan dalih apapun kita tidak akan pernah “tega” menyaksikan “anak-anak” kita hatinya hancur dan meneteskan air mata di depan mata kita. Belum lagi kalau menghadapi beberapa wali siswa yang agak “akrab”, wah malah lebih repot lagi. “Ewuh atau perkewuh” kata orang jawa. Disinilah profesionalisme guru dipertaruhkan. Mau profesional atau “perkewuh” ?

Seharusnya guru tidak memberikan les atau tambahan pelajaran atas biaya siswa diluar jam pelajaran. Apalagi dilakukan di rumah. Kecuali kalau seluruh siswa mengikutinya. Tapi sifat “les” biasanya “tidak wajib”. Bagi yang “mampu” silahkan ikut bagi yang “tidak” mampu tidak ada paksaan. Sadar atau tidak. Yang seperti inilah yang justru menjadi sumber hilangnya profesionalisme guru. Karena adanya tuntutan dari para wali siswa, kalau sudah ikut les ya nilainya “wajib” bagus. Kalau nilai yang di dapat masih “jeblok” ya untuk apa les ? Inilah yang menjadi “beban” psykologis guru yang membuka “les” untuk siswanya sendiri di luar jam sekolah. Dengan alasan apapun situasi seperti ini membuat “kabur” obyektivitas dan profesionalisme.

Mengapa bisa sampai seperti itu ? Tidak ada lain masalahnya kalau bukan adanya unsur “biaya” dalam praktik “tambahan” pelajaran tersebut. Memang seperti buah “simalakama”. Baik bagi siswa dan orang tua maupun bagi guru bidang studynya. Bagi siswa dan walinya, standard minimal nilai untuk “lulus” kadang ibarat sesuatu yang “menakutkan”. Apalagi bagi siswa yang tingkatan IQ-nya tergolong pas-pasan untuk lulus. Maka, mau tidak mau orang tua akan ikut “memutar” otak agar anak minimal bisa lulus dan diterima di sekolah negeri yang “dituju”. Dan biaya yang dikeluarkanpun diharapkan akan berimbas pada raihan angka nilai. Jika terlampaui, rasa puas akan menimbulkan semangat baru. Tapi jika tidak, seluruh badan rasanya “pegel” dan semangatpun seakan terbang.

Sedangkan bagi guru juga demikian. Sadar akan kemampuan sebenarnya dari siswa yang diajarnya, membuat guru juga harus “memutar” otak agar mayoritas siswanya “lolos” dan berhasil meraih apa yang diharapkan. Karena keberhasilan siswa juga merupakan kebanggaan masing-masing gurunya. Lantas bagaimana caranya ? Tak ada lain kecuali meluangkan banyak waktu dan pikirannya untuk memperbanyak porsi latihan di luar jam pelajaran. Dimana ? Bisa di sekolah bisa juga di rumah. Disini menjadi tidak logis kalau unsur biaya tidak di pertimbangkan. Loyalitas tanpa royalitas akan sulit terjadi keseimbangan. Jika siswa harus mengeluarkan biaya memang “sangat” bisa diterima oleh akal. Dan jika gurunya menerima imbalan juga bisa diterima akal. Tapi apakah semua siswa “mampu” untuk mengikuti pelajaran ektra ini ?

Sebab biaya yang keluar dari orang tua siswa, antara digunakan benar-benar untuk memperdalam masing-masing bidang study, atau justru untuk “mahar” soal ujian yang akan di ujikan dan penyelesaiannya ? Sebab, logikanya untuk ujian sekolah termasuk ulangan-ulangan harian, yang membuat soalnya adalah guru yang bersangkutan atau team guru di bidang study yang sama. Jika yang diujikan, baik untuk ulangan harian atau ujian sekolah yang keluar “replika” soal yang sudah dibahas “habis-habisan” di pelajaran tambahan, maka yang “kelabakan” adalah para siswa yang “tidak” mampu mengikuti “pengayaan” materi tersebut. Sangat tidak fair. Apakah yang seperti ini merupakan sebuah profesionalitas yang obyektif ? Tergantung dari sisi mana kita melihatnya.

Semua jawaban hampir pasti cenderung subyektif. Siswa dan wali menuntut “hasil baik” sedangkan gurunya merasa “perkewuh” kalau nilai siswa “les”nya jelek. Sebab kalau sudah les tetap saja nilainya jelek, pasti yang mengajar yang kena getahnya. Bisa hilang “daya tarik” untuk les kepada guru tersebut untuk angkatan-angkatan selanjutnya. Belum lagi umpatan atau “rasan-rasan” yang tak pernah terdengar langsung. Memang serba susah menghadapinya. Disatu sisi, kegagalan siswa meraih nilai baik adalah beban moral bagi gurunya. Disisi lain tingkat kemampuan dalam “menerima” pelajaran kebanyakan siswa masih “lemot”. Benar-benar buah simalakama. Dilakukan menimbulkan suara miring, tidak dilakukan seperti tidak ada “kepedulian”.

Yang kadang menyinggung perasaan siswa dan orang tua adalah ketika sampai keluar kata-kata, “sekolah wis gak mbayar kok sik rewel !”. Nah kadang ungkapan kekesalan memang sering tak terkontrol. Siapapun itu orangnya. Tak perduli dari mereka yang berpredikat apapun asal masih merupakan “manusia”. Jarang kita berpikir tentang apa yang sudah kita peroleh saat ini dibanding tahun-tahun silam. Mestinya “profesi” guru saat ini tidak hanya berimbas pada “kesejahteraan”, tapi juga berimbas pada kedalaman pemahaman profesi itu sendiri. Karena hakikatnya peningkatan kualitas atau kemampuan “siswa” merupakan penyebab tidak langsung peningkatan kesejahteraan para guru.

Maka dari itu, biaya belajar siswa yang saat ini “dibebankan” pada negara atau pajak yang dibayar oleh rakyat tidak membuat perubahan “persepsi” kita kepada para siswa. Janganlah kita menganggap mereka sekolah “nggak mbayar”. Hingga “kepedulian” kita jadi “ngambang”. Karena para gurupun mungkin juga mempunyai anak yang mungkin juga bersekolah di level yang sama. Juga sudah banyak pula para guru yang sudah ber “profesi”. Memang beban tugas para guru semakin berat tapi memang disitulah letak “mulia”nya pekerjaan guru. Mudah-mudahan dimasa yang akan datang bukan hanya “profesi” yang dimiliki tapi benar-benar “kesejahteraan” yang akan dinikmati. Untuk itu, jadikan “ikhlas” nafas dari ruhnya pengabdian untuk mencerdaskan anak-anak bangsa. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan kekuatan kepada para guru atas semua usaha yang akan dilakukannya dimasa mendatang.

Sekian.

Agushar 19 maret 2011.

Selengkapnya...

Jatah Kue Politik


Iblis sudah mengikrarkann diri untuk memalingkan hati manusia dari Iman. Hampir seluruh manusia yang ada, kecuali mereka yang “benar-benar” ikhlas menghambakan dirinya kepada Allah swt. Ketika seorang pemimpin telah terpilih, sejumlah “keruwetan”pun siap menghadang. Dari mulai sekedar “nggolek bolo” sampai pada pekerjaan “mblantik sapi”. Maka seperti layaknnya pasar, tawar menawar kursipun kemudian terjadi. Kursi-kursi berkah yang dikanan kirinya sudah tersedia “kue” koalisi. Jika masing-masing kelompok sudah saling sepakat, maka sendok dan garpupun segera pula dibagikan. Sebagai simbol dimulainya aktifitas tugas atau pekerjaan. Lalu secara perlahan hiruk pikuk perjalanan kekuasaanpun mulai berjalan.

Tanpa sadar kita telah masuk dalam perangkap “setan”. Tujuan koalisi yang sebenarnya adalah membentuk pemerintahan yang “kuat”. Yang bisa melindungi diri dan melindungi rakyat serta men-sejahtera-kan seluruh rakyat. Yang tidak mudah tumbang hanya karena “hembusan” angin dari jendela atau ventilasi. Tapi yang harus tetap diingat dan dihormati adalah pembentukan kabinet. Tidak semestinya kita menyodorkan seorang calon menteri dari kelompok sendiri. Hak prerogatif presiden memberikan keleluasaan untuk memberikan kursi kepada mereka yang memang mempunyai kapabilitas di bidangnya. The Right man on the right place/job. Dan saya yakin kalau hal seperti ini sudah dipahami oleh semua yang terlibat dalam politik. Tapi apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. Melemahnya “arogansi” kekuasaan dan melembutnya hati penguasa telah memberikan celah “prerogatif” menjadi “black market” jajan pasar. Situasi seperti ini adalah “dilema” bagi pemimpin. Dimana hak berbenturan dengan kebutuhan “dukungan”. Karena musuh yang berada diluar pintu tidak akan pernah tinggal diam. Mereka akan terus berusaha untuk “menjatuhkan” mental dan memancing emosi lawan. Harapannya adalah keluarnya “kartu merah” dari rakyat untuk penguasa. Politik pembunuhan karakter seperti ini tidak akan pernah di tinggalkan oleh mereka yang berada di luar kekuasaan. Karena bisa jadi merupakan “komitmen” bersama mereka.

Karena prosentase kemenangan di kursi legistatif yang kurang “mutlak”, maka mau tidak mau kita akan berlaku lebih fleksibel untuk menerima “tawaran” syarat-syarat yang diajukan oleh teman koalisi. Tapi jurus ini bagaikan pisau bermata dua. Satu ujungnya bisa melindungi diri dan ujung yang lainnya bisa melukai diri. Dan ini disadari betul oleh mereka yang berada di dalam maupun di luar kekuasaan. Karena muara keinginan semua pelaku politik adalah kekuasaan, maka yang berada dalam selimut yang samapun bisa menjadi “musuh” yang tak diduga sebelumnya. Apalagi jika diantara pelaku politik ada yang bermuka dua. Siang berada di sisi timur dan malamnya sudah berada di seberang. Hal seperti ini membuat siapapun yang jadi pemimpin akan sulit bernapas lega.

Demikian juga, belum tentu serombongan orang benar-benar manusia semuanya, beberapa diantaranya mungkin ada manusia “jadi-jadian” yang sengaja menyelinap. Yang tidak diketahui apa sebabnya tiba-tiba “melolong” dan menggelitik hati orang-orang di sekitarnya untuk menggoyang “kapal” yang sedang berlayar. Akibatnya adalah munculnya “riak-riak” kecil di sekitar kapal yang mengisyaratkan bahwa kapal akan singgah sebentar untuk mengganti beberapa awaknya yang suka “mabuk”. Sesaat setelah sadar dengan apa yang akan terjadi seluruh awak hasil koalisipun mulai pasang mimik muka “serius”. Bagaimanapun juga kursi yang penuh kue harus dipertahankan. Kalau sampai lepas berarti akan lepas pula tali koalisi poltik dan semua yang tersedia disana..

Issyu yang sebenarnya hanya merupakan “gertak sambal” ternyata bisa mengena juga bau dan rasa pedasnya. Baik bagi yang ada di lingkaran kekuasaan maupun yang ada di luar kekuasaan. Di dalam lingkaran mulai “ribut” dan saling menyalahkan satu sama lain, diluar lingkaran mulai merasakan adanya celah untuk masuk menggantikan mereka yang mungkin akan di“buang”. Sama-sama sibuknya. Tapi kesibukan yang terjadi tidak ada hubungannya dengan kepentingan rakyat. Hanya kepentingan kelompok dan kepentingan pribadi. Bagaimanapun juga yang namanya celah tetap merupakan sebuah harapan. Yang mungkin akan bisa menjadi jalan untuk masuk dan memuluskan sebuah rencana besar.

Yang tidak banyak kita sadari adalah “makna” dari ungkapan rumor yang muncul ke permukaan. Peringatan untuk diam, tenang, jangan ribut, tetap kusyu` pada tugas, jangan terpancing dengan umpan-umpan yang banyak di pasang di luar kekuasaan. Kepentingan rakyat dan bangsa tidak akan pernah berada di nomer “bengkong”. Dan kepemimpinan bukanlah sebuah “sirkus”. Yang hanya bisa menghibur dan menyenangkan hati mereka yang ada di dalam tenda. Kepemimpinan harus bisa menciptakan ketenangan di dalam maupun di luar tenda. Harus pula berimbas pada terpenuhinya kebutuhan yang mengarah pada kesejahteraan rakyat.

Sisa waktu yang sedang berjalan tidak bisa lagi dibuat main-main. Gerilya untuk mendapatkan dan menentukan “satrio piningit” sudah harus dimulai. Pemimpin harus “diganti” dengan yang lebih “fresh”, lebih capable, jujur, responsif, tenang dan tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Berwibawa dan bisa melindungi seluruh rakyat adalah syarat penting dalam kepemimpinan sebuah negara. Dan yang paling penting juga adalah perasaan “tahu diri” bahwa kekuasaan bukan milik pribadi. Kekuasaan adalah milik rakyat. Mereka yang terpilih saat ini tidak berhak untuk “ngotot” mempertahankan di pemilihan yang akan datang jika rakyat sudah tidak menghendaki. Namun jika tetap saja “ngotot” berarti sudah jelas kalau dia memang seorang pemimpin yang tidak tahu diri. Seorang pemimpin yang tidak punya “perasaan” dan tidak bisa memahami perasaan rakyatnya.

Kekuatan pemerintah yang saat ini dibangun di atas pondasi koalisi beberapa partai politik seharusnya tetap fokus bekerja untuk rakyat. Jangan dulu berpikir untuk “bercerai”. Harus tetap mengedepankan kepentingan rakyat. Jika sampai terjadi perceraian di “tengah” jalan, maka yang menjadi korban tak lain adalah rakyat. Seperti anak ayam kehilangan induk atau seperti anak-anak korban perceraian orang tuanya. Itulah perumpaannya. Saat-saat seperti ini sudah bukan waktunya lagi untuk mendengarkan “bisikan” setan. Tetap pada jalur yang benar dan lebih mendengarkan bisikan “malaikat” akan lebih terasa manfaatnya. Biarlah anjing menggonggong, koalisi tetap berjalan. Jangan ada perpisahan sebelum waktu perpisahan itu sendiri tiba. Dan berpisahlah atas nama rakyat agar kelak bisa dipersatukan kembali oleh rakyat juga. Tentu saja tetap dilandasi oleh Iman.

Marilah kita sama-sama saling menyadari bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna selama masih berada di dunia fana ini. Koalisi yang terbangunpun juga masih jauh dari kesempurnaan. Karena dalam beberapa hal pasti akan terjadi sebuah perbedaaan yang bersifat prinsip. Tapi jangan jadikan perbedaan yang menjadi bagian ketidak sempurnaan “tautan hati” itu menjadi penyebab sebuah kehancuran tatanan yang telah dibangun dengan susah payah. Koalisi adalah perumpamaan sebuah benteng. Keberadaannya harus bisa menahan kencangnya angin dan terjangan badai. Magnet koalisi harus tetap kuat. Jangan sampai kehilangan energi yang bisa menyebabkan terpisah partikel-partikel pembentuknya.

Setiap pemimpin dan kepemimpinannya pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan. Jika kita tidak menyadari “mutlak” nya sebuah kekurangan dalam banyak kelebihan yang dimiliki seseorang berarti kita termasuk orang-orang berpandangan “cupet”. Karena sebuah kekurangan tidak akan pernah ada jika dilain sisi tidak ada kelebihannya. Jika semua kenyataan yang ada kita pahami dan maklumi pasti yang terjadi kemudian adalah timbulnya keinginan untuk saling bahu membahu membangun bangsa dan menyejahterakan rakyat. Meski bagaimanapun sulitnya untuk mewujudkan semua keinginan yang mulia tersebut. Bukannya malah merongrong dari luar dengan banyak menebar “penyakit” benci ke diri dan hati nurani rakyat.

Kalau keinginan “berkuasa” seseorang sudah merupakan harga mati dan tidak bisa ditawar-tawar lagi, maka siapapun pemimpin yang terpilih akan selalu kita benci dan kita anggap musuh. Jika yang terjadi selalu demikian maka apapun kebaikan yang diperbuat seorang pemimpin tak akan pernah kita akui kebaikan dan kebenarannya. Karena dalam hati kita sudah ada “penyakit” ingin berkuasa. Setiap saat selalu bikin statemen yang menyakitkan telinga. Mengkritik ini mengkritik itu. Seakan-akan dirinya sendiri sanggup melakukan suatu tindakan untuk kesejahteraan rakyat melebihi apa yang telah dilakukan pemimpin yang sedang berkuasa. Padahal sangat-sangat tidak mungkin kita bisa melampaui kemampuan seseorang yang dalam hati kita sendiri mengakui kemampuan orang tersebut.

Begitulah, rumor pergantian personil pembantu presiden hanyalah peringatan bagi anggota kelompok koalisi. Agar jangan selalu bermain-main dengan kepentingan rakyat. Amanat tetap harus tetap dijalankan, meski taruhannya adalah hilangnya kesempatan untuk ikut “berebut” kue-kue kekuasaan hasil dari adonan baru di pemilihan yang akan datang. Walaupun kewenangan “mengganti' menteri sepenuhnya adalah hak seorang presiden, tapi nampaknya seorang presiden pemimpin sebuah koalisi harus berpikir seribu kali untuk tetap “saklak” atau “fleksible” dalam menggunakkan haknya. Karena manusia tetaplah manusia yang di masing-masing dadanya bertengger “hati' yang menyimpan gejolak yang berlainan satu sama lain.

Dan yang pasti, tidak mungkin setiap kebijakan bisa membuat puas hati semua orang. Sebagian ada yang merasa puas sebagian yang lain pasti merasakan sebuah ketidakpuasan. Jika kita menanggapi dengan “kecil hati” setiap keputusan yang kurang berpihak pada kita, pasti yang terjadi adalah “hati yang luka”. Dan jika hati sudah luka, akan sulit mencari obatnya kecuali terpenuhinya sebuah keinginan yang di idam-idamkan atau sebuah pelampiasan yang berujung balas dendam. Oleh karena itu, kebesaran hati dalam menerima setiap hasil dari sebuah upaya sangat-sangat dibutuhkan untuk imunisasi kekebalan terhadap virus-virus yang merusak hati. Hingga nantinya kita tidak lagi selalu “kaget” dengan apa yang memang sebenarnya bukan hak kita.

Kue koalisi politik adalah “rejeki” yang datangnya bisa tiba-tiba. Asal kita tetap berada di jalan Allah dan berada di nuansa yang “bening” , insya Allah “rejeki' yang setiap saat kita angankan akan menjadi kenyataan. Hanya, diperlukan kesabaran dalam mengabdi kepada Allah sekaligus berbuat sesuatu untuk rakyat. Kesempatan besar bagi mereka semua yang saat ini berada di pucuk-pucuk pimpinan pemerintahan atau wakil rakyat. Kesempatan untuk mulia dunia akhirat atau mulia sesaat lalu hancur reputasi dunia dan akhirnya terjerembab ke neraka, menjadi sebuah opsi pilihan untuk masing-masing mereka yang saat ini berada di atas rakyat. Selalu “ingat” dan “hati-hati” dalam lisan dan tindakan lebih bermanfaat dari pada sekedar mendengarkan lalu ikut “menyumbang” kebisingan dalam lingkungan pengabdian.

Seorang pemimpin hasil pilihan rakyat tetap merupakan pilihan terbaik. Dan sebuah pilihan yang salah kalau kita selalu berusaha untuk menguncang-guncang kapal yang sebenarnya juga kita tumpangi. Hormati dan junjung tinggi semua aturan yang telah kita sepakati bersama tentang proses pemilihan dan segala sesuatu aturan sesudah penetapannya. Agar kita sampai pada tahapan kedewasaan dalam berpikir dan berpolitik. Agar kita tidak selalu terjebak dalam politik taman kanak-kanak yang berperilaku seperti siswa kelas menengah. Dimana sebuah ketersinggungan bisa berakibat perkelahian dan pertikaian yang berlarut-larut. Yang tidak jelas pangkalnya tapi berujung pada dendam sampai liang kubur. Cara berpikir seperti ini adalah cara berpikir mereka yang berada di dunia “gangster”.

Berkoalisilah dalam garis-garis lingkaran Allah. Dan beradalah diluar untuk berbuat sesuatu terhadap rakyat. Sesuatu yang bisa menentramkan hati rakyat. Menebar benih-benih kebaikan dengan dasar ikhlas. Bukan bermaksud untuk melabeli pikiran rakyat dengan bendera partai atau nama pribadi. Jika terpaksa untuk berbicara, ucapkanlah kata-kata yang baik yang bernada membangun, bukan ucapan yang memerahkan telinga dan menusuk jantung. Terimalah sebuah kekalahan politik secara dewasa dan secara laki-laki. Bukan seperti remaja putri yang sakit hati seperti yang terjadi di sinetron. “Nggolek bolo” sebanyak-banyaknya lalu beramai-ramai mempermalukan “target”. Bukan yang seperti ini demokrasi yang harus ada di negara muslim.

Permasalahnnya adalah kita mampu berbuat demikian apa nggak ? Karena memang bukan sesuatu yang ringan untuk meredam keinginan hati yang sudah bercampur emosi. Apalagi kalau ditambah dengan banyaknya jumlah materi yang terbuang sia-sia hanya untuk meraih predikat “juara”. Dalam beberapa kasus bahkan sampai berakibat stress lalu linglung dan ada pula yang berujung kematian karena taruhan habis-habisan untuk mendapat sebuah “kursi”. Meski mati dan hidup manusia adalah urusan Allah. Yang beginikah bentuk demokrasi yang kita inginkan ? Demokrasi bisa berjalan baik hanya kalau semua yang terlibat di dalamya mendasari langkah dan tindakannya dengan keikhlasan. Dan inilah bagian yang paling sulit untuk dilakukan.

Selama kekuasaan masih identik dengan “isi perut” selama itu pula akan selalu sulit untuk digunakan sebagai jalan mulus kearah “kiblat”. Dan segala bentuk koalisi yang bagaimanapun juga pasti tidak bisa lepas dari pembagian “jatah” jabatan. Meski jatah itu sendiri bukan mutlak hak kita. Dan hanya merupakan harapan yang tak harus menjadi kenyataan. Mudah-mudahan kita semua yang terlibat dalam lajunya kapal dan yang masih menunggu di dermaga untuk menggantikan giliran mengemudikannya bisa lebih arif dan lebih dewasa lagi dalam berpikir, melangkah dan bertindak. Karena sekecil apapun kesalahan yang kita buat akan berdampak besar bagi seluruh penumpang. Maka dari itu diperlukan ketelitian dan kehati-hatian dalam setiap pengambilan keputusan yang berkaitan dengan nasib seluruh penumpang yang ada di dalamnya.

Jangan pernah lagi rakyat dipaksa untuk menikmati sebuah tontonan peserta kondangan yang saling berebut “berkat” sebuah tumpeng. Undangan koalisi adalah undangan pengabdian diri maupun kelompok untuk turut berjuang bersama-sama membangun bangsa dan menyejahterakan seluruh rakyatnya. Bukan malah memanfaatkan kepercayaan rakyat untuk membangun diri dan membesarkan kelompoknya sendiri. Rakyat masih menunggu siapa kelak yang benar-benar bisa membentuk sebuah kekuatan yang menyerupai kekuatan kerajaan Majapahit ketika jabatan maha patih berada di tangan Gajah Mada. Yang menciptakan suasana kehidupan yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerto raharjo. Yang bukan hanya kuat tapi juga berwibawa dimata rakyat dan dimata dunia.

Sekian.

Surabaya, 15 Maret 2011.

Agushar.

Selengkapnya...

Jerat Untuk Wakil Rakyat


Tahun 2011 anggota DPR dilarang berpelesir ke tempat-tempat “maksiat”. Bagus ! Setidaknya aturan sudah ditulis dan disuarakan. Tapi mengapa tahun 2011 aturannya baru “jelas” ? Berarti tahun sebelumnya yang sudah berlalu puluhan tahun aturannya belum jelas (?). Dan kepergian wakil rakyat untuk “berpelesir” selama puluhan tahun sebelumnya lantas “dimaklumi” dan dimaafkan, karena belum ada aturan yang “jelas” (?). Atau memang ada sebagian besar dari para wakil rakyat yang sudah mendapatkan “hidayah” dan mulai “insyaf” untuk menjauhi hal-hal yang dilarang oleh agama. Atau mungkin sudah datang tanda-tanda dekatnya “kematian” seiring dengan keroposnya jasad dan memutihnya rambut.

Memang lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. Tahun 2011 adalah tahun “terbaik” untuk melaksanakan taubat “berjama`ah”. Tahun 2011 adalah kesempatan “terakhir” bagi mereka yang merasa “banyak” dosa. Dan tahun 2011 adalah tahun “keyakinan” bahwa kita semua “pasti” akan mati. Karena apa ? Ya,.. kalau bukan “bisik-bisik” bahwa kiamat akan tejadi di tahun 2012 apalagi ? Tinggal hitungan bulan lagi kita semua akan mati “berjama`ah” ! Benar-benar mengerikan apa yang akan terjadi di akhir tahun 2012 nanti. Itu kalau memang benar akan terjadi. Maka tak salah kiranya jika mereka yang merasa menanggung beban selaksa dosa merasa “ketakutan” di akhir-akhir kehidupannya.
Lahirnya larangan wakil rakyat pergi ke tempat-tempat maksiat memang menimbulkan banyak senyuman di kalangan masyarakat. Tapi selain senyum gembira kebanyakan senyum yang terlihat adalah senyum “kecut”. Selain “terlambaaaaaatttt”, munculnya aturan tersebut justru bermakna sebuah “pengakuan” tentang perilaku para wakil rakyat sebelum tahun 2011. Sebuah pengakuan tentang “Keutamaan” harta, takhta, dan wanita. Dan sebuah pengakuan tentang kebenaran perilaku “menyimpang” dari ajaran agama yang selama ini terjadi. Aneh tapi Nyata. Seperti itulah perumpamaan untuk keluarnya aturan baru tersebut.

Kalau dibilang sebuah ketakutan akan terjadinya “kiamat” di tahun 2012 kok sepertinya kurang masuk akal. Apa benar mereka percaya dan yakin bahwa kiamat akan terjadi akhir tahun depan ? Kalau benar mereka meyakininya berarti memang benar bahwa ternyata cara berpikir kita memang seperti anak taman kanak-kanak. Tapi jika benar kiamat akan terjadi tahun depan, larangan yang “baik” itu mungkin akan sedikit berguna. Terutama bagi para wakil rakyat. Walaupun kita semua juga pernah mendengar bahwa sejelek-jeleknya umat adalah mereka yang masih hidup ketika terjadinya kiamat. Kalau benar kiamat akan terjadi tahun depan, kenapa nggak sekalian aja kita “merencanakan” mati di bulan Oktober atau Nopember tahun depan ? Agar kita tidak termasuk umat “terjelek”.

Aneh tapi nyata. Larangan berbuat maksiat itu sudah ada sejak jaman “beheula”. Dan sejak 1400 tahun yang lalu dipertegas dalam “buku petunjuk” umat Islam, Al Qur`an. Memang aneh kalau kita “baru” tahu larangan tersebut di tahun 2011 ini. Lalu apa yang kita tahu tentang larangan Allah sepanjang hidup kita ini ? Benar-benar memprihatinkan. Al Qur`an sudah digunakan selama puluhan bahkan ratusan tahun sebagai “saksi” sumpah para pejabat. Baik pejabat-pejabat eksekutif, legislatif maupun judikatif. Dan isi Al Qur`an sudah pula demikian jelas tenang perintah dan larangan. Kalau bukan karena ketidak pedulian kita terhadap kandungan Qur`an tak mungkin kita tidak tahu larangan ber maksiat.

Kemungkinan juga kita sudah tahu sejak lama, tapi kita tidak menghiraukannya. Dan saksi kitab yang berisi ayat-ayat Allah tak ada dalam “angan” ketika sumpah terjadi. Yang ada hanya kesenangan atau kegembiraan yang menutup mata, telinga dan hati disaat sumpah terjadi. Setelah prosesi pengangkatan sumpah, kakipun terasa ringan untuk melangkah. Tentu saja langkah yang paling ringan adalah melangkah di dunia larangan Allah. Karena langkah ke arah ibadah adalah langkah yang cukup berat. Tapi merupakan sebuah kemustahilan jika kita tak mampu melakukannya. Karena Allah telah mengukur sampai dimana kemampuan manusia dalam memikul beban.

Tak ada salahnya memang mengeluarkan aturan yang baik. Tapi aturan tetap saja aturan. Pada saat membuat, yang terbayang mungkin sebuah ketaatan dan sanksi yang akan kita terima jika kita melanggarnya. Tapi ketika aturan sudah dikeluarkan yang terjadi justru sebaliknya. Kita akan memeras otak secara berjama`ah agar bisa memperdaya aturan-aturan yang mempersempit ruang gerak maksiat kita. Kita juga akan memeras otak tentang bagaimana cara untuk bisa melepaskan diri dari jerat-jerat yang sebenarnya kita pasang sendiri. Aneh tapi nyata. Manusia dibuat bingung oleh aturan yang mereka buat sendiri. Memang benar dunia ini panggung sandiwara. Cuma yang jadi permasalahan adalah jika aturan Allah saja kita berani melanggarnya, apalagi aturan yang kita buat sendiri.

Masa lalu adalah masa yang kelam bagi hukum di negara ini. Hukum dan pers adalah milik penguasa. Mikul duwur mendem jero adalah prinsip bersama. Dan bagi sebagian besar orang materi berupa “uang” sudah menjadi “Tuhan” yang lain. Karena daya beli yang rendah tidak mampu berdiri diatas penawaran yang beragam dan begitu menggoda. Keaneka ragaman penawaran tersebut bukan hanya sebatas materi saja. Maksiat yang sepertinya tidak ada tapi tumbuh subur di siang bolong dan di keremangan malam adalah penawaran yang “sangat” menggiurkan. Bukan hanya bagi mereka yang banyak uang, tapi juga bagi mereka yang uangnya pas-pasan.

Simbiosis mutualisme adalah ketergantungan yang saling menguntungkan antara makhluk yang saling berinteraksi. Mereka yang “kehabisan” uang menawarkan “jasa”nya. Baik jasa perlindungan dari jerat hukum maupun jasa “penawar” syahwat. Berupa rumah judi dan peralatannya maupun rumah “bordir” eksklusif dan semua “bidadari”nya. Belum lagi “timung” atau tempat pijat maksiat yang banyak tersebar sudut-sudut jalan. Mereka menawarkan sesuatu yang “lain”. Sesuatu yang jarang bisa “ditolak” oleh mereka yang biasa bergaul dengan setan. Ditambah lagi dengan para “sales” yang bekerja secara “halus”. Bukan saja memberikan pelayanan dengan “baik” tapi para “sales” ini bahkan bisa menyimpan “rahasia” pelanggannya.

Bagi mereka yang “punya” materi berlebihan, hiburan seperti itu adalah sesuatu yang sangat-sangat “menyenangkan”. Padahal untuk mendapatkannya dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sedangkan mereka yang terlanjur “butuh” jajanan luar ini akan menghambur-hamburkan uang hanya untuk memperoleh kenikmatan sesaat. Tentu saja kita berbicara di kelas yang “eksklusif”. Kita bicara tentang tingkah laku tokoh “panutan”. Para pejabat dan wakil rakyat. Kita tidak berbicara tentang mereka yang bermain di kelas “embek”. Yang kadang bisa terjadi di kolong-kolong jembatan atau gerbong-gerbong kereta api yang sudah “pensiun”. Walaupun keberadaan praktik di kelas bawah ini kadang juga berjalan seiring dengan maraknya praktik di kelas eksklusif.

Kalau di kelas masyarakat bawah, jajanan maksiat lebih banyak dilakukan di tempat seadanya dengan penghibur yang seadanya pula. Tapi di kelas eksklusif atau kelasnya orang-orang berduit penghiburnya bisa memesan lebih dulu dan cenderung lebih selektif dalam memilih. Mereka lebih banyak melakukan di hotel-hotel berbintang. Bahkan tidak jarang pula pihak hotel yang justru memberikan service tersebut. Atau membawa wanita “panggilan” lalu diajak ke villa-villa di daerah pegunungan. Kadang bisa semalam atau bahkan sampai beberapa hari. Hal seperti ini adalah hal biasa dan berjalan puluhan tahun. Tapi sekarang sudah jauh berkurang aktifitas maksiat tersebut. Kenapa ?

Sejak bergulirnya reformasi politik dan reformasi struktural kepemerintahan, ruang gerak pejabat dan aparar yang “nakal” plus “bandel” memang agak “sempit”. Kalau sebelumnya tempat per”sembunyian” perilaku maksiat begitu banyak dan begitu mudah. Karena “bodyguard” bisa dibeli plus senjatanya sekalian. Juga kalangan pers saat itu sama sekali tak punya “taji”. Ditambah lagi pekerja pers yang mungkin juga mudah disuap. Ketakutan usahanya akan di “breidel” semakin membuat pers tak lagi punya “darah”. Tapi kebebasan pers yang terjadi saat ini tidak lagi membuat perilaku maksiat berjalan “lancar”. Dimana terjadi kemaksiatan yang melibatkan aparat dan pejabat pers dengan cepat menginformaikan ke masyarakat.

Kebebasan pers “membuntuti” perilaku pejabat ini telah banyak membantu mengungkap seberapa besar “animo” pejabat terhadap kemaksiatan. Terutama korupsi dan kesukaan “jajan” perempuan. Kaum ibu juga tidak lagi “pendiam” terhadap perilaku suaminya. Kalau dulu berprinsip “swargo nunut neroko kathut” sekarang swargo nunut neroko gak sanggup”. Kaum perempuan tidak lagi malu melaporkan kebejatan moral suaminya. Tapi jumlah perempuan yang “berani” seperti ini tidak begitu banyak. Sebagian besar masih “takut” kelaparan dan tersingkirkan. Karena jumlah perempuan diluar rumahnya tak lagi “terhitung” dan sebagian besar juga siap untuk menggantikan posisinya.

Sebenarnya saya sangat meragukan kalau ada pejabat negara atau wakil rakyat “keluyuran” ke tempat-tempat maksiat semacam kompleks wts atau judi sabung ayam. Kalau ke hotel-hotel berbintang atau ke villa-villa di pegunungan kemungkinannya masih besar. Ini kalau mau jujur. Tapi mana ada orang pergi maksiat kok bicara jujur. Tentu tidak akan pernah ada seorang pejabat atau wakil rakyat yang bermaksiat berterus terang di media tentang kemaksiatannya. Hanya orang bodoh yang melakukan hal tersebut. Tapi kalau mau tahu seberapa banyak pejabat atau wakil rakyat tang terjerat skandal syahwat, ikuti saja setiap hari beritanya di media massa. Kalau jaman dulu sulit mencari berita skandal syahwat pejabat, tapi saat ini pintu media terbuka lebar untuk mata rakyat.

Saya sendiri juga tidak begitu yakin kalau aturan melarang para pejabat dan para wakil rakyat tersebut akan efektif menjaring mereka yang berhidung “belang”. Rasa kesetiakawanan sesama anggota jauh lebih besar ketimbang rasa ingin “membunuh” kawan sendri. Kalaupun sebuah peristiwa “perselingkuhan” terjadi antara rekan dan perempuan bebas, tanggapan mereka paling cuma berkomentar, “Itu hak pribadi masing-masing orang, kita tidak berhak untuk mencampuri urusan pribadi”. Nah, lalu apa yang bisa diperbuat dengan aturan-aturan baru tersebut ? Semua tergantung kepentingan masing-masing orang. Jika menguntungkan secara pribadi dan partai atau golongan mungkin mereka akan “tega” untuk “membantai” anggota lain yang melakukan kesalahan fatal. Tapi jika melibatkan “kawan” dekat mereka akan memilih untuk “no comment” atau diam seribu bahasa.

Kalau urusan maksiat, banyak cara untuk merahasiakannya. Dari mulai tempat yang tersembunyi, berjalan di kegelapan malam, penyamaran dengan wig atau topeng. Mungkin pakai kacamata yang besarnya hampir menutupi wajah atau topi yang dipaksa menelan seluruh kepala. Pendek kata, banyak jalan atau cara untuk menyembunyikan diri dari perbuatan maksiat yang kita lakukan. Bahan dasarnya semua cara tersebut adalah “bohong”. Dengan keahlian bohong yang kita miliki kita akan dengan mudah menghindari kecurigaan orang. Dan kemampuan “acting” akan menambah kepercayaan diri untuk selalu bisa menghindar dari tatapan-tatapan mata yang penuh kecurigaan.

Aturan yang paling barupun tidak akan bisa membatasi atau menjerat para pejabat dan wakil rakyat yang suka “berpelesir”. Kesukaan seseorang terhadap maling, main, madhat, mabuk dan madon adalah sebuah penyakit. Sebuah penyakit yang melibatkan hati. Sedang penyembuhannya tidak bisa hanya dengan “aturan” yang dibuat oleh manusia. Aturan Allah saja diinjak-injak, apalagi hanya aturan manusia. Obat penyembuhnya tidak ada lain kecuali kepasrahhan diri sepenuhnya untuk “penyucian hati”. Dan ini harus dilakukan sendiri. Datangnya juga harus dari relung hati sendiri. Jika dipaksa oleh orang lain, pasti hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Kesadaran spiritual tidak mudah datang hanya karena ajakan atau masukan orang lain.

Jika karena ajakan orang lain apalagi karena keterpaksaan, pasti iman yang dihasilkan akan mudah luntur. Tapi lain lagi jika kemauan itu datang dari hati. Kaki seakan melangkah ringan kearah “sumber ilmu”. Baik dari berbagai macam buku bacaan yang berkaitan dengan ilmu agama, maupun dari para kyai atau ustadz yang tersebar di sekitar kita. Semua tergantung niatan kita. Kalau dilandasi dengan keinginan untuk taubat dan berhenti karena “takut” kepada Allah dan semua kuasanya, Insya Allah semua akan berjalan lancar. Tapi kalau dilandasi oleh kepalsuan belaka, insya Allah kita akan menerima adzab seperti yang telah digambarkan dalam kitab dan hadist-hadist Rasulullah saw.

Semua tergantung kita. Memang benar. Karena Allah telah memberikan warisan sifat “kehendak” kepada seluruh manusia di bumi. Kita tinggal memilih. Mau beriman, pura-pura beriman atau tidak usah beriman sama sekali. Ternyata, mayoritas dari kita lebih memilih “pura-pura” beriman. Sok baik, sok suci, sok alim dan sok-sok yang lain. Mayoritas ! Tak perduli dari tingkatan kasta manapun. Kerusakan moral lebih banyak kita tutup dengan “penampilan”. Trendy, sopan, kalem, halus tutur bahasanya, luas pandangannya, suka memberikan bantuan. Tapi semua itu sebenarnya hanya sekedar “kedok” keingkaran kita kepada Allah

Aneh tapi nyata. Orang bilang tanah kita tanah surga. Orang lain bilang bahwa tanah yang kita pijak ini adalah “cuwilan” atau potongan dari surga. Tapi perilaku kita sama sekali tidak mencerminkan amalan ahli surga. Dan sangat mirip sekali dengan amalan ahli neraka. Ironis memang. Replika surga yang kita tempati ini tidak membawa kita ke surga yang sebenarnya, tapi justru akan membawa kita semua ke neraka. Sebuah tempat mengerikan yang sebelumnya tidak kita yakini keberadaannya, tapi “segera” akan kita tempati bersama. Tidak akan ada lagi kegunaan sebuah penyesalan. Yang akan tertinggal hanyalah “rasa”. Dan menjadi penyebab semakin tersiksanya kita kelak setelah kematian kita.

Salah satu penyebab siksa yang kita terima adalah kesalahan mempersepsi kehidupan. Mungkin kita mengira bahwa kita sudah hidup dalam surga. Karena “omongan” orang lain bahwa tanah yang kita pijak ini bagian dari surga. Padahal tidak demikian. Keindahan alam dan keelokan wanita yang kita lihat saat ini hanyalah sebuah “tipuan”. Semua keindahan alam ini hanyalah “fatamorgana” kehidupan yang sebenarnya. Sebuah kenyataan yang mengecoh. Dan kita menelan mentah-mentah semua yang terlihat tanpa menggunakan pertimbangan akal lagi. Semua yang kita peroleh dengan “rebutan” ini hanyalah umpan kail setan. Yang akan membawa kita dalam komunitas yang penuh siksa.

Maka jangan dulu gembira dan merasa puas. Mereka yang diberi kenikmatan berlebih dan tidak menggunakannya secara “benar”, Allah mengharamkan surga untuknya. Jabatan, kekuasaan yang tidak berimbas pada keimanan yang “benar” dan terbawa terus sampai ke liang lahat, jangan pernah berharap mendapatkan sesuatu seperti nikmat yang kita rasakan di dunia. Jika ada seseorang yang meragukan kebenaran tentang siksa neraka, maka orang tersebut harus lebih banyak belajar tentang kebesaran dan kekuasaan Allah swt. Dan mereka yang hidup serba sulit selama di dunia, asal tidak lari dari Iman dan amal shalih Insya Allah kelak akan memetik hasilnya. Sabar, shalat, ikhtiar dan tawakal sebagai bekal dunia kita.

Sekian.

Surabaya, 9 Maret 2011
agushar.

Selengkapnya...

Nikmat Berujung Sengsara


Betapa enaknya jadi pejabat. Betapa bangganya jadi pejabat. Betapa nikmatnya jadi pejabat. Dan betapa terhormatnya jadi pejabat. Maka tak salah pula kiranya kalau banyak orang yang berusaha dengan segala cara untuk bisa jadi “pejabat”. Tentu saja jabatan yang jadi incaran bukanlah sembarang atau asal jabatan. Jabatan yang punya wewenang atau kuasa “penuh” atau minimal “setengah” kuasa adalah jabatan favorit bagi “pengejar” jabatan. Tentu saja jabatan di tempat yang “basah” atau minimal “agak” basah. Karena “kuasa” dan “basah” adalah “pesugihan”. Jika sudah dapat kuasa dan tempat yang basah, maka tinggal satu syarat lagi untuk bisa cepat kaya. Apa ? Motivator handal yaitu “setan”.

Jabatan memang selalu jadi rebutan. Serendah apapun jabatan itu. Terutama di lingkungan pemerintahan. Terutama di negara-negara “miskin”. Maka jangan heran pula kalau para “pejabat”nya banyak tersandung kasus korupsi. Karena mayoritas mereka sedang “ngalab berkah” berupa lembaran-lembaran merah ratusan ribu. Ada yang memilih kaya secara perlahan agar tidak kelihaan semata-mata korupsinya. Ada pula yang begitu cepat melimpah pundi-pundi uangnya. Mereka meloncat dari status “melarat” menjadi “sugih”. Mengganti pakaian rendah dirinya dengan pakaian sombong. Lalu dengan kepercayaan diri yang tinggi mereka terus menjalankan “tugas” sambil melepas “tuyul” berupa perilaku korup. Meskipun pencegahan dan tindakan terhadap pelaku korupsi sedang digalakkan. Dan ancaman hukuman juga tidak main-main. Tapi tetap saja perilaku korup tidak bisa hilang. Hanya saja caranya yang mungkin berubah lebih halus. Mungkin dengan memainkan data. Atau dengan menerima uang cash secara sembunyi. Atau melalui transfer antar rekening. Yang belakang ini yang paling disukai para pelaku meskipun uang cash kadang juga jadi pilihan. Yang menjabat di “atas” dapatnya ratusan juta sampai milyaran. Yang berada di level bawah dengan sabar menerima “salam” yang jumlahnya puluhan ribu. Jangan dikira hanya satu hari dua hari saja. Yang seperti ini adalah sebuah rutinitas sehari-hari.

Memang, yang “kecil” tidak mengesankan korupsi. Semacam pungutan atau mungkin pemberian seikhlasnya. Tentu saja dengan alasan yang bisa “diterima”. Misalnya membawa berkas ke atasan untuk dimintakan tanda tangan persetujuan. Atau alasan agar “lancar” secara prosedural. Atau ingin urusan lewat jalan tol. Tentu saja harus bayar lebih dulu. Pungutan seperti ini tidak akan pernah hilang. Dan hampir melibatkan semua person yang berurusan dengan kepentingan publik atau kepentingan dunia usaha. Tapi hampir semua personal yang terlibat tidak akan pernah mengakui kalau hal ini “ada”. Karena setiap bentuk pengakuan akan bisa megungkapkan sebuah kebenaran. Dan hal ini yang tidak diharapkan oleh semua orang yang terlibat dalam hal pungut memungut biaya.

Memang harus diakui juga, bahwa menghapus praktik-praktik ketidak jujuran dan pemerasan secara halus adalah sesuatu yang sangat sulit. Karena praktik-praktik kotor tersebut lebih banyak dilakukan di kegelapan di tempat yang tersembunyi. Mulai dibalik telapak tangan, dibalik map yang berisi berkas, di tempat-tempat tertentu yang dikemas seakan hanya makan siang atau makan malam atau memanfaatkan kecanggihan tekhnologi perbankan. Meski semakin di perketat dan dipersulit serta janji sanksi yang cukup berat, toh tetap saja aliran biaya siluman tetap jalan. Seperti berjalan beriringan, ketatnya aturan berbanding lurus dengan tehnik metode proses pungutan liar.

Padahal sudah jelas, agama melarang praktik-praktik demikian. Sesuatu yang keluar dari “halal” adalah hasil kinerja setan. Dan Islam adalah agama mayoritas masyarakat di negara ini. Tapi praktik-praktik haram sangat mudah kita temui. Dominannya orang-orang yang mengaku beragama Islam tidak selaras dengan berlakunya aturan-aturan Islam. Bahkan saya berkeyakinan tentang kebenaran Islam KTP atau orang-orang yang berkedok Islam. Layar televisi banyak dihiasi aurat wanita. Ironisnya mereka yang membuka aurat juga melibatkan Allah dalam ucapannya. Padahal mereka lagi setengah telanjang. Memang benar bahwa korupsi dan ketelanjangan hanyalah sebagian yang nampak dalam praktik kehidupan sehari-hari masyarakat kita.

Kalau mereka yang saat ini “berada” di atas tidak melakukan suatu tindakan yang nyata atas semua kemaksiatan yang sedang terjadi saat ini. Berarti bisa dikatakan mereka memang melegalisasi semua kemaksiatan tersebut. Atau justru mereka semua memang suka dan “menikmati” semua kemaksiatan yang ada saat ini. Kepemimpian orang-orang yang telah terpilih seharusnya menjadi teladan rakyatnya. Bekerja dengan landasan petunjuk kehidupan yang sudah ada. Dan harus selalu mengingat bahwa jabatan adalah amanat. Jabatan serendah apapun tetaplah amanat. Mengandung konsekwensi yang berat. Baik dihadapan rakyatnya sendiri apalagi dihadapan Allah.

Dan jangan pula pernah lupa bahwa setiap diri adalah “pemimpin”. Dari mulai memimpin diri sendiri sampai memimpin umat di seluruh wilayah negara. Setiap diri harus belajar dan berusaha mengetahui apa arti dan makna kata “pemimpin” dan semua yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan kewajibannya. Dan tidak kalah penting pula segala bentuk konsekwensi apabila seorang pemimpin keluar dari jalur yang sudah di tetapkan oleh undang-undang serta bagaimana konsekwensi seorang pemimpin nantinya apabila dia keluar dari jalur-jalur yang telah di tetapkan oleh Allah swt. dan Rasulullah saw. Jangan hanya berpikir tentang enak dan nikmatnya saja. Pikirkan juga tentang keselamatan akhirat masing-masing diri kita.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw pernah bersabda, “Kalian akan mendambakan kekuasaan. Dan kekuasaan tersebut akan menjadi penyesalan di hari kiamat...... “. memang benar banyak dari kita yang ternyata menginginkan “kekuasaan”. Bahkan sampai berebutan. Saat inipun kita telah banyak membuktikan bahwa yang namanya kekuasaan, hampir di seluruh dunia pasti jadi rebutan. Padahal sabda Rasulullah ini mengandung larangan untuk mendambakan “kekuasaan”. Ingat ? Sejak awalpun iblis menolak mengakui nabi Adam sebagai pemimpin (khalifah) di bumi. Tapi karena Allah telah menunjuk nabi Adam maka keputusan sudah tidak dapat dianulir lagi. Karena Allah maha mengetahui segala sesuatu. Baik yang telah lampau maupun yang akan datang. Dan iblis telah ditetapkan sebagai penghuni neraka.

Lanjutan dari sabda Rasulullah tersebut berbunyi, “.....Betapa baik perempuan yang menyusui anaknya dan betapa jelek perempuan yang menyapih anaknya” tentu saja kita bisa menerjemahkan secara langsung sabda Rasulullah tersebut. Tapi yang paling penting kita ketahui adalah makna, merawat, memperhatikan, dan memberinya makanan. Dengan kata yang lebih simple “Ngurusi” dengan “Nggak Ngurus”. Rasulullah memberi ungkapan dengan air susu ibu. Suapan paling baik yang mengandung banyak zat-zat yang dibutuhkan oleh “anak” tersayang dan juga mengandung zat yang “melindungi” anak dari penyakit.

Merawat, memperhatikann dan memberikan apa yang dibutuhkan adalah “kewajiban” mereka yang diangkat dan diberi amanat oleh Allah untuk menjadi seorang pemimpin. Dari nabi Adam sampai Rasulullah saw dan semua para salaf mengemban amanat dengan “petunjuk” Allah swt. Maka tak ada keraguan kita kalau nantinya mereka semua benar-benar mewarisi surga. Sebab para nabi dan orang-orang saleh jaman dahulu hidup dan memimpin umat dengan orientasi akhirat. Hingga tidak ada sedikitpun keberanian untuk melanggar apa yang sudah dilarang oleh Allah. Tapi pemimpin di jaman modern saat ini mengambil contoh kepemimpinan para nabi ? Tentu saja bohong kalau kita mengatakan ya !

Pemimpin saat ini memperoleh kekuasaan dari hasil “rebutan” suara rakyat. Tapi untuk merebut “suara” rakyat mereka tidak menggunakan kemampuan diri dan teladan perilaku yang baik. Kebanyakan pemimpin saat ini adalah orang-orang yang sebelummnya tidak “dikenal” oleh rakyat. Bahkan banyak pula yang tidak mempunyai kompetensi dalam dunia politik juga ikut mencalonkan diri. Hingga rakyatpun tidak lagi betumpu pada kualitas dan akhlak calon pemimpin. Dalam kebingungannya rakyatpun sekedar atau “asal” memilih. Atau juga mensyaratkan “sesuatu” kepada calon pemimpin yang akan berebut kursi kekuasaan. Akibatnya adalah praktik-praktik kotor semacam politik “uang” dan politik “balas budi” yang justru lebih banyak terjadi.

Kalau sudah seperti ini, apakah sebuah kepemimpian akan berjalan sesuai dengan “petunjuk” Allah ? Karena yang terjadi kemudian adalah praktik “penimbunan harta karun” pribadi. Pemenuhan hawa nafsu yang di dukung setan. Dan yang paling fatal adalah tidak lagi menghiraukan kepentingan rakyat. Kalaupun dipenuhi hanyalah sekedar kebutuhan minimal saja. Lalu mana mungkin akan tercipta sebuah kehidupan yang baik dan penuh dengan ampunan Allah ? Para pemimpin berlomba untuk kaya. Mereka mengganti hakikat jabatan yang merupakan “amanat” dengan sebuah makna “kesempatan”. Dan mereka juga “percaya” bahwa jarang sekali sebuah kesempatan datang berulang-ulang. Hingga mereka menggunakan kesempatan yang mungkin hanya satu kali tersebut untuk memenuhi kebutuhan dunianya.

Padahal Rasulullah saw yang diriwayatkan dari Ma`qil bin Yasar ra. juga pernah bersabda, “Seseorang yang diberi kekuasaan (jabatan) oleh Allah kemudian dia tidak menegakkan kebenaran dan tidak mencegah kemungkaran, maka dia tidak akan mendapatkan bau harum surga” hadits Rasulullah ini diriwayatkan oleh Al Bukhari. Kata “menegakkan kebenaran” ini harus dipahami dengan benar yang dengan dasar keyakinan yang dalam. Tapi memang harus diakui bahwa “kualitas Iman” seseorang sangat besar pengaruhnya terhadap “lurusnya” jalan yang akan ditempuhnya. Lalu, seperti yang kita amati sekarang, banyak manusia, terutama mereka yang mempunyai wewenang tidak lagi takut ancaman neraka. Mereka tidak perduli dengan apa yang akan terjadi dengan dirinya sesudah mati. Yang penting adalah saat ini sedangkan hari kemudian itu urusan nanti.

Maka jangan lagi heran kalau keadaan hidup di saat ini sangat jauh dari gambaran hidup Rasulullah dan para sahabat. Kemaksiatan bukannya malah menurun tapi justru lebih berkembang pesat. Karena usaha mencegah kemaksiaan dilakukan dengan setengah hati. Setengah hati lainnya justru malah mendukung kemaksiaan itu sendiri. Korupsi yang maunya diberantas tapi justru berkembang biak dengan cara yang lebih “halus”. Bahkan ada yang berpendapat “mustahil” mengarungi kehidupan dengan “bersih”. Dan mereka tetap menjalankan praktik pungutan biaya “tanda tangan” tanpa beban. Baik untuk tanda tangannya sendiri maupun untuk tanda tangan atasannya. Mungkin justru merupakan sebuah kemustahilan untuk bisa menghapus praktik-praktik seperti ini. Karena hampir setiap jabatan di semua bidang digunakan untuk itu.

Para sahabat Rasulullah pernah meminta wasiat kepada beliau. Dan beliau menjawab,”Sesungguhnya bagian tubuh manusia yang pertama kali membusuk adalah perutnya. Karena itu siapa yang bisa tidak makan kecuali makanan yang halal, maka lakukanlah. Dan siapa yang mampu menghindarkan tangannya dari penumpahan darah sehinggga dia terhalang dengan surga, maka lakukanlah”. Sabda Rasulullah ini mestinya bisa membuat “merinding” bulu kuduk kita. Karena jelas, tingkat kebusukan jasad kita dipengaruhi oleh baik buruknya isi perut kita sewaktu hidup di dunia. Dan yang kita makan sekarang ini banyak sekali yang berasal dari sumber-sumber penghasilan yang tidak halal !

Maka beruntunglah mereka kelak yang beriman dengan “benar” dan mengisi perutnya hanya dengan sesuatu yang halal. Dan celakalah kelak mereka yang mengaku beriman tapi setiap harinya menuruti tingginya nafsu makan dengan sesuatu yang haram karena berasal dari sumber yang “tidak jelas”. Sesungguhnya nafsu makan yang berlebihan adalah “ajakan” setan. Maka barang siapa yang selalu menuruti nafsu makannya berarti dia mengikuti ajakan setan. Karena perut manusia memang sangat mudah untuk berpaling pada “nikmat”nya makanan, maka setanpun sangat senang “memalingkan” perut manusia kepada makanan. Jauh dari lapar dan puasa seperti yang banyak dilakukan oleh orang-orang saleh jaman dahulu.

Penghindaran diri dari terjadinya pertumpahan darah yang diperintahkan oleh Rasulullah saw juga tidaklah banyak mendapatkan perhatian. Kebanyakan manusia memegang teguh sebuah kalimat “Langkahi dulu mayatku” untuk melepaskan sesuatu yang dikuasainya. Padahal sesuatu itu bukan miliknya dan memang benar-benar bukan miliknya. Tapi karena memang ingin mempertahankan “nikmat dunia” mereka rela membantai saudaranya sendiri. Puluhan, ratusan bahkan kadang bisa mencapai ribuan yang harus dibantai mati dan dikuburkan dalam lubang-lubang kuburan masal. Padahal yang seperti ini bukanlah sifat dan sikap orang yang ber”Tuhan” pada Allah swt.

Tapi demi nikmat dunia kadang kita tak perduli lagi surga dan neraka. Tak perduli lagi pada larangan-larangan Allah bahkan tak perduli lagi pada Allah swt. Inilah orang-orang yang hatinya sudah tergantikan dengan hatinya Iblis. Sehingga tidak perduli lagi tentang hukuman yang akan dijatuhkan pada dirinya kelak. Selama jantung masih berdetak, tak akan pernah ada orang yang berhak menggantikannya. Lupa, lalai karena hidupnya tidak punya “pegangan”. Tidak punya pengetahuan tentang kehidupan dan tidak punya akal untuk mempertimbangkan tentang “kebenaran” Allah dan segala kuasasnya.

Mudah-mudahan kita bukanlah termasuk orang-orang yang melampaui batas seperti mayoritas para pemimpin yang “bandel”. Dan bukan pula termasuk orang-orang yang hanya mengumpulkan harta untuk memanjakann diri dengan kenikmatan palsu dunia. Bukan hanya bisa berbohong selama hidup tapi mudah-mudahan termasuk orang-orang yang berusaha selalu untuk jujur dan mengerti tentang makna kehidupan dunia yang sebenarnya. Karena penyesalan tidak akan pernah berada di depan sebuah tindakan. Dan penyesalan di akhir kehidupan lebih banyak tidak memberikan manfaat buat kehidupan kita selanjutnya. Kenikmatan yang tidak membawa manfaat untuk orang lain dan untuk alam sekitar kita hanyalah akan menghasilkan kesengsaraan di akhirat kelak.

Oleh karena itu, gunakan “akal” dan “hati” selalu dalam mempertimbangkan untung rugi setiap perbuatan. Kekuasaan bukanlah jalan lapang menuju kebaikan kehidupan akhirat. Kekuasaan justru lebih banyak menimbulkan fitnah. Maka janganlah kita selalu berorientasi pada dunia, karena orientasi kehidupan akhirat adalah lebih penting. Yang diperlukan untuk menyertai setiap tindakan kita di dunia hanyalah do`a atau permintaan kepada Allah dalam setiap kesempatan. Dengan tidak lupa untuk selalu memohon ampun dengan istighfar di setiap waktu yang melintas. Dan kesabaran hati menjadi sesuatu yang mutlak. Sabar menunggu ketetapan Allah dan selalu bisa menerimanya adalah salah satu wujud kesyukuran seorang hamba.

Menjadikan shalat sebagai kebutuhan utama dengan disertai kesabaran dalam menjalankannya. Berbuat baik terhadap sesama dan menjaga diri dari perbuatan yang bersifat merusak alam sekitar. Dan yang terakhir adalah menyerahkan sepenuhnya hasil setiap perbuatan dunia kita kepada Allah swt. Apapun hasilnya. Karena semua warna kehidupan sebenarnya hanyalah cobaan dan ujian belaka. Mudah-nudahan Allah keridhaanNya atas apa yang kita usahakan dan mudah-mudahan Allah memberikan ketetapan yang baik pula untuk kita.

Sekian

Surabaya, 4 Maret 2011

Agushar.
Selengkapnya...

Rabu, 25 Mei 2011

Kerajaan Republik


Ketika seseorang sampai pada titik akhir ambisi yang diukirnya, dia akan menancapkan kaki dalam-dalam ke dalam bumi yang di pijaknya. Lalu kaki-kaki dan tangan lain yang ada di dekatnya berusaha mencari posisi untuk melindungi dan membentenginya dari ombak dan badai yang kemungkinan akan timbul. Di awal-awal mengemban amanat dia akan memimpin rakyatnya dengan senyum. Lalu perlahan tapi pasti, senyum berangsur menghilang. Berubah menjadi ketegangan. Karena riak-riak gelombang mulai datang menyapa. Ketika angin menjadi tenang kembali dan suasana begitu bersahabat, timbul lagi kekuatan untuk berbuat sesuatu. Baik untuk rakyat, untuk golongan bahkan untuk diri dan keluarganya sendiri.

Tentu kita masih ingat, berapa banyak pemimpin yang terpaksa di “cabut” dari kursinya dengan paksa. Di Iran ada Shah Reza pahlevi, di Uganda ada Idi Amin, di Filipina ada Ferdinand Marcos, di Indonesia ada Suharto. Yang paling hangat adalah pemimpin Tunisia Ben Ali, Presiden Mesir Hosni Mubarak. Bahkan saat ini sedang terjadi pergolakan di beberapa negara seperti Yaman, Bahrain dan Libya. Mungkin akan menyusul pula negara-negara lain yang saat masih menyimpan bom waktu “demonstrasi”. Karena jika memang sudah tiba waktunya “bom” pasti akan meledak. Dan antara mundur dan mempertahankan kekuasaan, sedikit atau banyak akan timbul korban jiwa yang akan berpredikat sebagai pahlawan. Sebagai “tumbal” dari berhasilnya sebuah “keinginan”. Raja akan memimpin rakyatnya sampai hari kematiannya. Dan raja yang “benar” pasti akan memberikan tahkta kepada keturunannya. Rakyat tidak berhak menduduki tahkta. Dari kasta manapun datangnya, kalau bukan keturunan “darah biru” tidak akan bisa menjadi pewaris takhta kerajaan. Kecuali menjadi pembangkang dan melakukan sebuah perlawanan serta bisa membunuh raja dan menguasai istananya. Atau berpura-pura mengabdi untuk kemudian menelikung dari belakang disaat raja lengah. Seperti yang dilakukan oleh Ken Arok dalam cerita rakyat dalam kisah kerajaan Singosari. Yang lantas berkuasa sekaligus menjadi penyebab lahirnya dendam tujuh turunan dengan sebilah keris yang dinamakan keris Mpu Gandring.

Seorang raja yang menggunakan kekuasaannya untuk berbuat sewenang-wenang, pasti yang akan menjadi korban adalah rakyat jelata. Dan kebanyakan raja memang lebih “bisa” berbuat sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Keadaan itu akan berlangsung terus menerus dalam jangka waktu yang panjang. Inilah hasil sebuah kekuasaan dan kewenangan mutlak yang diberikan kepada seorang penguasa. Jika kondsisi seperti ini berlangsung lama, pasti akan banyak mengundang terjadinya pemberontakan-pemberontakan rakyat. Meskipun dalam skala kecil. Dan kebanyakan pula pemberontakan-pemberontakan kecil yang terjadi bisa diatasi dengan mudah. Kemudian disusul dengan hukuman berat yang ditimpakan kepada para pelakunya. Kadang sampai berlangsung tujuh turunan juga.

Pada kerajaan modern seperti saat ini seorang raja membatasi kekuasaanya dalam kewenangan politik. Rupanya trauma “kudeta” oleh rakyat benar-benar menjadi momok negara kerajaan. Dan rakyat semakin semakin lama semakin cemburu atas monopoli “kepemilikan” tanah air mereka. Sehingga kewenangan politik diberikan seluas-luasnya oleh raja kepada mereka yang mempunyai kemampuan dalam mengatur negara dan segala urusannya. Posisi Perdana menteri adalah posisi politik dibawah raja. Bisa ditempati oleh mereka yang berkeinginan dan mempunyai kemampuan serta mendapatkan restu raja. Posisi Maha Patih yang diincar banyak orang karena hanya posisi tersebut yang memungkinkan untuk diraih. Sedangkan takhta raja hanya untuk mereka yang berdarah “biru”.

Pemberian peran besar kepada “Perdana Menteri” membuat kerajaan banyak yang masih bertahan sampai saat ini. Karena kebutuhan rakyat ada yang ngurusi dan hampir semua terpenuhi, maka tuntutan rakyat pun tidak begitu banyak. Karena pada dasarnya rakyat hanya menuntut kehidupan yang layak dan kebebasan dalam berbagai sisi kehidupan. Jika semua hal tersebut terpenuhi maka rakyat akan senang dan berterima kasih. Sebagian besar kerajaan modern di eropa memang memberikan apa yang dikehendaki rakyatnya. Meski kadang permintaan rakyat betentangan dengan kaidah-kaidah keyakinan agama pada saat itu.

Banyak negara-negara baru yang tidak lagi menggunakan sistem kerajaan. Pilihan lain adalah membentuk negara demokrasi. Dimana rakyat merupakan pemilik kedaulatan tertinggi. Sebuah sistem pemerintahan yang menjanjikan bahwa segala sesuatunya berasal dari rakyat, dijalankan sepenuhnya oleh rakyat dan hasilnya dipergunakan secara keseluruhan untuk kepentingan rakyat. Sepintas memang demokrasi merupakan pilihan yang tepat untuk sebuah negara. Disamping kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat, hak-hak asazi manusia begitu dijunjung tinggi. Tidak boleh ada pelanggaran hak asazi manusia dalamm negara demokrasi.

Dalam perkembangannya banyak negara yang mengambil sistem negara demokrasi hanya sebagai “kedok”. Kenyataan sebenarnya adalah, sifat atau pribadi penguasa yang kadang buruk, licin, licik dan arogan telah banyak merusak asas-asas demokrasi itu sendiri. Dimana egoisme pribadi dan kelompok atau golongan telah memberikan kontribusi yang besar atas terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme di banyak negara yang “katanya” menggunakan sistem demokrasi. Hak asazi yang seharusnya dijunjung tinggi kenyataannya malah terinjak-injak. Pemerintahan oleh rakyat kenyataannya hanya dimonopoli oleh orang-orang tertentu saja. Dari masa ke masa hanya oang-orang itu saja yang duduk mewakili rakyat. Semua hasil kerja pemerintah akan dipergunakan seluruhnya untuk kepentingan rakyat, tapi kenyataannya hanya dinikmati oleh segelintir orang-orang di lingkaran kekuasaan.

Sifat dasar manusia yang ingin mempertahankan kesenangan dan kenikmatan yang telah diperolehnya telah mengubah tujuan demokrasi. Kecenderungan untuk tidak mau turun “takhta” dan memberikan “kursi” untuk orang lain juga telah menghancurkan sendi-sendi demokrasi yang seharusnya berfungsi dengan bak. Mengapa demikian? Karena setiap manusia yang pernah merasakan sebuah kenikmatan pasti yang dipikirkan adalah kapan kejadian pengulangannya. Apapun jenis kenikmatan tersebut, yang pasti telah meracuni pikiran dan hati untuk tidak berpindah atau dinikmati oleh orang lain. Yang terjadi kemudian adalah pengerahan kekuatan. Baik moral maupun material. Tanpa batasan tertentu. Asal “kursi” atau “takhta” tidak terlepas.

Disamping sifat dasar “mempertahankan” tersebut masih ada sebab lain yang menyebabkan seseorang bertindak seperti itu. Dan penyebab yang paling dominan seseorang berusaha untuk mempertahankan posisi atau kedudukannya adalah penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang diluar batas. Agar penyelewengan yang telah dilakukan tidak diketahui dan terbongkar oleh orang lain, dia akan berusaha “mati-matian” agar dirinya tidak “terlempar” dari kursi-kursi yang telah di dudukinya. Jika berhasil “berkuasa” kembali, maka dia akan selamat, karena kendali semua peluru masih tetap ada di tangannya. Dan penyelewengan akan tetap terus berjalan sampai batas waktu yang tidak pernah bisa ditentukan.

Sifat dasar alami manusia yang dipadu dengan lemahnya Iman dan dan buruknya moral telah membuat demokrasi palsu menyimpan bom waktu “demonstrasi” kelak di kemudian hari. Kalau bukan karena kuatnya cengkeraman militer dan kesewenang-wenangannya terhadap rakyat, niscaya tidak ada pemimpin yang bisa bertahan dalam kekuasaan selama berpuluh-puluh tahun. Tapi bom waktu akan tetap meledak. Ketika kesabaran rakyat sudah sampai pada titik jenuh, maka segala kemungkinan pasti bisa terjadi. Berawal dari sebuah unjuk rasa kecil yang saling susul menyusul di berbagai tempat maka demonstrasi besar-besaranpun tidak akan mungkin bisa terhindarkan lagi.

Kalau sudah sampai pada puncak kemarahan maka rakyatpun sudah lupa apa artinya “takut”. Apapun yang akan terjadi dan berapapun jumlah jiwa yang akan mati mereka tidak akan merasa peduli lagi. Asal bisa menumbangkan penguasa yang mereka anggap dzalim dan menggantinya dengan pemimpin yang lain mereka sudah sangat bersyukur. Tapi perjuangan melawan penguasa bukanlah perjuangan yang mudah dan ringan. Dalam sejarah begitu banyak rakyat yang menjadi korban kebiadaban dari orang-orang yang sengaja memancing di air keruh. Perampokan, penyiksaan bahkan perkosaan terhadap wanita-wanita pribumi maupun keturunan hampir selalu menghiasi setiap kerusuhan besar yang melibatkan penguasa.

Gelombang demonstrasi yang terjadi di negara Libya saat ini telah menelan banyak korban. Ratusan bahkan disinyalir sudah mencapai ribuan nyawa rakyat libya. Entah sampai kapan akan berakhir. Yang pasti peluru-peluru dari pasukan yang notabene berasal dari rakyat saat ini bahkan banyak menembus jantung rakyat Libya sendiri. Sebuah ironi dari rakyat yang menuntut kebenaran dan hak-haknya sendiri tapi justru mati di tangan saudara-saudara dan pemimpinnya sendiri. Sebuah pembunuhan masal yang sia-sia karena yang mereka bunuh adalah saudara-saudara mereka sendiri. Sia-sia karena demi kekuasaan yang seharusnya dimiliki oleh rakyat sendiri.

Kalau saja demokrasi djalankan dengan “lurus” dengan landasan agama yang kuat, niscaya tidak perlu lagi ada pertumpahan darah di sebuah negeri. Tapi karena demokrasi hanya digunakan sebagai alat untuk meraih kekuasaan, maka demokrasi juga kehilangan “ruh”nya. Dimana sesuatu yang seharusnya berjalan justru malah dihentikan yang seharusnya dihapus justru tetap dijalankan. Kebebasan berserikat dan berkumpul seharusnya mendapatkan jaminan dan perlindungan. Tapi praktiknya justru banyak yang langsung “dipithes” mati. Hingga arogansi dan otoriternya pemimpin dan aparat justru menjadi bagian penting dari jalannya roda pemerintahan.

Negara yang menganut sistem demokrasi dengan kepemimpinan satu orang selama puluhan tahun, hampir pasti menerapkan sistem demokrasi “ephok-ephok”. Labelnya saja yang demokrasi tapi praktiknya tetap saja seperti kerajaan. Minimal tentang batasan menjabat. Pemimpin negara atau para pejabatnya yang tidak mau turun setelah periode masa jabatannya habis, berarti dia sedang mewarnai darahnya dengan tinta “biru”. Dia tidak ingin melepaskan “kenikmatan” yang telah dirasakannya selama ini kepada orang lain. Dia takut akan jatuh “miskin” kalau dia cepat-cepat “turun” takhta. Dan takut kalau anak keturunannya akan menjadi “gelandangan”. Dengan bahasa yang lebih halus mereka takut menjadi “rakyat” lagi karena selama ini hidup mereka sudah sangat jauh dari rakyat.

Tapi kekuatan yang bagaimanapun suatu saat akan lemah juga. Menjadi lemah karena lelah menjaga kekuaan itu sendiri dan lemah karena usia yang sudah uzur. Cara berfikir yang semakin jauh dari rasional. Dan ini adalah sebuah “keharusan” dan “kepastian” dalam kehidupan manusia. Kalau sudah sampai pada tahapan seperti ini gigi-gigipun akan “ompong”. Karena peluru-peluru yang dahulu dalam kendalinya akan mencari “tuan” yang lain. Yang masih kuat dan sanggup merawat serta menyuapinya dengan bubuk-bubuk mesiu yang baru dan lebih fresh. Lalu dengan mudahnya “gelombang” pasang rakyat menghempaskan diri dan keluarganya ke suatu tempat yang asing. Yang tidak pernah mereka pikirkan sebelumnya.

Teman-teman yang dulunya dekat malah semakin menjauh. Bahkan ada yang berbalik ikut menyerang dirinya. Sebuah kelakuan yang belum pernah terjadi disaat kekuasaannya masih kuat. Seperti menunggu waktu, takhtapun terlepas. Perlahan namun pasti kondisi fisikpun semakin melemah. Seiring dengan kekuatan mental yang menurun drastis. Diakui atau tidak, kematianpun semakin dekat sesuatu yang kadang tak pernah terpikirkan disaat masih berkuasa. Memang kita percaya bahwa kita semua akan mati. Tapi perilaku kita semasa hidup justru menunjukkan bahwa kita banyak yang lalai tentang kematian kita sendiri. Kekuasaan memang lebih banyak menimbulkan kelalaian.

Demikianlah sifat manusia. Keikhlasan hati tidak pernah seiring dengan langkah kedua kakinya. Ketika semua do`anya terkabul, ketika itu pula dia menjaga jarak dengan Allah. Dan ketika tertimpa musibah atau cobaan atas semua apa yang dilakukannya sendiri, barulah ada keinginan untuk “mendekat” lagi. Tapi kedekatan yang kedua inipun dilakukanya dengan “menunggang” kuda pilihan. Apabila Allah mengabulkan apa yang menjadi keinginannya, maka diapun akan “berlari” dari Allah dengan menunggang kudanya. Memang sulit untuk bisa menjadi manusia yang benar. Sepanjang mata dan hati masih tertambat pada “nikmat”nya dunia, selama itu pula kita akan kesulitan untuk “mengabdi” kepada Allah swt. dengan benar.

Perlahan tapi pasti, raja-raja di negara demokrasi terlempar dari kursinya. Lalu disusul dengan umpatan, hujatan dan perlakuan yang keterlaluan dari rakyat yang tadinya begitu diam karena takut. Lalu dimulailah babak baru kehidupan politik. Rakyat yang tadinya malu-malu berpolitik, tiba-tiba begitu berani berekspresi. Tak lama kemudian muncullah tokoh-tokoh baru di di jajaran legislatif. Secara kuantitatif memang mereka “ada”. Tapi secara kualitas mereka tidak ada. Kemampuan politik “seadanya” yang terbawa di gedung megah tempat para wakil rakyat berkumpul. Belum lagi ditambah dengan minimnya pengetahuan agama semakin membuat para wakil rakyat seperti dihuni oleh mereka yang sebelumnya hanya “bermimpi” untuk bisa jadi pejabat.

Situasi politik selanjutnya sudah bisa ditebak. Mereka para wakil rakyat belum banyak tahu apa yang mesti dilakukan dan dikerjakan. Sementara rasa senang, bangga dan bahagia masih sulit untuk lepas dari hati. Dan mereka masih juga sibuk menata diri dan keluarga yang masih “kaget” dengan jatuhnya “pulung” limpahan rejeki materi. Akibatnya situasi dan kondisi politik carut marut. Karena para penghuninya adalah orang-orang yang berkemampuan “seadanya”. Jadilah sebuah negara yang baru belajar bagaimana cara berdemokrasi. Masa transisi pemerintahan ini bisa berlangsung lancar, aman dan cepat. Tapi bisa juga berlangsung lambat dan berlarut-larut karena banyaknya kelompok yang saling berebut kekuasaan.

Begitulah negara kerajaan yang berkedok demokrasi. Lantas bagaimana hubungannya dengan kodrat manusia sebagai makhluk ibadah ? Tentu korelasinya masih harus diteliti dan dihitung besaran prosentasenya. Karena ibadah pribadi dengan Allah. Tidak terkait dengan bentuk negara. Dan impian negara demokrasipun belumlah tentu meningkatkan ibadah seseorang. Bahkan kenyataan yang ada saat ini sudah jelas gambarannya. Bahwa kebebasan yang kita idam-idamkan justru membuat tatanan hidup beragama semakin jauh ditinggalkan. Sebab kebebasan yang kita tuntut bukanlah murni kebebasan beribadah, tapi kebebasan untuk melanggar ketentuan-ketentuan agama yang kita anggap terlalu membelenggu tingkah laku kita.

Beginilah kalau dalam keseharian hidup kita lebih banyak bergaul dengan setan dan menyepelekan perintah Allah swt. Tuntutan hidup kitapun sejalan dengan apa yang dibisikkan oleh setan. Kita sudah sama-sama melihat bagaimana keseharian hidup manusia-manusia yang tinggal di negara-negara yang “bebas”. Mereka bebas untuk beragama sekaligus bebas untuk tidak beragama. Mereka bebas untuk menjalankan syariat agama sekaligus bebas untuk melanggar dan bahkan menginjak-injaknya. Lalu apa yang mereka pilih ? Ternyata kebebeasan dari “agama” yang menjadi sebuah pilihan hidup. Karena dengan lepasnya aturan agama dari diri kehidupannya, mereka justru merasa lebih bisa merasakan dan menikmati “hidup” mereka di dunia.

Sekian.

Surabaya, 28 Pebruari 2011.

Agus hartono
Selengkapnya...

Kejujuran Beralas Bohong


Pada awalnya kita semua banyak berharap, bahwa institusi hukum dan prosesnya serta semua perangkat yang terlibat didalamnya berfungsi sebagai sumber “mata air kejujuran”. Tapi ketika yang terjadi justru pengafiran terhadap diri “kejujuran” itu sendiri serta pengebirian terhadap semua institusi yang terlibat dalam hukum, mau tidak mau kita harus menarik diri dari “keimanan” terhadap kebenaran dan keadilan hukum produk manusia. Karena hampir semua produk yang dikeluarkan telah terkontaminasi “virus” kebohongan. Sehingga kejujuran yang seharusnya polos telah berubah tampilannya karena “bercak-bercak” kebohongan yang menyertai kemunculannya.

Dilain waktu, seperti pahlawan kesiangan kita berserikat untuk menggugat pengemban amanat rakyat atas kelahiran bayi-bayi kejujuran yang lahir cacat tersebut. Seolah-olah kita sendiri bisa memastikan untuk melahirkan kejujuran dalam keadaan polos, putih, bening alias apa adanya. Kemudian, dengan “menutup” sementara saku-saku kebohongan pada baju dan celana yang biasa kita kenakan, kita berteriak dengan lantang, “Pembohong!!!” pada mereka yang sedang duduk nyaman di kursi-kursi yang telah mereka raih dengan adonan tepung kebohongan dan pemanis-pamanis buatan. Yang lebih banyak menimbulkan suara serak akibat dari batuk-batuk seiring dengan hilangnya rasa lapar dan haus kita. Mengapa bisa tercipta kondisi seperti ini ?

Jawabnya sebenarnya sederhana saja. Karena pergaulan ! Kita lebih banyak bergaul dan berinteraksi dengan setan yang merupakan suruhan atau kaki tangan Iblis. Hanya kita tidak pernah merasa dan mengakuinya karena manusia disekeliling kita melakukan hal yang sama dengan kita. Kita tidak pernah merasa kalau sebenarnya kita lebih “nurut” bujukan setan dari pada anjuran agama. Karena memang ternyata anjuran setan itu lebih ringan dan lebih mudah untuk diikuti dari pada anjuran agama yang lebih berat dan menyita waktu. Sementara anjuran setan lebih nyata hasilnya sedangkan anjuran agama belum pasti kapan hasilnya. Dan tanpa berpikir panjang kebanyakan dari kita lebih suka mengikuti setan. Karena ternyata sangat sedikit dari kita yang rela bersusah payah mengikuti anjuran agama.

Masihkah kita ingat ? Dalam sejarah manusia, Iblis telah sukses “mengeluarkan” nabi Adam dari surga. Dan mereka telah bersumpah untuk membelokkan hati dan akal manusia dari jalan Allah sampai hari kiamat. Nah dengan ijin Allah, Iblis dan anak buahnya akan selalu berusaha untuk membelokkan keyakinan manusia tentang Allah dengan “tipuan” yang bahan dasarnya adalah “bohong”. Dimanapun mereka berada, disitu mereka bisikkan kata-kata bohong tentang “Iman”. Dan kerja mereka sangat aktif. Berbeda dengan malaikat yang memilih tunduk patuh pada perintah Allah, Iblis dan pasukannya memilih menjadi oposisi. Mereka tak pernah melewatkan waktu walau hanya sejenak untuk membohongi dan mengajari bohong bangsa manusia.

Mayoritas dari kita memang cenderung untuk memenuhi ajakan setan. Karena kita memang cenderung menjauhi Allah. Ingatan kita kepada Allah adalah ingatan yang sangat minim. Hanya sebatas waktu shalat saja. Itupun juga kalau ingat. Banyak dari kita shalat justru tanpa melibatkan Allah. Dan yang lebih celaka lagi, banyak dari kita yang dengan sengaja melepaskan Allah dari akal dan hati kita. Dengan demikian, bukanlah hal aneh kalau tipu daya dan kebohongan memang sudah menjadi hiasan hidup kita. Karena memang kita lebih suka belajar pada setan. Yang tanpa kita sadari dan tanpa kita ketahui datangnya tiba-tiba sudah berada di otak dan aliran darah kita.

Bohong menghiasi hidup kita.

Kebohongan begitu merasuk dalam kehidupan manusia. Sejak masih taman kanak-kanak bohong itu sudah merupakan hal biasa. Masuk bangku Sekolah Dasar lebih berani lagi. Di bangku Sekolah menengah malah lebih lagi. Apalagi di bangku menengah atas, kalau bisa “bohong” malah bangga. Lantas apa mereka semuanya pernah berbohong ? Mayoritas. Baik dilakukan di sekolah atau di lingkungan keluarga. Ada seorang adik membohongi kakaknya. Kakak membohongi adiknya. Anak membohongi orang tuanya. Orang tua membohongi anaknya. Suami membohongi istrinya. Istri membohongi suaminya. Pendek kata hampir dari semua diri kita “tidak” steril dari kebohongan.

Dilingkungan tempat kerja juga tidak bisa steril dari “bohong”. Ada bawahan yang suka membohongi atasan. Begitu juga atasan yang suka membohongi bawahannya. Membohongi temannya sesama karyawan. Bahkan karyawan membohongi perusahaan serta perusahaan membohongi karyawannya sendiri juga sangat besar kemungkinan terjadinya. Kebohongan di lingkungan kerja bisa mulai dari alasan tidak masuk kerja sampai pada pemalsuan dan manipulasi data-data yang tidak sesuai dengan kenyataan sebenarnya. Demikian juga pada diri perusahaan. Tidak sedikit perusahaan yang “terpaksa” berbohong untuk menghindari kewajiban pajak.

Lebih-lebih lagi kalau sebuah kebohongan bisa menghasilkan kesenangan. Bisa-bisa “bohong” menjadi sesuatu yang “wajib” dilakukan. Lihat saja para penjual jamu “kuat” stamina. Mereka bahkan berbohong tentang kualitas dagangannya secara lantang dengan menggunakan pengeras suara. Juga mereka yang bekerja sebagai sales-sales berbagai macam produk. Kepintaran berbohong akan sangat berpengaruh terhadap laku atau tidaknya sebuah produk. Pendek kata, sulit untuk mencari disisi mana kita tidak melakukan kebohongan. Karena hampir semua aspek kehidupan mengandung kebohongan. Dan kebohongan selalu menyertai setiap kepentingan kita.

Mengapa ? Karena kita menjauhkan Allah dari otak dan hati kita. Sebuah usaha pencapaian sebuah keinginan kadang lebih banyak mengabaikan pengawasan malaikat. Ingat ! Hidup adalah cobaan dan ujian. Setiap cobaan adalah materi ujian kehidupan. Siapa pengawasnya ? Tentu saja malaikat atas perintah Allah swt. tapi kebanyakan dari kita tak pernah menyadari situasi tersebut. Kita menganggap bahwa para “pengawas” ujian tidak ada. Dan kalaupun ada “mereka” juga tidak akan menegur kita. Sedangkan sekelompok setan yang “justru” banyak bergerombol di otak dan aliran darah untuk membelokkan “kemudi” kebenaran kita biarkan dan malah kita beri ruang istimewa.

Kalau hampir semua sisi kehidupan ini mengandung kebohongan, berarti memang benar juga kalau dunia ini “panggung sandiwara”. Dan kenyataanya juga setiap hari kita juga menikmati “sinetron” yang tidak lain adalah sandiwara. Berarti kita tidak akan bisa menyangkal lagi kalau kita ini penggemar sandiwara yang nyata-nyata adalah sebuah kebohongan belaka. Kalau untuk hal-hal kecil saja kita tidak steril dari bohong, apalagi untuk sebuah kepentingan kekuasaan. Penguasa bohong ? Dimana-mana kalau penguasa itu ya bohong. Apapun sistem pemerintahan yang digunakan, pasti selalu lekat dengan kebohongan. Karena setan memang mengajari kita untuk bohong di hampir setiap saat.

Tapi jangan lupa juga, bahwa bukan hanya mereka yang berkuasa saja yang bohong. Mereka yang ingin berkuasa lebih-lebih lagi. Mereka bukan hanya menggunakan senjata bohong, bahkan mereka suka berlari-lari pagi sambil membawa kayu bakar. Menghasud kelompok sana, menghasud kelompok sini hanya untuk memperoleh dukungan “kebenaran palsu” yang diusungnya. Mereka menamakan diri pengusung kebenaran dan penjaga kejujuran. Tapi sebenarnya semua itu hanya “dagelan” yang nyata-nyata berdiri diatas landasan kebohongan. Mustahil dalam dari mereka tidak mengandung tendensi apapun. Dan tendensi umum dari usungan keranda “kosong” adalah kudeta kekuasaan secara “halus”.

Dalih apapun yang mereka gunakan untuk menangkis serangan opini tentang “haus” kekuasaan tidak akan mengubah apapun tentang tendensi sebenarnya. Alasan “demi' rakyat adalah alasan “klise”. Dari jaman batu sampai jaman nuklir rakyat akan tetap menjadi alat untuk mencapai puncak kekuasaan. Dan harus rela ditinggalkan jika “pesta” sudah usai. Bagaimanapun perlakuan terhadap sebuah obyek pasti akan berakhir. Demikian juga terhadap rakyat yang selama “pesta” menjadi obyek kebohongan. Pada akhirnya pasti akan menyadari bahwa ternyata keheroikan yang selama ini menjadi harapan tak lebih dari pada sebuah cerita pewayangan. Meskipun kelihatan bermusuhan di luar, tapi tetap beristirahat dan tidur dalam sebuah kotak sandiwara.

Masih adakah kejujuran itu ?

Dimanakah kita bisa menemukan kejujuran, jika disetiap sudut kehidupan kita mengandung kebohongan. Orang yang mengatakan bahwa dirinya telah berlaku “jujur” justru patut dicurigai bahwa dia telah melakukan sebuah kebohongan. Karena orang yang jujur tidak akan pernah mengatakan bahwa dirinya jujur. Diantara 300 juta manusia di sekitar kita tidak satupun yang mendapatkan predikat “jujur” award. Dan kalau mau “jujur”, semua orang yang jujur itu sudah “mati” karena hanya kematian yang menjadi pemisah antara kebohongan dan kejujuran. Kematian dan semua kejadian sesudahnya tidak lagi kebohongan. Yang ada hanyalah kejujuran dan kenyataan hidup yang sebenarnya.

Dunia dan akhirat adalah dua sisi tempat yang berlawanan. Demikian juga kebohongan dan kejujuran. Kebohongan hanya bisa terjadi di dunia dimana kita hidup saat ini. Sifat keduniaan yang memang “sengaja” menipu manusia, telah menjadikan kita hidup dalam kebohongan. Kesenangan dan kenikmatan sesaat telah membuat kita justru larut ajakan setan yang memang sengaja memalingkan pikiran dan hati kita agar selalu tertuju pada dunia. Padahal kesenangan dan kenikmatan yang terjadi di dunia ini belumlah tentu berimbas pada kesenangan dan kenikmatan di akhirat kelak. Dan parahnya lagi, tentang akhirat kita hanya sebatas pada “kepercayaan” saja. Tidak menyentuh “keyakinan” sama sekali.

Kejujuran di dunia hanyalah impian. Kadang bisa melintas untuk sesaat. Tapi jarang bisa bersemanyam selama umur kita. Ukuran kejujuran seseorang hanya terbatas pada pandangan kita. Selebihnya, hanya Allah dan dirinya sendiri yang tahu dan bisa merasakannya. Sebab ketika kita melakukan sebuah kebohongan, secara naluri kita akan menyembunyikannya dari orang lain. Tapi ketika kita melakukan sebuah “kejujuran” informasi saja, sebisa mungkin kita sampaikan kebanyak orang. Padahal ketika kita melakukannya ada “riya” yang mengikutinya. Demikianlah akhirnya, kejujuran karena Allah semakin sulit kita temukan di dunia ini.

Meskipun mayoritas dari kita hidup berhias kebohongan, tapi bukan tidak mungkin ada manusia yang berusaha untuk benar-benar “jujur” dalam menjalani kehidupannya. Dan untuk menemukan mereka sama sulitnya mencari jarum yang hilang di tengah hutan. Mungkin jika kita mencari manusia yang benar-benar jujur kita hanya akan mendapatkan sebatas pandangan kita saja. Sedang menurut orang lain orang tersebut adalah pembohong besar. Lantas bagaimana menghadapi situasi yang seperti ini ? Semua orang di sekitar kita mungkin telah pernah berbuat bohong. Mungkin termasuk diri kita juga. Masihkah tersisa sebuah kejujuran di dunia ini ?

Sulit untuk membuat diri ini jujur sepanjang umur. Tapi kalau tidak pernah diusahakan kitapun tidak akan pernah mendapatkan kejujuran itu. Jika hidup kita di akhirat kelak lamanya sepanjang umur akhirat, hidup kita di dunia ini tidaklah demikian. Kita hidup di dunia ini hanyalah “seumur” jagung. Hanya sekitar 60 bahkan kurang dari 60 tahun. Dibanding umur dunia yang milyaran tahun umur kita ini tidaklah berarti. Kalau orang-orang tua bilang, “urip iki ibarate cuma mampir ngombe”. Cuma sebentar. Tapi kita merasakan sepertinya sangat lama. Dan waktu hidup kita yang sebenarnya sangat sedikit ini ternyata lebih banyak kita sia-siakan untuk menikmati dunia yang sebenarnya hanya “tipuan” belaka.

Mengapa demikian? Karena sebenarnya waktu yang “sedikit” ini adalah mutlak untuk kepentingan akhirat kita. Dimana kehidupan “manusia” akan berjalan selaras dengan umur akhirat. Sedangkan dunia ini hanyalah tempat dan fasilitas “ujian” saja. Tapi kenyataanya mayoritas manusia terlena dan memilih gemerlapnya dunia dari pada “menjalani” ujian dengan baik. Kita juga menetapkan bahwa harta, tahta dan wanita berada di nomer keramat. Dan untuk ketiganya kita rela berbohong, menghasud rakyat, kita rela bertikai, kita rela saling bunuh dan kita rela ingkar tehadap kekuasaan Allah swt. padahal waktu hidup kita ini sebenarnya pendek sekali. Tapi kita tidak pernah tahan untuk bersusah-susah mengabdi kepada Allah untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik di akhirat kelak.

Situasi dan kondisi yang hampir sama banyak terjadi di banyak negara. Bahkan sudah banyak sekali negara yang membawa rakyatnya menjauhi agama. Dengan cara menjauhkan mata dan hati dari kitab suci dan menggantinya dengan hidangan makanan dan minuman buatan setan. Menggantinya dengan hidangan-hidangan aurat dan pose-pose serta adegan yang memang benar-benar menggugah syahwat. Yang benar-benar “kufur” menikmatinya dengan terang-terangan. Tanpa malu-malu. Tapi yang mengaku beriman menikmatinya dengan sedikit malu-malu. Tapi banyak juga meraka yang sepertinya anti atau kontra umbar “aurat” justru menikmatinya secara sembunyi. Takut diketahui orang dan takut “reputasinya” dunianya jatuh berantakan.

Siapa yang salah kalau sudah seperti ini keadaannya ? Setiap pribadi menanggung kesalahan masing-masing dan tanggung jawab mereka sendiri kepada Allah nantinya. Tapi peran ulama dan ulil amri bukanlah sesuatu yang remeh dalam hal ini. Pemisahan Allah dari sistem pemerintahan dan contoh perilaku yang tidak memberikan teladan kepada rakyat akan memberikan “hitungan” tersendiri nantinya. Mudah-mudahan para pemimpin rakyat di negara kita dan para alim ulama serta masing-masing diri kita yang mengaku meng-hamba pada Allah segera menyadari dan kembali menoleh ke belakang untuk “berkaca” kepada diri dan perilaku Rasulullah saw.

Karena dalam keyakinan kita sejak awal, hanya Rasulullah saw yang “siddiq” dan mendapat “gelar” Al Amin. Dan Rasulullah sayyidina Muhammad saw telah memberikan sebuah teladan kepemimpinan yang nyata sampai di akhir hayatnya. Seorang utusan Allah yang bukan hanya memimpin, tapi rela hidup “apa adanya” demi umat dan rakyatnya. Lalu diteruskan oleh dua orang sahabatnya yang meng-copy paste kepemimpinan beliau hingga agama tauhid Islam bisa benar-benar “akbar” seperti sekarang ini. Dan kebanyakan negara hanya menerima Islam hanya di kulitnya saja, bukan di isinya. Hanya simbol dari kebesaran dan kebenaran Islam saja yang diakui, selebihnya semua dilanggar.

Mudah-mudahan masing-masing diri yang mengaku Islam segera menyadari. Bahwa bukan hanya harta, tahta dan wanita saja yang harus dikejar dan diusahakan. Tetapi kebenaran dan kekuatan bertahan dalam Iman adalah yang paling penting. Dan bertahan dalam “kejujuran” haruslah diusahakan bukan hanya ketika kita berada di “ponten”. Karena memang di “ponten” kita akan selalu berkata jujur dengan mengatakan bahwa bau kotoran kita benar-benar “busuk”. Tapi ketika berada di luar kamar kecil kitapun harus mengusahakan kejujuran. Karena sebenarnya kejujuran itu bukan untuk orang lain, tetapi untuk diri kita sendiri kelak di hari kebangkitan setelah kematian kita.

Sekian.

Surabaya, 21 Pebruari 2011.
Selengkapnya...

Image Merk


Persepsi seseorang terhadap sebuah produk mempengaruhi kuantitas penjualan produk atau barang itu sendiri. Seperti manusia, barang-barang produksi memerlukan “pesona” dalam beberapa hal. Diantara sekian banyak pesona sebuah produk, kualitas menjadi pertimbangan utama konsumen. Kemudian baru harga, kemudahan cara mendapatkannya dan style atau bentuk serta kemasannya. Karena setiap produk mempunyai “pesona” yang berbeda antara satu dengan yang lain, maka diperlukan sebuah identitas yang biasa kita kenal dengan kata “Brand” atau merek. Berbeda dengan manusia yang sibuk membangun “pesona” untuk dirinya sendiri, produk atau barang-barang membangun “pesona” untuk seluruh “keluarga”nya atau seluruh hasil produksi sebuah perusahaan.

Dalam bahasa pasar kita menyebut pesona sebuah produk dengan kata “Brand Image”. Yang bisa berarti anggapan atau cara berpikir seseorang terhadap sebuah hasil produksi. Terutama mengenai “kualitas”nya. Lalu bentuk atau tampilan, pelayanan purna jual untuk jenis barang-barang tertentu dan tentu saja “price” atau harganya. Sedangkan packaging atau kemasan menjadi sebuah pertimbangan yang relatif. Ada konsumen yang menempatkan kemasan sebagai sesuatu yang “penting”, ada pula konsumen yang tidak “seberapa” memikirkannya. Kuat, mudah didapat dan harga terjangkau menjadi pilihan sebagian besar konsumen. Tapi ada pula konsumen yang tidak “memasalahkan” harga dan lebih memilih “kualitas” karena bisa menambah kepercayaan diri dalam memakainya.
Hampir setiap perusahaan berusaha membangun “image” untuk merek produk-produk yang dihasilkan. Tapi tidak semua perusahaan serius melakukannya. Hanya perusahaan dengan komitmen yang sangat “kuat” saja yang serius membangun Brand Image. Karena biaya yang akan dikeluarkan juga tidak sedikit. Dan sebagian perusahaan lebih memilih untuk bersaing dalam “murah”nya harga dari pada menghabiskan biaya dan waktu hanya untuk membangun “image” positif yang tak kunjung melekat. Membangun Brand Image sangat tergantung pada visi dan misi perusahaan yang bersangkutan. Jika ingin menjadi market leader tentu harus berusaha meningkatkan prosentase “market share”nya. sedangkan usaha penguasaan pangsa pasar tidak hanya cukup dengan “penetrasi” saja. Semua aspek tentang diri produk harus ikut bersaing juga.

Merek yang sudah ditetapkan sebagai identitas produk tentu harus bisa “menceritakan” tentang dirinya sendiri dan perusahaan yang memproduksinya. Dan hanya ada dua value pada keduanya yaitu positif atau negatif. Jika menginginkan “citra” positif ada beberapa hal yang mutlak harus menjadi pertimbangan utama. Mutu atau kualitas produk, harga, kemudahan memperoleh dan kemasan yang menarik. Jika beberapa hal tersebut telah terpenuhi, tinggal satu usaha berkompetisi di pasar, yakni melalui promosi. Tentu saja bukan sesuatu yang begitu mudah dilaksanakan. Karena berkaitan dengan biaya dan pengaruhnya terhadap harga jual produk. Seperti buah simalakama promosi menjadi pilihan yang sulit. Terutama bagi perusahaan yang “meragukan” efektifitas promosi.

Brand image sendiri bukanlah sebuah sesuatu yang mudah di dapat. Harus melalui proses yang panjang untuk bisa menciptakan sebuah Image yang positif atas sebuah produk. Biaya yang dikeluarkan juga tidak sedikit. Konsistensi dalam kualitas, distribusi, dan perubahan fitur mempunyai peran yang sangat vital dalam pembentukannya. Hanya perusahaan yang perduli pada dirinya dan perduli pada konsumen yang berpikiran bahwa Image positif harus selalu dijaga dan ditingkatkan. Karena image positif akan membantu pemasaran dan penjualan secara tidak langsung. Konsumen akan cenderung memilih sebuah produk yang sudah dikenalnya. Baik performance, realiability, kepastian price maupun designnya.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa setiap perusahaan lebih cenderung ke profit oriented dari pada sekedar dikenal konsumen. Karena kebanyakan perusahaan ingin memacu tingginya angka penjualan dengan berbagai macam jurus pemasaran. Sehingga fokus kegiatan lebih banyak diarahkan pada kegiatan pemasaran. Sedangkan proses produksi dan segala pendukungnya yang sebenarnya tidak kalah penting lebih banyak berperan sebagai “sapi perah” yang kurang mendapatkan perhatian. Padahal penentu image sebuah produk ada di seluruh rangkaian produksi. Dari mulai pemilihan bahan, kelayakan mesin-mesin produksi, skill tenaga kerja yang terlibat di dalamnya sampai pada eksekutor terakhir yang menentukan layak atau tidaknya sebuah produk dilepas di pasaran.

Komitmen mutlak.

Sadar atau tidak, setiap produk yang beredar di pasar akan membawa “pesona” diri dan perusahaan yang memproduksinya. Kualitas yang berelemen fitur, fungsi, ketahanan akan berkolaborasi dengan price dan kemudahan mendapatkannya di pasaran. Kesempurnaan barang yang telah selesai di produksi akan diuji langsung oleh konsumen pada saat “pandangan pertama”. Jika kesan cacat produksi bisa dilalui, maka pembuktian kebenaran fungsi dan ketahanan produk akan menjadi ujian kedua. Di ujian yang kedua ini konsumen bisa “tertawa” puas atau “tersenyum” kecut. Karena pada pembuktian kualitas produk, konsumen banyak menaruh harapan. Juga kesempatan untuk men”cocok”kan antara produk dan price atau harga yang sudah disepakati atau bahkan sudah terbayar.

Kesan dan kepuasan dalam menggunakan sebuah produk adalah sebuah promosi tidak langsung bagi produk dan perusahaan yang memproduksinya. Jika perusahaan ingin tetap eksis dan menjadikan konsumen sebagai mitra dalam menggunakan barang-barang produksinya, maka kepedulian terhadap konsumen adalah sebuah harga mati yang tidak bisa di tawar-tawar lagi. Dan komitmen yang kuat dari owner sampai karyawan di tingkat paling bawah dalam struktur organisasi perusahaan menjadi kunci keberhasilan pembentukan karakter produk dan pesona atau brand imagenya. Tentu saja dibutuhkan kesepakatan dan kesatuan antara jiwa dan hati untuk mewujudkan semua visi dan misi yang telah di tetapkan sejak awal perusahaan berkiprah di kerasnya persaingan dunia produksi dan perdagangan.

Komitmen owner berkaitan dengan tersedia dan terpenuhinya semua infrastructure yang dibutuhkan untuk proses produksi. Perawatan dan tenaga ahli yang berkaitan dengan kepentingan perawatan semua aset perusahaan terutama mesin-mesin produksi. Tenaga kerja yang berkualitas. Yang bisa memimpin dirinya sendiri dan tidak mudah mencari perlindungan atas setiap kesalahan produksi yang dibuat dan telah terjadi. Tegas dan tidak ada toleransi pada setiap cacat produksi yang terjadi pada setiap barang. Salary atau imbalan upah / gaji yang sesuai dengan beban dan tanggung jawab masing-masing karyawan. Dan yang tidak kalah penting adalah menyediakan bahan-bahan produksi yang sesuai dengan standar produk yang telah di tetapkan.

Komitmen tenaga kerja lebih berkaitan pada kesungguhan melaksanakan pekerjaan sesuai standar dan kesediaan untuk taat dan memenuhi sistem kerja dan administrasi yang telah dibakukan. Jujur dalam penggunaan bahan dan jujur terhadap semua kesalahan produksi yang terjadi. Tidak mudah memberikan toleransi atas hasil kerja yang “kurang” memenuhi standar dan tidak mudah mencari perlindungan di “ketiak” atasan apabila telah berbuat suatu kesalahan yang berkaitan dengan proses produksi. Mempunyai keinginan yang kuat untuk menghasilkan produk yang berkualitas dengan melakukan check secara random. Segera menghentikan proses apabila mendapati produk yang cacat dan segera meneliti penyebab kerusakan produk.

Hendaknya tidak melakukan deal atau kesepakatan untuk upaya melepaskan produksi yang tidak sesuai spesifikasi ke pasar atau konsumen. Karena hal ini sangat berbahaya bagi citra perusahaan. Apalagi kemasan yang digunakan bisa dengan mudah di identifikasi oleh konsumen. Kecuali dengan persetujuan bagian marketing dan dengan kesepakatan-kesepakatan tertentu, tidak boleh ada produk cacat yang boleh keluar dari lokasi perusahaan. Barang cacat boleh keluar perusahaan untuk tujuan “buang” atau peleburan kembali menjadi bahan dasar. Semua hal tersebut tujuannya untuk melindungi peredaran barang produk di luar yang telah lolos test quality control yang sangat ketat. Sehingga tidak ada barang produksi yang tidak sesuai dengan standar mutu bebas beredar di pasar.

Suka atau tidak, produk-produk kita yang beredar di pasar secara perlahan akan membentuk citranya sendiri maupun citra perusahaan. Jika pesona atau image yang tumbuh membaik tidak terproteksi dengan baik maka perlahan akan terpuruk juga pemasarannya. Dan jika image yang kurang bagus sudah melekat di hati konsumen, maka akan sulit pula membangunnya kembali. Karena image baik dari konsumen telah berpindah ke produk dari perusahaan lain. Dan kalau ini sampai benar terjadi pada sebuah perusahaan maka pertumbuhan perusahaanpun akan tersendat. Mungkin perusahaan akan beralih unutk menekuni bidang trading saja dengan mendatangkan produk dari negara lain. Karena dengan hanya “berjualan” otak di kepala kita tidak dipenuhi dengan berbagai macam permasalahan produksi.

Tentu saja kita semua tidak mengharapkan hal demikian akan terjadi. Karena implikasinya sangat besar terhadap nasib karyawan. Jika sebuah perusahaan produksi yang mempunyai banyak karyawan memutuskan untuk beralih profesi “dodolan” saja, maka akan terjadi pemutusan hubungan kerja antara perusahaan dan karyawan. Baik putus secara terpaksa ataupun terputus secara sukarela. Hal ini tentu tidak kita kehendaki. Karena baik owner maupun buruh sama-sama harus melanjutkan perjalanan hidup yang “pasti” membutuhkan biaya. Mungkin tidak seberapa berpengaruh bagi owner tapi bagi karyawan, kehilangan pekerjaan bisa menjadi sebuah malapetaka buat keluarga.

Komitmen untuk bekerja secara profesional dengan teguh pada prinsip dan berjalan diatas sistem yang baku serta kukuh terhadap quality control adalah sesuatu hal yang juga tidak bisa di tawar-tawar lagi. Pemaksaan penyimpanan produk yang sebenarnya cacat pada bagian gudang adalah sesuatu yang perlu dipertanyakan. Apa landasan berpikir dan memutuskan untuk menyimpan dan mengirimkan atau menjual barang-barang yang tidak layak ke pasar atau pelanggan? Padahal, jika kita melakukannya sama saja kita menyebarkan “virus” negatif pada produk yang kita hasilkan. Tentu saja “virus” itu akan menyerang kredibilitas company dalam memproduksi sebuah produk. Cepat atau lambat citra negatif akan menempel seperti proses elektrolisa pada diri produk itu sendiri.

Kenapa sampai terjadi hal seperti tersebut ? Ada beberapa faktor yang menjadi penyebabnya. Salah satunya mungkin dikarenakan penyakit “alergi” terhadap barang retur. Hingga kita begitu “benci” terhadap produk-produk kita yang ditolak customer. Hingga kita tidak lagi bisa bersikap “realistis” terhadap diri “produk” dan “kualitas”nya. Sehingga ada perasaan yang sangat kuat untuk berusaha “mengusir” barang cacat tersebut dari mata kita dan memindahkan ke tempat yang “entah dimana” asal tidak membebani kinerja kita. Tentu saja ini adalah sikap yang tidak seharusnya ada pada diri orang yang “bekerja” dan “mengabdi” pada pekerjaan. Sikap ini adalah sebuah bentuk ketidak pedulian terhadap owner yang telah “membayar” upah kita setiap bulan.

Bayangkan, kita ini adalah sekumpulam orang yang “mencari” nafkah pada “pekerjaan”. Dan kita sudah memperoleh “pekerjaan” tersebut dari pemilik dan penyedia “pekerjaan”. Maka sudah semestinya seluruh beban kerja yang seharusnya menjadi tanggung jawab kita, harus juga kita selesaikan dengan baik. Mulai dari proses sampai dengan semua problem yang terjadi pada produk tersebut. Kebiasaan kita yang lain adalah menunda “proses” penyelesaian problem yang terjadi pada sebuah produk yang kita hasilkan. Sehingga dalam jangka waktu yang relatif lama, produk-produk ex retur yang antri untuk “diadili” atau “diobati” menjadi semakin bertumpuk. Dan semakin hari akan semakin bertambah, karena memang problem terhadap sebuah produk yang kita hasilkan kadang tidak kita ketahui di awal tapi justru terlihat transparan setelah diterima oleh customer.

Semakin bertumpuknya “pasien” dengan berbagai penyakit yang harus ditangani membuat kita semakin tidak bersemangat lagi untuk menanganinya. Kita tidak lagi menganggap penyelesaian terhadap barang cacat ex retur sebagai sebuah tanggung jawab pekerjaan. Produk-produk yang antri “berobat” justru mengganggu pandangan mata kita. Jika melihat tumpukan “pasien” produk yang “sakit”, perut kita jadi “mules”, perasaan jadi “jembek” dan tidak lagi bisa berpikir bagaimana cara mengatasinya. Akhirnya jurus “Persona non Grata” menjadi senjata pamungkas untuk “membersihkan” tempat kita dari produk-produk yang tidak lagi kita kehendaki keberadaannya. Bahkan cenderung kita benci dan kita perlakukan seperti “anak tiri”. Padahal mereka produk kita sendiri.

Persona non grata produk cacat secara masal bukanlah sesuatu yang mudah kita lakukan. Kebingungan adalah sesuatu yang pasti bagi kita. Akibatnya kita akan mencari malaikat-malaikat yang bisa membantu kita untuk mengatasi problem yang seharusnya justru kita sendirilah yang harus menyelesaikan. Pada akhirnya juga sekumpulan barang cacat tersebut akan “kembali” ke komunitas produk-produk yang “fresh” dan “beautiful”. Meski sembunyi, bukan tidak mungkin suatu saat “produk” cacat tersebut akan lolos dari pagar yang sudah dipasang ranjau. Jika sampai benar keluar dan lolos, kita semua yang ada dan terlibat dalam proses produksi sampai delivery mempunyai andil “mengukir” citra-citra negatif produk maupun perusahaan. Sebuah keputusan yang sebenarnya sama seperti menikamkan pisau pada bagian tubuh kita sendiri.

Tidak ada bentuk penyelesaian yang lain kecuali dengan mengawali semua proses dengan sikap yang tegas dan jujur serta bertanggung jawab terhadap setiap barang yang kita produksi dan kita kirim ke customer. Jika memang benar jelek dan cacat harus kita akui jelek dan cacat. Dengan demikian kita bisa mengevaluasi apa penyebab timbulnya produk cacat tersebut. Jika kita tetap memaksakan untuk lolos, jangan heran kalau perilaku tersebut akan menjadi sebuah “sego jangan” alias kebiasaan sehari-hari. Dan tidak ada lagi kekhawatiran dan kehati-hatian terhadap kualitas produk yang kita hasilkan. Semakin lama semakin jauh juga kita dengan kualitas. Dan semakin mendekati pada prinsip “pokoke” yang banyak dianut oleh mayoritas pekerja yang tidak perduli pada kelangsungan hidup sebuah perusahaan yang sebenarnya telah “menghidupi” dirinya selama ini.

I never hurt you, but you drew your sword up on me without cause, mungkin begitulah kata perusahaan jika saja perusahaan bisa mengungkapkan perasaanya atas perlakuan kita terhadap citra diri perusahaan.

Sekian.

Agushar, 25 Nopember 2010.

Selengkapnya...