Semua akan terhanyut. Tidak hanya sesuatu yang tidak berguna yang ada di tepi jalan, tapi rumah seisinyapun akan ter”bandang pula”. Hanyut dihempas oleh derasnya air. Tidak pandang bulu, air akan membawa semua yang ada di depannya dan memporak-porandakan komunitas yang dilaluinya. Kemudian meninggalkan mereka semua dalam onggokan-onggokan yang tidak berdaya sama sekali. Meninggalkannya setelah “mencabuti” semua yang ada. Tidak hanya pohon-pohon dengan akarnya, tapi juga “sukma-sukma” yang bersemanyam ditubuh manusia. Sepertinya air sedang menunjukkan siapa jati dirinya.
Seperti tak ada habisnya bencana melanda bumi pertiwi ini. Kalau biasanya kita was-was di bulan Desember dan Januari, saat ini sepanjang tahun kita patut was-was. Karena bencana tidak lagi menunggu “gedhe-gedhene sumber” atau lebat-lebatnya hujan. Sejak “sat-sat-e” sumber di bulan September lalu telah banyak saudara-saudara kita di berbagai daerah yang dilanda banjir setinggi pinggang orang dewasa. Banjir setinggi itu sudah pasti bisa melumpuhkan aktifitas kita sehari-hari. Apalagi sampai disertai kata “bandang”. Sudah pasti pula akan “mbandang” segala sesuatu yang ada di sekitarnya.Indonesia tetap satu dan utuh. Walaupun daging dan tulang tercerai berai di luasnya samudra, indonesia akan tetap nusantara. Sekumpulan pulau-pulau yang berusaha hidup diantara besarnya dua benua dan luasnya dua samudra. Karena letak yang tercerai-berai membuat masing-masing tulang dan daging yang ada begitu rentan terhadap badai dan hempasan ombak. Sehingga mudah sekali hancur berkeping-keping jika alam sedang menggeliat. Ironisnya, setiap geliat dari alam adalah bencana buat makhluk hidup yang ada di atasnya. Dalam kurun waktu beberapa tahun belakangan kita seperti tak pernah lepas dari bencana yang disebabkan geliatan alam ini. Tapi benarkah alam sengaja menebar bencana ?
QS. Ar Ruum : 41
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ﴿٤١﴾
“Zhaharal fasaadu fiil bahri wal bahri bimaa kasabat aydiinnaasi liyudziiqahum ba`dhal ladzii `amiluu la`allahum yarji`uuna.”
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).”
Jarang kita berpikir bahwa alam ini hidup. Kecuali manusia, hewan dan tumbuhan semua yang ada di sekitar kita adalah benda mati. Sehingga layak untuk kita perlakukan dengan semena-mena. Toh mereka tidak akan pernah membalasnya. Tapi ternyata alam ini “hidup”. Seperti hidupnya manusia, hewan dan tumbuhan. Alam bisa berbuat sesuatu sesuai kehendaknya. Termasuk me”longsor”kan sebagian dirinya dan menyiram sebagian daratannya. Lantas pernahkah kita berpikir bahwa bencana yang terjadi selama ini adalah balasan alam ? Atau semua bencana yang terjadi hanyalah sebuah “kebetulan” saja ?
Ayat tersebut diatas menyatakan dengan jelas, bahwa manusia telah banyak membuat kerusakan pada diri alam (bumi). Dan Allah mengijinkan alam untuk membalasnya melalui ketentuanNya. Agar manusia sadar kalau mereka telah berbuat suatu kesalahan dan sebagai peringatan untuk tidak lagi mengulangi perbuatan serupa terhadap alam. Tapi seperti kebiasaan manusia selama ini, hanya ingat untuk sementara waktu saja. Setelah lewat waktunya perbuatan perusakan alam akan berlangsung lagi. Dan akan berhenti kemudian setelah “dibalas” oleh alam dengan ratusan bahkan ribuan korban manusia dan hancurnya infrastruktur yang dibangun dengan susah payah selama betahun-tahun.
Sebagian dari kita berpikir semua disebabkan karena ulah manusia. Ulah diri kita sendiri. Yang telah terhinggapi penyakit “rakus” dan apatis. Dengan membabat hutan seluas-luasnya dan menggali bumi sedalam-dalamnya tanpa memperdulikan apa akibat yang akan terjadi di kemudian hari. Sebagian lagi berpikir bahwa semua yang terjadi memang seharusnya terjadi. Tidak perlu disesali. Mati dan hidup adalah sebuah kepastian. Tinggal menunggu dan mengetahui saja, apa penyebab kematian masing-masing diri kita ? Sehingga kegiatan perusakan alam pun tetap berlanjut tanpa perhitungan dan tanpa beban. Hanya karena anggapan yang sangat sederhana dalam menyikapi arti hidup bagi kehidupan.
Memang benar pula, bahwa yang hidup pasti “akan” mati. Tapi bukan berarti yang hidup “harus” segera mati. Jika yang hidup “harus” segera mati, maka konotasinya adalah tak perduli berapa lama kita hidup dan perbuatan apa yang telah kita lakukan. Padahal konsep “hidup” manusia tidaklah demikian. Hidup manusia adalah sebuah kesengajaan dari Allah swt. Yaitu untuk diberi cobaan kepada mereka dengan berbagai kebaikan dan keburukan. Dan Allah akan memilih siapa diantara manusia yang paling baik amal perbuatannya untuk diberi balasan sesuai dengan semua yang dijanjikanNya. Dan memberi balasan yang setimpal pula terhadap mereka yang telah berbuat sesuatu yang telah dilarangnya.
QS. Al Mulk : 2
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا ۚ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ﴿٢﴾
“Alladzii khalaqal mauta wal hayaata liyabluwakum ayyukum ahsanu `amalaan, wahuwal `aziizulghafuuru.
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,
Penegasan makna serupa juga ada di QS. Muhammad ayat 31, QS. Huud ayat 7, QS. Al Anbiyaa` ayat 35. Bahwa manusia akan dicoba dengan berbagai hal yang baik dan berbagai hal yang buruk. Tujuannya adalah agar manusia nantinya bisa merasakan sebuah kehidupan yang sebenarnya dengan segala yang ada di dalamnya. Baik berupa kehidupan yang penuh kenikmatan maupun kehidupan yang penuh dengan balasan siksa. Semua itu tidak lain adalah sebagai pembuktian bahwa Allah dan segala yang telah dijanjikannya adalah benar belaka. Bahwa segala sesuatu tentang ketauhidan yang pernah dan sedang kita perdebatkan adalah sebuah kebenaran yang terbukti.
Banyaknya musibah yang terjadi di tahun-tahun belakangan ini seharusnya bisa menjadikan kita merenung dan mencoba untuk meresapi apa yang menjadi penyebabnya. Bukan hanya saling menuding dan menyalahkan orang lain. Apalagi menyalahkan Allah. Kebiasaan kita selama ini adalah selalu mencari kambing hitam atas segala sesuatu yang terjadi dan banyak menimbulkan korban. Dan kebiasaan kita yang lain adalah selalu menggunakan kesempatan disaat orang lain dalam kesempitan. Berusaha muncul ke permukaan dan berpura-pura jadi malaikat dengan berempati kepada para korban bencana alam. Padahal kemunculannya hanyalah ingin menebar pesona dengan membagikan bantuan yang tidak seberapa.
Tujuan yang utama dari para tokoh politik di negeri ini adalah “titip” simpati untuk kemudian ditagih kembali dalam bentuk “dukungan” suara. Mereka tidak perduli dengan situasi dan kondisi. Apa yang bisa dijadikan komoditas harus jadi komoditas. Tidak perduli pada peristiwa bencana alam sekalipun. Tidak perduli betapa kesedihan dan isak tangis berbaur dengan ambisi kekuasaan. Yang penting usaha menebar “pesona” bisa berakhir sukses dan bisa memperluas peta-peta daerah sebagai pendulang suaranya kelak. Dan setelah sukses nantinya mereka tidak lagi berusaha untuk mengingat-ingat lagi peristiwa bencana yang telah “menolongnya” mengantar pada tingginya kedudukan atau kekuasaannya.
Bencana yang bertubi-tubi datangnya, bukanlah datang dari Allah. Allah swt hanya memberikan ketentuanNya kepada alam ini. Sebab dan akibat bukanlah sesuatu yang bisa disangkal. Kecuali Allah menghendaki lain, sebuah ketentuan akan berjalan seperti adanya. Tidak hanya berlaku bagi makhluk yang berjenis manusia saja, tetapi berlaku bagi semua makhluk yang telah diciptakanNya. Akibat yang baik maupun yang buruk tentulah ada penyebabnya. Allah telah memberikan sebuah ketentuan yang baik bagi kita yang menhendaki kebaikan. Dan Allah juga memberikan sebuah ketentuan yang buruk bagi mereka yang melanggar rambu-rambu larangan. Baik dilakukan secara sengaja maupun tidak disengaja.
Celakanya, kebanyakan dari kita menganggap bahwa hanya manusia saja yang harus eksis hidup di alam. Semua yang ada selain manusia adalah “halal” untuk dikorbankan. Sehingga terjadilah setiap hari peristiwa pembantaian. Baik terhadap hewan, tumbuhan, manusia lain bahkan bumi yang setiap hari menjadi tempat pijakan. Kita tidak pernah berpikir bahwa alam bisa melakukan pembalasan atas semua perilaku kita. Hingga tiba saat-saat dimana kita tidak bisa sedikitpun menghindar dari “amukan” alam. Baik berupa banjir bandang, angin topan, gelombang pasang yang menerjang dan memporak-porandakan daratan sampai beratus-ratus kilometer jauhnya. Menghancurkan semua yang ada dan memisahkan banyak sekali ruh dari jasad. Tapi yang demikianpun hanya menimbulkan empati sesaat.
Bukti-bukti bahwa alam memang hidup sudah begitu nyata di depan mata, tapi kita tetap menganggap remeh dan sepele diri alam. Kita tetap menyukai pembantaian terhadap binatang, terhadap hutan-hutan yang “melindungi” dan “menghidupi” kita. Tanpa rasa belas kasihan kita gunduli “rambut” bumi. Kita tebang habis-habisan sambil tersenyum-senyum membayangkan lembaran-lembaran merah ratusan ribu. Tanpa pernah berusaha untuk memahami betapa bumi ini begitu tersiksa tanpa “rambut” hijaunya. Betapa merana dan menderitanya kematian-kematian pohon yang tumbang ditangan manusia-manusia yang berjiwa bengis dan berdarah dingin. Menebang lalu me”mutilasi” untuk kemudian diperdagangkan tanpa peduli dengan rintih tangis yang tak pernah terdengar.
Belum lagi dengan sikap dan tingkah laku kita yang selalu akrab dengan kemaksiatan. Jauh dari keimanan dan jauh pula dari perbuatan-perbutan yang dianjurkan. Jauhnya jarak kita dengan Imanlah yang menjadi penyebab utama perilaku kita lebih akrab dengan kemaksiatan. Seringnya kita meninggalkan perintah Allahlah yang menjadikan kita lebih akrab dengan perilaku-perilaku yang seharusnya kita tinggalkan. Kita tak menyadari kalau semua hal tersebut menjadi penyebab semua bencana di negeri ini. Kita lebih sibuk promosi diri demi kekuasaan dan kekayaan materi. Kita tak pernah menyediakan waktu untuk memahami apa kehendak Allah dengan perintah dan laranganNya. Bahkan kita tidak memperdulikannya.
Kita lebih suka untuk mencari kesalahan orang lain dan tidak pernah mau mengakui kesalahan sendiri. Kita lebih suka ber-demo dan menjadi koordinator, provokator bahkan penyandang dana dari peristiwa demonstrasi. Baik yang dilakukan oleh mahasiswa maupun yang dilakukan oleh rakyat kecil yang sebenarnya jauh dari dunia politik. Kita lebih suka untuk menghabiskan waktu untuk bersenang-senang dan berhura-hura dari pada mendatangi tempat masjid untuk merefleksikan kesyukuran kita. Kita lebih banyak bersyukur di lisan saja dari pada dengan perbuatan yang nyata. Dan kita lebih suka menoleh ke belakang dari pada menatap lurus ke depan di jalan yang disediakan oleh Allah. Yaitu sebuah jalan keselamatan. Baik selamat di dunia maupun selamat di akhirat kelak.
Kebanyakan kita hanya ingat pada saat tertimpa musibah. Dimana kita sudah tidak punya lagi kekuatan untuk menahannya. Lalu kita mulai mendekat dan mulai menyadari bahwa kekuatan dan kesombongan yang pernah kita lakukan ternyata tidak berarti sama sekali bagi alam. Sekali alam bereaksi, tak satupun dari kita yang berada didekatnya akan selamat tanpa keterlibatan Allah. Dan Allah menyelamatkan sebagian kecil dari mereka yang berada di lokasi musibah sebagai saksi akan adanya sebuah kekuatan yang melebihi kekuatan apapun yang ada di alam ini. Tapi kadang kita juga tidak menyadari kalau sebuah keselamatan dari bencana adalah atas kehendak dan keterlibatan Allah.
Dan kita yang berada jauh dari lokasi bencana hanya bisa “miris” melihat beritanya dari media. Rasa iba dan kasihan lantas kita wujudkan dalam bentuk menggalang dana bantuan di manapun tempatnya untuk bisa sedikit membantu meringankan bebab berat mereka yang menjadi korban “geliatnya” alam. Kita yang berada jauh tak bisa lebih banyak berbuat lebih dari sekedar “membantu” dengan materi. Tapi hikmah dari peringatan Allah berupa datangnya bencana tak juga menyadarkan kita dari lelapnya Iman. Kita belum yakin kalau kita akan mati dengan segera. Kita menganggap kematian kita masih agak lama. Dan kita meneruskan lelapnya tidurnya Iman dengan hidup melawan arus dari alur hidup yang seharusnya.
Kita belum yakin kalau kita akan menghadapai pengadilan Allah. Dan kita juga belum yakin tentang kehidupan akhirat. Iman yang ada hanyalah hiasan. Bukan sebuah pilar kehidupan. Riak-riak keingkaran terhadap Iman kita telah menjadi ombak yang menari-nari diatas tenangnya air permukaan. Hingga mereka yang tidak banyak tahu tentang dosapun harus menanggung akibat dari perbuatan sekelompok orang-orang yang bahkan jauh dari tempat kejadian bencana. Kadang kita berpikir apa yang telah dilakukan oleh mereka yang menjadi korban sebuah bencana alam. Dan kita tak pernah berpikir tentang apa yang telah kita lakukan terhadap alam.
Dalam hidup sehari-hari kita tidak pernah perduli pada bumi yang kita injak. Kita hanya beranggapan bahwa bumi hanyalah tempat pijakan. Kita bahkan jarang sekali berpikir kalau kita ini parasit bumi. Kita berpijak padanya, mengambil makan darinya juga, mengambil air dari bumi juga. Tapi perlakuan kita pada bumi sepertinya kurang manusiawi. Kita hancurkan gunung-gunung kecil, kita bor sedalam-dalamnya lalu kita hisap “darah”nya semaksimal mungkin. Jadi wajar jika bumi sekali-sekali membalas perlakuan kita tersebut dengan “sedikit” gerakan yang cukup membuat manusia porak-poranda kehidupannya. Bahkan tidak sedikit pula yang kehilangan sebagian jasad dan nyawa.
Kita ini adalah sekumpulan masyarakat dalam satu wadah. Satu kesatuan bangsa. Satu wilayah negara. Belum tentu mereka yang terkena musibah adalah mereka yang telah berbuat kerusakan langsung terhadap diri alam. Alam hanya sekedar membalas. Memberi peringatan kepada kita agar jangan semena-mena terhadap dirinya. Mereka yang melakukan kerusakan alam kadang berada jauh dari lokasi bencana. Bahkan hidup nyaman dan hanya tinggal memerintah saja. Dan yang menjadi korban adalah rakyat jelata yang yang jauh dari kehidupan mewah. Kebanyakan mereka hanya mengambil dari alam sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya saja.
Bagaimanapun juga bencana adalah sebuah peringatan alam dari Allah. Tinggal bagaiman kita mencermati setiap kejadian bencana tersebut. Jika hanya dengan bantuan materi tanpa pernah berpikir pencegahan kerusakan alam, niscaya bencana-bencana alam lainya akan saling susul menyusul sepanjang tahun. Sesungguhnyalah sebuah peringatan harus dipahami sebagai perintah untuk introspeksi diri. Tentang bagaimana sikap dan tingkah laku kita sebagai “penghuni” alam yang diperingatkan dengan bencana alam ini. Penyebab terjadinya sesuatu yang menyedihkan bagi diri kita adalah karena tingkah laku kita sendiri sebagai manusia. Bukan hanya sekumpulan manusia secara parsial. Tetapi sebagai sekumpulan manusia secara keseluruhan.
Manusia di bumi sudah jauh dari melanggar perintah Allah. Sikap hidup dan perbuatan sehari-hari mayoritan condong ke sesuatu yang bersifat keduniaan. Tidak lagi mengindahkan perintah-perintah yang sebenarnya mengandung kebaikan. Lebih menyukai kemaksiatan dari pada perbuatan yang bermanfaat bagi orang lain. Lebih suka mengunjungi tempat hiburan dari pada tempat ibadah. Dan lebih suka mengumbar aurat dari pada menutupinya. Lebih suka menghujat daripada berperan serta dalam mewujudkan sebuah keinginan yang baik. Lebih suka mengorbankan orang lain untuk tujuan-tujuan yang bersifat pribadi. Lebih suka berpaling pada aturan-aturan yang dibuat manusia dari pada aturan-aturan Allah.
Semua sikap dan perbuatan kita sebenarnya banyak keluar dari jalur-jalur aturan Allah. Tapi kita dengan ringan tanpa beban menjalani semua tingkah laku kita yang “ingkar” tersebut. Dan ketika datang sebuah peringatan berupa bencana, kita berperilaku seakan-akan begitu dekat dengan Allah. Lalu menganggap semua yang terjadi adalah “cobaan” dari Allah. Memang benar cobaan dari Allah, tapi kebanyakan penyebabnya datang dari diri kita sendiri. Itulah yang harus dipelajari dan banyak dipahami oleh akal dan hati. Kita ini menjadi penyebab utama apa yang terjadi pada diri kita kelak. Baik sewaktu masih hidup di dunia, maupun kelak saat hidup di akhirat.
QS. An Nisaa` 79.
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ ۚ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولًا ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ شَهِيدًا﴿٧٩﴾
“Maa ashaabaka min hasanatin faminallah, wa maa ashaabaka min sayyi`atin famin nafsika. Wa arsalnaka linnasi rasulan, wa kafaa billahi syahiidan”
”Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi.
Sekian.
Senin, 02 Mei 2011
Bencana Tiada Henti
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar