Jumat, 22 April 2011

Kemana Kita Berkiblat ?


Kiblat dalam Islam identik dengan arah Shalat. Makna kiblat dalam shalat adalah arah untuk menghadapkan diri, hati dan pikiran kepada Allah swt. Sedangkan shalat adalah sebuah ibadah yang sudah ditentukan waktu dan tata caranya. Arahnya? Sampai saat ini arah shalat atau kiblat shalat adalah Ka`bah yang berada di Masjidil Haram. Dan arah ini adalah perintah dari Allah swt. Pusat atau titik pusat sebuah pusaran manusia yang saling bersambung dalam melaksanakan perintah Allah yaitu shalat. Kiblat ibadah sudah ditentukan oleh Allah dan hidup manusia adalah untuk kepentingan ibadah. Tapi dalam hidup yang berorientasi ibadah ini ternyata kita telah banyak mengalihkan kiblat ke arah lain. Ke arah yang tidak seharusnya.

Kiblat shalat umat Islam adalah Ka`bah di masjidil Haram. Kiblat hidup tak ada lain kecuali ridha Allah swt. dan ajaran Rasulullah saw. Rasulullah Muhammad adalah pemimpin umat sekaligus pemimpin negara. Pada beliau ada contoh atau teladan kepemimpinan dan perilaku yang baik. Tapi karena kecenderungan manusia lebih banyak ke arah keberhasilan dunia, maka belasan abad kemudian kiblat hidup manusia tidak lagi menuju ke ridha Allah swt dan perilaku Rasulullah saw. Islam memang berkembang pesat sekali. Tapi perkembangan secara kuantitas belum tentu berkorelasi dengan Kualitas beragama. Keislaman kita lebih banyak kita miliki karena “warisan” dari orang tua kita. Kita terlahir sudah dalam keadaan ber”agama” Islam. Yang demikian sepertinya telah membuat kita cukup “puas”.
Umumnya sebuah warisan, ada yang semakin meningkat, ada yang tetap, ada pula yang semakin habis. Seperti juga kita yang mewarisi Iman. Bisa tetap beriman saja sudah lumayan bagusnya. Meski kadang banyak yang hanya asal beriman. Sangat Sedikit dari banyaknya pewaris Iman yang semakin bertambah Imannya. Mereka mengisi Iman mereka dengan Ilmu. Sebagian ada yang berhasil ke derajat yang lebih tinggi dengan menempatkan dirinya menjadi seorang ustadz atau Kyai. Dan sebagian besar yang lain justru mengalami kebangkrutan Iman. Karena kesalahan menentukan kiblat kehidupan dan melupakan kiblat shalat. Terlalu sering melakukan “barter” Iman dengan makanan, pakaian, gemerlapnya malam dan “gengsi” dalam kasta di masyarakat.

Semenjak manusia berpikir gengsi atau prestise dalam hidupnya, sejak ltulah dia mempreteli iman warisannya. Tidak akan berani keluar rumah tanpa membawa merek tertentu. Gaya hidup atau life style yang diikuti berkiblat pada bangsa-bangsa yang sudah begitu maju atau modern dunianya. Padahal Rasulullah saw tidak meniru atau bahkan tidak tertarik pada gemerlapnya dunia yang ditawarkan oleh bangsa Rumawi. Bahkan sejak awal-awal kenabian beliau tidak pernah tertarik dengan tawaran “dunia” dari kaum jahil Quraisy. Tapi kita yang hidup saat ini justru memalingkan diri dari keteladanan yang dibawa beliau serta para sahabatnya. Kebanyakan dari kita juga menganggap bahwa hidup dalam kesederhanaan adalah sesuatu sudah usang. Kita lalu menciptakan motto “orang Islam harus kaya”

QS. At Takaatsur 1- 2.

أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ﴿١﴾حَتَّىٰ زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ﴿٢﴾

“Alhaakumut takaatsur, hattaa zurtumul maqaabira.

(1)Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, (2)sampai kamu masuk ke dalam kubur.

Di ayat selanjutnya Allah melarang berkali-kali dan meyakinkan kepada kita tentang akibat yang akan benar-benar kita lihat dan kita saksikan sendiri. Dan Allah juga meyakinkan pada kita akan kepastian melihat bahkan masuk kedalam neraka jahim. Juga tentang kepastian pertanggung jawaban limpahan harta yang kita kumpulkan selama hidup. Jujur atau tidak, kita telah mengingkari sebuah peringatan yang diwujudkan dalam sebuah surat. QS. At Takaatsur ayat 1 sampai dengan akhir ayat. Kemegahan dalam hidup, dan selalu dalam keadaan bermegah-megahan sampai di akhir hidup telah banyak melalaikan manusia dari kewajiban untuk taat beribadah kepada Allah.

Marilah kita mencoba untuk melihat kenyataan yang saat ini sedang berjalan. Dari mulai pemberian nama bayi yang lahir, kita sudah meng”impor” dari Eropa dan Amerika. Kita bangga anak kita mempunyai nama yang “keren” seperti bintang-bintang film dan penyanyi “west”. Kita buang nama-nama pilihan yang mengandung bahan “lokal”. Ada perasaan “malu” untuk dan terbelakang jika harus menggunakan nama-nama lokal. Sebuah bukti kalau kita sudah dikuasai oleh setan bejuluk “gengsi”. Memang pemberian nama anak adalah hak prerogatif orang tua. Tapi sekali lagi bahwa dari pemilihan nama saja kita sudah tahu kemana seseorang berkiblat. Berlomba-lomba menggunakan nama orang yang banyak memusuhi Islam dan “mencibir” nama-nama lokal.

Lalu cara berpakaian. Bahan dan model lebih suka yang berbau “asing”. Alergi dengan bahan lokal dan beranggapan bahwa bahan lokal “hanya” untuk mereka yang berada di level ekonomi bawah. Suka menggunakan pakaian “minim” bahkan setengah telanjang. Seperti orang-orang “barat” yang dalam hatinya selalu memusuhi Islam. Memang ada sebagian dari kita yang “taat” pada anjuran agama. Dengan menutup “aurat” seperti yang dianjurkan. Tapi banyak pula yang tidak tahu cara “menutup” aurat yang benar. Hingga pakaian yang harusnya “menutup” berubah peran laksana daun untuk “mbrengkes” pindang. Aurat yang mestinya tertutup jadi ter”buntel”. Ketat sekali, seperti tak ada bedanya antara pakaian dan alat kontrasepsi “plembungan”. Padahal telanjang itu menampakkan bentuk, lekuk dan kepolosan. Memang tidak polos, tapi tetap saja mereka telanjang ! Itu untuk kaum perempuan Dan inilah kiblat pakaian kita.

Pendidikan juga demikian. Mereka yang “kaya raya” gengsi menyekolahkan anaknya di sekolah negeri. Apalagi hanya SD Inpres. Beruntung saat ini sudah tidak ada lagi yang namanya SD Inpres. Semua SD inpres sudah dinegerikan. Mereka bersekolah di sekolah favorit khusus untuk anak-anak orang kaya. Sebagian besar lagi bersekolah di manca negara. Terutama di negara yang sudah “maju” pendidikan formalnya. Setelah lulus dari luar negeri, pemikirannyapun juga sudah berubah. Berubah seperti pemikiran orang-orang “bebas” dan menganggap pemikir-pemikir lokal masih berada beberapa level dibawahnya. Hingga mereka yang lulusan luar negeri hampir selalu memaksakan pemikirannya yang berkiblat di negara penganut kebebasan. Masuk diakal memang. Kalau yang dipakai pemikiran lokal, ya untuk apa mereka belajar keluar negeri ? Barat, itulah kiblat hati kita, bukan Islam dan ajarannya.

Memilih design rumah juga demikian. Mayoritas design rumah yang ditawarkan di masyarakat berciri Eropa atau western. Dan merupakan sebuah kebanggaan untuk bisa memilikinya. Design lokal yang berciri khas dianggap ketinggalan jaman. Mereka berlomba-lomba untuk mengcopy paste model bangunan ala Eropa atau Amerika. Demikian juga dengan “isi” atau perabot yang ada di dalam rumah. Kalau bisa semua terisi dengan perabot buatan luar negeri. Dan itu sangat membanggakan bagi mereka yang berduit. Ya, memang kesanalah kita ini berkiblat. Boleh ? Kenapa tidak boleh ? Cuma ada sayangnya. Banyak dari saudara kita yang tinggal di rumah-rumah reyot. Banyak karyawan atau buruh tinggal di kos-kosan yang sempit, pengap dan campur baur antara mandi, makan dan tidur. Kenapa tidak kita alihkan kelebihan harta untuk belanja di jalan Allah ?

Kepemimpinan? Berbagai buku biografi kita baca. Dari mulai Adolf Hitler sampai Barrack Obama. Begitu banyaknya hingga kita kebingungan harus meneladani siapa? Padahal sejarah kehidupan Rasulullah saw memberikan tuntunan hidup dan teladan bagaimana harus menjalani kehidupan. Tapi siapa diantara kita yang “mau” mengambil contoh kepemimpinan Rasulullah saw.? Sebuah kepemimpinan yang berorientasi pada Allah untuk kepentingan umat. Seorang pemimpin yang tidak bertambah “kaya”, meski memimpin sampai di akhir hayatnya. Rasulullah dan sahabatnya telah memberikan sebuah teladan yang sangat-sangat berat untuk diikuti pemmpin Islam saat ini. Pemimpin- pemimpin yang hidup di abad ini “malu” menjalani hidup sederhana. Apalagi serba pas-pasan. Hampir semua cenderung memperkaya diri.

Kita bisa melihat di sekitar kita. Para pemimpin yang sebelumnya hidup pas-pasan, beberapa tahun kemudian setelah jadi pemimpin hidupnya berbalik 180 derajat. Kaya dan eksklusif. Jauh meninggalkan rakyatnya. Berperan besar menciptakan jurang pemisah antara kaum the have dan kaum the mlarat. Sejak bergulirnya revormasi politik banyak sekali “akar” yang berubah jadi rotan “abal-abal”. Pemimpin dan wakil rakyat banyak dihuni pak “Ogah” dan pak “Ableh”. Kerjanya ogah-ogahan kalau urusan uang selalu bilang “pokoknya beres Bleh !”. Seperti tong kosong, hanya bunyinya yang nyaring. Isinya ? Gemblondang ! Kosong ! Seperti brengkesan isi gas buang ! Memang inilah kenyataan yang harus diterima umat.

Padahal sebagai umat Islam yang telah mengantongi “jurus-jurus” putih warisan Rasulullah saw, kita tinggal mengcopy dan menjalankan saja. Dan pasti tidak akan ada “bisik-bisik” yang merencanakan kedeta atau penggulingan kekuasaan secara paksa. Kenapa harus digulingkan ? Adakah pemimpin sekualitas yang akan “sangggup” menggantikannya ? Tidak akan pernah ada manusia yang sekualitas Rasulullah di jaman beliau. Demikian juga dengan kedua sahabatnya di kemudian hari. Tak menumpuk harta dan tak berlomba untuk masuk dalam daftar manusia terkaya di bumi. Kita yang saat ini jadi pemimpin lebih suka menggunakan jurus-jurus “kelabu”. Yaitu jurus hitam yang dipadu dengan janji-janji putih. Jurus kelabu yang segera menghitam ketika janji hanya tinggal janji.

Rasulullah tidak berjanji kepada umatnya. Rasulullah hanya memberitakan janji Allah untuk mereka yang beriman. Rasulullah yang akan menjadi saksi kepasrahan diri orang-orang beriman nanti di pengadilan Allah. Dan Rasulullah berlepas diri dari mereka yang haus kekuasaan. Karena kehausan berkuasa lebih banyak menimbulkan sifat arogan. Pemimpin-pemimpin dunia barat adalah contoh pemimpin yang arogan. Tanpa meneliti kebenaran tindakan yang akan dilakukan mereka langsung turut menyebar peluru-peluru maut membumihanguskan beberapa negara yangmayoritas penduduknya umat muslim. Dan lucunya, hal seperti ini disponsori oleh negara yang mengaku paling mengagungkan hak asazi manusia, Amerika.

Kiblat kita telah berpindah tapi kita semua tidak menyadarinya. Hanya di waktu shalat kita mengarahkan diri ke ka`bah. Baitullah. Itupun jika shalat kita tulus. Padahal keikhlasan kita dalam menjalankan shalat masih menjadi sebuah pertanyaan besar. Diluar shalat pikiran dan hati kita lebih banyak berkiblat pada keberhasilan materi. Keberhasilan kepemimpinan adalah sebuah proses panjang yang melibatkan banyak pihak. Sehingga bisa dikatakan bahwa keberhasilan kepemimpinan adalah hasil kerja kolektif. Dan itu sudah ditunjukkan oleh Islam di awal-awal perkembangannya. Tapi saat ini kepemimpinan Rasulullah sudah dianggap usang. Tidak ada yang mau melirik lagi. Memang benar kalau Rasulullah adalah penutup para nabi, karena memang tidak mungkin lagi ada manusia sekualitas dengan Rasulullah saw. Meski sudah lewat 14 abad.

Yang membuat cemas adalah banyaknya pemimpin Islam yang berkhianat setelah keberhasilan hidup dunianya diangkat tinggi-tinggi oleh Islam. Lebih senang berkawan dengan keturunan jahudi dari pada bergaul dengan saudara sendiri. Bermewah-mewahan dan tidak mau tahu penderitaan orang-orang muslim di bagian bumi yang lain. Cuek dan sok “aman dan damai”, padahal kenyataannya mereka adalah orang-orang yang takhluk pada kaki jahudi dan keturunannya. Kehilangan keyakinan tentang benar dan nyatanya bantuan Allah berupa “burung” ababil. Hingga tidak ada lagi keberanian untuk me”melotot”kan mata atas kezhaliman yang menimpa saudara-saudara seiman dalam tauhid. Habis sudah warisan hati “baja” Rasulullah dan para sahabatnya. Yang tertinggal hanya kemampuan diplomasi “omong kosong” layaknya penjual jamu keliling.

Kiblat, memberikan gambaran kemana arah tujuan seseorang. Kiblat dalam shalat yang telah ditentukan saja masih belum bisa menjamin keselarasan antara gerak, pikiran dan hati. Apalagi kiblat hidup yang dijamin kebebasannya. Meskipun membawa bekal segudang Ilmu Iman dan Islam jika tidak ada perwujudannya, perlahan tapi pasti akan tertutup oleh gelimang dan gemerlapnya dunia. Suatu hal yang bukan merupakan pilihan Rasulullah saw disaat beliau mempunyai kemampuan untuk melakukannya. Sekaligus merupakan suatu hal yang sangat sulit dilakukan oleh para pemimpin yang hidup di abad 20 saat ini. Dimana hidup dan gemerlap dunia telah menghalangi pandangan mata. Hingga kita sulit mengenali warna kebenaran yang nampak di depan mata.

Sekian.

Tidak ada komentar: