Persepsi seseorang terhadap sebuah produk mempengaruhi kuantitas penjualan produk atau barang itu sendiri. Seperti manusia, barang-barang produksi memerlukan “pesona” dalam beberapa hal. Diantara sekian banyak pesona sebuah produk, kualitas menjadi pertimbangan utama konsumen. Kemudian baru harga, kemudahan cara mendapatkannya dan style atau bentuk serta kemasannya. Karena setiap produk mempunyai “pesona” yang berbeda antara satu dengan yang lain, maka diperlukan sebuah identitas yang biasa kita kenal dengan kata “Brand” atau merek. Berbeda dengan manusia yang sibuk membangun “pesona” untuk dirinya sendiri, produk atau barang-barang membangun “pesona” untuk seluruh “keluarga”nya atau seluruh hasil produksi sebuah perusahaan.
Dalam bahasa pasar kita menyebut pesona sebuah produk dengan kata “Brand Image”. Yang bisa berarti anggapan atau cara berpikir seseorang terhadap sebuah hasil produksi. Terutama mengenai “kualitas”nya. Lalu bentuk atau tampilan, pelayanan purna jual untuk jenis barang-barang tertentu dan tentu saja “price” atau harganya. Sedangkan packaging atau kemasan menjadi sebuah pertimbangan yang relatif. Ada konsumen yang menempatkan kemasan sebagai sesuatu yang “penting”, ada pula konsumen yang tidak “seberapa” memikirkannya. Kuat, mudah didapat dan harga terjangkau menjadi pilihan sebagian besar konsumen. Tapi ada pula konsumen yang tidak “memasalahkan” harga dan lebih memilih “kualitas” karena bisa menambah kepercayaan diri dalam memakainya.
Hampir setiap perusahaan berusaha membangun “image” untuk merek produk-produk yang dihasilkan. Tapi tidak semua perusahaan serius melakukannya. Hanya perusahaan dengan komitmen yang sangat “kuat” saja yang serius membangun Brand Image. Karena biaya yang akan dikeluarkan juga tidak sedikit. Dan sebagian perusahaan lebih memilih untuk bersaing dalam “murah”nya harga dari pada menghabiskan biaya dan waktu hanya untuk membangun “image” positif yang tak kunjung melekat. Membangun Brand Image sangat tergantung pada visi dan misi perusahaan yang bersangkutan. Jika ingin menjadi market leader tentu harus berusaha meningkatkan prosentase “market share”nya. sedangkan usaha penguasaan pangsa pasar tidak hanya cukup dengan “penetrasi” saja. Semua aspek tentang diri produk harus ikut bersaing juga.
Merek yang sudah ditetapkan sebagai identitas produk tentu harus bisa “menceritakan” tentang dirinya sendiri dan perusahaan yang memproduksinya. Dan hanya ada dua value pada keduanya yaitu positif atau negatif. Jika menginginkan “citra” positif ada beberapa hal yang mutlak harus menjadi pertimbangan utama. Mutu atau kualitas produk, harga, kemudahan memperoleh dan kemasan yang menarik. Jika beberapa hal tersebut telah terpenuhi, tinggal satu usaha berkompetisi di pasar, yakni melalui promosi. Tentu saja bukan sesuatu yang begitu mudah dilaksanakan. Karena berkaitan dengan biaya dan pengaruhnya terhadap harga jual produk. Seperti buah simalakama promosi menjadi pilihan yang sulit. Terutama bagi perusahaan yang “meragukan” efektifitas promosi.
Brand image sendiri bukanlah sebuah sesuatu yang mudah di dapat. Harus melalui proses yang panjang untuk bisa menciptakan sebuah Image yang positif atas sebuah produk. Biaya yang dikeluarkan juga tidak sedikit. Konsistensi dalam kualitas, distribusi, dan perubahan fitur mempunyai peran yang sangat vital dalam pembentukannya. Hanya perusahaan yang perduli pada dirinya dan perduli pada konsumen yang berpikiran bahwa Image positif harus selalu dijaga dan ditingkatkan. Karena image positif akan membantu pemasaran dan penjualan secara tidak langsung. Konsumen akan cenderung memilih sebuah produk yang sudah dikenalnya. Baik performance, realiability, kepastian price maupun designnya.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa setiap perusahaan lebih cenderung ke profit oriented dari pada sekedar dikenal konsumen. Karena kebanyakan perusahaan ingin memacu tingginya angka penjualan dengan berbagai macam jurus pemasaran. Sehingga fokus kegiatan lebih banyak diarahkan pada kegiatan pemasaran. Sedangkan proses produksi dan segala pendukungnya yang sebenarnya tidak kalah penting lebih banyak berperan sebagai “sapi perah” yang kurang mendapatkan perhatian. Padahal penentu image sebuah produk ada di seluruh rangkaian produksi. Dari mulai pemilihan bahan, kelayakan mesin-mesin produksi, skill tenaga kerja yang terlibat di dalamnya sampai pada eksekutor terakhir yang menentukan layak atau tidaknya sebuah produk dilepas di pasaran.
Komitmen mutlak.
Sadar atau tidak, setiap produk yang beredar di pasar akan membawa “pesona” diri dan perusahaan yang memproduksinya. Kualitas yang berelemen fitur, fungsi, ketahanan akan berkolaborasi dengan price dan kemudahan mendapatkannya di pasaran. Kesempurnaan barang yang telah selesai di produksi akan diuji langsung oleh konsumen pada saat “pandangan pertama”. Jika kesan cacat produksi bisa dilalui, maka pembuktian kebenaran fungsi dan ketahanan produk akan menjadi ujian kedua. Di ujian yang kedua ini konsumen bisa “tertawa” puas atau “tersenyum” kecut. Karena pada pembuktian kualitas produk, konsumen banyak menaruh harapan. Juga kesempatan untuk men”cocok”kan antara produk dan price atau harga yang sudah disepakati atau bahkan sudah terbayar.
Kesan dan kepuasan dalam menggunakan sebuah produk adalah sebuah promosi tidak langsung bagi produk dan perusahaan yang memproduksinya. Jika perusahaan ingin tetap eksis dan menjadikan konsumen sebagai mitra dalam menggunakan barang-barang produksinya, maka kepedulian terhadap konsumen adalah sebuah harga mati yang tidak bisa di tawar-tawar lagi. Dan komitmen yang kuat dari owner sampai karyawan di tingkat paling bawah dalam struktur organisasi perusahaan menjadi kunci keberhasilan pembentukan karakter produk dan pesona atau brand imagenya. Tentu saja dibutuhkan kesepakatan dan kesatuan antara jiwa dan hati untuk mewujudkan semua visi dan misi yang telah di tetapkan sejak awal perusahaan berkiprah di kerasnya persaingan dunia produksi dan perdagangan.
Komitmen owner berkaitan dengan tersedia dan terpenuhinya semua infrastructure yang dibutuhkan untuk proses produksi. Perawatan dan tenaga ahli yang berkaitan dengan kepentingan perawatan semua aset perusahaan terutama mesin-mesin produksi. Tenaga kerja yang berkualitas. Yang bisa memimpin dirinya sendiri dan tidak mudah mencari perlindungan atas setiap kesalahan produksi yang dibuat dan telah terjadi. Tegas dan tidak ada toleransi pada setiap cacat produksi yang terjadi pada setiap barang. Salary atau imbalan upah / gaji yang sesuai dengan beban dan tanggung jawab masing-masing karyawan. Dan yang tidak kalah penting adalah menyediakan bahan-bahan produksi yang sesuai dengan standar produk yang telah di tetapkan.
Komitmen tenaga kerja lebih berkaitan pada kesungguhan melaksanakan pekerjaan sesuai standar dan kesediaan untuk taat dan memenuhi sistem kerja dan administrasi yang telah dibakukan. Jujur dalam penggunaan bahan dan jujur terhadap semua kesalahan produksi yang terjadi. Tidak mudah memberikan toleransi atas hasil kerja yang “kurang” memenuhi standar dan tidak mudah mencari perlindungan di “ketiak” atasan apabila telah berbuat suatu kesalahan yang berkaitan dengan proses produksi. Mempunyai keinginan yang kuat untuk menghasilkan produk yang berkualitas dengan melakukan check secara random. Segera menghentikan proses apabila mendapati produk yang cacat dan segera meneliti penyebab kerusakan produk.
Hendaknya tidak melakukan deal atau kesepakatan untuk upaya melepaskan produksi yang tidak sesuai spesifikasi ke pasar atau konsumen. Karena hal ini sangat berbahaya bagi citra perusahaan. Apalagi kemasan yang digunakan bisa dengan mudah di identifikasi oleh konsumen. Kecuali dengan persetujuan bagian marketing dan dengan kesepakatan-kesepakatan tertentu, tidak boleh ada produk cacat yang boleh keluar dari lokasi perusahaan. Barang cacat boleh keluar perusahaan untuk tujuan “buang” atau peleburan kembali menjadi bahan dasar. Semua hal tersebut tujuannya untuk melindungi peredaran barang produk di luar yang telah lolos test quality control yang sangat ketat. Sehingga tidak ada barang produksi yang tidak sesuai dengan standar mutu bebas beredar di pasar.
Suka atau tidak, produk-produk kita yang beredar di pasar secara perlahan akan membentuk citranya sendiri maupun citra perusahaan. Jika pesona atau image yang tumbuh membaik tidak terproteksi dengan baik maka perlahan akan terpuruk juga pemasarannya. Dan jika image yang kurang bagus sudah melekat di hati konsumen, maka akan sulit pula membangunnya kembali. Karena image baik dari konsumen telah berpindah ke produk dari perusahaan lain. Dan kalau ini sampai benar terjadi pada sebuah perusahaan maka pertumbuhan perusahaanpun akan tersendat. Mungkin perusahaan akan beralih unutk menekuni bidang trading saja dengan mendatangkan produk dari negara lain. Karena dengan hanya “berjualan” otak di kepala kita tidak dipenuhi dengan berbagai macam permasalahan produksi.
Tentu saja kita semua tidak mengharapkan hal demikian akan terjadi. Karena implikasinya sangat besar terhadap nasib karyawan. Jika sebuah perusahaan produksi yang mempunyai banyak karyawan memutuskan untuk beralih profesi “dodolan” saja, maka akan terjadi pemutusan hubungan kerja antara perusahaan dan karyawan. Baik putus secara terpaksa ataupun terputus secara sukarela. Hal ini tentu tidak kita kehendaki. Karena baik owner maupun buruh sama-sama harus melanjutkan perjalanan hidup yang “pasti” membutuhkan biaya. Mungkin tidak seberapa berpengaruh bagi owner tapi bagi karyawan, kehilangan pekerjaan bisa menjadi sebuah malapetaka buat keluarga.
Komitmen untuk bekerja secara profesional dengan teguh pada prinsip dan berjalan diatas sistem yang baku serta kukuh terhadap quality control adalah sesuatu hal yang juga tidak bisa di tawar-tawar lagi. Pemaksaan penyimpanan produk yang sebenarnya cacat pada bagian gudang adalah sesuatu yang perlu dipertanyakan. Apa landasan berpikir dan memutuskan untuk menyimpan dan mengirimkan atau menjual barang-barang yang tidak layak ke pasar atau pelanggan? Padahal, jika kita melakukannya sama saja kita menyebarkan “virus” negatif pada produk yang kita hasilkan. Tentu saja “virus” itu akan menyerang kredibilitas company dalam memproduksi sebuah produk. Cepat atau lambat citra negatif akan menempel seperti proses elektrolisa pada diri produk itu sendiri.
Kenapa sampai terjadi hal seperti tersebut ? Ada beberapa faktor yang menjadi penyebabnya. Salah satunya mungkin dikarenakan penyakit “alergi” terhadap barang retur. Hingga kita begitu “benci” terhadap produk-produk kita yang ditolak customer. Hingga kita tidak lagi bisa bersikap “realistis” terhadap diri “produk” dan “kualitas”nya. Sehingga ada perasaan yang sangat kuat untuk berusaha “mengusir” barang cacat tersebut dari mata kita dan memindahkan ke tempat yang “entah dimana” asal tidak membebani kinerja kita. Tentu saja ini adalah sikap yang tidak seharusnya ada pada diri orang yang “bekerja” dan “mengabdi” pada pekerjaan. Sikap ini adalah sebuah bentuk ketidak pedulian terhadap owner yang telah “membayar” upah kita setiap bulan.
Bayangkan, kita ini adalah sekumpulam orang yang “mencari” nafkah pada “pekerjaan”. Dan kita sudah memperoleh “pekerjaan” tersebut dari pemilik dan penyedia “pekerjaan”. Maka sudah semestinya seluruh beban kerja yang seharusnya menjadi tanggung jawab kita, harus juga kita selesaikan dengan baik. Mulai dari proses sampai dengan semua problem yang terjadi pada produk tersebut. Kebiasaan kita yang lain adalah menunda “proses” penyelesaian problem yang terjadi pada sebuah produk yang kita hasilkan. Sehingga dalam jangka waktu yang relatif lama, produk-produk ex retur yang antri untuk “diadili” atau “diobati” menjadi semakin bertumpuk. Dan semakin hari akan semakin bertambah, karena memang problem terhadap sebuah produk yang kita hasilkan kadang tidak kita ketahui di awal tapi justru terlihat transparan setelah diterima oleh customer.
Semakin bertumpuknya “pasien” dengan berbagai penyakit yang harus ditangani membuat kita semakin tidak bersemangat lagi untuk menanganinya. Kita tidak lagi menganggap penyelesaian terhadap barang cacat ex retur sebagai sebuah tanggung jawab pekerjaan. Produk-produk yang antri “berobat” justru mengganggu pandangan mata kita. Jika melihat tumpukan “pasien” produk yang “sakit”, perut kita jadi “mules”, perasaan jadi “jembek” dan tidak lagi bisa berpikir bagaimana cara mengatasinya. Akhirnya jurus “Persona non Grata” menjadi senjata pamungkas untuk “membersihkan” tempat kita dari produk-produk yang tidak lagi kita kehendaki keberadaannya. Bahkan cenderung kita benci dan kita perlakukan seperti “anak tiri”. Padahal mereka produk kita sendiri.
Persona non grata produk cacat secara masal bukanlah sesuatu yang mudah kita lakukan. Kebingungan adalah sesuatu yang pasti bagi kita. Akibatnya kita akan mencari malaikat-malaikat yang bisa membantu kita untuk mengatasi problem yang seharusnya justru kita sendirilah yang harus menyelesaikan. Pada akhirnya juga sekumpulan barang cacat tersebut akan “kembali” ke komunitas produk-produk yang “fresh” dan “beautiful”. Meski sembunyi, bukan tidak mungkin suatu saat “produk” cacat tersebut akan lolos dari pagar yang sudah dipasang ranjau. Jika sampai benar keluar dan lolos, kita semua yang ada dan terlibat dalam proses produksi sampai delivery mempunyai andil “mengukir” citra-citra negatif produk maupun perusahaan. Sebuah keputusan yang sebenarnya sama seperti menikamkan pisau pada bagian tubuh kita sendiri.
Tidak ada bentuk penyelesaian yang lain kecuali dengan mengawali semua proses dengan sikap yang tegas dan jujur serta bertanggung jawab terhadap setiap barang yang kita produksi dan kita kirim ke customer. Jika memang benar jelek dan cacat harus kita akui jelek dan cacat. Dengan demikian kita bisa mengevaluasi apa penyebab timbulnya produk cacat tersebut. Jika kita tetap memaksakan untuk lolos, jangan heran kalau perilaku tersebut akan menjadi sebuah “sego jangan” alias kebiasaan sehari-hari. Dan tidak ada lagi kekhawatiran dan kehati-hatian terhadap kualitas produk yang kita hasilkan. Semakin lama semakin jauh juga kita dengan kualitas. Dan semakin mendekati pada prinsip “pokoke” yang banyak dianut oleh mayoritas pekerja yang tidak perduli pada kelangsungan hidup sebuah perusahaan yang sebenarnya telah “menghidupi” dirinya selama ini.
I never hurt you, but you drew your sword up on me without cause, mungkin begitulah kata perusahaan jika saja perusahaan bisa mengungkapkan perasaanya atas perlakuan kita terhadap citra diri perusahaan.
Sekian.
Agushar, 25 Nopember 2010.
Rabu, 25 Mei 2011
Image Merk
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar