Senin, 30 Mei 2011

Obyektifitas Pemberian Nilai Ujian


Nilai yang diperoleh siswa dalam ulangan atau ujian seharusnya mempunyai korelasi yang erat dengan kemampuan “sebenarnya” siswa. Tapi adakah standarisasi pemberian nilai masing-masing guru bisa mendekati “limit” yang sama ? Tentu saja kita bisa menjawab ada, tidak ada atau masih meragukannya. Mengapa? Sebab jumlah guru yang mengajar dibidang sama begitu banyak dan tersebar di berbagai sekolah. Dan masing-masing diri guru mempunyai “hati” yang berbeda. Kondisi seperti inilah yang menjadi penyebab sedikit “ketidak adilan” bagi siswa. Karena besaran nilai yang sama dari dua siswa yang berbeda tidak secara langsung bisa membedakan kualitas keduanya. Terutama dari sekolah yang berbeda. Apalagi jika ada sekolah yang menerapkan “team order” zero accident alias lulus seratus persen.

Nilai ujian nasional bisa juga sebagai alternatif. Jika naskah unas tidak “bocor” bisa juga nilai yang dihasilkan dijadikan standard. Tapi bagaimana jika bocor dan tersebar ? Pasti ada sekelompok siswa yang “diuntungkan” dengan bocornya naskah unas tersebut. Dan mereka bisa dengan mudah “melenggang” masuk ke jenjang sekolah yang lebih tinggi. Karena nilai ujian nasional inilah yang dijadikan dasar diterima atau tidaknya siswa pada jenjang sekolah yang lebih tinggi. Dan hampir pasti akan ketahuan kualitas sebenarnya siswa tersebut pada saat “uji ulang” yang diadakan oleh sekolah yang menerimanya. Tapi apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. Ini baru beberapa bidang study. Belum bidang study yang tidak masuk dalam kelompok uji nasional. Meskipun tidak ikut menentukan lolos tidaknya masuk sekolah negeri. Tapi bisa ikut menentukan kelulusan.Saya kurang yakin, apa nilai “katrolan” masih diterapkan di banyak sekolah. Sebab dalam situasi dan kondisi tertentu “katrol” merupakan alat yang sangat penting dan dibutuhkan. Meskipun metode belajar mengajar saat ini sudah cukup bagus dan canggih. Juga memancing siswa untuk lebih “serius” belajar dan mengejar nilai minimal. Tapi alat yang namanya katrol ini rasanya juga sulit untuk ditinggalkan atau bahkan dibuang. Kenapa ? Sebab setiap guru mempunyai “hati”. Dan setiap siswa jarang yang bisa mengerjakan dengan benar diatas 60 persen nilai total. Bahkan untuk bidang study exact lebih banyak yang “jatuh” nilainya dibawah 60. ini kalau mau jujur.

Kalau standard minimal kelulusan satu bidang study harus mencapai nilai 6 (enam) misalnya, bagaimana mayoritas siswa yang mendapat nilai dibawah enam. Alternatif pertama adalah remedi atau perbaikan nilai. Tapi kalau yang harus “remedi” jumlahnya di atas 50 % bisa berakibat tidak baik bagi guru bidang study yang bersangkutan atau bahkan bagi sekolah. Alternatif kedua adalah mengunakan alat bantu “katrol”. Dengan demikian pekerjaan guru untuk mengangkat nilai mereka yang tidak memenuhi standard jadi lebih “ringan”. Lalu jadilah nilai-nilai katrolan itu nilai final yang pasti bertengger di kolom-kolom nilai raport masing-masing siswa. Disinilah letak ketidakseragaman nilai di satu sekolah dengan sekolah lain.

Mengapa bisa demikian ? Seperti yang tertulis di awal bahwa guru mempunyai hati yang berlainan satu sama lain. Jadi, subyetivitas dalam pemberian nilai “katrol” sedikit banyak ada perbedaan. Selain “hati” guru, kemungkinan masih ada beberapa point yang bisa digunakan sebagai bahan pertimbangan nilai katrol tersebut. Misal, tingkah laku keseharian siswa. Termasuk anak yang “nakal” bin “bandel” apa tidak. Pintar tapi “mesakat” atau “lemot” tapi sopan. Mungkin masih banyak lagi faktor yang mempengaruhi katrolan nilai ini. Sangat tergantung dari guru masing-masing bidang study. Kalau gurunya “gak benci” mungkin masih bisa aman. Tapi kalau siswaya “mesakat” sampai gurunya begitu benci bisa-bisa berakibat fatal bagi siswa.

Faktor “like” and “dislike” tetap nggak bisa lepas dari “pemberian” nilai siswa. Sejujur apapun ucapan yang keluar dari lidah, tidak akan pernah sejujur kata “hati. Apalagi kalau guru bidang study tertentu memberikan “les” untuk siswanya sendiri. Kejujuran dan obyektivitas pembuatan soal serta pemberian nilai bisa berada diantara “ada” dan “tiada”. Dengan dalih apapun kita tidak akan pernah “tega” menyaksikan “anak-anak” kita hatinya hancur dan meneteskan air mata di depan mata kita. Belum lagi kalau menghadapi beberapa wali siswa yang agak “akrab”, wah malah lebih repot lagi. “Ewuh atau perkewuh” kata orang jawa. Disinilah profesionalisme guru dipertaruhkan. Mau profesional atau “perkewuh” ?

Seharusnya guru tidak memberikan les atau tambahan pelajaran atas biaya siswa diluar jam pelajaran. Apalagi dilakukan di rumah. Kecuali kalau seluruh siswa mengikutinya. Tapi sifat “les” biasanya “tidak wajib”. Bagi yang “mampu” silahkan ikut bagi yang “tidak” mampu tidak ada paksaan. Sadar atau tidak. Yang seperti inilah yang justru menjadi sumber hilangnya profesionalisme guru. Karena adanya tuntutan dari para wali siswa, kalau sudah ikut les ya nilainya “wajib” bagus. Kalau nilai yang di dapat masih “jeblok” ya untuk apa les ? Inilah yang menjadi “beban” psykologis guru yang membuka “les” untuk siswanya sendiri di luar jam sekolah. Dengan alasan apapun situasi seperti ini membuat “kabur” obyektivitas dan profesionalisme.

Mengapa bisa sampai seperti itu ? Tidak ada lain masalahnya kalau bukan adanya unsur “biaya” dalam praktik “tambahan” pelajaran tersebut. Memang seperti buah “simalakama”. Baik bagi siswa dan orang tua maupun bagi guru bidang studynya. Bagi siswa dan walinya, standard minimal nilai untuk “lulus” kadang ibarat sesuatu yang “menakutkan”. Apalagi bagi siswa yang tingkatan IQ-nya tergolong pas-pasan untuk lulus. Maka, mau tidak mau orang tua akan ikut “memutar” otak agar anak minimal bisa lulus dan diterima di sekolah negeri yang “dituju”. Dan biaya yang dikeluarkanpun diharapkan akan berimbas pada raihan angka nilai. Jika terlampaui, rasa puas akan menimbulkan semangat baru. Tapi jika tidak, seluruh badan rasanya “pegel” dan semangatpun seakan terbang.

Sedangkan bagi guru juga demikian. Sadar akan kemampuan sebenarnya dari siswa yang diajarnya, membuat guru juga harus “memutar” otak agar mayoritas siswanya “lolos” dan berhasil meraih apa yang diharapkan. Karena keberhasilan siswa juga merupakan kebanggaan masing-masing gurunya. Lantas bagaimana caranya ? Tak ada lain kecuali meluangkan banyak waktu dan pikirannya untuk memperbanyak porsi latihan di luar jam pelajaran. Dimana ? Bisa di sekolah bisa juga di rumah. Disini menjadi tidak logis kalau unsur biaya tidak di pertimbangkan. Loyalitas tanpa royalitas akan sulit terjadi keseimbangan. Jika siswa harus mengeluarkan biaya memang “sangat” bisa diterima oleh akal. Dan jika gurunya menerima imbalan juga bisa diterima akal. Tapi apakah semua siswa “mampu” untuk mengikuti pelajaran ektra ini ?

Sebab biaya yang keluar dari orang tua siswa, antara digunakan benar-benar untuk memperdalam masing-masing bidang study, atau justru untuk “mahar” soal ujian yang akan di ujikan dan penyelesaiannya ? Sebab, logikanya untuk ujian sekolah termasuk ulangan-ulangan harian, yang membuat soalnya adalah guru yang bersangkutan atau team guru di bidang study yang sama. Jika yang diujikan, baik untuk ulangan harian atau ujian sekolah yang keluar “replika” soal yang sudah dibahas “habis-habisan” di pelajaran tambahan, maka yang “kelabakan” adalah para siswa yang “tidak” mampu mengikuti “pengayaan” materi tersebut. Sangat tidak fair. Apakah yang seperti ini merupakan sebuah profesionalitas yang obyektif ? Tergantung dari sisi mana kita melihatnya.

Semua jawaban hampir pasti cenderung subyektif. Siswa dan wali menuntut “hasil baik” sedangkan gurunya merasa “perkewuh” kalau nilai siswa “les”nya jelek. Sebab kalau sudah les tetap saja nilainya jelek, pasti yang mengajar yang kena getahnya. Bisa hilang “daya tarik” untuk les kepada guru tersebut untuk angkatan-angkatan selanjutnya. Belum lagi umpatan atau “rasan-rasan” yang tak pernah terdengar langsung. Memang serba susah menghadapinya. Disatu sisi, kegagalan siswa meraih nilai baik adalah beban moral bagi gurunya. Disisi lain tingkat kemampuan dalam “menerima” pelajaran kebanyakan siswa masih “lemot”. Benar-benar buah simalakama. Dilakukan menimbulkan suara miring, tidak dilakukan seperti tidak ada “kepedulian”.

Yang kadang menyinggung perasaan siswa dan orang tua adalah ketika sampai keluar kata-kata, “sekolah wis gak mbayar kok sik rewel !”. Nah kadang ungkapan kekesalan memang sering tak terkontrol. Siapapun itu orangnya. Tak perduli dari mereka yang berpredikat apapun asal masih merupakan “manusia”. Jarang kita berpikir tentang apa yang sudah kita peroleh saat ini dibanding tahun-tahun silam. Mestinya “profesi” guru saat ini tidak hanya berimbas pada “kesejahteraan”, tapi juga berimbas pada kedalaman pemahaman profesi itu sendiri. Karena hakikatnya peningkatan kualitas atau kemampuan “siswa” merupakan penyebab tidak langsung peningkatan kesejahteraan para guru.

Maka dari itu, biaya belajar siswa yang saat ini “dibebankan” pada negara atau pajak yang dibayar oleh rakyat tidak membuat perubahan “persepsi” kita kepada para siswa. Janganlah kita menganggap mereka sekolah “nggak mbayar”. Hingga “kepedulian” kita jadi “ngambang”. Karena para gurupun mungkin juga mempunyai anak yang mungkin juga bersekolah di level yang sama. Juga sudah banyak pula para guru yang sudah ber “profesi”. Memang beban tugas para guru semakin berat tapi memang disitulah letak “mulia”nya pekerjaan guru. Mudah-mudahan dimasa yang akan datang bukan hanya “profesi” yang dimiliki tapi benar-benar “kesejahteraan” yang akan dinikmati. Untuk itu, jadikan “ikhlas” nafas dari ruhnya pengabdian untuk mencerdaskan anak-anak bangsa. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan kekuatan kepada para guru atas semua usaha yang akan dilakukannya dimasa mendatang.

Sekian.

Agushar 19 maret 2011.