Tahun 2011 anggota DPR dilarang berpelesir ke tempat-tempat “maksiat”. Bagus ! Setidaknya aturan sudah ditulis dan disuarakan. Tapi mengapa tahun 2011 aturannya baru “jelas” ? Berarti tahun sebelumnya yang sudah berlalu puluhan tahun aturannya belum jelas (?). Dan kepergian wakil rakyat untuk “berpelesir” selama puluhan tahun sebelumnya lantas “dimaklumi” dan dimaafkan, karena belum ada aturan yang “jelas” (?). Atau memang ada sebagian besar dari para wakil rakyat yang sudah mendapatkan “hidayah” dan mulai “insyaf” untuk menjauhi hal-hal yang dilarang oleh agama. Atau mungkin sudah datang tanda-tanda dekatnya “kematian” seiring dengan keroposnya jasad dan memutihnya rambut.
Memang lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. Tahun 2011 adalah tahun “terbaik” untuk melaksanakan taubat “berjama`ah”. Tahun 2011 adalah kesempatan “terakhir” bagi mereka yang merasa “banyak” dosa. Dan tahun 2011 adalah tahun “keyakinan” bahwa kita semua “pasti” akan mati. Karena apa ? Ya,.. kalau bukan “bisik-bisik” bahwa kiamat akan tejadi di tahun 2012 apalagi ? Tinggal hitungan bulan lagi kita semua akan mati “berjama`ah” ! Benar-benar mengerikan apa yang akan terjadi di akhir tahun 2012 nanti. Itu kalau memang benar akan terjadi. Maka tak salah kiranya jika mereka yang merasa menanggung beban selaksa dosa merasa “ketakutan” di akhir-akhir kehidupannya.
Lahirnya larangan wakil rakyat pergi ke tempat-tempat maksiat memang menimbulkan banyak senyuman di kalangan masyarakat. Tapi selain senyum gembira kebanyakan senyum yang terlihat adalah senyum “kecut”. Selain “terlambaaaaaatttt”, munculnya aturan tersebut justru bermakna sebuah “pengakuan” tentang perilaku para wakil rakyat sebelum tahun 2011. Sebuah pengakuan tentang “Keutamaan” harta, takhta, dan wanita. Dan sebuah pengakuan tentang kebenaran perilaku “menyimpang” dari ajaran agama yang selama ini terjadi. Aneh tapi Nyata. Seperti itulah perumpamaan untuk keluarnya aturan baru tersebut.
Kalau dibilang sebuah ketakutan akan terjadinya “kiamat” di tahun 2012 kok sepertinya kurang masuk akal. Apa benar mereka percaya dan yakin bahwa kiamat akan terjadi akhir tahun depan ? Kalau benar mereka meyakininya berarti memang benar bahwa ternyata cara berpikir kita memang seperti anak taman kanak-kanak. Tapi jika benar kiamat akan terjadi tahun depan, larangan yang “baik” itu mungkin akan sedikit berguna. Terutama bagi para wakil rakyat. Walaupun kita semua juga pernah mendengar bahwa sejelek-jeleknya umat adalah mereka yang masih hidup ketika terjadinya kiamat. Kalau benar kiamat akan terjadi tahun depan, kenapa nggak sekalian aja kita “merencanakan” mati di bulan Oktober atau Nopember tahun depan ? Agar kita tidak termasuk umat “terjelek”.
Aneh tapi nyata. Larangan berbuat maksiat itu sudah ada sejak jaman “beheula”. Dan sejak 1400 tahun yang lalu dipertegas dalam “buku petunjuk” umat Islam, Al Qur`an. Memang aneh kalau kita “baru” tahu larangan tersebut di tahun 2011 ini. Lalu apa yang kita tahu tentang larangan Allah sepanjang hidup kita ini ? Benar-benar memprihatinkan. Al Qur`an sudah digunakan selama puluhan bahkan ratusan tahun sebagai “saksi” sumpah para pejabat. Baik pejabat-pejabat eksekutif, legislatif maupun judikatif. Dan isi Al Qur`an sudah pula demikian jelas tenang perintah dan larangan. Kalau bukan karena ketidak pedulian kita terhadap kandungan Qur`an tak mungkin kita tidak tahu larangan ber maksiat.
Kemungkinan juga kita sudah tahu sejak lama, tapi kita tidak menghiraukannya. Dan saksi kitab yang berisi ayat-ayat Allah tak ada dalam “angan” ketika sumpah terjadi. Yang ada hanya kesenangan atau kegembiraan yang menutup mata, telinga dan hati disaat sumpah terjadi. Setelah prosesi pengangkatan sumpah, kakipun terasa ringan untuk melangkah. Tentu saja langkah yang paling ringan adalah melangkah di dunia larangan Allah. Karena langkah ke arah ibadah adalah langkah yang cukup berat. Tapi merupakan sebuah kemustahilan jika kita tak mampu melakukannya. Karena Allah telah mengukur sampai dimana kemampuan manusia dalam memikul beban.
Tak ada salahnya memang mengeluarkan aturan yang baik. Tapi aturan tetap saja aturan. Pada saat membuat, yang terbayang mungkin sebuah ketaatan dan sanksi yang akan kita terima jika kita melanggarnya. Tapi ketika aturan sudah dikeluarkan yang terjadi justru sebaliknya. Kita akan memeras otak secara berjama`ah agar bisa memperdaya aturan-aturan yang mempersempit ruang gerak maksiat kita. Kita juga akan memeras otak tentang bagaimana cara untuk bisa melepaskan diri dari jerat-jerat yang sebenarnya kita pasang sendiri. Aneh tapi nyata. Manusia dibuat bingung oleh aturan yang mereka buat sendiri. Memang benar dunia ini panggung sandiwara. Cuma yang jadi permasalahan adalah jika aturan Allah saja kita berani melanggarnya, apalagi aturan yang kita buat sendiri.
Masa lalu adalah masa yang kelam bagi hukum di negara ini. Hukum dan pers adalah milik penguasa. Mikul duwur mendem jero adalah prinsip bersama. Dan bagi sebagian besar orang materi berupa “uang” sudah menjadi “Tuhan” yang lain. Karena daya beli yang rendah tidak mampu berdiri diatas penawaran yang beragam dan begitu menggoda. Keaneka ragaman penawaran tersebut bukan hanya sebatas materi saja. Maksiat yang sepertinya tidak ada tapi tumbuh subur di siang bolong dan di keremangan malam adalah penawaran yang “sangat” menggiurkan. Bukan hanya bagi mereka yang banyak uang, tapi juga bagi mereka yang uangnya pas-pasan.
Simbiosis mutualisme adalah ketergantungan yang saling menguntungkan antara makhluk yang saling berinteraksi. Mereka yang “kehabisan” uang menawarkan “jasa”nya. Baik jasa perlindungan dari jerat hukum maupun jasa “penawar” syahwat. Berupa rumah judi dan peralatannya maupun rumah “bordir” eksklusif dan semua “bidadari”nya. Belum lagi “timung” atau tempat pijat maksiat yang banyak tersebar sudut-sudut jalan. Mereka menawarkan sesuatu yang “lain”. Sesuatu yang jarang bisa “ditolak” oleh mereka yang biasa bergaul dengan setan. Ditambah lagi dengan para “sales” yang bekerja secara “halus”. Bukan saja memberikan pelayanan dengan “baik” tapi para “sales” ini bahkan bisa menyimpan “rahasia” pelanggannya.
Bagi mereka yang “punya” materi berlebihan, hiburan seperti itu adalah sesuatu yang sangat-sangat “menyenangkan”. Padahal untuk mendapatkannya dibutuhkan biaya yang tidak sedikit. Sedangkan mereka yang terlanjur “butuh” jajanan luar ini akan menghambur-hamburkan uang hanya untuk memperoleh kenikmatan sesaat. Tentu saja kita berbicara di kelas yang “eksklusif”. Kita bicara tentang tingkah laku tokoh “panutan”. Para pejabat dan wakil rakyat. Kita tidak berbicara tentang mereka yang bermain di kelas “embek”. Yang kadang bisa terjadi di kolong-kolong jembatan atau gerbong-gerbong kereta api yang sudah “pensiun”. Walaupun keberadaan praktik di kelas bawah ini kadang juga berjalan seiring dengan maraknya praktik di kelas eksklusif.
Kalau di kelas masyarakat bawah, jajanan maksiat lebih banyak dilakukan di tempat seadanya dengan penghibur yang seadanya pula. Tapi di kelas eksklusif atau kelasnya orang-orang berduit penghiburnya bisa memesan lebih dulu dan cenderung lebih selektif dalam memilih. Mereka lebih banyak melakukan di hotel-hotel berbintang. Bahkan tidak jarang pula pihak hotel yang justru memberikan service tersebut. Atau membawa wanita “panggilan” lalu diajak ke villa-villa di daerah pegunungan. Kadang bisa semalam atau bahkan sampai beberapa hari. Hal seperti ini adalah hal biasa dan berjalan puluhan tahun. Tapi sekarang sudah jauh berkurang aktifitas maksiat tersebut. Kenapa ?
Sejak bergulirnya reformasi politik dan reformasi struktural kepemerintahan, ruang gerak pejabat dan aparar yang “nakal” plus “bandel” memang agak “sempit”. Kalau sebelumnya tempat per”sembunyian” perilaku maksiat begitu banyak dan begitu mudah. Karena “bodyguard” bisa dibeli plus senjatanya sekalian. Juga kalangan pers saat itu sama sekali tak punya “taji”. Ditambah lagi pekerja pers yang mungkin juga mudah disuap. Ketakutan usahanya akan di “breidel” semakin membuat pers tak lagi punya “darah”. Tapi kebebasan pers yang terjadi saat ini tidak lagi membuat perilaku maksiat berjalan “lancar”. Dimana terjadi kemaksiatan yang melibatkan aparat dan pejabat pers dengan cepat menginformaikan ke masyarakat.
Kebebasan pers “membuntuti” perilaku pejabat ini telah banyak membantu mengungkap seberapa besar “animo” pejabat terhadap kemaksiatan. Terutama korupsi dan kesukaan “jajan” perempuan. Kaum ibu juga tidak lagi “pendiam” terhadap perilaku suaminya. Kalau dulu berprinsip “swargo nunut neroko kathut” sekarang swargo nunut neroko gak sanggup”. Kaum perempuan tidak lagi malu melaporkan kebejatan moral suaminya. Tapi jumlah perempuan yang “berani” seperti ini tidak begitu banyak. Sebagian besar masih “takut” kelaparan dan tersingkirkan. Karena jumlah perempuan diluar rumahnya tak lagi “terhitung” dan sebagian besar juga siap untuk menggantikan posisinya.
Sebenarnya saya sangat meragukan kalau ada pejabat negara atau wakil rakyat “keluyuran” ke tempat-tempat maksiat semacam kompleks wts atau judi sabung ayam. Kalau ke hotel-hotel berbintang atau ke villa-villa di pegunungan kemungkinannya masih besar. Ini kalau mau jujur. Tapi mana ada orang pergi maksiat kok bicara jujur. Tentu tidak akan pernah ada seorang pejabat atau wakil rakyat yang bermaksiat berterus terang di media tentang kemaksiatannya. Hanya orang bodoh yang melakukan hal tersebut. Tapi kalau mau tahu seberapa banyak pejabat atau wakil rakyat tang terjerat skandal syahwat, ikuti saja setiap hari beritanya di media massa. Kalau jaman dulu sulit mencari berita skandal syahwat pejabat, tapi saat ini pintu media terbuka lebar untuk mata rakyat.
Saya sendiri juga tidak begitu yakin kalau aturan melarang para pejabat dan para wakil rakyat tersebut akan efektif menjaring mereka yang berhidung “belang”. Rasa kesetiakawanan sesama anggota jauh lebih besar ketimbang rasa ingin “membunuh” kawan sendri. Kalaupun sebuah peristiwa “perselingkuhan” terjadi antara rekan dan perempuan bebas, tanggapan mereka paling cuma berkomentar, “Itu hak pribadi masing-masing orang, kita tidak berhak untuk mencampuri urusan pribadi”. Nah, lalu apa yang bisa diperbuat dengan aturan-aturan baru tersebut ? Semua tergantung kepentingan masing-masing orang. Jika menguntungkan secara pribadi dan partai atau golongan mungkin mereka akan “tega” untuk “membantai” anggota lain yang melakukan kesalahan fatal. Tapi jika melibatkan “kawan” dekat mereka akan memilih untuk “no comment” atau diam seribu bahasa.
Kalau urusan maksiat, banyak cara untuk merahasiakannya. Dari mulai tempat yang tersembunyi, berjalan di kegelapan malam, penyamaran dengan wig atau topeng. Mungkin pakai kacamata yang besarnya hampir menutupi wajah atau topi yang dipaksa menelan seluruh kepala. Pendek kata, banyak jalan atau cara untuk menyembunyikan diri dari perbuatan maksiat yang kita lakukan. Bahan dasarnya semua cara tersebut adalah “bohong”. Dengan keahlian bohong yang kita miliki kita akan dengan mudah menghindari kecurigaan orang. Dan kemampuan “acting” akan menambah kepercayaan diri untuk selalu bisa menghindar dari tatapan-tatapan mata yang penuh kecurigaan.
Aturan yang paling barupun tidak akan bisa membatasi atau menjerat para pejabat dan wakil rakyat yang suka “berpelesir”. Kesukaan seseorang terhadap maling, main, madhat, mabuk dan madon adalah sebuah penyakit. Sebuah penyakit yang melibatkan hati. Sedang penyembuhannya tidak bisa hanya dengan “aturan” yang dibuat oleh manusia. Aturan Allah saja diinjak-injak, apalagi hanya aturan manusia. Obat penyembuhnya tidak ada lain kecuali kepasrahhan diri sepenuhnya untuk “penyucian hati”. Dan ini harus dilakukan sendiri. Datangnya juga harus dari relung hati sendiri. Jika dipaksa oleh orang lain, pasti hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Kesadaran spiritual tidak mudah datang hanya karena ajakan atau masukan orang lain.
Jika karena ajakan orang lain apalagi karena keterpaksaan, pasti iman yang dihasilkan akan mudah luntur. Tapi lain lagi jika kemauan itu datang dari hati. Kaki seakan melangkah ringan kearah “sumber ilmu”. Baik dari berbagai macam buku bacaan yang berkaitan dengan ilmu agama, maupun dari para kyai atau ustadz yang tersebar di sekitar kita. Semua tergantung niatan kita. Kalau dilandasi dengan keinginan untuk taubat dan berhenti karena “takut” kepada Allah dan semua kuasanya, Insya Allah semua akan berjalan lancar. Tapi kalau dilandasi oleh kepalsuan belaka, insya Allah kita akan menerima adzab seperti yang telah digambarkan dalam kitab dan hadist-hadist Rasulullah saw.
Semua tergantung kita. Memang benar. Karena Allah telah memberikan warisan sifat “kehendak” kepada seluruh manusia di bumi. Kita tinggal memilih. Mau beriman, pura-pura beriman atau tidak usah beriman sama sekali. Ternyata, mayoritas dari kita lebih memilih “pura-pura” beriman. Sok baik, sok suci, sok alim dan sok-sok yang lain. Mayoritas ! Tak perduli dari tingkatan kasta manapun. Kerusakan moral lebih banyak kita tutup dengan “penampilan”. Trendy, sopan, kalem, halus tutur bahasanya, luas pandangannya, suka memberikan bantuan. Tapi semua itu sebenarnya hanya sekedar “kedok” keingkaran kita kepada Allah
Aneh tapi nyata. Orang bilang tanah kita tanah surga. Orang lain bilang bahwa tanah yang kita pijak ini adalah “cuwilan” atau potongan dari surga. Tapi perilaku kita sama sekali tidak mencerminkan amalan ahli surga. Dan sangat mirip sekali dengan amalan ahli neraka. Ironis memang. Replika surga yang kita tempati ini tidak membawa kita ke surga yang sebenarnya, tapi justru akan membawa kita semua ke neraka. Sebuah tempat mengerikan yang sebelumnya tidak kita yakini keberadaannya, tapi “segera” akan kita tempati bersama. Tidak akan ada lagi kegunaan sebuah penyesalan. Yang akan tertinggal hanyalah “rasa”. Dan menjadi penyebab semakin tersiksanya kita kelak setelah kematian kita.
Salah satu penyebab siksa yang kita terima adalah kesalahan mempersepsi kehidupan. Mungkin kita mengira bahwa kita sudah hidup dalam surga. Karena “omongan” orang lain bahwa tanah yang kita pijak ini bagian dari surga. Padahal tidak demikian. Keindahan alam dan keelokan wanita yang kita lihat saat ini hanyalah sebuah “tipuan”. Semua keindahan alam ini hanyalah “fatamorgana” kehidupan yang sebenarnya. Sebuah kenyataan yang mengecoh. Dan kita menelan mentah-mentah semua yang terlihat tanpa menggunakan pertimbangan akal lagi. Semua yang kita peroleh dengan “rebutan” ini hanyalah umpan kail setan. Yang akan membawa kita dalam komunitas yang penuh siksa.
Maka jangan dulu gembira dan merasa puas. Mereka yang diberi kenikmatan berlebih dan tidak menggunakannya secara “benar”, Allah mengharamkan surga untuknya. Jabatan, kekuasaan yang tidak berimbas pada keimanan yang “benar” dan terbawa terus sampai ke liang lahat, jangan pernah berharap mendapatkan sesuatu seperti nikmat yang kita rasakan di dunia. Jika ada seseorang yang meragukan kebenaran tentang siksa neraka, maka orang tersebut harus lebih banyak belajar tentang kebesaran dan kekuasaan Allah swt. Dan mereka yang hidup serba sulit selama di dunia, asal tidak lari dari Iman dan amal shalih Insya Allah kelak akan memetik hasilnya. Sabar, shalat, ikhtiar dan tawakal sebagai bekal dunia kita.
Sekian.
Surabaya, 9 Maret 2011
agushar.
Senin, 30 Mei 2011
Jerat Untuk Wakil Rakyat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar