Rabu, 25 Mei 2011

Kerajaan Republik


Ketika seseorang sampai pada titik akhir ambisi yang diukirnya, dia akan menancapkan kaki dalam-dalam ke dalam bumi yang di pijaknya. Lalu kaki-kaki dan tangan lain yang ada di dekatnya berusaha mencari posisi untuk melindungi dan membentenginya dari ombak dan badai yang kemungkinan akan timbul. Di awal-awal mengemban amanat dia akan memimpin rakyatnya dengan senyum. Lalu perlahan tapi pasti, senyum berangsur menghilang. Berubah menjadi ketegangan. Karena riak-riak gelombang mulai datang menyapa. Ketika angin menjadi tenang kembali dan suasana begitu bersahabat, timbul lagi kekuatan untuk berbuat sesuatu. Baik untuk rakyat, untuk golongan bahkan untuk diri dan keluarganya sendiri.

Tentu kita masih ingat, berapa banyak pemimpin yang terpaksa di “cabut” dari kursinya dengan paksa. Di Iran ada Shah Reza pahlevi, di Uganda ada Idi Amin, di Filipina ada Ferdinand Marcos, di Indonesia ada Suharto. Yang paling hangat adalah pemimpin Tunisia Ben Ali, Presiden Mesir Hosni Mubarak. Bahkan saat ini sedang terjadi pergolakan di beberapa negara seperti Yaman, Bahrain dan Libya. Mungkin akan menyusul pula negara-negara lain yang saat masih menyimpan bom waktu “demonstrasi”. Karena jika memang sudah tiba waktunya “bom” pasti akan meledak. Dan antara mundur dan mempertahankan kekuasaan, sedikit atau banyak akan timbul korban jiwa yang akan berpredikat sebagai pahlawan. Sebagai “tumbal” dari berhasilnya sebuah “keinginan”. Raja akan memimpin rakyatnya sampai hari kematiannya. Dan raja yang “benar” pasti akan memberikan tahkta kepada keturunannya. Rakyat tidak berhak menduduki tahkta. Dari kasta manapun datangnya, kalau bukan keturunan “darah biru” tidak akan bisa menjadi pewaris takhta kerajaan. Kecuali menjadi pembangkang dan melakukan sebuah perlawanan serta bisa membunuh raja dan menguasai istananya. Atau berpura-pura mengabdi untuk kemudian menelikung dari belakang disaat raja lengah. Seperti yang dilakukan oleh Ken Arok dalam cerita rakyat dalam kisah kerajaan Singosari. Yang lantas berkuasa sekaligus menjadi penyebab lahirnya dendam tujuh turunan dengan sebilah keris yang dinamakan keris Mpu Gandring.

Seorang raja yang menggunakan kekuasaannya untuk berbuat sewenang-wenang, pasti yang akan menjadi korban adalah rakyat jelata. Dan kebanyakan raja memang lebih “bisa” berbuat sewenang-wenang terhadap rakyatnya. Keadaan itu akan berlangsung terus menerus dalam jangka waktu yang panjang. Inilah hasil sebuah kekuasaan dan kewenangan mutlak yang diberikan kepada seorang penguasa. Jika kondsisi seperti ini berlangsung lama, pasti akan banyak mengundang terjadinya pemberontakan-pemberontakan rakyat. Meskipun dalam skala kecil. Dan kebanyakan pula pemberontakan-pemberontakan kecil yang terjadi bisa diatasi dengan mudah. Kemudian disusul dengan hukuman berat yang ditimpakan kepada para pelakunya. Kadang sampai berlangsung tujuh turunan juga.

Pada kerajaan modern seperti saat ini seorang raja membatasi kekuasaanya dalam kewenangan politik. Rupanya trauma “kudeta” oleh rakyat benar-benar menjadi momok negara kerajaan. Dan rakyat semakin semakin lama semakin cemburu atas monopoli “kepemilikan” tanah air mereka. Sehingga kewenangan politik diberikan seluas-luasnya oleh raja kepada mereka yang mempunyai kemampuan dalam mengatur negara dan segala urusannya. Posisi Perdana menteri adalah posisi politik dibawah raja. Bisa ditempati oleh mereka yang berkeinginan dan mempunyai kemampuan serta mendapatkan restu raja. Posisi Maha Patih yang diincar banyak orang karena hanya posisi tersebut yang memungkinkan untuk diraih. Sedangkan takhta raja hanya untuk mereka yang berdarah “biru”.

Pemberian peran besar kepada “Perdana Menteri” membuat kerajaan banyak yang masih bertahan sampai saat ini. Karena kebutuhan rakyat ada yang ngurusi dan hampir semua terpenuhi, maka tuntutan rakyat pun tidak begitu banyak. Karena pada dasarnya rakyat hanya menuntut kehidupan yang layak dan kebebasan dalam berbagai sisi kehidupan. Jika semua hal tersebut terpenuhi maka rakyat akan senang dan berterima kasih. Sebagian besar kerajaan modern di eropa memang memberikan apa yang dikehendaki rakyatnya. Meski kadang permintaan rakyat betentangan dengan kaidah-kaidah keyakinan agama pada saat itu.

Banyak negara-negara baru yang tidak lagi menggunakan sistem kerajaan. Pilihan lain adalah membentuk negara demokrasi. Dimana rakyat merupakan pemilik kedaulatan tertinggi. Sebuah sistem pemerintahan yang menjanjikan bahwa segala sesuatunya berasal dari rakyat, dijalankan sepenuhnya oleh rakyat dan hasilnya dipergunakan secara keseluruhan untuk kepentingan rakyat. Sepintas memang demokrasi merupakan pilihan yang tepat untuk sebuah negara. Disamping kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat, hak-hak asazi manusia begitu dijunjung tinggi. Tidak boleh ada pelanggaran hak asazi manusia dalamm negara demokrasi.

Dalam perkembangannya banyak negara yang mengambil sistem negara demokrasi hanya sebagai “kedok”. Kenyataan sebenarnya adalah, sifat atau pribadi penguasa yang kadang buruk, licin, licik dan arogan telah banyak merusak asas-asas demokrasi itu sendiri. Dimana egoisme pribadi dan kelompok atau golongan telah memberikan kontribusi yang besar atas terjadinya korupsi, kolusi dan nepotisme di banyak negara yang “katanya” menggunakan sistem demokrasi. Hak asazi yang seharusnya dijunjung tinggi kenyataannya malah terinjak-injak. Pemerintahan oleh rakyat kenyataannya hanya dimonopoli oleh orang-orang tertentu saja. Dari masa ke masa hanya oang-orang itu saja yang duduk mewakili rakyat. Semua hasil kerja pemerintah akan dipergunakan seluruhnya untuk kepentingan rakyat, tapi kenyataannya hanya dinikmati oleh segelintir orang-orang di lingkaran kekuasaan.

Sifat dasar manusia yang ingin mempertahankan kesenangan dan kenikmatan yang telah diperolehnya telah mengubah tujuan demokrasi. Kecenderungan untuk tidak mau turun “takhta” dan memberikan “kursi” untuk orang lain juga telah menghancurkan sendi-sendi demokrasi yang seharusnya berfungsi dengan bak. Mengapa demikian? Karena setiap manusia yang pernah merasakan sebuah kenikmatan pasti yang dipikirkan adalah kapan kejadian pengulangannya. Apapun jenis kenikmatan tersebut, yang pasti telah meracuni pikiran dan hati untuk tidak berpindah atau dinikmati oleh orang lain. Yang terjadi kemudian adalah pengerahan kekuatan. Baik moral maupun material. Tanpa batasan tertentu. Asal “kursi” atau “takhta” tidak terlepas.

Disamping sifat dasar “mempertahankan” tersebut masih ada sebab lain yang menyebabkan seseorang bertindak seperti itu. Dan penyebab yang paling dominan seseorang berusaha untuk mempertahankan posisi atau kedudukannya adalah penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang diluar batas. Agar penyelewengan yang telah dilakukan tidak diketahui dan terbongkar oleh orang lain, dia akan berusaha “mati-matian” agar dirinya tidak “terlempar” dari kursi-kursi yang telah di dudukinya. Jika berhasil “berkuasa” kembali, maka dia akan selamat, karena kendali semua peluru masih tetap ada di tangannya. Dan penyelewengan akan tetap terus berjalan sampai batas waktu yang tidak pernah bisa ditentukan.

Sifat dasar alami manusia yang dipadu dengan lemahnya Iman dan dan buruknya moral telah membuat demokrasi palsu menyimpan bom waktu “demonstrasi” kelak di kemudian hari. Kalau bukan karena kuatnya cengkeraman militer dan kesewenang-wenangannya terhadap rakyat, niscaya tidak ada pemimpin yang bisa bertahan dalam kekuasaan selama berpuluh-puluh tahun. Tapi bom waktu akan tetap meledak. Ketika kesabaran rakyat sudah sampai pada titik jenuh, maka segala kemungkinan pasti bisa terjadi. Berawal dari sebuah unjuk rasa kecil yang saling susul menyusul di berbagai tempat maka demonstrasi besar-besaranpun tidak akan mungkin bisa terhindarkan lagi.

Kalau sudah sampai pada puncak kemarahan maka rakyatpun sudah lupa apa artinya “takut”. Apapun yang akan terjadi dan berapapun jumlah jiwa yang akan mati mereka tidak akan merasa peduli lagi. Asal bisa menumbangkan penguasa yang mereka anggap dzalim dan menggantinya dengan pemimpin yang lain mereka sudah sangat bersyukur. Tapi perjuangan melawan penguasa bukanlah perjuangan yang mudah dan ringan. Dalam sejarah begitu banyak rakyat yang menjadi korban kebiadaban dari orang-orang yang sengaja memancing di air keruh. Perampokan, penyiksaan bahkan perkosaan terhadap wanita-wanita pribumi maupun keturunan hampir selalu menghiasi setiap kerusuhan besar yang melibatkan penguasa.

Gelombang demonstrasi yang terjadi di negara Libya saat ini telah menelan banyak korban. Ratusan bahkan disinyalir sudah mencapai ribuan nyawa rakyat libya. Entah sampai kapan akan berakhir. Yang pasti peluru-peluru dari pasukan yang notabene berasal dari rakyat saat ini bahkan banyak menembus jantung rakyat Libya sendiri. Sebuah ironi dari rakyat yang menuntut kebenaran dan hak-haknya sendiri tapi justru mati di tangan saudara-saudara dan pemimpinnya sendiri. Sebuah pembunuhan masal yang sia-sia karena yang mereka bunuh adalah saudara-saudara mereka sendiri. Sia-sia karena demi kekuasaan yang seharusnya dimiliki oleh rakyat sendiri.

Kalau saja demokrasi djalankan dengan “lurus” dengan landasan agama yang kuat, niscaya tidak perlu lagi ada pertumpahan darah di sebuah negeri. Tapi karena demokrasi hanya digunakan sebagai alat untuk meraih kekuasaan, maka demokrasi juga kehilangan “ruh”nya. Dimana sesuatu yang seharusnya berjalan justru malah dihentikan yang seharusnya dihapus justru tetap dijalankan. Kebebasan berserikat dan berkumpul seharusnya mendapatkan jaminan dan perlindungan. Tapi praktiknya justru banyak yang langsung “dipithes” mati. Hingga arogansi dan otoriternya pemimpin dan aparat justru menjadi bagian penting dari jalannya roda pemerintahan.

Negara yang menganut sistem demokrasi dengan kepemimpinan satu orang selama puluhan tahun, hampir pasti menerapkan sistem demokrasi “ephok-ephok”. Labelnya saja yang demokrasi tapi praktiknya tetap saja seperti kerajaan. Minimal tentang batasan menjabat. Pemimpin negara atau para pejabatnya yang tidak mau turun setelah periode masa jabatannya habis, berarti dia sedang mewarnai darahnya dengan tinta “biru”. Dia tidak ingin melepaskan “kenikmatan” yang telah dirasakannya selama ini kepada orang lain. Dia takut akan jatuh “miskin” kalau dia cepat-cepat “turun” takhta. Dan takut kalau anak keturunannya akan menjadi “gelandangan”. Dengan bahasa yang lebih halus mereka takut menjadi “rakyat” lagi karena selama ini hidup mereka sudah sangat jauh dari rakyat.

Tapi kekuatan yang bagaimanapun suatu saat akan lemah juga. Menjadi lemah karena lelah menjaga kekuaan itu sendiri dan lemah karena usia yang sudah uzur. Cara berfikir yang semakin jauh dari rasional. Dan ini adalah sebuah “keharusan” dan “kepastian” dalam kehidupan manusia. Kalau sudah sampai pada tahapan seperti ini gigi-gigipun akan “ompong”. Karena peluru-peluru yang dahulu dalam kendalinya akan mencari “tuan” yang lain. Yang masih kuat dan sanggup merawat serta menyuapinya dengan bubuk-bubuk mesiu yang baru dan lebih fresh. Lalu dengan mudahnya “gelombang” pasang rakyat menghempaskan diri dan keluarganya ke suatu tempat yang asing. Yang tidak pernah mereka pikirkan sebelumnya.

Teman-teman yang dulunya dekat malah semakin menjauh. Bahkan ada yang berbalik ikut menyerang dirinya. Sebuah kelakuan yang belum pernah terjadi disaat kekuasaannya masih kuat. Seperti menunggu waktu, takhtapun terlepas. Perlahan namun pasti kondisi fisikpun semakin melemah. Seiring dengan kekuatan mental yang menurun drastis. Diakui atau tidak, kematianpun semakin dekat sesuatu yang kadang tak pernah terpikirkan disaat masih berkuasa. Memang kita percaya bahwa kita semua akan mati. Tapi perilaku kita semasa hidup justru menunjukkan bahwa kita banyak yang lalai tentang kematian kita sendiri. Kekuasaan memang lebih banyak menimbulkan kelalaian.

Demikianlah sifat manusia. Keikhlasan hati tidak pernah seiring dengan langkah kedua kakinya. Ketika semua do`anya terkabul, ketika itu pula dia menjaga jarak dengan Allah. Dan ketika tertimpa musibah atau cobaan atas semua apa yang dilakukannya sendiri, barulah ada keinginan untuk “mendekat” lagi. Tapi kedekatan yang kedua inipun dilakukanya dengan “menunggang” kuda pilihan. Apabila Allah mengabulkan apa yang menjadi keinginannya, maka diapun akan “berlari” dari Allah dengan menunggang kudanya. Memang sulit untuk bisa menjadi manusia yang benar. Sepanjang mata dan hati masih tertambat pada “nikmat”nya dunia, selama itu pula kita akan kesulitan untuk “mengabdi” kepada Allah swt. dengan benar.

Perlahan tapi pasti, raja-raja di negara demokrasi terlempar dari kursinya. Lalu disusul dengan umpatan, hujatan dan perlakuan yang keterlaluan dari rakyat yang tadinya begitu diam karena takut. Lalu dimulailah babak baru kehidupan politik. Rakyat yang tadinya malu-malu berpolitik, tiba-tiba begitu berani berekspresi. Tak lama kemudian muncullah tokoh-tokoh baru di di jajaran legislatif. Secara kuantitatif memang mereka “ada”. Tapi secara kualitas mereka tidak ada. Kemampuan politik “seadanya” yang terbawa di gedung megah tempat para wakil rakyat berkumpul. Belum lagi ditambah dengan minimnya pengetahuan agama semakin membuat para wakil rakyat seperti dihuni oleh mereka yang sebelumnya hanya “bermimpi” untuk bisa jadi pejabat.

Situasi politik selanjutnya sudah bisa ditebak. Mereka para wakil rakyat belum banyak tahu apa yang mesti dilakukan dan dikerjakan. Sementara rasa senang, bangga dan bahagia masih sulit untuk lepas dari hati. Dan mereka masih juga sibuk menata diri dan keluarga yang masih “kaget” dengan jatuhnya “pulung” limpahan rejeki materi. Akibatnya situasi dan kondisi politik carut marut. Karena para penghuninya adalah orang-orang yang berkemampuan “seadanya”. Jadilah sebuah negara yang baru belajar bagaimana cara berdemokrasi. Masa transisi pemerintahan ini bisa berlangsung lancar, aman dan cepat. Tapi bisa juga berlangsung lambat dan berlarut-larut karena banyaknya kelompok yang saling berebut kekuasaan.

Begitulah negara kerajaan yang berkedok demokrasi. Lantas bagaimana hubungannya dengan kodrat manusia sebagai makhluk ibadah ? Tentu korelasinya masih harus diteliti dan dihitung besaran prosentasenya. Karena ibadah pribadi dengan Allah. Tidak terkait dengan bentuk negara. Dan impian negara demokrasipun belumlah tentu meningkatkan ibadah seseorang. Bahkan kenyataan yang ada saat ini sudah jelas gambarannya. Bahwa kebebasan yang kita idam-idamkan justru membuat tatanan hidup beragama semakin jauh ditinggalkan. Sebab kebebasan yang kita tuntut bukanlah murni kebebasan beribadah, tapi kebebasan untuk melanggar ketentuan-ketentuan agama yang kita anggap terlalu membelenggu tingkah laku kita.

Beginilah kalau dalam keseharian hidup kita lebih banyak bergaul dengan setan dan menyepelekan perintah Allah swt. Tuntutan hidup kitapun sejalan dengan apa yang dibisikkan oleh setan. Kita sudah sama-sama melihat bagaimana keseharian hidup manusia-manusia yang tinggal di negara-negara yang “bebas”. Mereka bebas untuk beragama sekaligus bebas untuk tidak beragama. Mereka bebas untuk menjalankan syariat agama sekaligus bebas untuk melanggar dan bahkan menginjak-injaknya. Lalu apa yang mereka pilih ? Ternyata kebebeasan dari “agama” yang menjadi sebuah pilihan hidup. Karena dengan lepasnya aturan agama dari diri kehidupannya, mereka justru merasa lebih bisa merasakan dan menikmati “hidup” mereka di dunia.

Sekian.

Surabaya, 28 Pebruari 2011.

Agus hartono

Tidak ada komentar: