Kebohongan adalah penggambaran sesuatu yang berbeda dengan keadaan atau kejadian sebenarnya. Sebagian besar dari kita sangat akrab dengan kebohongan. Walaupun lisan kita mengatakan “saya jujur”, masih saja belum terbebas dari kebohongan. Karena dalam kata “saya jujur” justru mengandung banyak kebohongan. Selain kebohongan yang disajikan oleh banyaknya sinetron, banyak dari kita justru menjadi guru dalam ilmu kebohongan. Entah karena bergurau, sengaja berbohong atau karena gengsi. Sadar atau tidak kebohongan sudah menjadi sebagian dari pakaian kita.
Bohong karena cuma ingin bergurau atau bermaksud “mengerjai” bukan sesuatu yang aneh bagi kita. Disamping yang banyak kita lakukan terhadap teman atau rekan kita, juga banyak dilakukan oleh artis artis lewat acara-acara “bohong”nya. Bohong karena bergurau ini belum tentu memberikan gambaran seseorang adalah “pembohong” atau tidak jujur. Karena kebanyakan hanya ingin menggoda saja. Oleh karena itu bohong karena bergurau tidak banyak membuat keuntungan atau kerugian yang berarti bagi yang melakukannya.
Tapi jangan kaget, kebohongan karena bergurau ini bisa menjadi bibit-bibit ketidak jujuran dalam masa-masa yang akan datang. Bermula dari gurauan, suatu saat jadi sungguhan. Walaupun tidak merugikan secara materi baik bagi diri kita maupun bagi orang lain, hendaknya kita menjauhi “gurauan” yang bersifat “mengerjai” rekan sendiri. Karena suatu saat bisa terjadi salah paham dan bisa mengakibatkan “gesekan” kecil antara teman dekat. Kalau sudah seperti ini berarti bisa menimbulkan kerugian moril bagi kita.
Sedangkan bohong karena tidak mau kalah dalam banyak hal lebih banyak dipengaruhi oleh rasa “gengsi”. Seseorang yang takut turun pamornya tidak segan-segan untuk melakukan banyak kebohongan dalam realitas kehidupan sehari-harinya. Orang seperti ini tidak bisa ditempatkan lebih rendah dari siapapun. Dia akan memberikan berbagai alasan agar dirinya tidak merasa lebih rendah dari orang lain. Kadang bercerita tentang keluarganya yang kaya raya, punya jabatan tinggi. Dan itu semua cuma mengharapkan agar dirinya lebih dipandang sebagai kaum “priyayi”. Padahal belum tentu semua yang dikatakan benar atau bisa dibuktikan.
Atau seseorang yang ingin masuk dalam komunitas yang sebenarnya bukan “level”nya. Hingga dia harus melakukan banyak ketidak jujuran untuk menutupi keadaan diri yang sebenarnya. Baik tentang diri, keluarga maupun tentang ekonomi atau status sosialnya. Yang seperti ini banyak terjadi di kota- kota besar. Terutama mereka yang senang “dugem” baik yang sengaja datang sendiri maupun mereka yang awalnya hanya diajak. Bermula coba-coba akhirnya keterusan. Padahal untuk menjangkau gaya hidup “glamour” diperlukan modal materi yang kuat. Jika tidak, yang terjadi bisa sebaiknya. Bangkrut.
Mereka yang terlanjur bergaul dengan kehidupan “atas” akan berusaha untuk selalu mengikuti style teman-teman mereka. Padahal untuk mengusahakannya kadang harus memaksakan diri dan banyak melakukan kebohongan tentang keadaan atau status yang sebenarnya. Biasanya orang-orang seperti ini juga memelihara sifat sombong, sok kaya, sok pinter, tidak mau bergaul dengan masyarakat level bawah. Bahkan kadang memandang rendah. Mereka yang seperti ini kebanyakan tidak menyadari kalau dirinya telah masuk dalam kehidupan yang sebenarnya “semu”
Atau dalam lingkup lebih kecil, misalnya di tempat kerja. Kadang ada seorang rekan kerja yang selalu berbicara “tinggi” mengenai apa yang dia “punya”. Padahal “pembawaan” kesehariannya tidak menunjukkan kalau apa yang dia katakan adalah benar dan “sesuai”. Orang-orang seperti ini sebenarnya hanya menebar pesona dan berharap pujian atau ingin “diakui” saja oleh lingkungannya. Padahal keadaan sebenarnya sangat jauh dengan semua yang pernah di ceritakan kepada rekan-rekannya. Kadang sok royal, padahal dibalik itu dia punya beban finansial yang tidak sedikit pada orang lain.
Bohong karena gengsi ini sedikit banyak akan merugikan orang lain, karena semua informasi yang mereka terima ternyata tidak sesuai dengan kenyataan. Tetapi pada suatu saat jika semua kebohongannya terbongkar, maka yang didapat adalah kerugian moril yang lumayan berat. Terutama bagi dirinya sendiri. Walaupun kerugian yang ditimbulkan tidak begitu besar, tapi akan mempengaruhi tingkat kepercayaan dari mereka yang merasa dibohongi. Hal ini bisa menimbulkan sikap ke”hati-hati”an yang lebih besar jika suatu saat berhadapan dengan orang yang suka berbohong karena “gengsi” ini.
Sedangkan bohong yang paling berbahaya adalah bohong yang memang di sengaja. Tak bisa dibedakan antara hobby dan sifat, karena seorang pembohong akan berusaha untuk selalu berkata bohong dengan siapapun dan dimanapun. Dia akan selalu mencari seseorang yang bisa termakan oleh kebohongannya. Karena sifat ini cenderung mengarah ke hal-hal yang negatif. Seperti penipuan, pengelapan, korupsi, manipulasi bahkan kadang mereka tidak segan untuk memberikan kesaksian “palsu”. Mereka yang mempunyai sifat ini menjadikan “keahlian” bohongnya untuk memperdaya orang lain. Inilah yang disebut dengan sikap “munafik” atau hipokrit.
Mereka yang punya sifat seperti ini tidak perduli lagi pada kejujuran. Bahkan kejujuran akan terasa asing di telinga mereka. Karena kebanyakan mereka bekerja dengan kebohongannya. Mereka bekerja sendiri atau bisa berkomplot untuk usaha mendapatkan sesuatu yang banyak berhubungan dengan materi. Sebagian orang menganggap “bohong” sebagai pekerjaan, sebagian lagi menganggap sebagai “bagian” dari pekerjaan. Dalam arti apabila diperlukan, mereka tidak segan-segan untuk melakukan sebuah kebohongan.
Sebagai contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari, seorang ketua RT dan ketua RW yang berusaha untuk membohongi warganya dengan menyelewengkan dana bantuan dari pemerintah. Atau sebaliknya warga yang berusaha membohongi ketua RT and RW dengan memberikan keterangan identitas palsu agar tidak diketahui siapa sebenarnya dirinya. Biasanya mereka yang pernah melakukan sebuah kejahatan atau menjadi target operasi aparat penegak hukum akan melakukan hal yang seperti ini. Tujuannya sudah jelas untuk mengelabuhi aparat agar tidak mudah ditangkap dan diadili.
Dalam lingkup perusahaan misalnya, pemilik bisa berbohong kepada para karyawannya mengenai besarnya keuntungan perusahaan. Atau seberapa besar keuntungan yang diperoleh dari hasil penjualan per unit barang produksinya. Kadang juga berbohong mengenai hak-hak karyawannya. Baik tentang upah/gaji, upah lembur, jam lembur atau hak-hak lain seperti cuti dan lain sebagainya. Atau sebaliknya karyawan yang berbohong terhadap perusahaan, misalnya hasil tagihan dari langganan yang tidak disetorkan. Atau alasan-alasan lain yang berkaitan dengan ketidak hadiran, manipulasi data-data keuangan perusahaan dan lain sebagainya.
Dalam lingkup yang lebih besar lagi bisa juga para pemimpin yang membohongi rakyatnya dengan tidak merealisasikan janji-janji politik semasa kampanye. Atau menyalahgunakan kekuasaan dan kewenangan yang saat itu dipegangnya. Menyelewengkan amanat yang diberikan rakyat kepadanya. Misalnya, seorang wakil rakyat seharusnya membela dan melindungi kepentingan rakyat serta mengusahakan kesejahteraan bagi rakyat, tetapi kenyataanya mereka hanya mementingkan diri dan kelompoknya saja. Tidak lagi memperdulikan kepentingan rakyat dan lebih berpihak kepada penguasa.
Banyak sekali “kebohongan” yang terjadi di sela-sela kehidupan kita. Bahkan sangat sulit mencari manusia jujur. Bahkan kadang terlontar sebuah kalimat. “kalau sudah mati baru kita bisa jujur” alias terbujur kaku. Memang kadang tidak bisa dipungkiri juga. Kalau melihat berita yang banyak di dominasi dengan masalah “korupsi” dan “manipulasi” berarti kebohongan sudah begitu mendominasi dalam tubuh para pemimpin atau wakil kita di pemerintahan. Dan jika pemimpinnya sudah akrab dengan kebohongan, apalagi rakyatnya. Karena yang seharusnya dijadikan panutan saja begitu “suka” bohong, maka yang dibawahpun cepat atau lambat pasti akan mencontohnya.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda: “Sesungguhnya jujur itu menunjukkan kepada kebaikan, sedangkan kebaikan menuntun menuju Surga. Sungguh seseorang yang membiasakan jujur niscaya dicatat di sisi Allah sebagai orang jujur. Dan sesungguhnya dusta itu menunjukkan kepada kemungkaran, sedangkan kemungkaran menjerumuskan ke Neraka. Sungguh orang yang selalu berdusta akan dicatat sebagai pendusta”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim )”
Sungguh, seseorang yang selalu bedusta akan dicatat sebagai pendusta. Hadist Rasulullah ini menegaskan orang yang suka berbohong atau berdusta akan dicatat sebagai pendusta. Dan “dusta” lebih dekat ke kemungkaran, dan kemungkaran akan menjerumuskan pelakunya ke neraka. Orang yang suka berdusta dan melakukannya dengan sengaja untuk keuntungan diri sendiri dan merugikan orang lain adalah seorang “pendusta”. Apalagi dusta tentang perkara yang berkaitan dengan agama. Pasti Allah akan langsung menjerumuskan pelakunya ke neraka.
Kita ambil sebuah contoh seseorang yang suka berbohong. Kalau seseorang sudah menyukai “bohong”, dia akan berbohong pada hampir setiap orang yang di temuinya. Baik orang lain ataupun keluarga dekatnya. Seorang suami yang tidak jujur terhadap pasangannya akan selalu berkata bohong untuk menutupi kebohongan yang sudah dilakukannya. Apabila pulang terlambat dan ditanya istrinya kenapa terlambat, pasti dia mencari-cari alasan untuk berbohong dan menutupi kebohongan yang telah dilakukannya.
Demikianlah seseorang yang berbohong pasti akan membuat kebohongan-kebohongan yang lain agar kebohongan yang telah dilakukannya tidak diketahui orang lain atau tertutupi. Sehingga satu kebohongan yang pernah dibuat akan “banyak” menghasilkan kebohongan-kebohongan yang lain. Dan bisa dipastikan kalau seseorang membuat kebohongan dalam beberapa hal dalam waktu yang berdekatan, pasti akan semakin banyak dan berlipat-lipat pula kebohongan yang akan dibuat. Hingga bisa dikatakan selama mata belum terpejam dia begitu akrab dengan dusta.
Selama belum terungkap kebohongan demi kebohongan yang telah dibuat, selama itu pula seseorang akan hidup dalam kebohongan. Dan ini sangat membahayakan bagi kita yang sampai saat ini melakukannya. Jika tidak segera berhenti dan berusaha mengatasi semua permasalahan yang mengakibatkan kita melakukan kebohongan, maka selamanya kita akan dalam kesulitan. Karena dampak dari kebohongan kadang bisa memporak-porandakan seluruh bangunan kehidupan yang pernah kita bangun dengan susah payah.
Bohong memang kadang membawa nikmat, tapi kenikmatan yang tercipta benar-benar “semu” dan hanya bisa bertahan selama kebohongan kita belum terungkapkan. Tapi sepandai-pandai kita menyimpan “terasi” suatu saat pasti akan ketahuan dan ketemu juga terasi tersebut. Atau sepandai-pandai kita menyembunyikan kebenaran, suatu saat akan terungkap pula kebenaran itu. Tidak pernah ada sebuah kebohongan yang kekal. Karena apapun yang ada dan terjadi di dunia ini tidak ada satupun yang bersifat kekal. Kekal hanya milik Allah swt.
Seperti seseorang yang menghindari “tagihan” hutangnya dengan alasan sudah pindah tempat atau alasan-alasan yang lain. Pasti suatu saat akan ketahuan orang juga. Yang pasti jarang sekali ada seseorang yang menghindarkan diri dari jerat hutang dengan alasan sudah “meninggal”. Bohong dengan me”mati”kan diri ini sangat dijauhi oleh hampir semua orang. Karena, mereka takut kalau-kalau akan benar-benar “mati”. Meskipun begitu ada pula diantara kita yang “nekad” menggunakan alasan “sudah” mati untuk menghindarkan diri dari para “debt colector” yang rata-rata bertampang sangar.
Atau sebuah kebohongan tentang manipulasi data keuangan yang banyak terjadi di banyak organisasai. Suatu saat pasti akan ketahuan juga. Dan kalau sudah ketahuan, apa yang akan kita dapatkan selain malu atau kalau orang jawa bilang “kewirangan”? Hanya orang-orang yang tidak punya “malu” yang masih bisa bertahan dalam sebuah komunitas dengan keadaan yang sudah “tercemar”. Atau orang-orang yang menurut bahasa jawa wajahnya terbuat dari “tembok” atau “gedeg”. Semua kata yang berkonotasi “jelek” akan menempel pada kita akibat dari kebohongan yang telah kita buat.
Hasil dari kebohongan itu akan membuat sengsara hidup kita. Dan kita tidak dapat mengatakan kalau kesengsaraan itu datangnya dari Allah swt. Tidak. Allah hanya membuat sebuah “hukum” terhadap diri semua manusia. Dan Allah telah pula memberikan sebuah solusi untuk menghindarkan dari hukuman yang akan menimpa diri seseorang apabila seseorang itu melakukan sebuah kesalahan. Yaitu berupa “petunjuk” bagaimana seharusnya kita menjalani kehidupan ini. Dan “bohong” adalah sesuatu kesalahan yang sedapat mungkin harus kita hindarkan. Agar kita bisa terbebas dari hukuman akibat perkataan bohong yang kita buat.
QS. An Nisaa` : 79.
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ۖ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ ۚ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولًا ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ شَهِيدًا﴿٧٩﴾
“Maa ashaabaka min hasanatin faminallahi, wa maa ashaabaka min sayyi`atin famin nafsika. Wa arsalnaaka linnasi rasuula, wakafaa billahi syahiidan”.
”Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi”.
Semua nikmat yang kita rasakan datangnya dari Allah. Tetapi semua bencana bukanlah dari Allah. Penyebab semua bencana yang menimpa diri kita kebanyakan datangnya dari diri kita sendiri. Karena kita telah banyak mengabaikan perintah-perintahnya dan cenderung melanggar semua yang telah dilarangnya. Jujur adalah sebuah keharusan, karena berperilaku jujur lebih mendekatkan kita ke perbuatan yang baik. Dan perbuatan yang baik akan menuntun kita ke jalan surga. Semua terserah kita. Mau surga atau neraka, masing-masing sudah ada jalannya. Tinggal pilih. Dan mereka akan menanti kedatangan kita.
Maka, bersegeralah kembali ke jalan Allah. Berbuatlah kebaikan. Dan berlomba-lombalah dalam melakukannya. Tinggalkanlah kebohongan, agar kita tidak terlanjur larut di dalamnya. Bertobatlah dengan sebenar-benarnya taubat. Selagi ada waktu, pergunakan untuk memperbaiki diri. Segera lakukan sebelum ajal datang menjemput kita. Ajal yang datangnya tidak kita ketahui dari arah mana dan tidak kita ketahui kapan datangnya. Yang setiap saat bisa saja mengambil diri dan jiwa kita serta bisa pula mengambil semua apa yang kita punya.
Mudah-mudahan Allah mempermudah jalan kita untuk keluar dari kebohongan. Baik diri kita, keluarga kita, orang-orang dekat kita, masyarakat di sekitar kita sampai pada para pemimpin kita. Hingga suatu saat dapat kita peroleh sebuah predikat yang lebih baik dari pada predikat yang saat ini melekat pada diri kita , masyarakat di sekitar kita, para pemimpin kita yang ada di daerah serta para pemimpin kita yang ada di pusat pemerintahan. Kebohongan adalah sumber korupsi, kolusi dan nepotisme. Oleh karena itu mari kita sama-sama mulai menghentikan semua bentuk kebohongan yang pernah lakukan menuju sebuah kata yang tidak banyak pengikutnya, yaitu “kejujuran”.
Sekian.
Kamis, 12 Agustus 2010
Buah Kebohongan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar