Minggu, 08 Agustus 2010

Mengharap Berkah Ramadhan.


Marhabban yaa Ramadhan. Bulan yang penuh berkah. Bulan yang penuh rahmat, bulan yang penuh ampunan. Orang-orang yang berpuasa di bulan Ramadhan termasuk salah satu orang-orang yang dirindukan oleh surga. Bahkan sering pula kita dengar kalau hati kita merasa “senang” dengan datangnya bulan Ramadhan, insya Allah kita akan mendapatkan pahala dari Allah. Tetapi apa yang sebenarnya kita harapkan dengan datangnya bulan Ramadhan? Benarkah kita mengharapkan berkah Allah di bulan Ramadhan? Lalu berkah yang mana yang kita harapkan?

Jika kita ditanya, “Apakah anda senang dengan datangnya bulan Ramadhan ?” mayoritas dari kita akan menjawab dengan tegas, “senang”. Dan ketika ditanya lagi, “Apa alasan anda mengatakan “senang”? Jawaban kita selanjutnya akan sedikit menyerempet ke wilayah “ibadah”. Karena alasan senang di “luar” ibadah akan langsung memberikan image kalau kita kurang atau bahkan tidak perduli dengan kewajiban menjalankan perintah agama. Jawaban seperti ini kadang memang bisa dimaklumi, karena bertujuan untuk memberikan nilai “positif” bagi diri kita sendiri. Walaupun kadang tercium bau “dusta”nya.
Yang jelas dan pasti, dalam bulan ramadhan ada banyak berkah. Bukan saja untuk umat Islam, tetapi berkah itu juga untuk orang-orang diluar Islam. Hari Raya yang jatuh setelah berakhirnya ibadah puasa telah memberikan imbas yang luar biasa bagi ratusan juta umat manusia yang berada di bumi. Untuk menyambut hari yang sangat spesial tersebut umat Islam berusaha untuk mempersiapkan segala keperluan sesempurna mungkin. Dari mulai pakaian, makanan, rumah dan perabotnya serta uang atau dana “cash” yang “harus” ada.

Segala keperluan hari raya tersebut pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Baik untuk mereka yang masih lajang maupun yang sudah berkeluarga. Bahkan untuk yang sudah berkeluarga membutuhkan biaya jauh lebih banyak. Dari mana kita memenuhi semua kebutuhan tersebut? Tradisi yang umum di kehidupan kita adalah adanya Tunjangan Hari Raya atau THR yang diberikan kepada setiap karyawan atau pekerja di hampir semua perusahaan, baik yang termasuk kategori perusahaan kecil maupun yang besar.

Istilahnya “Tunjangan” hari raya. Tapi sebenarnya merupakan hak kita juga, sebagai kompensasi pembagian keuntungan perusahaan kepada para pemodal dan para pekerja. Hanya waktu pengeluarannya saja disesuaikan dengan moment yang tepat. Dimana waktu mendekati hari raya adalah waktu yang paling “membutuhkan” dana segar. Jika sampai mendekati hari raya seseorang tidak mendapatkan dana tunjangan, bisa-bisa “Rioyo gak nggoreng kopi”. Itu istilahnya orang jawa untuk menggambarkan seseorang yang tidak punya “dana” untuk berlebaran.

Adanya “tunjangan” dan “hari raya” inilah yang menjadikan alasan sebagian orang menunggu bulan Ramadhan. Kita bisa menggunakan berbagai alasan untuk mengatakan “senang” dengan datangnya ramadhan, tetapi “suasana” hari raya adalah sumbangan paling berarti untuk semua alasan yang ada. Belanja dan bersenang-senang di hari “kemenangan” adalah sebuah impian yang menjadi kenyataan. Ditambah lagi dengan libur agak panjang, pikiran yang lepas dari “pekerjaan” atau beban sehari-hari, berkumpul keluarga setelah sekian lama tidak bersua menjadikan hari raya begitu ditunggu kedatangannya. Dan bulan Ramadhan menunjukkan semakin dekatnya kita dengan “Hari Raya”

Alasan ibadah kadang bisa untuk menutupi semua alasan yang lain. Tetapi sebenarnya semua alasan selain ibadahlah yang telah menutupi essensi dari datangnya bulan Ramadhan. Jujur saja, sebagian besar dari kita berpikir “hari raya” pada saat ramadhan. Hanya sebagian kecil saja dari kita yang berfikir tentang berkah, rahmat dan ampunan dari Allah. Dimana sepertiga dari awal ramadhan merupakan turunnya berkah, rahmat dari Allah, dan sepertiga tengahnya merupakan turunnya maghfirah dari Allah serta sepertiga akhir merupakan pembebasan dari panasnya api neraka.

QS. Al Baqarah : 183.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ﴿١٨٣﴾
“Yaa ayyuhal ladziina aamanuu kutiba `alaikumush shiyaamu kama kutiba `alalladziina min qoblikum la`allakum tattaquuna”

”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”,

Puasa adalah sarana bagi semua makhluk untuk mencapai sesuatu tujuan. Secara umum kita memaknai pengertian puasa dengan menahan lapar dan dahaga dari mulai waktu fajar sampai matahari terbenam di sebalah barat. Atau lebih dalam lagi dengan memberi makna sebagai usaha untuk menahan nafsu, baik yang bersifat lahir maupun yang bersifat bathin. Yang demikian adalah pengertian puasa secara umum. Dan sebagian besar dari kita memberikan pengertian puasa secara umum. Yaitu menahan lapar dan haus serta menahan nafsu syahwat.

Allah mewajibkan puasa untuk manusia. Baik manusia yang hidup seperti kita saat ini, yang hidup sebelum kita maupun manusia yang hidup di masa yang akan datang. Mengapa Allah mewajibkan manusia untuk berpuasa? Jawabnya cukup sederhana, karena Allah sayang sama kita. Karena Allah hendak memberikan kita kesempatan untuk memperoleh derajat kemuliaan melalui petunjukNya di malam “lailatul Qadr”. Mengapa pula perintah puasa harus diabadikan dalam sebuah ayat di sebuah kitab suci? Jawabnya juga sederhana, karena manusia jarang yang mau memahami ayat-ayat alam atau ayat-ayat kaun. Hanya sebagian kecil manusia yang mau memahami ayat-ayat alam, hingga mereka berhak untuk mendapatkan berkah, rahmat dan ampunan dari Allah.

Mungkin kita masih bertanya, berkah yang mana? Rahmat yang mana yang diberikan oleh Allah kepada mereka yang berpuasa? Kita bertanya demikian karena sebagian besar dari kita tidak merasakan adanya perubahan apapun setelah menjalani puasa satu bulan. Dan kita tidak pernah mencari tahu apa penyebab semuanya itu. Kita hanya senang bahwa ramadhan telah berlalu. Hingga kita tidak lagi dibebani dengan “kewajiban” puasa yang menyebabkan perut kita lapar dan tenggorokan kita kering karena haus. Kita hanya senang bahwa “hari raya” telah tiba. Dan kebebasan makan dan minum sebelumnya telah kita temukan kembali.

Kecuali turunnya berat badan, tidak ada lagi yang bisa memberikan bukti kalau kita telah mendapatkan “sesuatu” dari Allah. Berkah nyata yang dapat kita rasakan hanyalah “rezeki” tunjangan dana untuk berlebaran. Untuk kemudian habis tak bersisa pada saat kita memulai aktifitas sehari-hari secara normal. Tapi kita merasa bangga telah bisa berpuasa selama satu bulan. Kita merasa bangga telah bisa melalui ujian atau perintah wajib bagi umat yang beragama. Kita merasa, bahwa kita telah atau akan mendapatkan semua “reward” bagi orang yang berpuasa seperti yang telah diutarakan oleh banyak ustadz atau para ulama.

Kita merasa bahwa kita akan mendapatkan semua pahala puasa. Tapi kita juga merasa pesimis. Ada keraguan yang besar tentang akan kita dapatkannya semua janji-janji pahala puasa. Karena kita juga yakin kalau dalam menjalani puasa satu bulan masih banyak terselip beberapa perilaku yang menodai kesempurnaan puasa kita. Lalu kita ragu mengenai sempurna atau tidaknya puasa yang kita jalani. Untuk sesaat kita resah tentang “kualitas” puasa kita. Lalu sampailah kita pada sebuah keputusan untuk menyerahkan semua hasil dari “puasa” kita kepada Allah.

Dengan ringan kita langkahkan lagi kaki kita untuk menjalani aktifitas hidup seperti sebelum bulan Ramadhan. Semua kembali seperti sedia kala. Tak ada perubahan yang berarti pada diri kita. Tetap seperti semula. Seperti memulai kembali sebuah permainan “delikan” yang biasa dilakukan oleh anak-anak. Bergembira dan berlari untuk bersembunyi lagi setelah beberapa saat “diam” dalam tempat persembunyiannya. Demikian terus berlangsung peristiwa yang sama sampai kita merasa letih dan memutuskan untuk mengakhiri permainan.

Allah telah menetapkan “puasa” bagi seluruh umat. Dan didalam puasa itu ada berkah dan rahmat serta ampunan. Ada sebuah “tanda” penegas lagi untuk manusia, bahwa didalam puasa ramadhan ada sebuah malam yang nilai malam itu lebih baik daripada seribu bulan. Dan kita menangkap makna semua informasi itu secara sederhana. Tanpa pernah berusaha untuk menggali lebih dalam lagi apa sebenarnya makna puasa, berkah, rahmat, ampunan serta adanya “malam qadar”. Yaitu sebuah malam penentuan seseorang memperoleh semua berkah, rahmat dan ampunan dari Allah swt. Sebuah malam, yang apabila kita mendapatkan petunjuk Allah pada malam tersebut, maka nilainya lebih baik dari ibadahnya seseorang yang beribadah seribu bulan tetapi dia mengingkari ketauhidan Allah.

Bulan Ramadahan penuh berkah karena Allah banyak mengabulkan do`a orang-orang yang mau berdo`a. Diantara berkah yang paling besar bagi umat Islam adalah kemenangan yang diperoleh dalam perang badr, dimana pasukan kaum muslimin yang jumlahnya hanya sekitar 330 orang bisa menaklukkan pasukan Quraisy Mekkah yang jumlahnya seribu orang lebih atau tiga kali lipatnya. Penuh rahmat karena Allah telah menurunkan sebuah petunjuk atau pedoman hidup bagi seluruh umat yaitu, Al Qur`an. Yang berfungsi sebagai pembeda antara yang haq dengan yang bathil. Yang dengannya manusia bisa menjalalni hidup di jalan yang lurus, yaitu jalan Allah swt.

Ramadhan penuh ampunan karena Allah memberikan ampunan atas semua dosa-dosa yang telah diperbuat oleh manusia dan menjadikannya sebagai makhluk yang lain. Dari manusia yang sebelumnya penuh dosa menjadi manusia yang suci karena terlepas dari semua dosa yang pernah di perbuatnya. Semua itu bisa kita dapatkan melalui “puasa” yang berkualitas, yaitu puasa yang didasarkan karena Allah ta`ala, bukan karena yang lain. Dengan bertobat kepada Allah atas semua dosa yang kita lakukan, lalu ber”puasa” dengan ikhlas dan memohon kepadaNya sebuah petunjuk yang bisa menjadikan kita sebagai manusia yang bertaqwa.

Selama ini kita memaknai puasa sebagai penahanan diri terhadap lapar dan dahaga serta nafsu syahwat. Dan kita menjalankannya sesuai dengan pengertian kita. Siang kita tahan lapar dan dahaga, malam kita shalat “tarawih”. Kemudian di sepertiga malam-malam akhir ramadhan kita berusaha untuk mendapatkan “lailatul qadar”. Tetapi kebanyakan sampai dengan akhir ramadhan kita masih bertanya, “Kira-kira malam yang ke berapa ya lailatul qadar terjadi ?” dan kita menyadari bahwa malam tersebut telah lewat tanpa sesuatu apapun yang bisa kita rasakan. Tanpa tanda-tanda dan tanpa kesan yang membekas di hati kita.

Shalat, zakat, infaq dan sedekah adalah sebuah jalan untuk bisa “berjumpa” dengan Allah. Demikian juga “puasa”. Puasa adalah sarana untuk “merubah” diri, tampilan dan kemampuan seseorang dari sesuatu yang “tidak berarti” menjadi sesuatu yang “sangat berarti”. Dalam kalimat yang lebih sederhana bisa dikatakan, bahwa puasa adalah sarana untuk “mengubah” kualitas diri. Baik secara lahir maupun secara batin. Secara lahir mungkin untuk manusia tidak akan tampak perbedaannya, hanya kesehatan dan kekuatan jasmani yang mungkin bisa dirasakan. Tapi secara batin seseorang akan merasakan perbedaan perilaku ibadahnya antara sebelum puasa dan setelah puasa.

Puasa bisa digunakan sebagai jalan untuk meraih apa yang menjadi keinginan kita. Bahkan bukan hanya kita saja, semua makhluk menggunakan puasa sebagai sarana untuk mewujudkan keinginannya. Tapi terwujud atau tidaknya keinginan kita tergantung “kualitas” puasa kita. Puasa yang berkualitas akan memberikan hasil sesuai dengan yang kita angan dan inginkan. Apapun yang kita angan dan inginkan akan bisa terwujud dengan “jalan” puasa. Tentu saja puasa yang “benar”, bukan puasa yang banyak “ternoda”. Dan harus pula dilandasi dengan keyakian yang kuat, bahwa Allah akan memberikan apa yang kita minta.

Kita ambil contoh seekor “ular”. Ular akan melakukan “ritual” puasa jika menginginkan “awet muda” dan “cantik”. Dan untuk mewujudkan keinginannya tersebut ular akan “benar-benar” puasa. Tidak makan, walaupun diberi makan. Sabar, tidak mudah marah walaupun sedang diganggu. Kesungguhan puasa ular ini memberikan hasil bergantinya kulit luar dengan kulit yang baru yang kelihatan “indah”. Sehingga ular akan selalu kelihatan “cantik”. Dengan kulit yang selalu baru, halus dan kencang. Membuat ular “senang” dan ihklas melakukan ritual puasa pada setiap kali dia menginginkan untuk ganti “baju”.

Tetapi karena keinginan ular hanya ingin awet muda dan cantik, maka, hanya dua keinginan itulah yang diperoleh ular. Selebihnya tidak mengubah apapun yang ada pada iri ular. Sifat jahat, membelit, ganas, melukai dan membunuh tetap melekat pada diri ular ketika selesai melakukan ritual puasanya. Dan apa yang ada pada diri ular ini sebenarnya memberikan pelajaran bagi kita. Dengan puasa yang sungguh-sungguh apa yang menjadi keinginannya kita akan terwujud. Tinggal kita mau “introspeksi” dengan kualitas puasa kita apa tidak. Dan mau meluruskan angan dan keinginan kita dengan keinginan yang sesuai dengan maksud dan tujuan “puasa”.

Terlalu banyak keinginan manusia. Tapi keinginan manusia yang diharapkan terkait dengan “puasa” ramadhan kadang tidak jelas. Pokok puasa. Karena puasa adalah perintah Allah. Asal dijalani saja, perkara pahala itu terserah Allah. Ada benarnya memang, tapi kewajiban “puasa” bukanlah tanpa tujuan. Pada ayat diatas tertulis, “agar kamu bertaqwa”. Jelas tujuan puasa yang benar bagi manusia adalah “muttaqiin” atau menjadi orang yang bertaqwa. Karena “taqwa” adalah pencapaian tertinggi manusia yang mengabdi hanya kepada Allah semata.

Dalam realitas kehidupan manusia, terutama di sekitar kita, banyak manusia menggunakan ritual “puasa” untuk tujuan-tujuan tertentu yang jauh dari kata “taqwa”. Misalnya minta “kesaktian” atau kemampuan “super” yang kemudian digunakan untuk tujuan negatif. Tujuan yang merugikan orang lain atau bahkan kadang menjerumuskan orang lain ke dalam perilaku “sirik”. Karena kebanyakan pelakunya bersekutu dengan setan atau jin. Padahal dalam “taqwa” seseorang akan mendapatkan semua kebaikan. Baik kebaikan dunia maupun kebaikan akhirat kelak.

Dan keinginan menjadi manusia yang “bertaqwa” melalui “puasa” ramadhan bukanlah sesuatu hal yang mustahil. Jika keinginan taqwa begitu kuat lalu di upayakan dengan puasa yang “benar”. Yaitu puasa yang disertai dengan kebersihan jiwa serta ikhlas menjalaninya hanya karena Allah. Bukan tidak mungkin seseorang akan memperolehnya. Tanda-tandanya adalah perubahan sikap dan perilaku keseharian yang lebih banyak menjurus ke “ibadah” atau pengabdian kepada Allah. Misalnya, shalatnya bertambah khusyu`, lebih dermawan, lebih sabar, lebih arif, lebih bijak, lebih giat belajar ilmu agama. Hal itu terus berlangsung selama sisa akhir hidupnya.

Sebuah contoh hasil dari sebuah ritual puasa yang bisa mengubah diri menjadi makhluk yang jauh lebih berkualitas adalah ulat. Semasa hidupnya ulat adalah seekor binatang yang menjijikkan. Bentuknya, bulunya, geraknya membuat orang enggan melihatnya apalagi memegangnya. Belum lagi perbuatannya yang cenderung merugikan manusia. Seperti merusak tanaman dengan memakan daunnya atau buahnya. Ulat bisa dengan cepat menghabiskan daun sebuah tanaman hanya dalam beberapa malam. Dan ini sangat merugikan, baik bagi tanaman itu sendiri ataupun bagi manusia yang telah merawatnya.

Demikian juga manusia, jika dalam hidupnya selalu berbuat kerusakan, kadang juga dijuluki “uler”. Karena perbuatannya selalu merugikan orang lain. Tetapi kita akan melihat sesuatu peristiwa lain yang terjadi pada diri ulat. Ketika ulat “bertobat” dan insyaf untuk tidak lagi melakukan perbuatan yang merugikan makhluk lain, sesuatu yang “aneh” tapi “nyata” bisa kita lihat. Dalam taubatnya, ulat melakukan ritual “puasa”. Tentu saja “puasa” yang sebenarnya. Setelah berpuasa sekian lama, ulat yang tadinya merupakan binatang yang menjijikkan bagi manusia, berubah fisiknya menjadi seekor “kupu-kupu”

Ya,.. ulat telah berubah diri menjadi seekor kupu-kupu yang demikian “indah” dan begitu diminati oleh manusia. Keindahan sayapnya, gerakan terbangnya telah menarik perhatian manusia. Tapi kebanyakan kita hanya tertarik pada keindahannya saja. Tidak pernah tertarik untuk mengambil pelajaran apa yang dibawa oleh peristiwa “metamorfosis” ulat ini. Padahal jelas, peristiwa ini adalah “ayat” Allah. Bukti bahwa Allah akan memberikan sesuatu yang diinginkan oleh makhluknya. Metamorfosis ulat adalah bukti kuasa dan kehendak Allah untuk mewujudkan “keinginan” hambanya. Dan sarananya adalah “puasa”. Tentu saja “puasa” yang sempurna. Bukan puasa asal puasa.

Demikian juga manusia. Sejelek apapun perbuatan yang telah dilakukannya, sebesar apapun dosa yang telah diperbuatnya, jika mau bertobat dan menjalankan semua perintah Allah dengan sungguh-sungguh, bukan tidak mungkin derajat taqwa akan diperolehnya. Semua kebaikan dunia dan akhirat akan diberikan kepada mereka yang ber”taqwa”. Termasuk kualitas “diri” dan “jiwa”nya. Dan orang-orang yang bertaqwa tidaklah sama dengan orang-orang pada umumnya. Ada perbedaan yang mencolok antara keduanya.

Muttaqiin adalah waliullah. Orang-orang yang disayang oleh Allah. Dan mereka yang “disayang” oleh Allah, segala sesuatu yang dimintanya pasti akan dipenuhi. Dan kemampuan mereka juga adalah kemampuan “kupu-kupu”. Dimana seseorang yang semula hanya mempunyai kemampuan sangat terbatas, berubah menjadi seorang hamba Allah yang mempunyai kemampuan diatas kemampuan manusia pada umumnya. Baik dari segi ilmu agama, kemampuan lisannya, kemampuan kelima inderanya serta kemampuan indera ke enamnya.

Sedangkan peningkatan kualitas ulat setelah menjadi kupu-kupu melalui ritual “puasa” adalah :

Beberapa pasang kaki yang mempunyai kemampuan memegang dengan kuat serta lebih terampil dari sebelumnya
Mata yang mempunyai pandangan yang lebih jernih dan jauh lebih luas dari sebelumnya.
Dua pasang sayap yang simetris dan bisa digerakkan dengan leluasa.
Sepasang radar yang sensitif dan bisa diandalkan
Corak sayap yang unik dan beraneka ragamnya.
Warna-warnanya yang begitu indah

Beberapa peningkatan kualitas diri dari ulat tersebut tidak akan bisa dicapai kalau ulat tidak melakukan “ritual” puasa. Dan perubahan lain yang terjadi adalah kupu hanya makan “madu”. Sesuatu yang bersih dan bernilai tinggi. Bukan lagi makan “sembarangan” dan mengandung kotoran. Inilah sebuah contoh nyata dari Allah. Bahwa puasa yang benar bisa menjadikan diri kita mencapai derajat hidup yang lebih baik dan lebih tinggi dari sebelumnya. Demikian juga kita, jika kita yakin dan menjalankannya dengan “kebenaran” puasa, bukan tidak mungkin kitapun akan bisa mempunyai “kemampuan” yang sebelumnya tidak pernah sekalipun kita impikan.

Secara umum kita akan menemui bulan Ramadhan setiap tahun sepanjang umur kita. Dan secara umum pula kita tidak pernah bisa memaksimalkan semua “ibadah” kita. Baik shalat, zakat, infaq, sedekah demikian juga dengan puasa. Bulan suci Ramadhan yang kita temui di setiap tahun telah memberikan kesempatan kepada kita seluas-luasnya untuk mewujudkan diri dan jiwa kita menjadi manusia-manusia yang berderajat tinggi, baik dimata manusia maupun dihadapan Allah. Semua tergantung kita, tertarik untuk menjadi hamba Allah yang sebenarnya atau memilih untuk hidup tak berarti sepanjang umur.

Jangan kita berfikir kita akan bisa terbang seperti kupu-kupu, jika dikehendaki oleh Allah, manusia bisa mempunyai kelebihan jauh lebih sempurna dari apa yang bisa dilakukan oleh kupu-kupu. Tapi semua itu bukanlah tujuan dari wajibnya manusia beribadah. Taqwa merupakan puncak dari pencapaian manusia dalam beribadah. Dan taqwa hanya bisa dicapai dengan kesungguhan dalam menjalankan semua perintah dan larangan bagi manusia yang beribadah. Bulan Ramadhan adalah sebuah kesempatan untuk bisa meraih semua nikmat-nikmat ibadah.

Dan hanya karena kesempatan yang diberikan oleh Allah kepada kita sajalah yang menyebabkan kita bisa bertemu dengan beberapa kali bulan Ramadhan. Jika kita tidak bisa menggunakan kesempatan “emas” di setiap bulan Ramadhan yang kita jumpai untuk meningkatkan kualitas iman kita, niscaya kita tidak akan bisa pula meningkatkan kualitas ibadah kita. Jika kita tidak pernah bisa meningkatkan kualitas ibadah, kitapun tidak akan pernah bisa meningkatkan kualitas diri dan jiwa kita. Dan kita akan kehilangan kesempatan untuk menjadi “kupu-kupu” yang indah dimata manusia dan mulia dihadapan Allah.

Mudah-mudahan tulisan ini bisa memberikan sedikit pencerahan kepada hati dan pikiran kita tentang essensi dan hakikat dari puasa yang setiap tahun kita lewati. Sekali lagi, “puasa” adalah sarana untuk mengubah kualitas diri dari manusia yang berlumuran dosa menjadi manusia yang berderajat mulia di mata manusia yang lain dan mulia pula dihadapan Allah swt. dan semua bisa terwujud “hanya” dengan kesungguhan hati dalam menempuh atau mengusahakannya. Tetapi, semua itu juga tergantung pada niat kita. Mau berpuasa ala “ular” atau berpuasa ala “ulat”. Keduanya membawa konsekwensi sendiri-sendiri.

Sedangkan “Lailatul Qadar” hanya bisa didapatkan oleh mereka yang benar-benar beribadah dengan sungguh-sungguh. Bukan mereka yang “main-main” dalam ibadah. Tanda-tanda orang yang mendapatkan “lailatul Qadar” adalah mereka yang “berubah” dari seseorang yang semula cuek atau main-main dalam beribadah menjadi orang yang “takut” dan “taat” serta “tawadhu`” dalam menjalani hidup sampai di akhir umurnya. Mudah-mudahan kita semua bisa menjadi orang-orang yang kelak bisa mendapatkan apa yang banyak diangankan dan diinginkan oleh semua umat muslim tersebut. Amiin.

Sekian.

Tidak ada komentar: