Rabu, 25 Mei 2011

Damai Yang Terkoyak


Sebuah mimpi dalam indahnya kehidupan adalah kedamaian. Dimana ketenangan, kesederhanaan, kerukunan dan kepedulian terhadap alam bergerak bersama-sama dalam irama kehidupan yang kadang terasa indah kadang terasa mencekam. Indah, karena hati dan pikiran berjalan seiring dengan langkah alam yang tenang, pelan dan bersahabat. Dimana gerak dan langkah yang ringan berpadu dengan pandangan terhadap alam yang bebas tanpa halangan. Tegur dan sapa menghias dengan indahnya di setiap tatapan mata. Saling memberi dan menerima di setiap kebutuhan dan saling membantu disaat salah satu mendapatkan kesulitan.

Kedamaian akan terbentuk dalam kebersihan jiwa yang menyatu dengan lintasan alam. Berpadu dengan keinginan jiwa yang terbalut kesederhanaan dan tidak terkotori dengan ambisi-ambisi keduniaan. Sebuah kehidupan sederhana dengan ruh ketulusan yang berlalu diatas bumi yang selalu berputar dan berjalan tanpa ada cubitan atau lecutan-lecutan yang bisa menimbulkan goresan luka yang kadang begitu menyakitkan. Secercah kedamaian hidup yang hanya bisa kita rengkuh dengan pemahaman tentang kehidupan dan kepahaman tentang perasaan alam. Yang akhirnya bisa menumbuhkan perasaan bahwa hidup adalah sebuah perjalanan religi yang bertujuan untuk mencari dan mengumpulkan bekal untuk kehidupan hakiki dalam dekapan Rasulullah saw di sisi paling dekat dengan wujudnya Allah swt. Sayangnya, pemahaman tentang hidup dan perjalanan hidup bukanlah sebuah pilihan utama bagi insan yang hidup diatas putaran bumi yang sebenarnya juga hidup. Manusia cenderung untuk meninggalkan kehidupan dunia yang sebenarnya menuju ke kehidupan yang justru bernilai semu. Alam yang menjanjikan kedamaian hidup justru terabaikan dan bahkan jadi bulan-bulanan manusia. Bangunan-bangunan yang terbuat dari batu yang menjulang tinggi justru menjadikan sebuah kebanggaan dan kesombongan. Semakin banyak mengganti tanaman hijau dengan tanaman beton bertulang, semakin bangga diri manusia. Sementara semakin banyak bagian alam yang menjadi korban kompetisi menanam pohon batu yang sebenarnya hanya kebanggaan yang menipu pikiran dan perasaan kita.

Bukannya tidak boleh membangun istana batu, tetapi tumbuhnya banyak istana batu yang menjulang telah pula menumbuhkan banyak kemaksiatan. Sebuah perilaku yang bisa dikatakan selaras berjalan dengan tumbuhnya sifat-sifat sombong. Dimana rapatnya dinding batu telah melindungi semua perilaku didalamnya dari mata manusia. Ditambah lagi dengan gemerlapnya cahaya, gemulainya wanita dan gelimangnya harta yang ada di dalamnya telah membuat manusia benar-benar lupa akan jati dirinya. Jati diri manusia sebagai makhluk yang sedang menjalani proses belajar memahami hidup dan ujian-ujian yang ada di dalamnya. Ujian-ujian yang akan menjadi penentu dimana kelak hidup kita di kehidupan yang sebenarnya di kampung abadi yang bernama kampung akhirat.

Sementara kebanyakan manusia terlena dengan wujud nikmat dunia yang memperdayakan, mereka yang jauh dari keramaian dan berada di tempat yang sepi dan sunyi menjalani kehidupan dengan segala kesederhanaan yang ada. Dengan fasilitas yang serba terbatas manusia-manusia alam menjalani hidup dengan kesabaran dan “nrimo ing pandum”. Mereka menerima seberapapun rizki yang mereka dapatkan setiap harinya. Walaupun semua didapat dengan susah payah, tapi mereka tetap menyambut rizki yang merka peroleh dengan pujian kepada Allah swt. Mereka menyambut dengan ketaatan perintah menjalankan ibadah sebagai wujud rasa syukur atas kesempatan hidup dan nikmat di dunia. Tanpa rasa sombong, tanpa sikap iri dan dengki pada mereka yang hidup dengan gelimangnya harta di keramaian kota.

Tapi manusia tetaplah manusia. Kehendak yang diberikan pada tiap diri dan jiwanya telah membentuk sikap yang berbeda-beda. Sebagian menjadi pribadi yang taat beribadah, sebagian besar yang lain menjadi manusia yang ingkar dengan kenyataan hidup yang mereka jalani. Kalau bukan karena sayangnya Allah terhadap makhluk ciptaannya, niscaya akan musnah bangsa manusia. Dan Allah akan menggantinya dengan makhluk-makhluk ciptaan yang baru. Tetapi Allah adalah sebuah dzat yang maha benar dengan semua janjiNya. Manusia yang bagaimanapun besar menannggung dosa masih diberi kesempatan untuk bertobat dan kembali mengabdi kepadaNya. Kesempatan-kesempatan yang diberikan oleh Allah bersamaan dengan datangnya peringatan-peringatan berupa berbagai macam cobaan yang ada.

Ketakutan, kelaparan, kehilangan harta dan lapangan pekerjaan, kematian adalah sebagian cobaan yang diberikan oleh Allah kepada manusia. Tetapi, peringatan dan cobaan tidak selalu harus datang pada mereka yang bergelimang dosa. Adakalanya sebuah peringatan akan kebenaran janji-janji Allah tentang kehidupan akhirat jatuh pada manusia yang hidup di alam yang penuh kedamaian. Sehingga harus jatuh korban yang kadang begitu banyak dari orang-orang yang sebenarnya hidup dalam kesederhanaan dan taat beribadah. Sebuah peringatan yang lebih bermakna sebagai tanda-tanda kebenaran kuasa Allah atas alam semesta telah dimaknai lain oleh mereka yang berada jauh dari lokasi cobaan berupa musibah.

Tanda-tanda kuasanya Allah yang menghancurkan sebuah komunitas hidup dengan mudah dan dalam waktu hanya sekejap kadang tidak berefek sama sekali bagi manusia-manusia yang bergelimang dosa di keramaian kota. Mereka mengira bahwa mereka yang terkena musibah telah mendapatkan azab dari Allah swt. Mereka merasa kasihan dengan para korban bencana dan berusaha untuk memberikan bantuan material untuk memperingan beban berat mereka yang menjadi korban. Padahal gambaran kenyataan sebenarnya belumlah tentu demikian. Jika Allah berkehendak bisa saja sebuah kota pusat maksiat hancur lebur dalam sekejap. Tetapi Allah hendak memberi peringatan kepada mereka di tempat lain yang jauh dari hidup mereka.

Belum tentu mereka yang mati dalam bencana alam akan sengsara di kehidupan selanjutnya. Bahkan mungkin Allah telah mengangkat mereka yang mati dalam bencana alam di tempat-tempat yang banyak menggambarkan kenikmatan-kenikmatan hidup di alam selanjutnya. Dan Allah telah menjadikan mereka korban bencana alam sebagai bagian dari tanda-tanda alam tentang ketauhidan dan kekuasaan Allah atas dunia dan akhirat. Justru mereka yang berada jauh dari lokasi bencanalah yang semestinya harus bisa membaca tanda-tanda alam tersebut. Sudah sepatutnya mereka yang masih hidup menjadikan bencana alam sebuah kesempatan untuk melihat diri sendiri. Mengoreksi diri tentang tingkah laku sehari-hari dan menghubungkannya dengan tujuan hidup yang diberikan oleh Allah kepadanya.

Kalau melihat gebyar hidup masyarakat kota yang penuh dengan pelanggaran terhadap larangan-larangan Allah yang termaktub dalam kitab sepertinya mayoritas manusia yang hidup di perkotaan akan menghuni berbagai tempat yang ada di neraka. Seperti firman Allah yang bermakna, tidak satupun dari diri manusia kecuali memasuki neraka. Kota dan desa laksana dua isi permukaan yang berpasangan. Cermin dari dua sisi kehidupan yang mempunyai dua makna antara putih dan hitam atau antara baik dan buruk. Yang diantara satu sisinya bisa menjadi tanda bagi sisi yang lainnya. Tapi tidak bisa merubah ketentuan-ketentuan yang telah melekat pada masing-masing dirinya.

Akibat maraknya perilaku maksiat yang terjadi di pusat-pusat kota telah menjadikan terkoyaknya kedamaian yang ada sisi kehidupan sebaliknya, yaitu tempat-tempat yang lengang dan sunyi yang berada jauh dari pusat-pusat keramaian yang akrab dengan dunia maksiat. Tempat-tempat yang dulunya begitu indah telah hancur berantakan sebagai tanda dan peringatan kebanyakan manusia. Masyarakat yang hidup sederhana dan apa adanya telah kehilangan alam yang dulunya begitu memberikan rasa tenang dan damai dalam kehidupan sehari-harinya. Alam yang selama ini menjadi teman akrab tiba-tiba menelan hampir semua yang ada. Memang kadang terasa begitu kejam di perasaan. Tapi Iman yang kuat telah memberikan semangat dan menimbulkan keyakinan bahwa kita semua hanyalah makhluk Allah, cepat atau lambat kita juga akan kembali menghadap Allah untuk mempertanggung jawabkan semua tingkah laku kita selama diberikannya kesempatan hidup di alam cobaan dan ujian yang kita jalani selama ini.

Kedamaian hidup yang terkoyak mudah-mudahan membawa hikmah bagi kita yang masih hidup dan membawa kebaikan bagi mereka yang menjadi korban. Bencana alam hanya sebuah peringatan bagi kita yang masih hidup. Disamping tanda-tanda bahwa alam ini hidup, bencana alam adalah sarana pengingat manusia tentang perilaku sehari-harinya yang telah banyak menyimpang dari ketentuan Allah swt. Dimana kemaksiatan sudah menghuni pikiran dan hati kita. Hingga nilai-nilai ibadah dalam tingkah laku sehari-hari hampir-hampir tidak kelihatan sama sekali. Kalaupun terlihat hanya sedikit sekali. Itupun sebenarnya hanya tutup atau cover dari banyaknya keburukan tingkah laku kita saja.

Hikmah atau pelajaran yang harus kita ambil dari terjadinya bencana minimal harus menumbuhkan rasa kepedulian terhadap sesama. Mungkin selama ini telah mengabaikan kehidupan orang-orang disekitar kita. Kita terlena dengan nafsu kebutuhan diri sendiri, hingga kita lupa kalau ada sebagian dari harta yang kita miliki adalah hak orang lain yang di amanatkan kepada kita untuk diserahkan kepada mereka yang berhak. Tapi kebanyakan dari kita lupa. Limpahan materi telah memalingkan mata dan hati kita pada kesenangan yang bersifat keduniaan semata. Padahal berlimpahnya harta yang kita miliki hanyalah cobaan dari Allah. Seberapa besar perhatian dan keikhlasan kita dalam beribadah. Seberapa besar keikhlasan kita dalam berkorban materi demi mulusnya jalan kita menuju limpahan ridhanya Allah kelak.

Selama ini kita tidak banyak belajar tentang banyaknya harta yang kita miliki. Yang ada dibenak kita hanyalah bagaimana cara untuk lebih melipat gandakan semua harta kita miliki saat ini. Disamping sibuk membelanjakan harta hanya untuk bersenang-senang, kita berpikir untuk berinvestasi dalam berbagai usaha. Sehingga harapan untuk melipatgandakan harta agar lebih banyak lagi bisa menjadi kenyataan. Meski kadang harus dengan melanggar dan mengakali ketatnya aturan-aturan dalam perniagaan yang sudah ditentukan tentang halal dan haramnya. Yang penting harta bisa lebih cepat berkembang pesat. Pemikiran seperti ini saat ini menjadi trend mereka yang ingin melipat gandakan harta yang mereka miliki.

Dan saat ini banyak sekali orang berlomba melipat gandakan uangnya dengan cara melipatkan keuntungan melalui pembayaran yang diperlambat pelunasannya. Tidak hanya berlaku untuk barang-barang mewah. Semua barang bisa dijadikan komoditi melipatgandakan keuntungan. Dan mereka menganggap bahwa cara yang demikian adalah halal. Mereka mengikuti fatwa orang-orang yang berkepentingan terhadap cara menggandakan uang seperti itu. Padahal keuntungan yang diraup akibat dari lamanya jangka waktu pelunasan tersebut jelas melebihi dari jumlah harga normal atau kontan. Tapi mereka menganggap cara tersebut adalah halal. Padahal sesungguhnya adalah cara yang di”halal-halal”kan.

Sifat-sifat ingin harta berlipat ganda itulah yang banyak memberikan kontribusi terhadap “pelit”nya kebanyakan dari kita untuk membelanjakan harta di jalan yang sesungguhnya. Sehingga salah satu cobaan yang diberikan oleh Allah adalah dengan membuat suasana trenyuh alam disekitarnya. Dengan membuat banyak orang lain menderita karena banyaknya musibah yang terjadi. Untuk sesaat kita berpikir ingin membantu mereka para korban bencana alam. Dan dengan rasa berat kita mengulurkan tangan kita untuk memberikan empati yang jumlahnya sangat tidak sepadan dengan harta yang kita miliki. Lalu kita merasa puas dengan apa yang telah kita lakukan tersebut. Padahal masih jauh dari kata sempurna. Karena hanya terbatas pada suasana “bencana”.

Diluar peristiwa bencana alam kita sangat berat menyisihkan sebagian kecil harta kita untuk jalan Allah. Banyaknya orang-orang tidak mampu secara materi disekitar kita tidak menjadikan kesempatan bersedekah dan memenuhi perintah Allah. Tapi justru kita menjadikan banyaknya orang yang tidak mampu membeli sesuatu secara kontan sebagai ladang suburnya “tangkai-tangkai” bunga dari pohon investasi kita. Dan cara ini sudah mewabah dihati banyak manusia di sekitar kita. Karena sudah terbukti bahwa cara seperti ini memberikan “speed” cukup kencang untuk menimbun dan melipatkan harta benda kita. Mudah-mudahan Allah menjauhkan diri kita semua cari cara-cara yang telah dihalalkan oleh segerombolan setan yang menyamar sebagai manusia.

Hikmah lain mungkin harus timbul perasaan untuk merawat “kehidupan” alam. Selama ini kita hanya bisa merusak alam tanpa bisa memperbaikinya. Kalaupun kita melakukan sesuatu perbaikan terhadap diri alam tujuannya tidak lain hanyalah untuk keuntungan secara material belaka. Kita membangun tempat wisata yang indah dengan investasi yang sangat besar. Untuk apa ? Tidak lain kecuali faktor keuntungan. Jika dirasa tidak menguntungkan selama beberapa tahun kedepan, tempat tersebut mungkin akan kita telantarkan atau bahkan kita hancurkan. Banyak sekali contoh yang seperti ini di sekitar kita. Simak saja, berapa banyak taman-taman di kota yang berubah fungsi menjadi bangunan megah yang justru banyak menyimpan maksiat ? Dan kita mendirikannya dengan memusnahkan komunitas kehidupan yang sebelumnya ada.

Hal-hal seperti itulah yang kadang kita anggap sepele. Dengan mudah kita melakukan pembantaian terhadap makhluk yang kita anggap tak berdaya semacam pepohonan dan binatang-binatang yang menempatinya. Kita benar-benar menganggap bahwa mereka tidak akan pernah bisa membalas dendam terhadap apa yang sudah kita lakukan. Tapi ketika terbukti alam bisa membalas semua apa yang telah kita lakukan terhadap mereka kitapun masih belum sepenuhnya percaya dan yakin tentang semua yang terjadi. Dan balasan dari alam yang demikian hebatpun belum bisa menyadarkan kita tentang kuasanya alam semesta untuk berbuat sesuatu seperti yang dikehendakiNya.

Sesungguhnyalah kita ini adalah sekumpulan makhluk yang mewarisi sifat-sifat sombongnya iblis. Yang merasa dirinya lebih tinggi dan lebih mulia derajatnya dari makhluk Allah yang lain. Kita hiasi diri dan hati kita dengan sifat tamak dan serakah. Sehingga kita tidak hanya cukup untuk mengambil dari alam sebagian saja dari yang kita perlukan. Ditambah lagi dengan sifat pelit atau “medhit” yang berlebihan semakin menjauhkan diri kita dari kewajiban “sedekah”. Berbeda sekali dengan sifat alam yang selalu ikhlas dalam bersedekah kepada manusia. Alam mencukupi kebutuhan hidup kita dari mulai sesuatu yang paling kecil sampai kebutuhan yang paling besar dan penting bagi keselamatan diri dan harta kita.

Sedangkan kita lebih suka merusak daripada memperbaiki alam. Kita tega membunuh binatang hanya untuk kepentingan bisnis. Kita bahkan tega menghancurkan kehidupan makhluk lain yang telah banyak membantu dalam kehidupan kita. Kenyataan yang ada sekarang membuktikan. Berapa banyak tempat-tempat di muara sungai yang dulunya begitu alami dan banyak dihuni berbagai macam ikan saat ini hanya berfungsi sebagai “mulut” yang memuntahkan kotoran atau limbah yang sangat berbahaya bagi makhluk hidup. Berapa banyak tempat yang dulunya begitu indah tapi setelah banyak manusia datang ketempat tersebut kemudian berubah menjadi tempat yang kotor dan jorok. Sampah berserakan dimana-mana. Belum lagi pengrusakan hutan dan pencemaran air laut akibat limbah yang dibuang ditengah laut secara diam-diam.

Mudah-mudahan Allah memberikan petunjuknya kepada kita sekalian yang selama ini membutakan mata dan hati dalam memahami arti kehidupan yang sebenarnya hanya untuk beribadah kepada Allah. Dan memberikan pula rahmatnya berupa kemudahan dalam memahami makna kebersamaan hidup dengan makhluk Allah yang lain. Juga kepahaman bahwa gemerlapnya dunia hanyalah kesenangan yang semu dan sebenarnya mencelakakan hidup kita kelak. Sehingga kita tidak akan lagi salah dalam melangkahkan kaki ke masa depan dalam cerahnya cahaya Allah dan lapangnya hati yang ada dalam masing-masing dada kita. Untuk kemudian melangkah bersama-sama di jalan Allah dalam Iman dan tauhid menuju ridhaNya.

Amiin.

Agushar, 11 Nopember 2010.

Tidak ada komentar: