30 September adalah sebuah kenangan pahit. Sebuah kenangan pahit yang terpelihara dihati anak-anak bangsa. Dimana putra-putra terbaik bangsa ini telah “dipulangkan” secara paksa oleh jasad-jasad yang menyimpan ambisi untuk menjadi penguasa negeri yang gemah ripah loh jinawi ini. Banyak hati yang terluka karena peristiwa tersebut, tak terkecuali generasi yang lahir kemudian. Dan perlahan mereka berusaha untuk memahami ada apa dibalik peristiwa tersebut. Begitu kejam dan sadisnya mereka memperlakukan saudaranya sendiri. Sebuah peristiwa biadab yang didasari oleh berbagai keinginan-keinginan kotor dengan muara kekuasaan.
Sedangkan 1 oktober adalah secangkir jamu yang dicampur madu yang menimbulkan efek timbulnya kekuatan baru dari jasad-jasad yang telah lunglai. Jasad-jasad yang kehilangan semangat. Jasad-jasad yang kehabisan air mata. Menyadarkan mereka dari pingsan sesaat bahwa semua telah terjadi dan tidak akan bisa kembali hanya dengan mengandalkan sedih dan air mata. Dibutuhkan kekuatan sejati untuk meraih dan memegang kendali kereta yang porak poranda. Dan butuh penyatuan tekad kembali semua yang telah terpencar untuk dapat melangkah pelan diatas jasad-jasad yang telah pergi membawa cita-cita dan ketulusan hatinya.
Tidak ada satupun jenis obat yang bisa menyembuhkan luka yang terlanjur menyobek dalamnya hati. Kesaktian Pancasila telah memberikan motivasi untuk bangkit dan berusaha memahami semua yang telah terjadi. Secangkir jamu yang memberikan kesadaran, betapa banyak pelajaran yang bisa diambil dari sebuah peristiwa yang melibatkan “kualitas” hati manusia. Kita tak pernah menyangka apa yang akan terjadi pada diri kita esok hari. Dan kita juga tak pernah menyangka apa yang akan dilakukan oleh orang-orang yang kita kenal di esok hari. Prasangka masih berupa prasangka ketika semua terjadi. Dan disaat kita sadar, semuanya telah terjadi. Semua telah mati dan semua telah berganti.
Puluhan tahun kita merangkak, berjalan dan berusaha untuk berlari mengejar ketertinggalan. Kesederhanaan kehidupan masyarakat telah memberikan gambaran semu tentang kemakmuran negeri ini. Prosentase laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi bukan berarti identik dengan kemakmuran rakyat. Ada perbedaan yang tipis antara kemakmuran dan kesederhanaan hidup rakyat. Makmur hanya bisa diterjemahkan dengan terpenuhinya kebutuhan primer secara mudah dan terjangkau. Tentu saja hal ini hanya berlaku bagi masyarakat kecil. Tidak berlaku bagi masyarakat kelas atas. Karena kemakmuran hanya milik masyarakat kelas atas.
Kesederhanaan bisa menjadi sebuah kemakmuran jika disubsidi silang dengan data-data kekayaan masyarakat kelas atas. Dan hal ini bisa terjadi kalau jurang pemisah antara si kaya dan si miskin begitu dalam dan menganga. Parahnya juga, kondisi tersebut telah berjalan atau berlangsung begitu lama dikehidupan rakyat. Mereka dipaksa untuk “nrimo ing pandum” selama bertahun-tahun. Dipaksa “mengalah” demi pembangunan infrastruktur yang tak kunjung habis. Rakyat kelas atas yang menikmati lahan dan besi serta tembok-temboknya. Sementara rakyat kecil hanya menikmati debu-debu yang membawa virus-virus flu tulang. Inilah hasil dari pergantian bulan antara September dan Oktober yang fenomenal itu.
Kekerasan dan kebiadaban pernah terjadi di negeri ini. Meskipun telah diusahakan menutup bayang-bayangnya dengan tabir kesaktian, toh narasi tentang kebiadaban itu sendiri tetap tersebar secara luas. Akibatnya adalah terciptanya sebuah “jurus maut” yang sewaktu-waktu bisa digunakan jika diperlukan. Dan jurus maut ini banyak dimiliki oleh kelompok-kelompok yang berjalan di kebaikan, di kejelekan atau bahkan kelompok yang suka berpura-pura baik. sedangkan rakyat kecil sengaja ditampung di dalam sebuah tempurung. Yang setiap harinya sulit untuk bergerak bebas. Selama dalam tempurung itulah rakyat lebih suka untuk “diam” dan menahan diri dari keinginan-keinginan yang sebenarnya hanya merupakan angan-angan belaka.
Usaha-usaha untuk mencoba melawan kesaktian Oktober sebenarnya telah berjalan berkali-kali dalam kurun waktu yang selaras dengan umur “keris mpu gandring”. Tapi selalu gagal dan berakhir dengan kekalahan dan kutukan seumur hidup bagi para pelakunya. Tapi ketika burung perkutut kesayangan pergi dan membawa semua yoni-yoni yang dimiliki, saat itulah mulai terlihat tanda-tanda dengan mulai bergetarnya pilar-pilar kesaktian untuk kemudian lari dan berbalik menikam Oktober dari berbagai arah. Peristiwanyapun telah bisa digambarkan dengan jelas mulai dari peristiwa jembatan semanggi. Lalu disusul oleh peristiwa-peristiwa lain yang saling bergantian sampai tiba waktunya hari ke 20 di bulan oktober.
Oktober lama telah jatuh dan Oktober yang lain tampil menggantikan. Dan sampai saat ini beberapa kali Pengukuhan dan Penyerahan keris “mpu Gandring” negeri ini juga dilakukan di “bulan” Oktober. Dengan demikian bulan Oktober masih tetap menggenggam “kesaktian”. Meskipun kesaktiannya sudah turun 20 tingkat. Tinggal 10 tingkat lagi oktober akan berada dititik akhir dinastynya. Dan rakyat juga harus bersiap-siap untuk menghadapi apa yang akan terjadi dengan dirinya sendiri, keluarganya, masyarakat sekitarnya, daerahnya dan negeri “gemah ripah loh jinawi” yang dicintainya.
Semua peristiwa yang terjadi setelah hilangnya yoni-yoni Oktober telah mengingatkan kembali kita pada peristiwa september. Dimana kerusuhan-kerusuhan yang terjadi kadang banyak melanggar batas-batas kemanusiaan. Kebiadaban yang terjadi telah membawa sepatu-sepatu yang banyak menyebabkan terinjaknya harkat dan martabat kemanusiaan, pelecehan terhadap kaum perempuan dan ketidak pedulian pada perkembangan psykologis anak-anak yang orangtuanya menjadi korban kerusuhan. Sekali lagi sebuah peristiwa telah mengajarkan kepada kita tentang perbuatan biadab yang ujung permasalahannya juga bermuara pada kekuasaan.
Sampai saat ini “kerusuhan” yang terjadi di negeri ini semakin tanpa jarak. Berbagai permasalahan tampaknya tidak bisa hanya diselesaikan di persidangan hukum. Sepertinya masyarakat sudah tidak lagi memperdulikan aturan-aturan hukum yang bertele-tele dan selalu memenangkan yang kuat. Walaupun yang lemah berada dikebenaran bukan berarti dia akan tampil sebagai pemenang dalam berperkara. Ditambah lagi dengan lemahnya aparat dalam mendeteksi kejadian-kejadian yang melibatkan massa. Sehingga begitu terlihat celah untuk memperbesar api sengketa antara dua pihak yang berperkara, saat itu juga minyak disiramkan untuk membuat api atau pertikaian berubah menjadi perkelahian masal.
Seperti yang kita lihat, berkali-kali pertempuran antara dua kubu menyisakan luka-luka yang menyayat hati, tidak jarang pula berakibat kematian. Sebuah kematian yang tidak pernah dikehendaki oleh mereka yang bertikai. Tapi semakin hari semakin marak saja peristiwa-peristiwa berdarah yang hampir pasti disertai peristiwa kematian. Hal ini tidak lain karena turunnya wibawa hukum negara di mata masyarakat dan bebasnya rakyat menyimpan dan menggunakan senjata tajam dalam setiap pertikaian yang terjadi. Cobalah kita amati kejadian atau peristiwa ulang di media. Kita bisa melihat dengan jelas orang-orang bebas mengayun-ayunkan senjata tajam dikerumunan manusia.
Kita juga melihat dengan jelas, aparat seperti tidak berdaya menghadapi orang-orang “bengis” di setiap pertikaian yang terjadi. Mereka terlihat seperti bingung harus berbuat apa. Mungkin juga takut terkena sabetan senjata. Akibatnya setiap orang yang membawa senjata tajam yang panjang tetap leluasa memegang dan menguasai senjatanya. Dan beberapa peristiwa serupa secara bersamaan terjadi di bulan September. Seperti sebuah perayaan peringatan sebuah peristiwa berdarah di september berpuluh-puluh tahun silam. Apakah memang benar seperti itu? Tentu saja jauh dari kebenaran. Tapi peristiwa saling serang dan saling bunuhnya memang benar-benar terjadi. Dan sepertinya akan menjadi sebuah trend di masyarakat kita.
Atau mungkin kita adalah pewaris sifat-sifat kejam dan sadis yang telah diperlihatkan oleh tokoh-tokoh pelaku kekejaman di masa lalu. Selama 30 tahun lebih hidup dalam pilar yang memang sengaja dibuat kokoh, selama itu pula kita meyimpan dan memendam golok sakti dan jurus andalan warisan tersebut. Tapi bukan berarti jurus-jurus maut tersebut telah hilang atau sirna begitu saja. Peristiwa-peristiwa tawuran masal antar kelompok masyarakat yang muncul selama ini menunjukkan bahwa kita memang masih memelihara dengan baik sifat-sifat kejam dan sadis yang telah dipertontonkan pada september berpuluh tahun silam. Dan kita bangga saat ini masih bisa mempertontonkan sebuah atraksi yang fenomenal tersebut.
Lalu siapakah yang patut disalahkan jika muncul peristiwa-peristiwa saling bunuh antar kelompok seperti beberapa peristiwa yang barusan berlalu? Tentu saja harus ditelaah lebih dalam dan lebih jauh. Hingga kesimpulan akhirnya tidak akan mengkambing hitamkan sekelompok orang yang “dianggap” paling bersalah. Padahal penyebab terjadinya kerusuhan-kerusuhan tidak bisa dilepaskan dari peran pemerintah, para pejabat pemerintah dan semua institusi pemerintah. Ambil saja contoh, jika institusi hukum sudah tidak lagi menjunjung tinggi kejujuran untuk sebuah keadilan, yang terjadi adalah hilangnya kepercayaan masyarakat pada hukum yang sedang berjalan. Dan hasilnya sudah bisa ditebak!.
Fungsi hukum akan berubah dari sebuah alat produksi keadilan berdasarkan kejujuran menjadi sebuah alat penguasa yang hanya efektif untuk “mengadili” rakyat kecil. Dimana yang kuat dan besar hampir selalu bisa mengalahkan yang kecil. Meskipun kesalahan bertumpuk pada mereka yang besar. Dan kekecewaan semakin hari semakin terakumulasi di hati rakyat kecil. Dimana semua kekecewaan tersebut terpendam jauh di kedalaman hati. Hal itu berlangsung selama berpuluh tahun. Dan ketika tiba waktu kebebasan, mereka tumpahkan semua kekecewaan terhadap institusi hukum melalui pengadilan jalanan. Dengan menggunakan senjata tajam yang kadang disertai tembakan peluru tajam.
Bagaimana rakyat tidak kecewa. Mereka yang “berjuang” di bidang hukum secara diam-diam “suka” melanggar hukum. Aparat keamanan yang bertugas “melindungi dan mengayomi” diam-diam juga “suka” menyembelih dan menguliti. Secara tidak langsung kondisi seperti ini membentuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap person dan institusinya. Bahkan cenderung “membenci”. Hanya karena aturan dan prosedur yang harus dilalui saja rakyat kecil “bersedia” datang dan menjalani semua proses hukumnya. Sedangkan harapan mengenai pembagian “keadilan”, rakyat kecil bersikap pesimis. Selama belum ada keberpihakan para pelaku hukum terhadap “kebenaran” selama itu pula hukum akan menggencet rakyat kecil.
Kerusuhan-kerusuhan yang terjadi selama ini membutuhkan ketegasan dalam bertindak dari aparat hukum. Penyelesaian masalah dengan senjata tajam harus dilenyapkan dan harus ada tindakan tegas bagi mereka yang ketahuan menyimpan senjata tajam selain pisau dapur. Tapi ini bukanlah sebuah usaha yang mudah, karena sebagian besar masyarakat desa sangat akrab dengan senjata parang yang tajam. Dan sebagian masyarakat tertentu malah terbiasa membawa golok kemanapun mereka pergi. Alasannya adalah tradisi yang turun temurun. Ada lagi sebuah tradisi sekelompok masyarakat untuk saling bunuh dengan senjata tajam. Dan setiap orang dari mereka hampir pasti menyimpan senjata tajam khusus untuk “mencabut” nyawa.
Tapi usaha “membatasi” senjata tajampun tidak akan bisa mengatasi permasalahan jika tidak disertai usaha untuk berbuat “jujur dan adil”. Baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Jika para penguasa banyak yang bermental “bobrok”, jangan heran kalau rakyatnya juga banyak yang tertular kebobrokannya. Dan jangan berbicara tentang kejujuran dan keadilan jika kita tidak berada di dalam “jujur dan adil” itu sendiri. Sekian lama kita hidup dalam kemakmuran yang semu. Sekian lama kita hidup dalam “kebohongan” hukum. Semua itu adalah kenangan pahit. Tapi janganlah kita menjadikan kenangan pahit tersebut sebagai dasar untuk kembali berbuat kejam dan sadis terhadap saudara-saudara kita sendiri.
Peristiwanya kejam puluhan tahun lalu jangan dijadikan contoh upaya meraih keinginan atau menyelesaikan permasalahan. Bagaimanapun juga kita dihidupkan dengan kasih sayang Allah. Dan dididik untuk selalu sabar dan saling mengingatkan dalam kesabaran. Pengalaman pahit hendaknya kita simpan dan kita ambil pelajarannya. Jangan sampai kita terlupa dan justru tenggelam dalam bayang-bayang kepahitan di masa silam. Selama puluhan tahun kita dalam “cengkeraman” pasukan telik sandi negara. Tapi ketika kita sudah bebas, janganlah berperilaku seperti harimau lapar yang keluar dari kandangnya.
Selama puluhan tahun hidup dalam keterbatasan hak bukanlah sesuatu yang “buruk”. Ada nilai kesabaran yang tinggi dalam periode jaman baru tersebut. Dan hal itu berlaku bagi mereka yang ber”jihad” untuk diri sendiri, agama dan negaranya. Kita telah melihat, berapa banyak mereka yang bersedia berkorban jiwa dan raganya justru hidup dalam kekurangan materi alias “melarat”. Dan jika sang penguasa diingatkan tentang hal tersebut, yang keluar adalah kalimat klasik yang berintikan “perjuangan tanpa pamrih” dan bersembunyi dalam kata “patriotisme”. Karena para pejuang bangsa tersebut tidak ingin menodai ketulusan “jihad” mereka, akhirnya lebih memilih untuk berprinsip “nrimo ing pandum”.
Mereka rela hidup dengan pensiun yang minim. Dan mereka menahan diri dari gejolak hati yang tidak bisa menerima “ketidakadilan” bagi diri mereka. Sementara banyak dari mereka yang hanya bersembunyi di waktu gerilya saat ini hidup dengan bergelimang harta dan bisa membeli surga-surga di dunia. Sementara para veteran hanya diberi “kebanggaan” dengan sebuah uniform yang berbau perjuangan lengkap dengan bintang-bintang jasa mereka. Walaupun tinggal sedikit, sisa-sisa pelaku sejarah perjuangan masih bisa kita jumpai di home base mereka yang ada di tiap-tiap kota. Tak lama lagi mereka akan habis dan hanya menyisakan kata-kata heroik “merdeka atau mati” yang lambat laun akan berubah menjadi “lebih baik hidup dari pada mati konyol”.
Sebuah warisan hati yang bersih, namun lambat laun terkotori dengan keinginan-keinginan atau ambisi yang tidak lagi memperdulikan jiwa saudara sendiri. Jika dahulu bisa dikiaskan dengan anjing berebut tulang, kerusuhan yang terjadi saat ini tidak jelas apa yang diperebutkan. Kebanyakan pelakunya adalah “preman” bayaran. Yang menjadikan “order” kerusuhan sebagai ladang mencari nafkah dan pelampiasan nafsu untuk melukai bahkan membunuh. Dan pemberi ordernya adalah mereka yang memang menyukai kekacauan dan tidak menyukai kestabilan politik terjadi di negeri ini. Mereka inilah pewaris-pewaris sebenarnya pemikiran September puluhan tahun yang lalu.
Mudah-mudahan masyarakat kita segera menyadari dan keluar dari permainan yang bersumber dari ke-rusuh-an hati atau kekotoran hati dari orang-orang yang haus kekuasaan dan terlena karena tingginya jabatan. Tidak mudah terbujuk oleh orang-orang yang sengaja ber”bisnis” kerusuhan untuk membuat suasana di masyarakat tetap dalam kekacauan. Sehingga para penguasanya tidak ada kesempatan berbuat kebaikan untuk rakyat dan negaranya serta tidak lagi mendapat kepercayaan masyarakat. Yang bisa berakibat terpancingnya rakyat kecil untuk menjadikan penguasa sebagai musuh bersama. Dan para provokator dan sang pemberi order “kerusuhan” senang dan puas menikmati hasil kerjanya.
Sekian.
Kamis, 28 April 2011
Kerusuhan Hati
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar