Iblis sudah mengikrarkann diri untuk memalingkan hati manusia dari Iman. Hampir seluruh manusia yang ada, kecuali mereka yang “benar-benar” ikhlas menghambakan dirinya kepada Allah swt. Ketika seorang pemimpin telah terpilih, sejumlah “keruwetan”pun siap menghadang. Dari mulai sekedar “nggolek bolo” sampai pada pekerjaan “mblantik sapi”. Maka seperti layaknnya pasar, tawar menawar kursipun kemudian terjadi. Kursi-kursi berkah yang dikanan kirinya sudah tersedia “kue” koalisi. Jika masing-masing kelompok sudah saling sepakat, maka sendok dan garpupun segera pula dibagikan. Sebagai simbol dimulainya aktifitas tugas atau pekerjaan. Lalu secara perlahan hiruk pikuk perjalanan kekuasaanpun mulai berjalan.
Tanpa sadar kita telah masuk dalam perangkap “setan”. Tujuan koalisi yang sebenarnya adalah membentuk pemerintahan yang “kuat”. Yang bisa melindungi diri dan melindungi rakyat serta men-sejahtera-kan seluruh rakyat. Yang tidak mudah tumbang hanya karena “hembusan” angin dari jendela atau ventilasi. Tapi yang harus tetap diingat dan dihormati adalah pembentukan kabinet. Tidak semestinya kita menyodorkan seorang calon menteri dari kelompok sendiri. Hak prerogatif presiden memberikan keleluasaan untuk memberikan kursi kepada mereka yang memang mempunyai kapabilitas di bidangnya. The Right man on the right place/job. Dan saya yakin kalau hal seperti ini sudah dipahami oleh semua yang terlibat dalam politik. Tapi apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. Melemahnya “arogansi” kekuasaan dan melembutnya hati penguasa telah memberikan celah “prerogatif” menjadi “black market” jajan pasar. Situasi seperti ini adalah “dilema” bagi pemimpin. Dimana hak berbenturan dengan kebutuhan “dukungan”. Karena musuh yang berada diluar pintu tidak akan pernah tinggal diam. Mereka akan terus berusaha untuk “menjatuhkan” mental dan memancing emosi lawan. Harapannya adalah keluarnya “kartu merah” dari rakyat untuk penguasa. Politik pembunuhan karakter seperti ini tidak akan pernah di tinggalkan oleh mereka yang berada di luar kekuasaan. Karena bisa jadi merupakan “komitmen” bersama mereka.
Karena prosentase kemenangan di kursi legistatif yang kurang “mutlak”, maka mau tidak mau kita akan berlaku lebih fleksibel untuk menerima “tawaran” syarat-syarat yang diajukan oleh teman koalisi. Tapi jurus ini bagaikan pisau bermata dua. Satu ujungnya bisa melindungi diri dan ujung yang lainnya bisa melukai diri. Dan ini disadari betul oleh mereka yang berada di dalam maupun di luar kekuasaan. Karena muara keinginan semua pelaku politik adalah kekuasaan, maka yang berada dalam selimut yang samapun bisa menjadi “musuh” yang tak diduga sebelumnya. Apalagi jika diantara pelaku politik ada yang bermuka dua. Siang berada di sisi timur dan malamnya sudah berada di seberang. Hal seperti ini membuat siapapun yang jadi pemimpin akan sulit bernapas lega.
Demikian juga, belum tentu serombongan orang benar-benar manusia semuanya, beberapa diantaranya mungkin ada manusia “jadi-jadian” yang sengaja menyelinap. Yang tidak diketahui apa sebabnya tiba-tiba “melolong” dan menggelitik hati orang-orang di sekitarnya untuk menggoyang “kapal” yang sedang berlayar. Akibatnya adalah munculnya “riak-riak” kecil di sekitar kapal yang mengisyaratkan bahwa kapal akan singgah sebentar untuk mengganti beberapa awaknya yang suka “mabuk”. Sesaat setelah sadar dengan apa yang akan terjadi seluruh awak hasil koalisipun mulai pasang mimik muka “serius”. Bagaimanapun juga kursi yang penuh kue harus dipertahankan. Kalau sampai lepas berarti akan lepas pula tali koalisi poltik dan semua yang tersedia disana..
Issyu yang sebenarnya hanya merupakan “gertak sambal” ternyata bisa mengena juga bau dan rasa pedasnya. Baik bagi yang ada di lingkaran kekuasaan maupun yang ada di luar kekuasaan. Di dalam lingkaran mulai “ribut” dan saling menyalahkan satu sama lain, diluar lingkaran mulai merasakan adanya celah untuk masuk menggantikan mereka yang mungkin akan di“buang”. Sama-sama sibuknya. Tapi kesibukan yang terjadi tidak ada hubungannya dengan kepentingan rakyat. Hanya kepentingan kelompok dan kepentingan pribadi. Bagaimanapun juga yang namanya celah tetap merupakan sebuah harapan. Yang mungkin akan bisa menjadi jalan untuk masuk dan memuluskan sebuah rencana besar.
Yang tidak banyak kita sadari adalah “makna” dari ungkapan rumor yang muncul ke permukaan. Peringatan untuk diam, tenang, jangan ribut, tetap kusyu` pada tugas, jangan terpancing dengan umpan-umpan yang banyak di pasang di luar kekuasaan. Kepentingan rakyat dan bangsa tidak akan pernah berada di nomer “bengkong”. Dan kepemimpinan bukanlah sebuah “sirkus”. Yang hanya bisa menghibur dan menyenangkan hati mereka yang ada di dalam tenda. Kepemimpinan harus bisa menciptakan ketenangan di dalam maupun di luar tenda. Harus pula berimbas pada terpenuhinya kebutuhan yang mengarah pada kesejahteraan rakyat.
Sisa waktu yang sedang berjalan tidak bisa lagi dibuat main-main. Gerilya untuk mendapatkan dan menentukan “satrio piningit” sudah harus dimulai. Pemimpin harus “diganti” dengan yang lebih “fresh”, lebih capable, jujur, responsif, tenang dan tidak gegabah dalam mengambil keputusan. Berwibawa dan bisa melindungi seluruh rakyat adalah syarat penting dalam kepemimpinan sebuah negara. Dan yang paling penting juga adalah perasaan “tahu diri” bahwa kekuasaan bukan milik pribadi. Kekuasaan adalah milik rakyat. Mereka yang terpilih saat ini tidak berhak untuk “ngotot” mempertahankan di pemilihan yang akan datang jika rakyat sudah tidak menghendaki. Namun jika tetap saja “ngotot” berarti sudah jelas kalau dia memang seorang pemimpin yang tidak tahu diri. Seorang pemimpin yang tidak punya “perasaan” dan tidak bisa memahami perasaan rakyatnya.
Kekuatan pemerintah yang saat ini dibangun di atas pondasi koalisi beberapa partai politik seharusnya tetap fokus bekerja untuk rakyat. Jangan dulu berpikir untuk “bercerai”. Harus tetap mengedepankan kepentingan rakyat. Jika sampai terjadi perceraian di “tengah” jalan, maka yang menjadi korban tak lain adalah rakyat. Seperti anak ayam kehilangan induk atau seperti anak-anak korban perceraian orang tuanya. Itulah perumpaannya. Saat-saat seperti ini sudah bukan waktunya lagi untuk mendengarkan “bisikan” setan. Tetap pada jalur yang benar dan lebih mendengarkan bisikan “malaikat” akan lebih terasa manfaatnya. Biarlah anjing menggonggong, koalisi tetap berjalan. Jangan ada perpisahan sebelum waktu perpisahan itu sendiri tiba. Dan berpisahlah atas nama rakyat agar kelak bisa dipersatukan kembali oleh rakyat juga. Tentu saja tetap dilandasi oleh Iman.
Marilah kita sama-sama saling menyadari bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna selama masih berada di dunia fana ini. Koalisi yang terbangunpun juga masih jauh dari kesempurnaan. Karena dalam beberapa hal pasti akan terjadi sebuah perbedaaan yang bersifat prinsip. Tapi jangan jadikan perbedaan yang menjadi bagian ketidak sempurnaan “tautan hati” itu menjadi penyebab sebuah kehancuran tatanan yang telah dibangun dengan susah payah. Koalisi adalah perumpamaan sebuah benteng. Keberadaannya harus bisa menahan kencangnya angin dan terjangan badai. Magnet koalisi harus tetap kuat. Jangan sampai kehilangan energi yang bisa menyebabkan terpisah partikel-partikel pembentuknya.
Setiap pemimpin dan kepemimpinannya pasti mempunyai kelebihan dan kekurangan. Jika kita tidak menyadari “mutlak” nya sebuah kekurangan dalam banyak kelebihan yang dimiliki seseorang berarti kita termasuk orang-orang berpandangan “cupet”. Karena sebuah kekurangan tidak akan pernah ada jika dilain sisi tidak ada kelebihannya. Jika semua kenyataan yang ada kita pahami dan maklumi pasti yang terjadi kemudian adalah timbulnya keinginan untuk saling bahu membahu membangun bangsa dan menyejahterakan rakyat. Meski bagaimanapun sulitnya untuk mewujudkan semua keinginan yang mulia tersebut. Bukannya malah merongrong dari luar dengan banyak menebar “penyakit” benci ke diri dan hati nurani rakyat.
Kalau keinginan “berkuasa” seseorang sudah merupakan harga mati dan tidak bisa ditawar-tawar lagi, maka siapapun pemimpin yang terpilih akan selalu kita benci dan kita anggap musuh. Jika yang terjadi selalu demikian maka apapun kebaikan yang diperbuat seorang pemimpin tak akan pernah kita akui kebaikan dan kebenarannya. Karena dalam hati kita sudah ada “penyakit” ingin berkuasa. Setiap saat selalu bikin statemen yang menyakitkan telinga. Mengkritik ini mengkritik itu. Seakan-akan dirinya sendiri sanggup melakukan suatu tindakan untuk kesejahteraan rakyat melebihi apa yang telah dilakukan pemimpin yang sedang berkuasa. Padahal sangat-sangat tidak mungkin kita bisa melampaui kemampuan seseorang yang dalam hati kita sendiri mengakui kemampuan orang tersebut.
Begitulah, rumor pergantian personil pembantu presiden hanyalah peringatan bagi anggota kelompok koalisi. Agar jangan selalu bermain-main dengan kepentingan rakyat. Amanat tetap harus tetap dijalankan, meski taruhannya adalah hilangnya kesempatan untuk ikut “berebut” kue-kue kekuasaan hasil dari adonan baru di pemilihan yang akan datang. Walaupun kewenangan “mengganti' menteri sepenuhnya adalah hak seorang presiden, tapi nampaknya seorang presiden pemimpin sebuah koalisi harus berpikir seribu kali untuk tetap “saklak” atau “fleksible” dalam menggunakkan haknya. Karena manusia tetaplah manusia yang di masing-masing dadanya bertengger “hati' yang menyimpan gejolak yang berlainan satu sama lain.
Dan yang pasti, tidak mungkin setiap kebijakan bisa membuat puas hati semua orang. Sebagian ada yang merasa puas sebagian yang lain pasti merasakan sebuah ketidakpuasan. Jika kita menanggapi dengan “kecil hati” setiap keputusan yang kurang berpihak pada kita, pasti yang terjadi adalah “hati yang luka”. Dan jika hati sudah luka, akan sulit mencari obatnya kecuali terpenuhinya sebuah keinginan yang di idam-idamkan atau sebuah pelampiasan yang berujung balas dendam. Oleh karena itu, kebesaran hati dalam menerima setiap hasil dari sebuah upaya sangat-sangat dibutuhkan untuk imunisasi kekebalan terhadap virus-virus yang merusak hati. Hingga nantinya kita tidak lagi selalu “kaget” dengan apa yang memang sebenarnya bukan hak kita.
Kue koalisi politik adalah “rejeki” yang datangnya bisa tiba-tiba. Asal kita tetap berada di jalan Allah dan berada di nuansa yang “bening” , insya Allah “rejeki' yang setiap saat kita angankan akan menjadi kenyataan. Hanya, diperlukan kesabaran dalam mengabdi kepada Allah sekaligus berbuat sesuatu untuk rakyat. Kesempatan besar bagi mereka semua yang saat ini berada di pucuk-pucuk pimpinan pemerintahan atau wakil rakyat. Kesempatan untuk mulia dunia akhirat atau mulia sesaat lalu hancur reputasi dunia dan akhirnya terjerembab ke neraka, menjadi sebuah opsi pilihan untuk masing-masing mereka yang saat ini berada di atas rakyat. Selalu “ingat” dan “hati-hati” dalam lisan dan tindakan lebih bermanfaat dari pada sekedar mendengarkan lalu ikut “menyumbang” kebisingan dalam lingkungan pengabdian.
Seorang pemimpin hasil pilihan rakyat tetap merupakan pilihan terbaik. Dan sebuah pilihan yang salah kalau kita selalu berusaha untuk menguncang-guncang kapal yang sebenarnya juga kita tumpangi. Hormati dan junjung tinggi semua aturan yang telah kita sepakati bersama tentang proses pemilihan dan segala sesuatu aturan sesudah penetapannya. Agar kita sampai pada tahapan kedewasaan dalam berpikir dan berpolitik. Agar kita tidak selalu terjebak dalam politik taman kanak-kanak yang berperilaku seperti siswa kelas menengah. Dimana sebuah ketersinggungan bisa berakibat perkelahian dan pertikaian yang berlarut-larut. Yang tidak jelas pangkalnya tapi berujung pada dendam sampai liang kubur. Cara berpikir seperti ini adalah cara berpikir mereka yang berada di dunia “gangster”.
Berkoalisilah dalam garis-garis lingkaran Allah. Dan beradalah diluar untuk berbuat sesuatu terhadap rakyat. Sesuatu yang bisa menentramkan hati rakyat. Menebar benih-benih kebaikan dengan dasar ikhlas. Bukan bermaksud untuk melabeli pikiran rakyat dengan bendera partai atau nama pribadi. Jika terpaksa untuk berbicara, ucapkanlah kata-kata yang baik yang bernada membangun, bukan ucapan yang memerahkan telinga dan menusuk jantung. Terimalah sebuah kekalahan politik secara dewasa dan secara laki-laki. Bukan seperti remaja putri yang sakit hati seperti yang terjadi di sinetron. “Nggolek bolo” sebanyak-banyaknya lalu beramai-ramai mempermalukan “target”. Bukan yang seperti ini demokrasi yang harus ada di negara muslim.
Permasalahnnya adalah kita mampu berbuat demikian apa nggak ? Karena memang bukan sesuatu yang ringan untuk meredam keinginan hati yang sudah bercampur emosi. Apalagi kalau ditambah dengan banyaknya jumlah materi yang terbuang sia-sia hanya untuk meraih predikat “juara”. Dalam beberapa kasus bahkan sampai berakibat stress lalu linglung dan ada pula yang berujung kematian karena taruhan habis-habisan untuk mendapat sebuah “kursi”. Meski mati dan hidup manusia adalah urusan Allah. Yang beginikah bentuk demokrasi yang kita inginkan ? Demokrasi bisa berjalan baik hanya kalau semua yang terlibat di dalamya mendasari langkah dan tindakannya dengan keikhlasan. Dan inilah bagian yang paling sulit untuk dilakukan.
Selama kekuasaan masih identik dengan “isi perut” selama itu pula akan selalu sulit untuk digunakan sebagai jalan mulus kearah “kiblat”. Dan segala bentuk koalisi yang bagaimanapun juga pasti tidak bisa lepas dari pembagian “jatah” jabatan. Meski jatah itu sendiri bukan mutlak hak kita. Dan hanya merupakan harapan yang tak harus menjadi kenyataan. Mudah-mudahan kita semua yang terlibat dalam lajunya kapal dan yang masih menunggu di dermaga untuk menggantikan giliran mengemudikannya bisa lebih arif dan lebih dewasa lagi dalam berpikir, melangkah dan bertindak. Karena sekecil apapun kesalahan yang kita buat akan berdampak besar bagi seluruh penumpang. Maka dari itu diperlukan ketelitian dan kehati-hatian dalam setiap pengambilan keputusan yang berkaitan dengan nasib seluruh penumpang yang ada di dalamnya.
Jangan pernah lagi rakyat dipaksa untuk menikmati sebuah tontonan peserta kondangan yang saling berebut “berkat” sebuah tumpeng. Undangan koalisi adalah undangan pengabdian diri maupun kelompok untuk turut berjuang bersama-sama membangun bangsa dan menyejahterakan seluruh rakyatnya. Bukan malah memanfaatkan kepercayaan rakyat untuk membangun diri dan membesarkan kelompoknya sendiri. Rakyat masih menunggu siapa kelak yang benar-benar bisa membentuk sebuah kekuatan yang menyerupai kekuatan kerajaan Majapahit ketika jabatan maha patih berada di tangan Gajah Mada. Yang menciptakan suasana kehidupan yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerto raharjo. Yang bukan hanya kuat tapi juga berwibawa dimata rakyat dan dimata dunia.
Sekian.
Surabaya, 15 Maret 2011.
Agushar.
Senin, 30 Mei 2011
Jatah Kue Politik
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar