Betapa enaknya jadi pejabat. Betapa bangganya jadi pejabat. Betapa nikmatnya jadi pejabat. Dan betapa terhormatnya jadi pejabat. Maka tak salah pula kiranya kalau banyak orang yang berusaha dengan segala cara untuk bisa jadi “pejabat”. Tentu saja jabatan yang jadi incaran bukanlah sembarang atau asal jabatan. Jabatan yang punya wewenang atau kuasa “penuh” atau minimal “setengah” kuasa adalah jabatan favorit bagi “pengejar” jabatan. Tentu saja jabatan di tempat yang “basah” atau minimal “agak” basah. Karena “kuasa” dan “basah” adalah “pesugihan”. Jika sudah dapat kuasa dan tempat yang basah, maka tinggal satu syarat lagi untuk bisa cepat kaya. Apa ? Motivator handal yaitu “setan”.
Jabatan memang selalu jadi rebutan. Serendah apapun jabatan itu. Terutama di lingkungan pemerintahan. Terutama di negara-negara “miskin”. Maka jangan heran pula kalau para “pejabat”nya banyak tersandung kasus korupsi. Karena mayoritas mereka sedang “ngalab berkah” berupa lembaran-lembaran merah ratusan ribu. Ada yang memilih kaya secara perlahan agar tidak kelihaan semata-mata korupsinya. Ada pula yang begitu cepat melimpah pundi-pundi uangnya. Mereka meloncat dari status “melarat” menjadi “sugih”. Mengganti pakaian rendah dirinya dengan pakaian sombong. Lalu dengan kepercayaan diri yang tinggi mereka terus menjalankan “tugas” sambil melepas “tuyul” berupa perilaku korup. Meskipun pencegahan dan tindakan terhadap pelaku korupsi sedang digalakkan. Dan ancaman hukuman juga tidak main-main. Tapi tetap saja perilaku korup tidak bisa hilang. Hanya saja caranya yang mungkin berubah lebih halus. Mungkin dengan memainkan data. Atau dengan menerima uang cash secara sembunyi. Atau melalui transfer antar rekening. Yang belakang ini yang paling disukai para pelaku meskipun uang cash kadang juga jadi pilihan. Yang menjabat di “atas” dapatnya ratusan juta sampai milyaran. Yang berada di level bawah dengan sabar menerima “salam” yang jumlahnya puluhan ribu. Jangan dikira hanya satu hari dua hari saja. Yang seperti ini adalah sebuah rutinitas sehari-hari.
Memang, yang “kecil” tidak mengesankan korupsi. Semacam pungutan atau mungkin pemberian seikhlasnya. Tentu saja dengan alasan yang bisa “diterima”. Misalnya membawa berkas ke atasan untuk dimintakan tanda tangan persetujuan. Atau alasan agar “lancar” secara prosedural. Atau ingin urusan lewat jalan tol. Tentu saja harus bayar lebih dulu. Pungutan seperti ini tidak akan pernah hilang. Dan hampir melibatkan semua person yang berurusan dengan kepentingan publik atau kepentingan dunia usaha. Tapi hampir semua personal yang terlibat tidak akan pernah mengakui kalau hal ini “ada”. Karena setiap bentuk pengakuan akan bisa megungkapkan sebuah kebenaran. Dan hal ini yang tidak diharapkan oleh semua orang yang terlibat dalam hal pungut memungut biaya.
Memang harus diakui juga, bahwa menghapus praktik-praktik ketidak jujuran dan pemerasan secara halus adalah sesuatu yang sangat sulit. Karena praktik-praktik kotor tersebut lebih banyak dilakukan di kegelapan di tempat yang tersembunyi. Mulai dibalik telapak tangan, dibalik map yang berisi berkas, di tempat-tempat tertentu yang dikemas seakan hanya makan siang atau makan malam atau memanfaatkan kecanggihan tekhnologi perbankan. Meski semakin di perketat dan dipersulit serta janji sanksi yang cukup berat, toh tetap saja aliran biaya siluman tetap jalan. Seperti berjalan beriringan, ketatnya aturan berbanding lurus dengan tehnik metode proses pungutan liar.
Padahal sudah jelas, agama melarang praktik-praktik demikian. Sesuatu yang keluar dari “halal” adalah hasil kinerja setan. Dan Islam adalah agama mayoritas masyarakat di negara ini. Tapi praktik-praktik haram sangat mudah kita temui. Dominannya orang-orang yang mengaku beragama Islam tidak selaras dengan berlakunya aturan-aturan Islam. Bahkan saya berkeyakinan tentang kebenaran Islam KTP atau orang-orang yang berkedok Islam. Layar televisi banyak dihiasi aurat wanita. Ironisnya mereka yang membuka aurat juga melibatkan Allah dalam ucapannya. Padahal mereka lagi setengah telanjang. Memang benar bahwa korupsi dan ketelanjangan hanyalah sebagian yang nampak dalam praktik kehidupan sehari-hari masyarakat kita.
Kalau mereka yang saat ini “berada” di atas tidak melakukan suatu tindakan yang nyata atas semua kemaksiatan yang sedang terjadi saat ini. Berarti bisa dikatakan mereka memang melegalisasi semua kemaksiatan tersebut. Atau justru mereka semua memang suka dan “menikmati” semua kemaksiatan yang ada saat ini. Kepemimpian orang-orang yang telah terpilih seharusnya menjadi teladan rakyatnya. Bekerja dengan landasan petunjuk kehidupan yang sudah ada. Dan harus selalu mengingat bahwa jabatan adalah amanat. Jabatan serendah apapun tetaplah amanat. Mengandung konsekwensi yang berat. Baik dihadapan rakyatnya sendiri apalagi dihadapan Allah.
Dan jangan pula pernah lupa bahwa setiap diri adalah “pemimpin”. Dari mulai memimpin diri sendiri sampai memimpin umat di seluruh wilayah negara. Setiap diri harus belajar dan berusaha mengetahui apa arti dan makna kata “pemimpin” dan semua yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan kewajibannya. Dan tidak kalah penting pula segala bentuk konsekwensi apabila seorang pemimpin keluar dari jalur yang sudah di tetapkan oleh undang-undang serta bagaimana konsekwensi seorang pemimpin nantinya apabila dia keluar dari jalur-jalur yang telah di tetapkan oleh Allah swt. dan Rasulullah saw. Jangan hanya berpikir tentang enak dan nikmatnya saja. Pikirkan juga tentang keselamatan akhirat masing-masing diri kita.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw pernah bersabda, “Kalian akan mendambakan kekuasaan. Dan kekuasaan tersebut akan menjadi penyesalan di hari kiamat...... “. memang benar banyak dari kita yang ternyata menginginkan “kekuasaan”. Bahkan sampai berebutan. Saat inipun kita telah banyak membuktikan bahwa yang namanya kekuasaan, hampir di seluruh dunia pasti jadi rebutan. Padahal sabda Rasulullah ini mengandung larangan untuk mendambakan “kekuasaan”. Ingat ? Sejak awalpun iblis menolak mengakui nabi Adam sebagai pemimpin (khalifah) di bumi. Tapi karena Allah telah menunjuk nabi Adam maka keputusan sudah tidak dapat dianulir lagi. Karena Allah maha mengetahui segala sesuatu. Baik yang telah lampau maupun yang akan datang. Dan iblis telah ditetapkan sebagai penghuni neraka.
Lanjutan dari sabda Rasulullah tersebut berbunyi, “.....Betapa baik perempuan yang menyusui anaknya dan betapa jelek perempuan yang menyapih anaknya” tentu saja kita bisa menerjemahkan secara langsung sabda Rasulullah tersebut. Tapi yang paling penting kita ketahui adalah makna, merawat, memperhatikan, dan memberinya makanan. Dengan kata yang lebih simple “Ngurusi” dengan “Nggak Ngurus”. Rasulullah memberi ungkapan dengan air susu ibu. Suapan paling baik yang mengandung banyak zat-zat yang dibutuhkan oleh “anak” tersayang dan juga mengandung zat yang “melindungi” anak dari penyakit.
Merawat, memperhatikann dan memberikan apa yang dibutuhkan adalah “kewajiban” mereka yang diangkat dan diberi amanat oleh Allah untuk menjadi seorang pemimpin. Dari nabi Adam sampai Rasulullah saw dan semua para salaf mengemban amanat dengan “petunjuk” Allah swt. Maka tak ada keraguan kita kalau nantinya mereka semua benar-benar mewarisi surga. Sebab para nabi dan orang-orang saleh jaman dahulu hidup dan memimpin umat dengan orientasi akhirat. Hingga tidak ada sedikitpun keberanian untuk melanggar apa yang sudah dilarang oleh Allah. Tapi pemimpin di jaman modern saat ini mengambil contoh kepemimpinan para nabi ? Tentu saja bohong kalau kita mengatakan ya !
Pemimpin saat ini memperoleh kekuasaan dari hasil “rebutan” suara rakyat. Tapi untuk merebut “suara” rakyat mereka tidak menggunakan kemampuan diri dan teladan perilaku yang baik. Kebanyakan pemimpin saat ini adalah orang-orang yang sebelummnya tidak “dikenal” oleh rakyat. Bahkan banyak pula yang tidak mempunyai kompetensi dalam dunia politik juga ikut mencalonkan diri. Hingga rakyatpun tidak lagi betumpu pada kualitas dan akhlak calon pemimpin. Dalam kebingungannya rakyatpun sekedar atau “asal” memilih. Atau juga mensyaratkan “sesuatu” kepada calon pemimpin yang akan berebut kursi kekuasaan. Akibatnya adalah praktik-praktik kotor semacam politik “uang” dan politik “balas budi” yang justru lebih banyak terjadi.
Kalau sudah seperti ini, apakah sebuah kepemimpian akan berjalan sesuai dengan “petunjuk” Allah ? Karena yang terjadi kemudian adalah praktik “penimbunan harta karun” pribadi. Pemenuhan hawa nafsu yang di dukung setan. Dan yang paling fatal adalah tidak lagi menghiraukan kepentingan rakyat. Kalaupun dipenuhi hanyalah sekedar kebutuhan minimal saja. Lalu mana mungkin akan tercipta sebuah kehidupan yang baik dan penuh dengan ampunan Allah ? Para pemimpin berlomba untuk kaya. Mereka mengganti hakikat jabatan yang merupakan “amanat” dengan sebuah makna “kesempatan”. Dan mereka juga “percaya” bahwa jarang sekali sebuah kesempatan datang berulang-ulang. Hingga mereka menggunakan kesempatan yang mungkin hanya satu kali tersebut untuk memenuhi kebutuhan dunianya.
Padahal Rasulullah saw yang diriwayatkan dari Ma`qil bin Yasar ra. juga pernah bersabda, “Seseorang yang diberi kekuasaan (jabatan) oleh Allah kemudian dia tidak menegakkan kebenaran dan tidak mencegah kemungkaran, maka dia tidak akan mendapatkan bau harum surga” hadits Rasulullah ini diriwayatkan oleh Al Bukhari. Kata “menegakkan kebenaran” ini harus dipahami dengan benar yang dengan dasar keyakinan yang dalam. Tapi memang harus diakui bahwa “kualitas Iman” seseorang sangat besar pengaruhnya terhadap “lurusnya” jalan yang akan ditempuhnya. Lalu, seperti yang kita amati sekarang, banyak manusia, terutama mereka yang mempunyai wewenang tidak lagi takut ancaman neraka. Mereka tidak perduli dengan apa yang akan terjadi dengan dirinya sesudah mati. Yang penting adalah saat ini sedangkan hari kemudian itu urusan nanti.
Maka jangan lagi heran kalau keadaan hidup di saat ini sangat jauh dari gambaran hidup Rasulullah dan para sahabat. Kemaksiatan bukannya malah menurun tapi justru lebih berkembang pesat. Karena usaha mencegah kemaksiaan dilakukan dengan setengah hati. Setengah hati lainnya justru malah mendukung kemaksiaan itu sendiri. Korupsi yang maunya diberantas tapi justru berkembang biak dengan cara yang lebih “halus”. Bahkan ada yang berpendapat “mustahil” mengarungi kehidupan dengan “bersih”. Dan mereka tetap menjalankan praktik pungutan biaya “tanda tangan” tanpa beban. Baik untuk tanda tangannya sendiri maupun untuk tanda tangan atasannya. Mungkin justru merupakan sebuah kemustahilan untuk bisa menghapus praktik-praktik seperti ini. Karena hampir setiap jabatan di semua bidang digunakan untuk itu.
Para sahabat Rasulullah pernah meminta wasiat kepada beliau. Dan beliau menjawab,”Sesungguhnya bagian tubuh manusia yang pertama kali membusuk adalah perutnya. Karena itu siapa yang bisa tidak makan kecuali makanan yang halal, maka lakukanlah. Dan siapa yang mampu menghindarkan tangannya dari penumpahan darah sehinggga dia terhalang dengan surga, maka lakukanlah”. Sabda Rasulullah ini mestinya bisa membuat “merinding” bulu kuduk kita. Karena jelas, tingkat kebusukan jasad kita dipengaruhi oleh baik buruknya isi perut kita sewaktu hidup di dunia. Dan yang kita makan sekarang ini banyak sekali yang berasal dari sumber-sumber penghasilan yang tidak halal !
Maka beruntunglah mereka kelak yang beriman dengan “benar” dan mengisi perutnya hanya dengan sesuatu yang halal. Dan celakalah kelak mereka yang mengaku beriman tapi setiap harinya menuruti tingginya nafsu makan dengan sesuatu yang haram karena berasal dari sumber yang “tidak jelas”. Sesungguhnya nafsu makan yang berlebihan adalah “ajakan” setan. Maka barang siapa yang selalu menuruti nafsu makannya berarti dia mengikuti ajakan setan. Karena perut manusia memang sangat mudah untuk berpaling pada “nikmat”nya makanan, maka setanpun sangat senang “memalingkan” perut manusia kepada makanan. Jauh dari lapar dan puasa seperti yang banyak dilakukan oleh orang-orang saleh jaman dahulu.
Penghindaran diri dari terjadinya pertumpahan darah yang diperintahkan oleh Rasulullah saw juga tidaklah banyak mendapatkan perhatian. Kebanyakan manusia memegang teguh sebuah kalimat “Langkahi dulu mayatku” untuk melepaskan sesuatu yang dikuasainya. Padahal sesuatu itu bukan miliknya dan memang benar-benar bukan miliknya. Tapi karena memang ingin mempertahankan “nikmat dunia” mereka rela membantai saudaranya sendiri. Puluhan, ratusan bahkan kadang bisa mencapai ribuan yang harus dibantai mati dan dikuburkan dalam lubang-lubang kuburan masal. Padahal yang seperti ini bukanlah sifat dan sikap orang yang ber”Tuhan” pada Allah swt.
Tapi demi nikmat dunia kadang kita tak perduli lagi surga dan neraka. Tak perduli lagi pada larangan-larangan Allah bahkan tak perduli lagi pada Allah swt. Inilah orang-orang yang hatinya sudah tergantikan dengan hatinya Iblis. Sehingga tidak perduli lagi tentang hukuman yang akan dijatuhkan pada dirinya kelak. Selama jantung masih berdetak, tak akan pernah ada orang yang berhak menggantikannya. Lupa, lalai karena hidupnya tidak punya “pegangan”. Tidak punya pengetahuan tentang kehidupan dan tidak punya akal untuk mempertimbangkan tentang “kebenaran” Allah dan segala kuasasnya.
Mudah-mudahan kita bukanlah termasuk orang-orang yang melampaui batas seperti mayoritas para pemimpin yang “bandel”. Dan bukan pula termasuk orang-orang yang hanya mengumpulkan harta untuk memanjakann diri dengan kenikmatan palsu dunia. Bukan hanya bisa berbohong selama hidup tapi mudah-mudahan termasuk orang-orang yang berusaha selalu untuk jujur dan mengerti tentang makna kehidupan dunia yang sebenarnya. Karena penyesalan tidak akan pernah berada di depan sebuah tindakan. Dan penyesalan di akhir kehidupan lebih banyak tidak memberikan manfaat buat kehidupan kita selanjutnya. Kenikmatan yang tidak membawa manfaat untuk orang lain dan untuk alam sekitar kita hanyalah akan menghasilkan kesengsaraan di akhirat kelak.
Oleh karena itu, gunakan “akal” dan “hati” selalu dalam mempertimbangkan untung rugi setiap perbuatan. Kekuasaan bukanlah jalan lapang menuju kebaikan kehidupan akhirat. Kekuasaan justru lebih banyak menimbulkan fitnah. Maka janganlah kita selalu berorientasi pada dunia, karena orientasi kehidupan akhirat adalah lebih penting. Yang diperlukan untuk menyertai setiap tindakan kita di dunia hanyalah do`a atau permintaan kepada Allah dalam setiap kesempatan. Dengan tidak lupa untuk selalu memohon ampun dengan istighfar di setiap waktu yang melintas. Dan kesabaran hati menjadi sesuatu yang mutlak. Sabar menunggu ketetapan Allah dan selalu bisa menerimanya adalah salah satu wujud kesyukuran seorang hamba.
Menjadikan shalat sebagai kebutuhan utama dengan disertai kesabaran dalam menjalankannya. Berbuat baik terhadap sesama dan menjaga diri dari perbuatan yang bersifat merusak alam sekitar. Dan yang terakhir adalah menyerahkan sepenuhnya hasil setiap perbuatan dunia kita kepada Allah swt. Apapun hasilnya. Karena semua warna kehidupan sebenarnya hanyalah cobaan dan ujian belaka. Mudah-nudahan Allah keridhaanNya atas apa yang kita usahakan dan mudah-mudahan Allah memberikan ketetapan yang baik pula untuk kita.
Sekian
Surabaya, 4 Maret 2011
Agushar.
Senin, 30 Mei 2011
Nikmat Berujung Sengsara
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar