Hujan, tetesan “pencerahan”.
Setiap tahun kita menjumpai musim hujan. Lamanya kira-kira 6 bulan atau setengah tahun. Bagi masyarakat pedesaan pikiran dan tenaga saat itu lebih banyak tercurah pada kegiatan bercocok tanam, berladang, mengatur aliran air. Atau kegiatan lain seperti menganyam tikar atau kesibukan lain yang bisa dikerjakan di dalam rumah. Lain lagi dengan masyarakat kota. Di musim hujan mereka lebih banyak disibukkan dengan payung, jas hujan, atap rumah yang bocor, cucian yang nggak kering, banjir di jalan-jalan kota sampai masalah kendaraan yang setiap hari harus di cuci karena gak “kober” resik.
Demikian selalu dalam setiap tahunnya. Hujan hanya mengatasi masalah kekeringan air. Selebihnya tak lebih dari gangguan atau hambatan bagi kegiatan kita. Bahkan mungkin juga bencana. Bagi masyarakat kota, selama air bersih pasokannya lancar selama itu pula kita tidak mengharapkan hujan berlangsung lama. Tetapi bagi masyarakat pedesaan datangnya hujan selalu ditunggu karena berkaitan dengan pekerjaan pertanian. Terutama untuk tanaman padi yang menjadi tumpuan masyarakat pedesaan.
Tapi apakah kita pernah berpikir, apa sih hujan itu ? Siapa yang membuat hujan ? Kapan hujan harus turun ? Dan dimana saja hujan harus turun ? Mengapa harus ada hujan ? Dan bagaimana proses terjadinya hujan ? Semua jawaban pertanyaan itu harus kita ketahui. Sehingga nantinya kita bisa mempersepsi tentang “hujan” dengan sebuah fakta tentang “kebenaran” makna sebuah ciptaan dan kehendak yang datangnya dari Allah swt..
Apakah “hujan” itu ?
Hujan adalah butiran-butiran dalam bentuk kristal es atau air yang terbentuk karena proses kondensasi yang kemudian jatuh ke permukaan bumi akibat gaya grafitasi. Yang turunnya kadang ditunggu, kadang juga dibenci. Turun sedikit dinanti-nanti. Turun berlebih dimaki-maki. Itulah “hujan”.
Siapakah yang membuat hujan ?
QS. Ibrahim : 32.
اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً ….....﴿٣٢﴾
“Allahul ladzii khalaqas samaawaati wal ardha wa anjala minas samaa`i maa`an,...”
”Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, ….....”
QS. Al Baqarah : 22.
الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً ,...﴿٢٢﴾
”Alladzii ja`ala lakumul ardha firaasyan was samaa`a binaa`an wa anjala minas samaa`i maa`an,...”
”Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, …....”
QS. Ar Ruum : 48.
اللَّهُ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ فَتُثِيرُ سَحَابًا فَيَبْسُطُهُ فِي السَّمَاءِ كَيْفَ يَشَاءُ وَيَجْعَلُهُ كِسَفًا فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ ۖ فَإِذَا أَصَابَ بِهِ مَنْ يَشَاءُ مِنْ عِبَادِهِ إِذَا هُمْ يَسْتَبْشِرُونَ﴿٤٨﴾
”Allahul ladzii yursilur riyaaha fatusyiiru sahaaban fayabsuthuhu fiis samaa`i kaifa yasyaa`u wa yaj`aluhu kisafan fataral wadqa yakhruju min khilaalihi, fa`idzaa ashaaba bihi man yasyaa`u min `ibaadihi `idzaa hum yastabsyiruuna”
”Allah, Dialah yang mengirim angin, lalu angin itu menggerakkan awan dan Allah membentangkannya di langit menurut yang dikehendaki-Nya, dan menjadikannya bergumpal-gumpal; lalu kamu lihat hujan keluar dari celah-celahnya, maka apabila hujan itu turun mengenai hamba-hamba-Nya yang dikehendaki-Nya, tiba-tiba mereka menjadi gembira”.
QS. An Nuur : 43.
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يُزْجِي سَحَابًا ثُمَّ يُؤَلِّفُ بَيْنَهُ ثُمَّ يَجْعَلُهُ رُكَامًا فَتَرَى الْوَدْقَ يَخْرُجُ مِنْ خِلَالِهِ وَيُنَزِّلُ مِنَ السَّمَاءِ مِنْ جِبَالٍ فِيهَا مِنْ بَرَدٍ فَيُصِيبُ بِهِ مَنْ يَشَاءُ وَيَصْرِفُهُ عَنْ مَنْ يَشَاءُ ۖ يَكَادُ سَنَا بَرْقِهِ يَذْهَبُ بِالْأَبْصَارِ﴿٤٣﴾
”Alam tara annallaha yuzjii sahaaban tsumma yu`allifu bainahu tsumma yaj`aluhu rukaaman fataral wadqa yakhruju min khilaalihi wayunazzilu minas samaa`i min jibaalin fiihaa min baradin fayushiibu bihi man yasyaa`u wa yashrifuhu `an man yasyaa`u, yakaadu sanaa barqihi yadzhabu bil abshaari”
”Tidaklah kamu melihat bahwa Allah mengarak awan, kemudian mengumpulkan antara (bagian-bagian)nya, kemudian menjadikannya bertindih-tindih, maka kelihatanlah olehmu hujan keluar dari celah-celahnya dan Allah (juga) menurunkan (butiran-butiran) es dari langit, (yaitu) dari (gumpalan-gumpalan awan seperti) gunung-gunung, maka ditimpakan-Nya (butiran-butiran) es itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan dipalingkan-Nya dari siapa yang dikehendaki-Nya. Kilauan kilat awan itu hampir-hampir menghilangkan penglihatan”.
Beberapa ayat di atas hanyalah sebagian dari banyak ayat yang menginformasikan kalau yang menurunkan hujan adalah Allah. Allahlah yang mengatur proses terjadinya hujan dengan memerintahkan dari masing-masing diri air, awan dan angin untuk berproses demi kepentingan yang lebih besar, yaitu kehidupan.
Bisakah manusia membuat hujan ? Tidak bisa ! Memang ada istilah hujan buatan. Tapi masih memanfaatkan bahan atau material yang sudah ada di atas berupa awan. Awan atau bibit-bibit awan harus memililik kandungan air yang cukup, melayang atau terbang dengan kecepatan angin yang rendah. Caranya dengan menaburkan garam khusus yang halus dalam jumlah banyak untuk mempercepat terbentuknya awan jenuh. Awan jenuh kemudian jatuh ke daratan berupa butiran-butiran hujan.
Awan itu sendiri bukanlah buatan manusia. Awan adalah air yang mengubah dirinya menjadi uap (gas) untuk berdiam di angkasa. Kemudian terbang dengan “kendaraan” angin untuk menuju ke daerah tertentu. Selama dalam perjalanan itu mereka bergandeng dan bersatu dengan sesamanya untuk membentuk butiran-butiran air. Tujuannya adalah agar bisa kembali turun ke bawah dan bisa dimanfaatkan oleh makhluk yang ada di daratan.
Apakah kita pernah berfikir kalau apa yang ada di alam ini tidak mempunyai kehendak ? Kalau kita berfikir demikian berarti perlu untuk meneliti dan menelaah kembali anggapan kita tersebut. Alam ini hidup dan mempunyai kehendak. Bumi berputar karena bumi hidup. Jika bumi berhenti berputar, maka semua yang hidup di bumi akan mati. Bumi hidup, dan berkehendak untuk mempertahankan hidupnya. Maka bumi bergerak untuk menunjukan bahwa dirinya adalah makhluk hidup dan mempunyai kehendak.
Sebagai makhluk, bumi dan segala yang ada di dalamnya juga bertasbih kepada Allah, sebagai Pencipta semua yang ada di alam semesta. Anda bisa membaca Al Qur`an surat Al Hadiid, Al Hasyr, Ash Shaff, Al Jumu`ah, At Taghaabun. Awal dari surat-surat menginformasikan bahwa semua yang ada di langit dan bumi dan diantara keduanya bertasbih kepada Allah.
Dan kehendak dari air, angin dan bumi yang menarik titik hujan dari angkasa menuju permukaan dirinya adalah atas perintah Allah. Adakah selain dari Allah yang sanggup memerintahkan kepada mereka semua ? Tidak ada. Karena mereka hanya tunduk kepada perintah Allah. Karena mereka mempunyai keyakinan bahwa hanya perintah Allah yang mengandung “kebenaran”.
Jadi siapakah yang membuat hujan ? Jawabannya adalah, Allah swt. Bukan yang lain. Apalagi manusia. Manusia tidak membuat hujan. Manusia hanya tergesa-gesa mengambil “jatah” hujan. Minimnya kesabaran manusia dalam menghadapi cobaan Allah yang mengakibatkan manusia tidak sabar untuk merampas “jatah” hujan yang seharusnya bukan untuk wilayahnya. Tapi usaha manusia ini kadang juga sia-sia karena hujan buatan yang akan turun kadang justru turun di wilayah yang tidak di kehendaki. Sedangkan wiyahnya sendiri tetap dalam kekeringan. Hanya Allah yang mempunyai kuasa untuk mengaturnya.
Kapan hujan akan turun ?
Penyebab turunnya hujan ada beberapa macam. Tetapi kalau di negara kita turunnya hujan akibat adanya atau terjadinya angin musim. Hujan di negara kita terjadi antara bulan Oktober sampai dengan bulan April. Dan di daerah asia yang lainnya. Asia timur misalnya, hujan turun antara bulan Mei sampai dengan bulan Agustus.
Dimana hujan akan turun ?
Hujan akan turun di tempat-tempat yang membutuhkan air. Dengan berbagai sebab yang mengakibatkan hujan akan turun. Misalnya karena suhu udara yang panas disertai dengan angin turbulen. Akibat pertemuan dua angin yaitu angin pasat timur laut dan angin pasat tenggara yang menyebabkan terjadinya gumpalan awan jenuh dan mengakibatkan turunnya hujan.
Atau akibat pertemuan dari massa udara dingin dengan massa udara panas. Karena lebih berat, massa udara dingin ini berada di bawah yang mengakibatkan turunnya hujan lebat. Juga uap air yang naik ke daerah pegunungan, kemudian terjadi proses kondensasi dan turunlah hujan disekitar pegunungan tersebut.
Tetapi perhatikan juga informasi yang kita dapatkan dalam Al Qur`an ,
QS. Al A`raaf : 57.
وَهُوَ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ ۖ حَتَّىٰ إِذَا أَقَلَّتْ سَحَابًا ثِقَالًا سُقْنَاهُ لِبَلَدٍ مَيِّتٍ فَأَنْزَلْنَا بِهِ الْمَاءَ ,.....﴿٥٧﴾
“Wahuwal ladzii yursilur riyaaha busran baina yadai rahmatihi, hatta idzaa aqallat sahaaban tsiqaalan suqnaahu libaladin maiyitin fa`anjalnaa bihil maa`a,...”
”Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, …..”
QS. Al Furqaan : 50.
وَلَقَدْ صَرَّفْنَاهُ بَيْنَهُمْ لِيَذَّكَّرُوا فَأَبَىٰ أَكْثَرُ النَّاسِ إِلَّا كُفُورًا﴿٥٠﴾
“Wa laqad sharrafnaahu bainahum liyadz dzakkaruu fa`abaa aktsarun nasi `illa kufuuran”
”Dan sesungguhnya Kami telah mempergilirkan hujan itu diantara manusia supaya mereka mengambil pelajaran (dari padanya); maka kebanyakan manusia itu tidak mau kecuali mengingkari (nikmat).
QS. Al; Faathir : 9.
وَاللَّهُ الَّذِي أَرْسَلَ الرِّيَاحَ فَتُثِيرُ سَحَابًا فَسُقْنَاهُ إِلَىٰ بَلَدٍ مَيِّتٍ فَأَحْيَيْنَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا ۚ كَذَٰلِكَ النُّشُورُ﴿٩﴾
”Wallahul ladzii arsalar riyaaha fatusyiiru sahaban fasuqnaahu `ilaa baladin maiyitin fa`ahyainaa bihil ardha ba`da mautihaa. Kadzaalikan nusyuuru”
”Dan Allah, Dialah Yang mengirimkan angin; lalu angin itu menggerakkan awan, maka Kami halau awan itu kesuatu negeri yang mati lalu Kami hidupkan bumi setelah matinya dengan hujan itu. Demikianlah kebangkitan itu.
Allahlah yang menghalau awan ke suatu tempat. Suatu tempat yang dikatakan telah mati atau pengertian kita tanah yang tandus untuk kemudian Allah turunkan air untuk menghidupkan segala sesuatu di tempat tersebut. Dan ayat ini juga memberikan pengertian kepada kita untuk meyakini akan kebenaran “kebangkitan” sesudah mati.
Dan Allah juga mengatur dimana hujan akan turun. Antara daerah satu dengan daerah yang lain sudah ada waktunya sendiri-sendiri. Hal ini tak lain adalah untuk memberikan keadilan bagi seluruh makhluk yang ada di muka bumi. Dan demi kelangsungan kehidupan makhluk itu sendiri. Banyak sedikitnya hujan yang turun di suatu daerah sudah ada takarannya masing-masing. Secara logika seharusnya setiap daerah bisa menyerap dan menyimpan banyaknya curah hujan yang turun. Tetapi ulah manusia yang merusak banyak “kantong-kantong” penyimpan air menyebabkan air bisa berubah menjadi bencana yang tak terhindarkan.
Bergilirnya hujan dari satu tempat ke tempat yang lain harusnya menjadi pelajaran bagi manusia. Bahwa hal itu adalah sebuah “kesengajaan” agar bumi tetap hidup. Jika bumi hidup maka makhluk yang ada di atas bumi akan terjamin kehidupannya. Dan jika hujan hanya turun di satu tempat sepanjang tahun, maka bisa dipastikan, satu tempat dibumi akan mengalami kekeringan yang luar biasa yang tidak ada satu makhlukpun yang akan bisa bertahan hidup. Dan satu tempat yang lain akan mengalami bencana banjir yang juga luar biasa, yang bisa dipastikan akan menghentikan semua kegiatan manusia. Dan manusia akan sibuk dengan keselamatan dirinya sendiri. Yang pada akhirnya manusia akan menyusul makhluk-makhluk lain yang lebih dulu menyerah terhadap kehendak alam.
Bagaimana proses terjadinya “hujan” ?
Syarat-syarat terjadinya hujan adalah adanya udara yang naik dengan membawa kandungan uap air (gas/vapor). Uap air yang panas ini kemudian berubah dingin. Dan terjadilah proses kondensasi, yaitu berubahnya uap air dari gas menjadi cair. Bila suhu udara mencapai dibawah titik beku, maka butiran air akan menjadi butiran atau kristal es.
Butiran-butiran air yang semula kecil makin membesar akibat dari peristiwa kondensasi yaitu menyatunya molekul air selama terbawa oleh turbulensi udara. Kemudian butiran-butiran air itu tak kuasa menahan adanya grafitasi bumi lalu jatuhlah butiran-butiran tersebut ke bawah. Selama dalam perjalanan jatuhnya butiran-butiran air itu mengalami evaporasi karena aliran udara turbulen. Butiran yang tadinya besar berubah mengecil akibat terpisahnya partikel partikel pembentuknya menjadi aerosol.
Proses tersebut terjadi berulang-ulang selama jutaan tahun. Dan kita menganggapnya sebagai suatu hal yang biasa. Sesuatu yang alamiah. Yang tidak perlu untuk di perdebatkan tentang kejadian dan manfaatnya karena sudah jelas prosesnya dan kegunaannya. Memang diantara manusia kebanyakan hanya berorientasi terhadap sesuatu mengenai ada dan kegunaannya saja. Tanpa harus tahu apa makna dari pesan yang dibawa oleh sesuatu tersebut.
Kita mempercayai secara tekstual bahwa tidak sia-sia segala sesuatu di alam ini tercipta. Tetapi jika ditanya apa makna dari pesan yang disampaikan dari sesuatu tersebut, kebanyakan dari kita akan menggelengkan kepala alias tidak tahu. Inilah kelemahan utama kita. Tidak mau susah atau repot. Yang melekat erat pada dari kita adalah kata “Pokok”. Pokok “urip”, pokok sehat, pokok “mangan”, pokok sekolah, pokok sembahyang, pokok “nang masjid” dan banyak “pokok” lain.
Yang kebanyakan tidak kita inginkan adalah pokok “mati”. Kita ingin mati kita di usia tua, tanpa rasa sakit, tidak mati dibunuh orang, tidak mati tertabrak truck, tidak “mendelik”, tidak “melet” dan lain lain. Tapi sebelum mati tidak pernah terlintas bagaimana usaha untuk tidak mati dalam keadaan “menggenaskan” tersebut.
Kita tidak menghendaki “proses”. Apalagi yang berbelit-belit. Kita lebih senang jika segala sesuatunya mirip-mirip dengan ilmu “sihir”. Tiba-tiba ada, ujug-ujug muncul, langsung “jadi”. Yang tidak kita kehendaki adalah langsung “mati”. Karena kebanyakan dari kita tidak menghendaki ada “mati” dalam sebuah kehidupan. Apalagi menyangkut diri kita.
Demikianlah, segala sesuatu ada prosesnya. Ada ilmunya. Jika kita bersikap tidak perduli dengan ilmu maka kita akan jadi MPP Alias, Manusia Plonga-Plongo. Alias tidak mengerti apa-apa. Bisanya cuma makan dan kenyang. Seperti sebuah tong sampah yang bisa bicara dan berjalan sendiri.
Mengapa harus ada hujan ?
“Cerah” dan “hujan” ibarat dua permukaan mata uang di satu keping atau lembaran. Yang keduanya tidak akan pernah dapat di pisahkan. Jika kita menemukan salah satu dari keduanya terpisah. Pasti, di situ kita menemukan sebuah “kepalsuan”. Demikian juga hujan. Jika hujan “tidak” harus ada, berarti “cerah” yang ada di sekitar bumi yang kita tempati ini adalah sebuah “kepalsuan”. Karena Allah menciptakan segala sesuatu di alam ini dalam keadaan berpasangan. Tidak terkecuali hujan dan cerah. Hujan harus turun karena bumi kita masih “hidup”. Dan hujan harus turun karena kehidupan harus berlangsung.
Air adalah “darah” bumi. Laut atau samudra adalah jantung kehidupan. Yang “memompa”, “mencuci” dan “mendistribusikan” ke setiap tempat yang membutuhkan. Hujan adalah “darah bersih” yang dialokasikan ke setiap bagian dari bumi dengan sistem distribusi yang paling canggih di alam ini. Dan kita ?
Kita adalah khalifatul ardh. Kita adalah “pemimpin” di muka bumi. Kita adalah “parasit” bumi. Tapi, kebanyakan kita justru menempatkan diri sebagai “benalu”. Sebuah “parasit” yang banyak merugikan diri bumi. Yang tidak banyak bermanfaat untuk kelangsungan hidup bumi. Hanya menyerap. Dan menghisap sari-sari makanan yang tersedia. Untuk kepentingan dirinya sendiri. Tak perduli dengan yang lain.
Dan kita semua tahu, “benalu” bukanlah “anggrek”. Benalu akan tertebang dan menempati tong sampah untuk kemudian di bakar di panasnya api. Tapi “anggrek” akan selamat. Akan diselamatkan. Dan akan dipelihara olehNya sampai titik “ajal”nya. Untuk kemudian berpindah di kehidupan yang lain dan menempati sebuah taman yang sangat indah. Yang jauh lebih indah dari tempat asalnya.
Lantas, siapakah diri kita yang sebenarnya ? “Anggrek”-kah ? Atau justru “benalu” ?
Selain Allah swt yang telah menciptakan kita, hanya kita sendirilah yang tahu siapa sebenarnya diri kita. Anggrek,......benalu,.......anggrek,........benalu,.......anggrek,.......benalu........”Benaluuuuuu”,.........!
Benar ! Kita ibarat be,......na,......luuuuuu.
Selengkapnya...
Jumat, 30 April 2010
Hujan, Tetesan Pencerahan.
Kamis, 29 April 2010
Laut, Sebuah Pelajaran Hidup
Laut, sebuah pelajaran hidup.
Pernahkah anda ke laut atau ke pantai ? Jika belum pernah, anda perlu untuk mencoba melangkahkan kaki anda ke laut atau ke tepi pantai. Sendirian atau dengan keluarga. Cuma kalau dengan keluarga kepentingan kita untuk datang ke pantai atau laut hanya terbatas pada keinginan untuk menikmati keindahnya saja. Jarang sekali mereka yang datang ke laut atau pantai memperoleh sebuah kesan yang sebenarnya menyampaikan sebuah pesan kepada kita.
Sebuah pesan yang mengisyaratkan kepada setiap orang yang bisa melihat, yang bisa merasakan, yang bisa memahami akan kebenaran adanya suatu dzat yang mencipta dan mengatur semua yang ada di alam ini. Bahwa Allah itu benar adanya. Semua yang ada di sekitar kita baik yang terlihat atau yang tidak terlihat oleh mata kita adalah benar ciptaanNya. Dan semua informasi yang ada di dalam Al Qur`an adalah benar. Baik berupa perintah maupun berupa larangan. Dan kita wajib untuk mentaatinya secara mutlak.
Jika anda merasa pernah atau bahkan sering mengunjungi pantai, adakah pernah anda berpikir. Mengapa air laut rasanya asin ? Kenapa terlihat berwarna biru ? Mengapa pula berombak ? Mengapa air laut itu kadang pasang kadang surut ?
Air laut asin dikarenakan proses pelapukan batuan-batuan yang ada di bumi yang terbawa oleh air hujan yang turun ke bumi menuju ke laut. Hujan sendiri terjadi akibat dari menguapnya air laut karena panas matahari yang menembus atmosfer. Kemudian turun atau jatuh di daratan dan membawa material garam yang ada di batuan-batuan menuju ke laut. Hal ini berlangsung selama milyaran tahun hingga saat ini. Proses ini tidak berjalan dengan sendirinya. Semua diatur dan diperintah oleh Allah.
QS. Faathir : 9.
وَاللَّهُ الَّذِي أَرْسَلَ الرِّيَاحَ فَتُثِيرُ سَحَابًا فَسُقْنَاهُ إِلَىٰ بَلَدٍ مَيِّتٍ فَأَحْيَيْنَا بِهِ الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا ۚ كَذَٰلِكَ النُّشُورُ﴿٩﴾
”Wallahul ladzii arsalar riyaaha fatusyiiru sahaaban fasuqnaahu `ilaa baladin mayyitin fa`ahyainaa bihil ardha ba`da mautihaa kadzaalikan nusyuuru”
”Dan Allah, Dialah Yang mengirimkan angin; lalu angin itu menggerakkan awan, maka Kami halau awan itu kesuatu negeri yang mati lalu Kami hidupkan bumi setelah matinya dengan hujan itu. Demikianlah kebangkitan itu”.
Hujan turun di suatu tempat adalah perintah Allah. Untuk menghidupkan kembali tanah yang mati atau kering dan tidak bermanfaat bagi manusia. Dari proses penguapan air laut sampai turun di suatu tempat dan kembali laut adalah sebuah kesengajaan. Air yang tadinya asin di “angkat” kemudian diturunkan dalam keadaan tawar. Dan disaring lagi dalam tanah untuk kemudian dikonsumsi manusia dalam keadaan bersih. Dan dikembalikan lagi ke laut melalui sungai dalam keadaan kotor. Kemudian di proses lagi. Demikian berlangsung jutaan tahun.
Ayat diatas menginformasikan kepada kita bahwa Allah benar-benar akan membangkitkan mereka yang sudah mati. Seperti dengan mudahnya Allah menghidupkan tanah yang mati atau tandus. Setelah “disiram” dengan air hujan, maka semua makhluk bisa hidup disana. Termasuk binatang dan tanaman.
Lantas kenapa berwarna biru ?
Warna biru disebabkan panjang gelombang cahaya matahari yang masuk ke atmosfer bumi mulai mengecil dan panjang gelombangnya sama dengan panjang gelombang warna biru sehingga secara keseluruhan bagian dari bumi terlihat berwarna biru. Maka dari itu planet bumi juga disebut planet biru.
Bagaimana pula terjadinya ombak di pantai ?
Ombak adalah gelombang yang ada dan terjadi di permukaan laut. Terjadi karena beberapa sebab. Diantaranya adalah hembusan angin dan juga di karenakan adanya atau terjadinya pasang surut akibat dari gravitasi bulan dan matahari. Bisa juga disebabkan karena gerakan-gerakan yang terjadi di dalam laut. Seperti aktifitas gunung berapi dalam laut.
Bagaimana terjadinya pasang surut air laut dan apa manfaatnya bagi manusia ?
Peristiwa terjadinya pasang surut air laut adalah karena gaya tarik dari bulan dan matahari. Keduanya sama-sama mempunyai pengaruh pada pasang surut air laut di permukaan bumi. Pasang naik tertinggi bisa terjadi di satu tempat di bumi apabila antara bumi, bulan dan matahari berada dalam satu garis. Yaitu pada saat bulan purnama. Dan pasang naik terendah air laut bisa terjadi jika antara bumi, bulan dan matahari membentuk posisi garis tegak lurus. Yaitu pada saat bulan terlihat seperempat bagian.
Uraian diatas adalah uraian ilmiah dari sebuah proses alam. Semua yang pernah terjadi dan sedang terjadi saat ini adalah sebuah uraian ayat-ayat atau tanda-tanda tentang eksistensinya Allah swt. Bahwa Allah itu benar adanya, dan sedang mengatur semua rangkaian gerak atau proses yang terjadi di alam semesta ini. Hanya kita saja yang tidak pernah mau memahami gerakan alam.
Semua gerakan alam ini mempunyai maksud dan tujuan yang jelas. Dan semua gerakan alam itu menunjukkan bahwa alam ini bukan benda mati. Mereka semua dalam keadaan hidup dan sedang bertasbih kepada Allah. Ada beberapa ayat yang menjelaskan kalau semua yang ada di langit dan di bumi ini bertasbih kepada Allah. Demikian juga dengan bulan dan bumi yang kita tempati ini.
Coba simak, apa yang bisa diambil manfaatnya bagi manusia dengan terjadinya pasang surut air laut.
Pada saat air pasang nelayan bisa membawa perahunya ke tengah laut dan mengambil apa saja yang ada di dalamya. Terutama ikan. Dan hasil tangkapan nelayan ini bisa untuk menghidupi para nelayan dengan seluruh keluarganya. Perhatikan apakah ini sebuah ketidaksengajaan ? Nelayan pantai tidak akan pernah sampai ke tengah laut jika tidak di jemput oleh laut itu sendiri. Demikian juga nelayan tidak akan bisa kembali ke daratan tanpa diantar oleh laut dengan pasangnya air. Dan air laut tidak akan pasang kalau Allah tidak memerintahkannya.
Pasangnya air laut juga digunakan untuk meluncurkan kapal-kapal besar yang telah selesai diproduksi atau diperbaiki. Dengan jalan memanfaatkan air pasang untuk mengangkat dan menempatkan kapal diatas dok dan meluncurkannya kembali pada saat air pasang juga. Pasang surut air laut Juga bermanfaat bagi pekerjaan konstruksi di daerah pantai atau tepi laut. Mereka bekerja di waktu air surut dan mengakhiri pekerjaan di waktu air pasang.
Pasangnya air laut juga membawa ikan-ikan untuk turut mencari makan di laut dangkal. Dan para pencari ikan yang tidak mempunyai perahupun bisa juga mencari ikan pada saat air mulai pasang. Dengan cara mengail, menjala atau mungkin memasang perangkap untuk kemudian diambil pada saat air mulai surut. Apakah ini bukan merupakan suatu keadilan bagi manusia ?
Jika dibelahan bumi terjadi pasang naik maka dibelahan bumi yang lain akan mengalami pasang surut. Disaat air surut para istri nelayan yang tinggal di rumah bisa memanfaatkan waktu untuk mencari kerang yang hidup di lubang-lubang kecil di pasir laut yang terhampar. Dengan rangsangan air kapur (apu atau enjet : jawa) mereka bisa memaksa keluar “Lorjuk” yang harga di pasaran per kilonya cukup tinggi. Disamping binatang-binatang laut lain seperti yang banyak kita jumpai di pasar-pasar tradisional di tepi pantai.
Setelah beberapa saat berlalu air kembali pasang naik dan menggenangi daratan pantai. Untuk apa ? Mengantarkan kembali nelayan yang sebelumnya berangkat melaut. Dan periode ini sudah diatur sedemikian rupa hingga tangkapan para nelayan bisa sampai ke pasar dan pembeli masih dalam keadaan segar. Dan itu berlangsung setiap hari. Dan terjadi di kedua belahan bumi secara bergantian.
Apakah itu bukan suatu keadilan bagi manusia ? Apakah semua peristiwa itu berjalan dengan sendirinya ? Tidak ! Mereka semua bergerak menuruti perintah Allah. Semua yang ada di bumi ini adalah makhluk dan semua dari mereka tunduk dan patuh pada perintah Allah. Tidak pernah membantah. Kecuali manusia. Manusia sering membantah apa-apa yang diperintahkan oleh Allah. Walaupun sudah di bekali dengan akal tetap saja manusia banyak yang menyangkal tentang semua “kebenaran” alam tersebut.
Laut menyimpan banyak pelajaran bagi manusia. Ikan yang ada di dalamnya tidak pernah terasa asin dagingnya apabila ikan tersebut belum menjadi bangkai yang kering. Hal itu disebabkan ikan tidak pernah terpengaruh dengan asinnya air laut. Garam itu nikmat rasanya dan dibutuhkan oleh manusia. Jika sebuah masakan tidak di bubuhi garam rasanya “anyep” atau “hambar” dan tidak mengundang selera makan. Harus di tambahkan garam untuk mengolah setiap masakan supaya lebih nikmat rasanya. Tapi kebanyakan garam juga bisa menyebabkan celaka bagi manusia.
Ikan asin adalah ikan yang di keringkan dibawah terik matahari setelah melalui proses penggaraman. Keberadaan ikan yang diasinkan tersebut masih sangat di butuhkan oleh manusia, terutama untuk masyarakat bawah yang tidak mempunyai kemampuan untuk membeli ikan segar. Dan mereka membutuhkan “asin”nya ikan ini untuk membuat makan mereka menjadi lezat. Tetapi ada juga ikan asin yang mahal harganya. Yaitu untuk jenis ikan-ikan tertentu yang di “asin”kan.
Pelajaran yang bisa diambil dari ikan ini adalah walaupun hidup di air garam, sama sekali tidak membuat tubuh ikan terkontaminasi dengan “asin”nya garam. Demikian juga manusia. Harusnya tidak terlalu mengutamakan “keduniaan” walaupun manusia hidup di dunia dengan segala kenikmatan yang ada di dalamnya. Seharusnya manusia lebih berorientasi pada kehidupan setelah dunia yaitu kehidupan akhirat. Tidak terlena dengan kenikmatan-kenikmatan dan gemerlapnya kehidupan dunia. Itulah yang harusnya dipahami dari sebuah tangkapan seekor ikan dari lautan.
Lantas pelajaran apa yang bisa diambil dari keberadaan laut ? Coba saja kita simak. Laut “bersedia” menyimpan apa yang di butuhkan manusia. Laut yang begitu kaya, menyediakan dirinya untuk menjadi “gudang” atau “lumbung” makanan dan kekayaan materi bagi manusia. Airnya juga bisa dimanfaatkan untuk mengerakkan turbin-turbin uap untuk menghasilkan energi listrik yang sangat berguna bagi kehidupan manusia. Di daerah pesisir petani memanfaatkan air laut untuk memproduksi garam “krosok” dengan jalan ditampung dan di uapkan di tanah yang rata dan halus.
Laut bersedia menjadi jalan sekaligus mengantarkan manusia dari tepi ke tengah dan dari tengah ke tepi dengan bantuan angin yang mendorong layar-layar perahu nelayan. Laut bersedia menguapkan dirinya untuk kemudian tinggal di angkasa berupa awan dan rela untuk dibawa ke suatu tempat yang telah di tentukan. Kemudian menjatuhkan dirinya berupa butiran-butiran air yang tidak berbahaya bagi manusia di bawahnya.
Jatuhnya butir-butir air itu tak lain hanyalah untuk memberikan kehidupan makhluk yang ada di bawahnya. Bayangkan jika jatuhnya berupa bongkahan-bongkahan es batu. Pasti akan banyak jatuh korban dan mungkin manusia tidak akan bisa berkembang biak sebanyak sekarang ini. Bukankah ini sesuatu yang sudah diatur sedemikian rupa untuk kehidupan manusia ? Tapi banyak manusia yang “cuek” dan tidak mau tahu kalau dirinya diberi kehidupan, dilindungi, diberi rejeki yang demikian besar oleh Allah.
Belum lagi “keikhlasan”nya dalam menerima semua kotoran yang datang dari daratan akibat ulah manusia. Dengan seenaknya manusia membuang sampah di sungai. Kemudian sungai mengangkut sampah tersebut ke laut. Dan laut menerima dengan ikhlas sampah-sampah tersebut. Tapi laut harus “bersih”. Karena hanya yang baik dan bersih yang patut di persembahkan untuk kehidupan. Kotoran-kotoran yang masuk akan dilemparkan kembali ke tepi atau ke daratan setelah “dicuci” bersih untuk kemudian ditinggalkan pada saat air surut.
Sampai disini kita bisa menyimpulkan, betapa laut sangat berguna bagi kehidupan. Begitu Ikhlas mengorbankan diri untuk menguap menjadi awan dan kemudian turun untuk membasahi tempat-tempat yang membutuhkan serta rela menerima apapun yang dibuang ke laut oleh manusia. Begitu tulus laut mengabdi untuk kehidupan ini. Seakan memberikan contoh atau suri tauladan bagi manusia bagaimana seharusnya hidup.
Menghamba hanya kepada Allah, bersedia berkorban untuk makhluk atau manusia lain. Selalu membersihkan diri dari kotoran atau perbuatan dosa. Bersedia untuk selalu menolong manusia lain seperti laut membawa perahu atau kapal berlayar. Kesimpulannya adalah keberadaan laut sangat berguna atau bermanfaat bagi manusia dan makhluk-makhluk Allah yang lain. Begitulah seharusnya hidup. Dan Allah memberikan banyak sekali tanda-tanda dan contoh-contoh. Baik pada diri Rasulullah Sayyidina Muhammad saw maupun pada perilaku makhluk-makhluk Allah yang lain.
Mudah-mudahan luasnya laut dan indahnya pantai dapat menjadikan kita bisa memahami tentang kehidupan ini. Dan tidak segan-segan untuk mengambil pelajaran-pelajaran yang ada di dalamnya. Karena Allah tidak akan menciptakan sesuatu dengan sia-sia. Pada semua ciptaanNya terdapat tanda-tanda dan pelajaran hidup yang sangat berharga bagi manusia.
sekian.
Selengkapnya...
Jumat, 23 April 2010
Haruskah kita Meminta.
Haruskah kita meminta ?
Di tulisan sebelumnya saya mencoba sedikit mengupas masalah “pengemis”. Ada seseorang yang memang seharusnya meminta-minta dan ada pula dari mereka yang tidak seharusnya meminta-minta. Tapi kemudahan untuk mengumpulkan uang receh dengan hanya menjadi “pengemis” ini telah pula merangsang mereka yang seharusnya berusaha secara normal untuk ikut terjun di dalamnya.
Diantara mereka yang melibatkan diri dalam dunia “peminta-minta” itu ada yang bekerja secara sendiri-sendiri ada pula yang bekerja secara kelompok. Mereka ada yang mengkoordinir. Dengan alasan untuk kepentingan pembangunan masjid atau pondok pesantren atau yayasan pengasuh Yatim Piatu. Mereka rela untuk berjalan jauh dari tempat asal. Bahkan sejauh ratusan kilometer dari tempat asal.
Sekarang ini muncul banyak cara-cara pemungutan sumbangan dana. Misalnya yang sudah lama sekali berlangsung dan sampai sekarang masih berlangsung adalah praktik permintaan sumbangan di jalan-jalan raya. Dengan dalih untuk pembangunan masjid, sering kita jumpai permintaan sumbangan yang kadang justru membuat mecet jalanan dan membuat tidak nyaman pengguna jalan.
Meskipun model pemungutan sumbangan seperti itu pernah tidak di setujui oleh para ulama, tapi sampai saat ini masih saja ada yang melakukannya. Mereka bersikeras bahwa pemungutan sumbangan itu murni untuk pembangunan rumah ibadah. Mereka juga beranggapan dengan cara itu pembangunan akan lebih cepat selesai. Dan dengan cara itu pula mereka mencoba menggugah kemauan orang untuk bersedekah.
Yang tidak kita sadari adalah keterlibatan nama agama di dalamnya. Masjid identik dengan “rumah” Allah yang kalau diartikan adalah tempat beribadah sekumpulan orang-orang yang mengabdikan dirinya hanya kepada Allah. Allah tidak membutuhkan sedekah kita. Allah itu Maha Kaya. Kitalah yang membutuhkan Allah. Jadi seharusnya kitalah yang memberikan sedekah kepada mereka dengan kemauan sendiri. Bukan di minta ! Apalagi di jalan raya atau tempat-tempat umum.
Banyak alasan untuk membantah tentang “kebenaran” bahwa manusialah yang butuh Allah. Ada yang beralasan kita “menjemput bola” kok. Kita melayani mereka untuk bersedekah kok. Kita membantu untuk menyalurkan hasrat infaq mereka kok. Dan banyak lagi alasan-alasan lain untuk “pembenaran” apa yang telah dilakukannya.
Jika tidak membawa-bawa nama Allah atau nama agama Islam. Silakan saja mereka lakukan yang demikian. Tapi jika kita membawa nama Islam sebagai “penghipnotis” orang agar mau menyumbang hasrat kita, hal yang demikian sangat tidak bijaksana. Terlalu merendahkan nilai sebuah ajaran agama yang mengharuskan untuk berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan sesuatu sebelum memutuskan untuk “meminta-minta”.
Tidak bisakah kita untuk selalu berusaha mengajak umat untuk memenuhi kewajiban untuk berinfaq demi tegaknya agama Allah dan demi keselamatan diri kita sendiri ? Apakah meminta sumbangan dengan cara itu merupakan satu-satunya cara untuk mendapatkan dana pembangunan rumah Allah ? Tidakkah kita menyadari kalau cara tersebut lebih di dominasi oleh besarnya nafsu untuk tergesa-gesa agar pembangunan segera selesai ?
Dan tidakkah kita juga menyadari kalau-kalau dalam ketergesaan kita dipengaruhi oleh sesuatu yang menginginkan kita menempuh jalan yang justru bisa membuat kita “kewirangan” ? Sesungguhnya kita harus lebih bersemangat untuk melakukan pencerahan-pencerahan hati umat agar tidak segan untuk berinfaq demi agama dan demi diri umat sendiri. Toh yang demikian itu memang diperintahkan. Bahkan merupakan pilar perbuatan kebajikan.
Contoh lain adalah pemungutan sumbangan yang meng-atasnama-kan Islam. Yang cara memintanya dengan berkeliling ke tempat-tempat umum. Terutama di pasar-pasar tradisional. Mereka membawa rombongan yang masing-masing orang membawa kaleng-kaleng untuk di isi uang sedekah dari orang-orang yang di jumpainya. Dan di belakang mereka sebuah mobil station membututi langkah kaki para peminta sumbangan itu dengan mengumandangkan shalawat dan kata-kata yang bermakna minta sumbangan.
Ada lagi yang di “drop” di ujung jalan kampung lalu serombongan orang keluar menuju rumah-rumah sambil membawa map berisikan surat permintaan sumbangan. Kemudian satu per satu rumah dimasuki. Tak perduli itu rumahnya orang muslim atau rumah non muslim. Pernah saya tanya dari mana asalnya, mereka menjawab dari jawa tengah. Saya berpikir, jauh sekali orang-orang ini minta sumbangan. Alasan mereka untuk pondok pesantren.
Kadang saya juga berpikir, apa ya benar mereka meminta sumbangan untuk pondok pesantren sampai sedemikian jauh ratusan kilometer ? Kadang memang meragukan orang-orang ini. Sudah gitu membawa nama Islam lagi. Apa ya benar Islam membolehkan mencari dana dengan cara seperti itu ?
Setiap kali menghadapi orang-orang seperti itu selalu datang keraguan yang sama. Apa ya benar agama saya mengharuskan mencari dana sumbangan untuk pondok, pembangunan Masjid, untuk panti asuhan dengan cara demikian. Seakan-akan tidak ada lagi orang-orang Islam yang mau datang untuk menyumbangkan hartanya di jalan Allah.
Apakah orang-orang itu mengerti kalau cara-cara demikian itu justru membuat turunnya martabat umat Islam ? Apakah mereka juga tidak tahu kalau yang demikian itu justru menjadi bahan tertawaan umat di luar Islam ? Peran mereka dalam meminta sumbangan itu bisa di ibaratkan melepas satu per satu penutup aurat Islam. Satu hal yang sangat penting sekali adalah malu itu sebagian dari Iman. Jika sebagian umat Islam tanpa rasa malu lagi berani melakukan “minta-minta” sumbangan di tempat-tempat umum dan disaksikan oleh umat-umat beragama lain, maka pelan tapi pasti kredibilitas Islam sebagai agama yang kita anggap “benar” akan semakin terkikis.
Yang agak baru yang saya temui adalah “meminta” di Anjungan Tunai Mandiri atau ATM. Dengan alasan untuk panti asuhan mereka memberikan masing-masing orang yang akan masuk ke bilik ATM selembar amplop kosong ber-label Yayasan Yatim Piatu. Cara ini juga di pakai di bus-bus antar kota. Mereka ini berpakaian begitu rapi. Ada laki-laki ada juga yang perempuan. Tidak seperti umumnya orang yang meminta-minta mereka terlihat begitu berwibawa, sopan, bagus bicaranya. Tapi pada dasarnya mereka itu “meminta” sumbangan. Tidak berbeda dengan yang telah saya ceritakan di atas.
Mungkin mereka hendak meminta dengan cara “terhormat”. Dengan berpakaian rapi dan bersepatu. Berdiri di sebelah pintu bilik ATM. Atau di bus-bus antar kota. Membagikan amplop kosong. Berharap amplop diserahkan kembali sudah berisi uang. Tentunya uang kertas. Bukan uang “receh”. Tentunya juga berharap yang dimasukkan ke amplop adalah satu lembar atau lebih uang yang baru saja diambil dari “mesin” ATM. Jadi, paling tidak ya lima puluh ribuan.
Tapi apa ada ya yang mengisi amplop itu dengan uang lima puluh ribuan atau bahkan mungkin seratus ribuan. Kalau ada siapa ya yang akan menerima sumbangan tersebut ? Pernah saya tanya tentang jumlah karyawan yang terlibat dalam pemungutan sumbangan. Mereka menjawab tidak ada karyawan. Yang ada cuma relawan. Saya tidak tahu para relawan ini mendapat gaji apa benar-benar rela tidak digaji. Atau mungkin ada aturan-aturan tentang bagi hasil dari perolehan “minta-minta” tersebut.
Kalau sama sekali tidak mendapatkan “hasil” saya pribadi ya kurang percaya. Kenapa ? Sekarang ini siapa sih di negara ini yang bisa di percaya ? Negara kita ini mayoritas penduduknya beragama Islam. Tapi pribadi-pribadi yang tercetak justru telah menghasilkan” image” kalau negara ini penuh dengan koruptor. Bahkan menurut urutan, negara kita ada di daftar “atas” negara yang penuh dengan kasus korupsi. Para pejabatnya saja nggak bisa di percaya, apalagi mereka yang yang nggak jelas asal usulnya.
Orang boleh meminta kalau sudah dalam keadaan terpaksa. Itupun harus terbatas pada kebutuhan perut untuk hari itu saja. Untuk esok dia harus mengusahakannya lagi. Kalau alasannya menggalang dana untuk menghidupi anak yatim piatu, tidak adakah cara lain yang lebih terhormat dan lebih manusiawi ?
Sudah tidak adakah umat muslim yang perduli dengan perintah agamanya sendiri ? Hingga umat yang jumlahnya mayoritas ini harus dibuat “malu” dengan jalan “diminta” dengan disaksikan oleh umat-umat beragama lain ?
Banyak cara yang lebih arif untuk menggalang dana demi kepentingan anak yatim. Seperti yang sudah ada di Surabaya. Dengan bekerja sama dengan lembaga atau institusi pemerintah atau swasta. Setiap bulan para karyawan rela menyisihkan sebagian kecil penghasilannya untuk sedekah. Dengan imbalan informasi tentang dunia Islam melalui sebuah bulletin, sedikit demi sedikit dana akan terkumpul untuk yayasan. Dan cara ini lebih “Islami”. Karena ada faktor usaha untuk membuat sekumpulan berita tentang Islam dan dakwah Islam. Disini ada faktor “kerja” sebagai usaha untuk mendapatkan sesuatu.
Rasulullah pernah bersabda, “Demi Allah yang hidupku dalam genggamanNya, seseorang yang mengambil seutas tali kemudian mencari kayu bakar, lalu kayu tersebut diangkutnya di atas punggungnya, adalah lebih baik baginya daripada dia meminta-minta kepada orang lain yang mungkin dia akan diberi atau di tolak”.
Harus ada sedikit “usaha”. Dan “usaha” inilah yang harus dimodifikasi bentuknya. Bukan cuma “tampilannya” saja yang dibuat perlente tapi essensinya tetap minta-minta. Dan cara ini juga kurang manusiawi, karena dengan menyodori amplop yang seharusnya diisi uang. Sementara orang lain melihat kronologis proses “minta-minta” tersebut. Cara ini seperti menembak sekaligus mempermalukan sasaran.
Bagaimana tidak, ajaran agama menganjurkan untuk tidak segan memberi pada mereka yang membutuhkan, tidak pelit. Sementara kita semua yang antri di depan ATM sudah mengetahui kalau pemberi amplop itu “minta” sumbangan. Mau menolak langsung di luar pintu kok “sawangan-ne” wong jelas-jelas mau ambil uang kok nggak mau dimintai sumbangan. Kok cik medhite, kata orang jawa. Mau diterima amplopnya tapi keluar ATM dikembalikan kosong kok ya “kebacut”. Wong yang terima amplop kembali bilang banyak terima kasih. Padahal amplope “kosong”. Kita yang mengalami jadi serba repot. Nggak dikasih terkesan “bakhil” dikasih justru menambah semangat mereka.
Dari segi agama memang tidak membolehkan untuk berpikir negatif. Mau memberi ya beri saja, nggak usah mikir yang macem-macem. Lakukan sesuatu yang baik dengan senang hati. Karena di “senang hati” ada keikhlasan. Jika memberi tapi disertai dengan rasa curiga, juga tak akan menghasilkan apa-apa buat yang memberi. Kalaupun di beri juga tidak akan menyelesaikan masalah. Mereka akan tetap terus meminta dan meminta lagi. Sepanjang hari, sepanjang minggu. Malah bisa-bisa sepanjang tahun.
Padahal sudah jelas, mereka itu tidak membawa nama sendiri. Mereka bersembunyi di balik pondok pesantren, yayasan anak yatim dan gerakan-gerakan sosial lainnya. Dan bagaimanapun kemasannya tetap saja essensinya adalah “meminta”. Yang sangat tidak dianjurkan oleh agama. Yang dianjurkan adalah “berusaha” untuk memenuhi kebutuhan kita. Jika memang tidak mampu lagi untuk berusaha, apa boleh buat. Minta lah walaupun hasilnya hanya cukup untuk mengganjal perut.
Tulisan ini hanya untuk memancing pembaca untuk berkomentar. Bagaimana seharusnya kita harus bersikap terhadap masalah seperti itu. Hasilnya adalah tergantung masing-masing diri kita. Mau langsung “kasih saja” “atau tidak usah dikasih” masing-masing ada konsekwensinya sendiri-sendiri. “Dikasih” berkesan baik tapi tidak tahu aliran dananya. Dan semakin membuat mereka bersemangat untuk meminta. Tidak dikasih, konsekwensinya adalah pandangan orang terhadap kita pada saat itu. Terkesan “medhit, pelit, kikir, bakhil” semua menyatu dalam diri kita.
Sekian.
Selengkapnya...
Rabu, 21 April 2010
Mengapa Harus Meminta.
Mengapa harus meminta ?
Sering kita menjumpai seseorang yang datang kepada kita untuk meminta sedekah. Di rumah, di jalan-jalan atau di tempat-tempat umum sewaktu kita sedang berada di luar rumah. Kita menyebut mereka dengan sebutan “pengemis”. Yaitu orang yang memanfaatkan hari-hari dalam hidupnya untuk meminta-minta kepada orang lain. Tak jarang pula kita memberi mereka dengan uang “receh” karena para peminta-minta ini identik sekali dengan uang “receh” atau uang logam. Tak jarang pula seseorang menolak untuk memberi dengan alasan nggak ada uang “receh”. Dengan menolak secara halus dengan kata-kata yang sopan atau dengan mempersilahkan kepada peminta-minta tersebut untuk meminta kepada orang lain saja.
Yang akan coba kupas adalah bagaimana kita harus bersikap terhadap mereka ? Dan bagaimanakah sebenarnya kenyataan kehidupan mereka ? Haruskah mereka meminta-minta ?
Bagaimana kita harus bersikap kepada mereka ?
Ada dasar yang sangat kuat bagaimana kita harus bersikap terhadap mereka. Allah menempatkan sedekah di urutan paling atas setelah iman dan shalat. Dan disini ada peran besar sedekah dalam mempersatukan manusia dalam kebaikan. Disamping janji-janji Allah dengan balasan yang berlipat ganda, sedekah adalah pilar penyangga keimanan umat. Yang memberi semakin bertambah kekuatan Imannya karena bertambahnya nikmat dari Allah. Yang menerima juga akan semakin memelihara Iman mereka karena Allah senantiasa memelihara rizki dan memudahkan urusan-urusan mereka.
Ada dua arah ibadah dalam pemberian sedekah. Yang pertama terkait dengan keikhlasan dalam mengeluarkan dan memberikannya. Yang menyebabkan ridhanya Allah kepada diri orang yang besedekah. Yang kedua adalah efek horizontal yang terjadi akibat dari suburnya sedekah. Yang bisa menyebabkan meningkatnya kesadaran moral dan kepedulian sosial yang tinggi dari orang-orang beriman.
Sedikit uraian di atas adalah dasar bagi kita untuk memberikan sedekah kepada mereka yang membutuhkan. Disamping sabda Rasulullah saw, bahwa tangan yang diatas (memberi sedekah) lebih baik daripada tangan yang dibawah (peminta sedekah). Pada kali yang lain Rasulullah saw juga berkata kepada para sahabat disaat ada peminta-minta datang kepada mereka “Berikan bantuan, maka kalian akan mendapat pahala, dan Allah akan melaksanakan apa yang Dia kehendaki melalui lisan nabiNya”
Pada riwayat yang lain Rasulullah saw juga bersabda, “Janganlah kamu menahan hartamu (menghindari sedekah) yang akan mengakibatkan Allah menahan anugerahNya kepadamu”. Lantas bagaimana kita harus bersikap ? Kalau merujuk dari Allah dan Rasulullah tak ada pilihan lain kecuali memberi mereka dengan tanpa berpikir panjang lagi. Tentu saja pemberian itu harus sesuai dengan kemampuan kita.
Memberi mereka yang meminta-minta tanpa disertai dengan perasaan yang bertanya tentang “layak” atau tidaknya orang tersebut meminta-minta adalah mutlak memberi karena Allah dan anjuran Rasulullah. Ucapkan basmalah dan berikan dengan “senang hati” lantaran mereka telah menjadi penyebab kita bisa menyalurkan sedekah. Dan do`akan mudah-mudahan sedekah yang kita berikan benar-benar bermanfaat bagi mereka.
Bagaimana sebenarnya kehidupan mereka ?
Hati kadang tidak bisa di ajak kompromi. Walau pada awalnya kita membangun niat bersedekah hanya karena Allah, di akhir sedekah kadang hati bertanya dan pikiran mempersepsi siapa sebenarnya yang telah kita beri sedekah. Hal seperti ini bisa terjadi karena keyakinan kita tentang adanya penyusup-penyusup dari orang yang seharusnya tidak “meminta” menjadikan dirinya “Peminta-minta”. Mengapa demikian ?
Seperti juga sabda Rasulullah saw kepada salah salah satu dari mereka,”Wahai Hakim, harta itu “segar dan manis” siapa yang mengambilnya dengan hati yang puas (tidak rakus) ia akan mendapatkan berkah dari harta itu. Dan siapa yang mengambilnya dengan rakus, ia tidak akan mendapatkan berkah dari harta itu. Seperti orang yang makan tapi tidak pernah merasa kenyang. Tangan yang di atas itu lebih baik daripada tangan yang di bawah”.
Harta itu segar dan manis. Segar dan manisnya harta itulah yang menyebabkan mereka yang seharusnya tidak meminta-minta jadi peminta-minta. Dan cara yang paling mudah mendapatkan sesuatu adalah “meminta” pada orang lain. Kemudahan dalam mengumpulkan “receh” tersebut telah menarik minat sebagian orang untuk menjadikan dirinya “peminta-minta”. Mereka ini tidak menyadari kalau kehadiran mereka ini sebenarnya mengambil hak orang lain. Yaitu hak orang miskin yang “meminta-minta”.
Diantara mereka itu ada “peminta-minta” yang sebenarnya. Yaitu mereka yang memenuhi kebutuhan hidupnya memang harus meminta dikarenakan beberapa faktor. Misalnya : Orang yang sudah tidak lagi mempunyai kemampuan untuk bekerja dikarenakan renta dimakan usia. Orang yang mempunyai cacat tubuh, sehingga tidak mampu untuk bekerja. Orang buta. Dan faktor-faktor lainnya.
Tetapi jika kita melihat realitas “Peminta-minta” yang saat ini banyak kita temui kita bisa mendapatkan kenyataan-kenyataan yang bisa membelalakkan mata kita. Simak saja di media. Ada “Peminta-minta” yang di koordinir oleh seseorang yang di sebut “boss”. Dengan memberikan penampungan dan makan di sebuah rumah yang relatif “menyendiri” atau justru berbaur dengan penduduk di lingkungan kumuh, setiap harinya mereka di “drop” ke tempat-tempat yang sudah di sepakati untuk kemudian di jemput pada sore harinya.
Ada yang bekerja sendiri-sendiri dengan “menyamar” seakan-akan penyandang cacad tubuh seperti lumpuh, atau membalut kaki atau tangan untuk kemudian di lumuri “obat merah” dan kemudian siap beroperasi di perempatan-perempatan jalan. Ada pula yang memang merelakan diri untuk meminta-minta. Padahal di daerah asalnya mereka bukanlah orang “miskin” yang layak untuk meminta-minta. Bahkan mereka itu cukup dalam hal materi. Hanya mereka dengan sengaja menjadikan “Peminta-minta” sebagai profesi.
Pernah juga di tayangkan oleh media televisi tentang realitas kehidupan para “pengemis” di sebuah makam seorang auliya`. Ternyata rumah-rumah kediaman mereka jauh lebih baik dari pada para pekerja atau karyawan sebuah pabrik. Mereka ini “meminta” dengan keadaan sehat dan kuat. Dengan santai mereka menggoyang-goyangkan baskom yang berisi uang recehan hingga terdengar suara gaduh di sekitar jalan menuju makam.
Kenyataan-kenyataan seperti itulah yang menimbulkan keraguan dari diri kita untuk menganggap semua peminta-minta adalah mereka yang memang patut untuk dibantu atau di beri sedekah. Walaupun segala sesuatu bermuara pada Allah. Tetap saja masih ada keraguan dalam melaksanakannya. Ada rasa khawatir jika yang kita lakukan itu tidak tepat pada sasaran. Dan rasa khawatir melakukan sesuatu yang sebenarnya sia-sia.
Haruskah mereka meminta-minta ?
Jika memang harus melakukannya kita akan menerima mereka sebagai kaum yang memang berhak untuk menerima sedekah kita. Tapi jika tidak seharusnya mereka melakukannya mengapa mereka memaksa diri untuk melakukannya ? Tidak adanya rasa takut pada Allah dan relatif mudahnya mencari nafkah dengan meminta-minta telah membuat sebagian orang tidak lagi memperdulikan diri sendiri. Tidak perduli dengan apa yang dilakukannya saat ini dan tidak perduli dengan apa akibat yang akan diterimanya nanti.
Sabda Rasulullah saw di atas berkaitan dengan salah seorang sahabat atau beberapa orang dari kaum anshar yang selalu meminta kepada Rasulullah. Setiap selesai diberikan apa yang telah dia minta sebelumnya esoknya mereka meminta lagi. Dan salah seorang dari mereka yaitu Hakim bin Hizam tersadar dan berkata, “ Ya Rasulullah demi Allah yang telah mengutus anda dengan kebenaran, setelah ini saya tidak akan mau menerima pemberian dari orang lain sehingga saya mati”. Dan sampai akhir hayatnya dimasa dua khalifah yaitu Sayyidina Abu Bakr dan khalifah Umar bin Khattab, hakim tetap tidak mau menerima jatah pampasan perang yang seharusnya menjadi haknya.
Dalam riwayat lain yang masih berkaitan dengan hadist di atas Rasulullah juga mengatakan, “Jika aku masih memiliki sesuatu, tentu aku tidak akan menyembunyikannya dari kalian. Siapa yang menghindari minta-minta, Allah akan memenuhi kebutuhannya. Siapa yang merasa cukup dengan pemberian Allah, Allah akan mencukupinya. Siapa yang berupaya unatuk bersabar, Allah akan membuatnya bersabar. Dan tidak ada anugerah Allah yang diberikan kepada seseorang yang lebih baik dan lebih besar dari pada kesabaran”.
Kekosongan hati dari pengetahuan ilmu agama banyak menyebabkan manusia lebih menoleh pada kenikmatan duniawi. Apa yang telah di capai oleh tetangga kanan kirinya kadang justru membuat lupa pada kebenaran yang pernah diyakininya. Gemerlap cahaya lampu di sekitarnya telah membuat silau mata mereka. Sehingga mereka rela untuk menutup mata dan menyembunyikan muka di hadapan manusia lain hanya untuk menyalakan lampu yang sama dengan tetangga sekitarnya.
Sungguh ironis sekali apa yang terjadi di makam para Auliya. Para Waliyullah itu mengajarkan bagaimana hidup dengan hati dan baju agama. Tujuannya tidak lain hanyalah agar kita tidak terpesona hanya dengan menyaksikan “rupa” dan kilauan “cahaya” dunia. Dan mengajarkan pada kita untuk selalu berusaha dengan segenap kemampuan yang ada dan bersabar dalam menunggu ketetapanNya.
“Pengemis” adalah sebuah fenomena. Tidak di negara kita tidak juga di negara manca. Tidak ada diantara kita yang pernah meminta untuk jadi “peminta-minta”. Tapi diri kita sendirilah yang menghendakinya. Demi kemilaunya cahaya dunia sebagian manusia tidak perduli lagi cahaya yang sebenarnya. Yang akan sangat dibutuhkannya kelak di hari yang sudah di tentukan Allah swt.
Terhadap mereka yang memaksa diri untuk meminta, Rasulullah pernah bersabda, “Demi Allah yang hidupku dalam genggamanNya, seseorang yang mengambil seutas tali kemudian mencari kayu bakar, lalu kayu tersebut diangkutnya di atas punggungnya, adalah lebih baik baginya daripada dia meminta-minta kepada orang lain yang mungkin dia akan diberi atau di tolak”.
Sabda Rasulullah tersebut memberikan pengertian kepada kita bahwa pekerjaan atau upaya serendah apapun menurut penilaian manusia masih lebih baik dari pada harus merelakan diri kita untuk jadi “peminta-minta”. Di riwayat lain Rasulullah juga bersabda, “Ada orang yang tak pernah berhenti meminta-minta kepada orang lain, sehingga kelak pada hari kiamat tidak ada daging sedikitpun di wajahnya”.
Pernahkah kita membayangkan bahwa kita akan menghadap seseorang dengan wajah tanpa daging ? Hanya berupa tulang yang terbungkus kulit ari yang tipis ? Tak akan terbayangkan betapa malunya kita. Apalagi yang akan kita hadapi adalah Allah yang telah menciptakan kita. Yang telah memberikan berbagai kenikmatan selama hidup di dunia. Kita akan mendapat malu yang luar biasa. Yang tidak akan pernah kita bayangkan sebelumnya selama kita hidup di dunia.
Belum lagi balasan yang akan kita terima akibat dari mengabaikan perintah-perintahNya. Tidak mengindahkan apa yang telah dilarangNya. Dan memandang dengan sebelah mata apa yang telah di sabdakan oleh UtusanNya. Tidak mencontoh semua teladan dari RasulNya. Betapa akan sengsaranya kita dalam kehidupan yang sebenarnya. Yang dengan sukarela atau terpaksa kita akan menjalaninya tanpa bisa mengatakan sesuatu apa.
Saya sendiri tidak tahu apa tulisan ini ada gunanya, saya juga tidak pernah membayangkan bahwa tulisan ini akan sampai kepada mereka. Saya cuma bisa berharap bahwa Malaikat akan membisiki sesuatu kepada mereka tentang satu hal, yaitu tangan yang di atas (yang memberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (yang meminta). Sehingga satu demi satu dari mereka akan tersadar dari hipnotis musuh kita yang nyata. Yang senantiasa memalingkan mata, telinga, lambung dan hati manusia menuju keingkaran terhadap Allah azza wa Jalla.
Sekian.
Selengkapnya...
Minggu, 18 April 2010
Perbedaan adalah rahmat ?
Perbedaan adalah rahmat ?
Kita semua mungkin sepakat, mungkin juga tidak dengan kalimat ini. Jika kita sepakat, maka kita akan mengingatnya sebagai kalimat yang “benar”. Yang tidak akan kita pungkiri sampai kapanpun selama kita masih dalam Islam. Tapi pernahkah kita meneliti dimana kebenaran kalimat tersebut ? Atau kita hanya menyimpan untuk suatu saat kita keluarkan sebagai pembenar dari kalimat yang sama yang diutarakan oleh orang lain ?
Kita bisa meneliti sebuah perbedaan yang berjalan seiring dan saling mendukung serta saling menghormati dalam sebuah kerjasama yang menghasilkan kekuatan yang maksimal. Perhatikanlah sebuah kapal perang. Kekuatan yang maksimal bisa di dapat dari sebuah kerjasama antar bagian yang masing-masing mempunyai keahlian berbeda-beda. Antara satu bagian dan bagian yang lain bekerja dengan sungguh-sungguh dan saling menghormati. Semua berjalan sesuai dengan fungsinya masing-masing. Perekat kekuatan mereka adalah “sumpah” prajurit dengan misi dan visi yang sama.
Kita ambil lagi sebuah contoh sebuah bangunan yang kokoh. Kokohnya bangunan tersebut didukung oleh beberapa unsur. Diantaranya adalah batu kali, batu bata, pasir, semen, besi, kawat. Mereka direkatkan oleh air. Yang dengan ikhlas membasahi semua unsur tersebut untuk kemudian “moksa”. Lenyap setelah semua unsur sebelumnya “bisa” berkolaborasi menjadi sebuah kekuatan yang baru. Sebelum kekuatan itu menjadi nyata. Air tidak akan meninggalkan mereka.
Ada yang mengatakan kalau kekuatan itu justru terjadi kalau air meninggalkan semua unsur tersebut. Kalau air tidak “pergi” tidak akan terbentuk kekuatan. Memang benar. Tapi tetap saja harus ada “air” dalam proses tersebut. Karena air merupakan “jiwa” dalam proses tersebut. Tanpa “jiwa” semua unsur tersebut tetap tercerai berai dengan kekuatan parsialnya.
Contoh lain perbedaan yang menghasilkan perpaduan yang begitu indah adalah pelangi. Pembiasan dari satu cahaya yang menjadi bermacam-macam warna terlihat begitu indah di langit. Siapapun menyukai munculnya pelangi. Dan kehadirannya menghiasi langit sangat ditunggu oleh banyak manusia, terutama anak-anak. Tapi benarkah perbedaan itu indah ?
Perbedaan adalah rahmat. Sebagian dari kita mengakuinya dan sebagian dari kita meragukannya. karena ada beberapa peristiwa yang begitu menyedihkan terjadi juga akibat dari terjadinya perbedaan di antara kita. Teror bom yang terjadi di negara kita ini juga lebih di sebabkan adanya perbedaaan mengenai akidah politik. Bentrokan – yang banyak terjadi antar warga dan antar supporter sepakbola juga diakibatkan karena adanya perbedaaan.
Dalam kenyataan sehari-hari, perbedaan pendapat saja kadang kita sulit untuk menerima. Apalagi kalau sudah masuk wilayah agama. Lebih-lebih lagi. Ikhltilafu ummati rahmah ini seakan hanya di akui tapi tidak pernah dapat diterima dalam hati. Kita sudah terlanjur taat pada mazhab kita. Kita terlanjur cinta pada mazhab kita. Kita terlanjur yakin akan kebenaran yang di bawanya melalui penafsiran-penafsiran Al Qur`an dan Hadits yang diajarkan pada kita. Padahal kebenaran sejati ada pada Allah.
Permasalahannya adalah kita yang tidak mau susah. Kita tidak mau susah-susah lagi untuk menggunakan akal kita untuk membuktikan sendiri tentang kebenaran itu. Istilah “gitu aja kok repot” sangat dianggukkan disini. Kasihan hati yang ada di dalam dada ini. Kenapa ? Karena dipaksa untuk meyakini sesuatu tanpa melalui seleksi kebenaran menurut akal. Akal yang seharusnya lebih banyak bekerja kenyataannya lebih banyak di “istirahatkan”. Padahal Allah memerintahkan kepada kita untuk lebih banyak menggunakan akal dalam memahami kebenaran. Jangan asal ikutan saja.
Begitu banyak perbedaan yang ada di depan mata kita. Baik perbedaan dalam tata cara shalat, dalam berpakaian dan dalam menyikapi satu ayat atau satu hadits. Yang kalau penafsiran yang satu begitu di yakini, penafsian yang lain dianggap salah. Padahal perbedaan-perbedaan itu sebenarnya juga nggak terlalu prinsip. Shalat adalah berdiri, rukuk dan sujud serta duduk beserta semua bacaan yang ada di dalamnya. Kalau keempat posisi shalat ini berbeda secara ekstrem baru jadi masalah. Misal berdiri dengan kaki satu, ruku dengan satu tangan di lutut satu tangan lagi di punggung, sujud dengan dengan kepala menoleh ke atas atau seperti posisi mau jungkir balik.
Saya tak pernah melihat itu dilakukan oleh seseorang pelaku shalat yang sudah dewasa. Kecuali anak2 yang masih dalam taraf belajar memang bisa kita temui melakukan hal-hal seperti itu. Sungguh perbedaan-perbedaan yang sangat kecil sangatlah banyak. Dan kita mengakui perbedaan itu.
Masalahnya, untuk selera agama masing-masing diri kita ini nggak suka yang berbeda. Dan ini nyata. Lihat saja kalau shalat berjama`ah di masjid. Ada yang mau berjabat-tangan selesai salam. Ada yang nggak mau sama sekali. Dan yang nggak mau berjabat tangan terlihat begitu percaya diri. Padahal kalaupun berjabat tangan apa ruginya ? Kalau saya mengatakan jabat tangan itu sebagai kepedulian kita terhadap sesama jama`ah dan sebagai rasa terima kasih atas telah bersedianya untuk shalat berjama`ah. Salah nggak ? Kalau nggak ada jama`ah lain di samping kita apakah kita akan mendapatkan pahala shalat jama`ah ? Jawabnya tidak ! Penyebab dapatnya pahala shalat berjama`ah sebanyak 27 derajat adalah adanya jama`ah lain di sebelah kita. Sehingga jabat tangan selesai shalat sebagai ucapan terima kasih adalah satu kebaikan yang bermakna. Paling tidak, menunjukkan kepedulian kita terhadap seseorang yang telah memberikan kontribusi atas perolehan pahala sebanyak 27 derajat kepada kita.
Kita mengakui kalau perbedaan itu merupakan rahmat. Tapi kita sendiri tidak pernah mau berada dalam perbedaan. Apakah ini bukan merupakan suatu tanda kalau di hati kita ini belum kemasukan “ruh” Islam. Sesama orang Islam adalah saudara. Tapi kita justru mengingkari dengan menganggap seseorang yang pakaiannya berbeda dengan kita sebenarnya adalah “musuh”. Seseorang yang shalatnya “sedikit” berbeda dengan kita adalah bukan saudara kita. Sehingga tidak perlu ada sentuhan diantara kita dan mereka walupun sekedar jabat tangan. Padahal jabat tangan itu mempunyai makna yang sangat dalam.
Rasulullah saw tidak membawa perbedaan. Kita sendiri yang membuat perbedaan-perbedaan itu terjadi. Beliau sangat toleran terhadap setiap perbedaan yang kebenarannya sendiri masih relatif. Dan agama Islam tidak membuat sesuatu yang mudah menjadi sulit. Segala sesuatunya dibuat begitu mudah dan tidak memberatkan orang-orang yang beriman. Tapi kita yang membuat perbedaan kecil menjadi sebuah urusan yang sangat besar. Yang akhirnya justru membuat kita kehilangan nilai-nilai luhur dan keindahan agama Islam. Dengan menjadikan saudara seiman sebagai seseorang yang harus dijauhi, yang harus diremehkan, yang tidak perlu di dekati dalam pergaulan. Bahkan kita juga mempunyai anggapan kalau yang paling benar adalah cara beragama kita sendiri, orang lain yang tidak sepaham dengan kita walaupun mereka shalat di masjid bersama kita mereka itu salah semua. Tidak ada yang benar. Cuma diri kitalah yang benar.
Kita tidak pernah mau menyadari kalau sifat-sifat seperti itulah yang harus hilang dari diri orang beriman. Tapi kenyataannya justru kita semakin memelihara sifat-sifat tersebut. Malah kita semakin memperlebar jarak dengan mereka. Mereka yang mayoritas merasa bahwa kamilah yang paling benar. Dan yang minoritas juga ngotot merasa sayalah yang paling benar. Tidak ada yang lebih benar kecuali kelompok kami. Semuanya tidak pernah merasa salah. Padahal semua kesalahan itu ada pada diri kita. Ada pada diri mereka semua.
Kita semua terjebak pada pemahaman “tekstual” atau Pemahaman “katanya” kita tidak pernah mau untuk menyelam sendiri untuk membuktikan sebuah berita kebenaran. Kita ini lebih taat pada mazhab masing-masing. Dan cenderung menyalahkan mazhab yang lain. Bukannya taat kepada Allah. Padahal para Imam mazhab itu semua mengajak kita untuk taat hanya pada Allah dan Rasulnya. Tetapi kita lebih mempercayai “apa katanya” Imam kita, apa katanya guru kita. Akal kita tidak pernah kita gunakan untuk mencari dan membuktikan sendiri tentang kebenaran.
Marilah kita kembali pada prinsip.
QS. Al Baqarah : 256.
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ
“Laa ikraaha fiid diini qad tabayyanar rusydu minal ghayyii ,.......
”Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat,.....”
Kalau untuk masuk agama islam seseorang tidak pernah dipaksa, apalagi untuk sama dengan apa yang kita lakukan. Rasulullah tidak pernah memaksa seseorang untuk masuk dalam agama Islam. Rasulullah hanyalah menyampaikan sesuatu tentang kebenaran dalam beragama yang harus bertauhid hanya pada Allah semata. Tidak pernah ada paksaan dalam Islam. Apalagi kita. Seharusnya juga tidak paksaan terhadap orang lain untuk sama dengan yang kita jalankan.
Demikian juga untuk beriman. Allah mempersilahkan kepada kita dalam satu ayat. Mau beriman silahkan, mau ingkar ya silahkan. Allah tidak akan pernah merasa di rugikan dengan keingkaran kita.
QS. Al Israa` : 107 (84)
قُلْ آمِنُوا بِهِ أَوْ لَا تُؤْمِنُوا ۚ إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا﴿١٠٧﴾
“Qul aaminuu bihi au laa tu`minuu, innal ladziina `utuul `ilma min qablihi `idzaa yutlaa `alaihim yakhirruuna lil `adzqaani sujjadan”
Katakanlah: "Berimanlah kamu kepadaNya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud,
Sesungguhnyalah tiap-tiap diri akan membawa dirinya sendiri untuk menghadap Allah. Kita ini hanya diwajibkan untuk melengkapi Iman dan amal shalih itu dengan sikap saling mengingatkan dalam Kebenaran dan Kesabaran. Saling mengingatkan. Jadi tidak perlu ada perasaan saling menyalahkan antara kita yang mempunyai perbedaan dalam keyakinan.
Sebisa mungkin. Dengan sukarela atau terpaksa kita harus menghargai setiap perbedaan yang yang terjadi. Dengan terus mengasah dan melatih agar hati bisa menerima perbedaan itu dengan tulus. Sebab kebenaran yang kita angankan juga menjadi angan-angan orang lain. Menurut kita, kitalah yang benar. Menurut orang lain, merekalah yang benar. Jika pikiran dan perasaan seperti ini kita turuti, bukan tidak mungkin akan dimanfaatkan oleh setan untuk terus memelihara “egoisme” tersebut.
QS. Al Israa` : 84
قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَىٰ شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَىٰ سَبِيلًا﴿٨٤﴾
Qul kullun ya`malu `alaa syaakilatihi farabbukum a`lamu biman huwa ahdaa sabiila”
”Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya”.
Nah, kita bisa berkilah kalau ayat itu bukan dimaksudkan untuk kita, umat islam. Mungkin berkaitan dengan umat yang lain. Tapi relevansi dari Al Qur`an yang sesuai dengan segala zaman telah mengingatkan kepada kita semua bahwa tiap-tiap orang berbuat menurut caranya masing-masing. Dan hanya Allah yang mengatahui siapa diantara kita ini yang paling benar caranya atau jalannya.
Jadi nggak usah terlalu percaya diri dengan apa yang telah kita lakukan. Belum tentu kebenaran itu menjadi milik kita sendiri. Sementara banyak sekali umat Islam yang mempunyai pemikiran lebih “benar” dari kita. Terlalu bangga dengan kelebihan yang kita miliki dan yang telah kita lakukan adalah suatu kesalahan yang mungkin tidak kita sadari. “Ego' yang terjadi disini menyebabkan kita berpikiran, bahwa kebenaran hanya milik kita, surga hanya milik kita, ridha Allah hanya akan diberikan kepada kita.
Tanpa sengaja kita telah berbuat dzalim terhadap diri kita sendiri dengan banyak memandang rendah orang lain. Dengan menyalahkan cara-cara beribadah orang lain. Tidak mau bergaul dengan orang selain yang sekeyakinan dengan kita. Selain dzalim terhadap diri sendiri, secara otomais juga kita telah berbuat dzalim kepada orang lain. Dan yang lebih tidak kita sadari adalah, bahwa semua itu akibat oleh bujukan setan. Setanlah yang telah menguasai kita dengan membungkus pikiran dan hati kita dengan rasa “paling benar sendiri”. Dan lucunya kita tidak pernah menyadari kalau kita telah di kuasai setan.
Demikianlah, sudah sepatutnya kalau kita lebih bisa menjaga diri kita dari hal-hal yang sebenarnya merugikan diri kita sendiri. Seharusnya kita juga menyadari kalau rasa “paling benar” sendiri itu lebih banyak di pengaruhi oleh setan. Hanya saja kita tidak bisa merasakan. Sehingga kita justru semakin larut dalam kebencian yang semakin dalam dengan seseorang yang sebenarnya merupakan saudara kita sendiri.
Perbedaan haruslah di sikapi sebagai “ujian kesabaran”. Karena kesabaran yang kita miliki adalah rahmat dari Allah. Tidak mudah untuk menjadi orang yang sabar. Dan kesabaran dari seseorang lebih mudah untuk mendapatkan ridhanya Allah. Oleh karena itu hendaknya kita tidak menganggap orang lain lebih buruk dari kita. Dan sadarilah bahwa hanya Allah yang paling tahu siapa diantara kita yang paling benar.
QS. Al Hujurat : 11
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ﴿١١﴾
”Yaa ayyuhalladziina aamanuu laa yaskhar qaumum min qaumin `asaa an yakuunuu khairan minhum walaa nisaa`un min nisaa`in `asaa an yakunna khairan minhunn. Walaa talmizuu anfusakum walaa tanaabazuu bil alqaabi. bi`sal ismulfusuuqu ba`dal iimaani. wa man lam yatub fa`ulaa`ika humudz dzalimuna”
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”.
Belajarlah untuk memahami ayat-ayat Al Qur`an. Hayatilah isinya. Ada banyak pelajaran yang bisa di ambil di dalamnya. Termasuk juga kesabaran dalam menghadapi segala sesuatu yang terjadi di sekitar kita. Dan janganlah mudah terhanyut oleh kata hati yang mengarah ke tindakan negatif. Apalagi tindakan pengrusakan. Segala sesuatu yang terjadi di sekitar kita yang melibatkan diri kita secara langsung atau tidak langsung adalah sebuah cobaan yang harus di redam dengan kesabaran.
Perlawanan yang terjadi lebih banyak tidak membuahkan manfaat bagi diri kita. Sebelum kesepakatan tentang “damai” terjadi, kita akan selalu dalam “konflik” yang justru lebih banyak melelahkan. Kecuali untuk sebuah “kebenaran” yang akan melindungi semua umat manusia. Perbedaan harus di sikapi sebagai sebuah cobaan untuk diri kita khususnya dan sebagian besar umat pada umumnya.
Dan kalau kita mau jujur perbedaan itu lebih banyak bermanfaat dari pada kesamaaan. Sebuah problem tak akan bisa diselesaikan kalau kita hanya terpancang pada satu pemikiran saja. Harus berkembang hingga bisa memperoleh hasil yang terbaik. Demikian juga seorang tukang service motor atau mobil tidak akan bisa bekerja hanya dengan menggunakan beberapa biji alat yang bentuk dan fungsinya sama. Harus ada alat yang berbeda-beda untuk bisa membuat proses “service” berjalan lancar dan membuat motor atau mobil berfungsi kembali dengan baik.
Bersatulah, bergaullah satu sama lain dengan pergaulan yang baik. Dengan tidak berburuk sangka kepada saudara kita yang lain. Dan yakinlah kalau kesatuan sesuatu yang terbangun atas perbedaan-perbedaan bisa menghasilkan sesuatu yang mempunyai kekuatan yang luar biasa. Bayangkan kalau semua umat Islam bersatu dengan mengesampingkan semua perbedaan-perbedaan yang ada. Betapa kuatnya Islam. Betapa Indahnya Islam. Seperti sebuah taman yang sangat indah yang terbentuk dari berbagai macam tanaman hias dan bunga-bunga yang beraneka ragam dan warnanya. Yang di masing-masing sisinya berdiri kokoh benteng yang melindungi semua apa yang ada di dalamnya. Yang apabila orang lain melihatnya, maka tak akan kuasa menahan untuk ingin segera memasukinya dan merasakan begitu indah dan damainya kehidupan di dalamnya.
Sekian.
Selengkapnya...
Rabu, 14 April 2010
Ketika semangat Shalat meredup.
Ketika semangat shalat meredup.
Seperti air laut, iman juga ada pasang surutnya. Pasangnya air laut jarang sekali dipertahankan. Kecuali jika ada keperluan untuk “mengisi” daerah pertanian ikan atau tambak para petani ikan. Dengan jalan menutup bendungan kecil agar air laut yang masuk tidak segera “habis” masuk ke laut. Sedangkan “pasang”nya Iman harus dan wajib untuk dijaga atau dipertahankan. Kenapa ? Jika sampai terjadi kebobolan benteng atau bendungan Iman, kita akan kehilangan kendali. Kita tidak bisa lagi “berjalan” dalam hidup dalam keadaan “normal”.
Tingkah laku kita tak ubahnya seperti hewan atau binatang yang tidak mengenal kultur atau budaya. Tidak akan lagi bisa mengenali batasan-batasan syariat agama. Tidak akan lagi perduli pada siapa saja. Baik itu istri, suami, anak-anak kita, saudara-saudara kita tetangga kita. Apalagi orang-orang yang jauh dari kita. Lupa. Kita akan lupa pada mereka. Bahkan kita juga akan lupa pada siapa yang telah menciptakan kita.
Kita merasa Islam sejak lama. Dan kita juga bisa menjalankan shalat seperti yang di jalankan orang-orang lain. Tapi kadang kita tidak pernah merasa akan kebenaran Islam sebagai agama. Dan kita juga tidak pernah merasakan sesuatu yang lain yang terjadi pada diri kita disaat-saat kita menjalankan shalat. Yang hampir pasti terjadi adalah anggapan bahwa Islam adalah agama yang paling benar. Tanpa pernah menggali tentang kebenaran Islam itu sendiri. Dan yang hampir pasti terjadi adalah ketergesa-gesaan kita dalam menjalankan shalat. Mirip-mirip “taiso” peninggalan “saudara tua” kita, Nippon.
Tapi pada saat saat tertentu entah karena suatu sebab apa, tiba-tiba keinginan untuk melakukan shalat itu begitu menggebu. Rasanya tak ingin cepat lepas dari aktivitas shalat. Kedatangan waktu shalat yang lain selalu kita tunggu untuk kemudian tenggelam lagi dalam nikmatnya shalat. Keadaan ini bisa berlangsung “agak” lama. Relatif. Bisa selama 1 (satu) tahun, bisa juga sampai 5 (lima) atau 6 (enam) tahun.
Setelah periode itu, kemungkinan besar kita akan sampai pada titik jenuh ibadah shalat. Penyebab dari peristiwa seperti ini kebanyakan adalah, adanya rentang waktu yang kita sia-siakan sebelum titik jenuh itu datang. Kita berhenti dalam pemahaman ayat-ayat Allah. Baik yang ada di dalam kitabullah Al Qur`an dan ayat-ayat yang ada di alam semesta. Kita berhenti “ngaji” ilmu agama dari ustadz-ustadz yang ada di sekitar kita. Kita berpaling pada program-program Station Televisi yang semakin banyak jumlahnya.
Kejenuhan kita dalam “Ngaji” tentang ketauhidan tidak akan pernah dibiarkan oleh kelompok-kelompok yang telah berkomitmen untuk menyeberangkan kita dari keimanan menuju keingkaran. Kelompok yang tergabung dalam club “setan” akan senantiasa menunggu kelengahan kita dalam menjaga Iman. Mereka tidak menyerang dengan tangan kosong. Bahkan senjata mereka jauh lebih canggih dan lebih “halus' dari pada senjata “riil”.
Mereka bisa masuk ke dalam otak kita untuk kemudian mempengaruhi keputusan-keputusan yang akan kita ambil. Mereka bisa masuk kedalam telinga kita untuk kemudian membisiki telinga agar mendengarkan sesuatu yang tak berguna. Mereka bisa masuk ke mata kita untuk kemudian membelokkan bola mata kita ke arah yang tidak seharusnya. Mereka bisa membisikkan sesuatu di hati kita untuk kemudian menyarankan kesalahan dalam mempertimbangkan sesuatu. Bahkan yang lebih canggih mereka bisa masuk ke dalam aliran darah kita untuk kemudian mempengaruhi rangsangan sexual pada seseorang yang tidak seharusnya.
Hal seperti ini bisa terjadi pada siapa saja. Dan pada manusia level apa saja, tanpa kecuali. Rahasia kelemahan utama manusia sudah dikantongi oleh kelompok “setan”. Dengan kejutan-kejutan “nikmat” dunia, baik yang berupa materi maupun non materi manusia lebih mudah untuk dijatuhkan. Kemudian ditenggelamkan ke dasar lautan nikmat dunia yang paling dalam. Yang membuat manusia sulit bernafas lagi untuk timbul ke permukaan dan melihat kenyataan akan kebenaran.
Pada saat-saat seperti itu keinginan untuk shalat tidak lagi menggebu bahkan cenderung untuk malas. Tidak ada gairah. Sepertinya shalat tidak begitu berarti lagi. Hari-hari yang biasanya rindu waktu waktu shalat. Tidak lagi terlintas waktu datangnya shalat. Keinginan yang lain lebih kuat untuk di lampiaskan. Bahkan kita cenderung selalu menginginkannya. Kitabullah Al Qur`an yang dulu tidak pernah lepas dibaca setiap harinya, sudah mulai ditinggalkan perlahan-lahan.
Begitu kuatnya serikat setan menyerang seseorang yang tadinya begitu intens dalam ibadah shalat menjadi seseorang yang tidak lagi merindukan shalat. Dan begitu canggihnya senjata yang digunakan sehingga membuat seseorang begitu tunduk dan patuh pada perintah-perintah selanjutnya. Begitu patuh di bujuk untuk keluar dari kebiasaan shalat malam yang telah bertahun-tahun di jalaninya. kenapa bisa begitu ?
Selain banyaknya waktu yang telah kita sia-siakan. Kita tidak konsisten dalam membentuk diri dan pribadi kita. Kita setengah setengah dalam menempuhnya. Tidak intens dalam mempelajarinya. Kurang memahami bagaimana menjaga atau memelihara Iman. Kita bahkan tidak menyadari kalau “musuh” senantiasa mengintai seluruh aktifitas kita. Menunggu kapan kita lengah. Hingga dengan mudah lawan memaksa kita untuk menyerah dan tunduk bahkan bertekuk lutut di bawah pengaruhnya.
Bagaimana cara menghindarkannya ?
Seperti battery ponsel, Iman perlu untuk sering-sering di charge. Ada banyak jalan untuk “maintenance” Iman ini. Diantara jalan-jalan itu adalah
Menambah Ilmu dengan senantiasa membaca kitabullah Al Qur`an serta memahami arti dan maknanya. Pemahaman terhadap ayat-ayat Allah ini akan berakibat pada bertambahnya keimanan. Membaca sirah Nabi Muhammad dan meneladani semua apa yang di lakukan oleh beliau. Membaca kitab kitab yang berkaitan dengan ilmu agama. Semua itu akan selalu membuat kita ingat pada Allah.
Memperbanyak amal perbuatan yang baik. Iman tidak dapat terpisah dengan amal shalih. Dengan memperbanyak berbuat baik kepada manusia lain, terutama yang di anjurkan dan di atur oleh Al Qur`an akan semakin menambah keimanan kita. Karena kita akan langsung mengetahui tentang kebenaran dan manfaat dari perbuatan kita sendiri yang telah dianjurkan oleh Islam. Dan kita akan semakin tahu kalau Islam membawa kebenaran.
Memperbanyak dzikir. Banyak mengingat Allah. Di setiap saat ingatan kepada Allah harus tetap di usahakan. Diusahakan untuk mengingat Allah baik di waktu duduk, berdiri maupun di waktu berbaring. Hingga setiap saat kita bisa selalu bersama dengan Allah. Dan pasti diri dan hati kita akan selalu terlindungi dari serangan-serangan setan yang kadang tidak kita ketahui dari mana datangnya.
Berfikir dan merenungkan kejadian-kejadian yang terjadi di alam ini. Misalnya peredaran bumi, bulan dan matahari. Bergantinya siang dan malam. Dan banyak kejadian-kejadian alam yang lain yang bisa di jadikan bahan renungan untuk memperoleh kepastian akan kebenaran keberadaan Allah dengan kekuasaan dan segala yang di ciptakannya
Secara sederhana dapat disimpulkan, agar iman kita senantiasa terjaga kekuatannya, jadikanlah diri kita termasuk dalam golongan “Ulil Albaab”. Seperti yang di gambarkan di salah satu ayat.
QS. Ali Imraan : 190.
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ﴿١٩٠﴾
“Inna fii khalqis samaawaati wal ardhi wakhtilafil laili wan nahaari laayaatin li`ulil albaabi”
”Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
QS. Ali Imraan : 191.
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَٰذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ﴿١٩١﴾
“Alladziina yadzkuruunallaha qiyaaman wa qu`uudan wa `alaa junuubihim wa yatafakkaruuna fii khalqis samaawaati wal ardhi robbanaa maa khalaqta haadza baathilan subhaanaka faqinaa `adzaabannari”
”(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.
Membaca kitabullah adalah salah satu bentuk dzikir (ingat) kepada Allah, sedangkan pemahaman terhadap ayat-ayat akan menambah kekuatan iman kita. Perhatikan satu ayat di bawah ini.
QS. Al Anfaal : 2
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ﴿٢﴾
“Innamal mu`minuunal ladziina `idzaa dzukirallahu wajilat quluubuhum wa`idza tuliyat `alaihim ayaatuhu zadathum `imanan wa alaa rabbihim yatawakkaluuna”
”Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal”.
Sekian.
Selengkapnya...
Minggu, 11 April 2010
Apa Motivasi Shalat kita ?
Apa motivasi shalat kita ?
Sebagian besar dari kita meng-identik-kan Islam dengan shalat. Pada bulan tertentu kita meng-identik-kan Islam dengan puasa dan shalat. Jika salah satu dari keduanya yaitu shalat dan puasa lepas dari diri kita, “baju” agama Islam tetap terasa menempel pada tubuh kita. Tetapi hanya terbatas pada identitas diri. Pada situasi seperti ini Islam kita berubah menjadi tak lebih dari pada sebuah “topeng”.
Ya,...sebuah topeng untuk menyembunyikan wajah kita yang sebenarnya cacat. Wajah yang sebenarnya banyak “jerawat” dan “bopeng” kecil-kecil di permukaan kulitnya. Islam tanpa iman adalah sebuah kebohongan. Dan Iman tanpa amalan adalah kesia-siaan. Hidup dengan iman bagaikan bersampan di tengah lautan. Terhempas kesana kemari oleh tarian ombak. Dan kita tidak akan pernah sampai ke pelabuhan dengan selamat tanpa pernah sekalipun menggerakan dayung.
Rukun Islam. Itulah kesatuan yang saling terkait yang tidak akan pernah berjalan sendiri-sendiri. Sebuah kesaksian yang disertai kejujuran dan pengamatan akan menghasilkan keimanan. Keimanan yang sebenarnya akan berbuah ketaatan pada perintah. Ketaatan yang di landasi Iman akan berbuah ketakwaan. Buah ketakwaan adalah ridhanya Allah swt.
Jarang sekali kita meng-identik-kan Islam dengan shalat, zakat atau infaq, dan puasa. Apalagi ditambah dengan “haji”. Tapi bagi sebagian orang, terutama yang mempunyai kemampuan finansial kuat ada yang meng-identik-kan Islam dengan haji dan shalat. Haji menjadi lebih utama kemudian baru shalat. Yang demikian ini shalatnya karena embel-embel “haji”.
Adakalanya kita begitu bersemangat mengerjakan shalat. Sebelum adzan di kumandangkan kita sudah ada di dalam masjid. Hal itu berlangsung beberapa lama. Semangat atau motivasi mengerjakan shalat antara orang yang satu dengan orang yang lain relatif beda. Jika diamati mungkin kita sedikit akan menemukan jawaban dari masing-masing orang tersebut. Kira-kira apa motivasi semangatnya shalat mereka.
Seseorang yang aktif shalat jama`ah di sebuah masjid terlihat begitu meyakinkan kalau ia ahli masjid. Terlihat seperti orang yang khusyu`. Tapi pada suatu saat sama sekali tak terlihat ada di dalam masjid pada saat shalat ditegakkan. Hari berikutnya tidak terlihat lagi. Begitu seterusnya sampai kira-kira satu bulan lamanya. Lantas sesama jama`ah ada yang ingin meyakinkan ada apa dengan salah satu saudaranya tersebut.
Setelah beberapa lama tak terlihat berjama`ah di masjid. Seseorang bertanya kian kemari mengenai salah satu saudaranya tersebut. Mungkin dia lagi sakit atau ada halangan lain. Setelah beberapa hari bertanya, diperoleh jawaban bahwa yang bersangkutan saat ini sudah bekerja. Kelelahan adalah alasan utama untuk tidak datang berjama`ah di masjid lagi.
Kesibukan pekerjaan telah bisa mengalahkan kewajiban kita yang lebih utama. Tapi tidak mengapa. Asal mereka tetap dalam keimanan, mau shalat di rumah, di mushala, di masjid yang mana saja itu adalah urusan pribadi masing-masing. Kita tidak akan pernah memaksa seseorang untuk selalu shalat di masjid bersama-sama kita.
Ada yang lain lagi. Motivasi seseorang datang ke masjid untuk shalat hanya mengharapkan orang lain akan menerima kita. Pada saat akan mempunyai hajat, baik itu “khitanan” ataupun “mantu” atau mungkin “ngunduh mantu” seseorang bisa begitu terlihat aktif untuk shalat berjama`ah di masjid. Bahkan aktif mengikuti majelis dzikir semacam “Yasiinan”. Waktunya kira-kira bisa sampai sekitar 3 (tiga) bulan sebelum perhelatan acara. Tetapi setelah selesai acara “hajatan” tiba-tiba seperti lenyap. Sama sekali tak pernah terlihat lagi shalat berjama`ah di masjid. Bahkan frekwensi hadir di majelis dzikirpun menurun drastis.
Kalau sudah seperti ini yang perlu di tanyakan adalah apa sebenarnya motivasi mereka untuk datang ke masjid lalu shalat ? Apakah masjid hanya dijadikan “tambel butuh” untuk memperbanyak “undangan” ? Agar hajatan mereka nanti akan di datangi banyak tamu ? Atau dengan bahasa yang lebih vulgar supaya lebih banyak “amplop” atau “buwuhan” yang akan diterima ?
Jika itu motivasi mereka, maka semuanya akan kembali pada diri mereka sendiri. Masjid juga akan menjadi saksi atas semua permainan yang mereka lakukan. Dan kita semua hanya bisa mengharapkan agar mereka tetap dalam Iman dan tetap menjalankan shalat, walaupun tidak bersama-sama dengan kita. Karena terputus atau berhentinya shalat disaat kita masih dalam Iman adalah suatu kejadian yang akan sangat menyesalkan seseorang kelak di hari penghisaban.
Hal seperti itu bisa terjadi kalau kita hanya membutuhkan Allah pada saat-saat tertentu saja. Pada saat kita membutuhkan pekerjaan kita meminta kepada Allah dengan dibarengi semangat shalat. Demikian juga kalau kita mengharapkan “hajatan” kita supaya di datangi banyak tamu. Kita jalin hubungan dengan sebanyak-banyaknya orang dengan di barengi shalat berjama`ah dengan banyak orang pula. Namun jika hajat kita sudah kesampaian, kita segera menjauhkan lagi ingatan kita dari Allah.
Berapa banyak orang-orang yang seperti itu ?
Kita tidak akan pernah tahu berapa jumlah mereka. Yang kita utamakan adalah mereka yang mengalami penurunan semangat shalat karena sesuatu hal. Dan hal tersebut tidak ada hubungannya dengan “riya” akan sesuatu yang berkaitan dengan urusan dunia. Apakah itu pekerjaan, ingin istri yang cantik, ingin suami yang tampan sampai pada keinginan agar bisnis “hajatan” yang akan menguntungkan.
Jujur saja mereka yang melakukan “Trik” atau “mengecoh” dengan menggunakan shalat sebagai media sebenarnya hanyalah sebagian orang yang mempunyai Iman yang “tipis” sekali. Juga mempunyai “Ketebalan” muka yang “lumayan”. Disamping kepedulian sosial yang rendah, kebanyakan dari mereka sedikit “rakus” dalam urusan perut. Jika ada kondangan pasti datang. Giliran dia yang mengundang semua serba “ngirit”. Sampai-sampai yang diundang ada yang tidak kebagian “jatah”.
QS. An Nisaa` : 142
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَىٰ يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا﴿١٤٢﴾
“Innal munaafiqiina yukhaadi`uunallaha wa huwa khaadi`uhum wa idzaa qoomuu ilaash shalata qaamuu kusaalaa, yura`uunan naasa walaa yadzkuruunallaha illa qaliilan”
”Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.”
Begitulah, kalau motivasi shalat kita bukan karena kekuatan Iman dan bukan karena Allah. Shalat hanyalah sarana untuk menggapai sesuatu. Kalau bukan karena Maha Pemurahnya Allah, orang-orang yang mempunyai perilaku seperti ini akan banyak yang “kecele”. Mereka akan banyak mendapatkan kekecewaan karena permintaan atau keinginan yang jarang sekali menjadi kenyataan. Tetapi Allah merealisasi hampir semua angan-angan kita.
Hal yang demikian terjadi karena Allah memberi apa saja yang kita minta. Walaupun setelahnya kita tidak pernah menyapaNya lagi Allah tidak akan pernah menyesal telah memberi sesuatu yang kita minta. Justru yang tidak kita sadari adalah faktor “ujian” dari terkabulnya semua permintaan itu. Faktor “ujian” atau cobaan sering kita abaikan. Karena apa ? Tidak lain adalah kebodohan kita . Kita tidak pernah mau mengerti dan tidak pernah mau untuk memahami. Kenapa Allah begitu mudah memberikan sesuatu yang kita inginkan ? Apa maksudNya ?
Tidak lain karena agar kita merasakan nikmat-nikmat Allah dalam kehidupan kita. Agar kita memahami bahwa semua kenikmatan dunia yang dapat dia rasakan adalah dari Allah swt. Walaupun semua nikmat hidup yang sudah melekat pada diri kita tak terhitung banyaknya, kesadaran kita akan ketauhidan Allah masih jauh dari pikiran dan perasaan kita. Apa yang membuat diri kita begitu “pandir” dalam hal ini ?
Keyakinan yang “tipis” menyebabkan semua itu bisa terjadi. Kita menganggap Allah adalah tempat meminta segala sesuatu yang kita butuhkan, tempat memohon pertolongan disaat-saat kita dalam kesulitan. Tapi pada saat yang lain kita juga meminta kepada selain Allah, bisa pada setan atau jin. Di saat yang lain pula kadang kita menyandarkan kekuatan pada selain Allah, seperti menyimpan “jimat” berupa keris, cincin batu atau apa saja. Pada saat yang lain lagi kita kadang menumpahkan kekesalan kita pada Allah, karena tak kunjung datang sesuatu yang kita inginkan dan tertundanya pertolongan yang sangat kita butuhkan.
Apapun persepsi negatif kita tentang Allah, tak akan pernah merugikan Allah. Sebenarnyalah Allah tidak membutuhkan kita. Bahkan jika kita ingkar dengan tidak pernah menyebut namaNya sekalipun, tidak akan berkurang kekuasaan dan kemuliaan Allah. Sesungguhnya telah tetap keputusan Allah terhadap apa yang akan terjadi pada setiap diri manusia kelak.
QS. Al Baqarah : 9
يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَمَا يَخْدَعُونَ إِلَّا أَنْفُسَهُمْ وَمَا يَشْعُرُونَ﴿٩﴾
“Yukhaadi`uunallaha walladziina aamanuu wa maa yakhda`uuna illa anfusahum wa maa yasy`uruuna”
”Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman, padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri sedang mereka tidak sadar.”
Iman atau keyakinan bukanlah sesuatu hal yang harus dibuat main-main. Kesungguhan akan menjadi pertaruhan kualitas iman kita. Jika Iman dan Shalat dibuat sebagai permainan spekulasi, tinggal tunggu saja. Ajal sudah menanti di depan mata kita. Keterlambatan kita dalam bertobat akan menghasilkan sebuah penyesalan yang tak berujung. Tidak ada sesuatu yang paling hebat akibatnya kecuali bagi orang-orang yang ingkar pada Allah. Yang mempermainkan Iman. Yang menyepelekan amalan shalih.
QS. Al A`raaf : 51
الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَهُمْ لَهْوًا وَلَعِبًا وَغَرَّتْهُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا ۚ فَالْيَوْمَ نَنْسَاهُمْ كَمَا نَسُوا لِقَاءَ يَوْمِهِمْ هَٰذَا وَمَا كَانُوا بِآيَاتِنَا يَجْحَدُونَ﴿٥١﴾
“Alladziinat takhadzuu diinahum lahwan wala`iban wa gharathumulhayatud dunyaa, falyauma nansaahum kamaa nasuu liqaa`a yaumihim haadzaa wamaa kaanuu biaayaatinaa yajhaduuna”
”(yaitu) orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurau, dan kehidupan dunia telah menipu mereka". Maka pada hari (kiamat) ini, Kami melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan pertemuan mereka dengan hari ini, dan (sebagaimana) mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami.”
Demikianlah, motivasi dari pada shalat kita akan mempengaruhi balasan untuk diri kita. Segala sesuatu tergantung niatnya. Antara niat dan motivasi atau semangat ada perbedaan. Niat berkaitan dengan seseorang yang akan melakukan sesuatu. Sesuatu itu bisa dilakukan tanpa semangat. Artinya sebagai kebiasaan sehari-hari karena sudah merupakan kewajiban. Tetapi apabila sesuatu itu dilakukan dengan begitu antusias, begitu bernafsu, pasti disitu ada sesuatu yang lain. Sesuatu itu lah yang kita sebut motivasi atau dorongan semangat yang kuat dikarenakan adanya tendensi tertentu dari pelaku.
Jika di kupas lagi, bisa juga di pertanyakan, shalat kita karena apa ? Yang benar adalah karena perintah Allah. Yang tidak benar adalah karena ingin diakui oleh orang lain kalau kita orang yang khusyu` dan ingin menambah kenalan untuk kemudian di undang di acara “hajatan” nya. Dan Apa motivasi shalat kita ? yang benar karena takut siksa di nerakanya Allah, karena ingin kelak dimasukkan di surganya Allah, karena ingin mendapatkan ridhanya Allah. Yang tidak benar adalah ingin menambah “Tamu” dengan “amplop” atau “buwuhan”nya sekalian.
Mereka tidak pernah mempertimbangkan kalau niatan dan motivasi yang salah bisa menyebabkan mental “down” jika sesuatu yang sudah di “target” tidak kesampaian. Bisa menyebabkan seseorang “stress” bahkan “stroke”. Sebab kadang modal untuk “hajatan” lebih banyak di dapatkan dari “pinjaman”. Entah pinjaman dari mana saja yang pasti adalah “pinjaman”. Mereka hendak berspekulasi. Hanya berbeda sedikit dengan berjudi.
Akan berbeda jika semua dilakukan hanya karena Allah semata. Seseorang tidak akan mengambil resiko untuk berspekulasi dengan meminjam “modal” kesana kemari untuk kemudian “menggembungkan” jumlah “undangan” dengan membabi buta. Walau tidak pernah mengenal seseorang tapi tetap “diberikan” undangan. Niatan karena Allah, tidak akan memaksakan diri untuk hal-hal yang tidak di haruskan dalam syariat.
Dengan demikian, semua apa yang telah di keluarkannya dan seberapapun yang telah di dapatkannya tidak akan pernah merubah apapun dari pribadi orang itu. Mudah-mudahan kita semua bisa terbebas dari pengaruh-pengaruh pemikiran seperti yang demikian. Yang sering terjadi di masyarakat sekitar kita..
Sekian.
Selengkapnya...
Selasa, 06 April 2010
Kematian adalah sebuah kemenangan ?
Kematian adalah sebuah kemenangan.
Persepsi umum mengenai sebuah peristiwa “kematian” adalah berakhirnya masa kehidupan seseorang atau berhentinya seluruh kinerja organ tubuh yang di akibatkan karena suatu peristiwa sebelumnya. Atau berakhirnya sebuah kehidupan bagi seseorang akibat dari berhentinya fungsi organ tubuh yang diakibatkan karena satu sebab alamiah dan sebab tidak alamiah. Bisa juga di katakan sebagai terputusnya hubungan jasad dengan dunia akibat datangnya ajal yang telah di tetapkan oleh Allah swt.
Tetapi saya tertarik pada sebuah kalimat yang pernah saya baca “Kematian adalah sebuah kemenangan dan kekalahan adalah sebuah penyesalan yang berkepanjangan”. Benarkah kalimat ini ? Saya mencoba untuk sedikit memahaminya dari apa yang ada di kepala atau otak saya, tentu juga melibatkan hati yang ada di dalam dada.
Dalam pikiran saya kehidupan ini adalah sebuah kesempatan untuk sebuah kehidupan yang lain yang “lebih” dari kehidupan saat ini. Tapi Al Qur`an menginformasikan kepada kita kalau hidup adalah sebuah cobaan dari Allah. Sebuah cobaan untuk mengetahui siapa di antara kita yang paling baik amalnya. Dan Allah hendak memberi balasan kepada mereka yang paling baik amalnya dengan sebuah kehidupan yang lain yang sama sekali berbeda dengan kehidupan kita sekarang yang serba nisbi dan sementara.
Tetapi benarkah kematian sebuah kemenangan ?
Hidup adalah sebuah pertarungan. Dimana kemenangan menjadi sebuah keharusan untuk sebuah eksistensi kehidupan tiap-tiap diri. Dan untuk bisa di sebut pertarungan haruslah ada “lawan” atau “musuh”. Lantas siapa yang menjadi musuh manusia ?
Musuh kita bisa berupa materi dan non materi. Lawan berwujud materi kita adalah sesama manusia dengan saling berebut pengaruh, kekuasaan, jabatan atau lahan. Berwujud binatang dengan berebut daerah atau lahan untuk eksistensi kehidupan atau bahkan untuk dimakan. Bisa juga lawan kita berupa alam. Misalnya tempat-tempat atau daerah yang sulit, terjal, curam dll. Atau pohon-pohon yang sangat besar yang menghalangi eksplorasi kekayaan alam atau untuk bercocok tanam.
Jika kita ingin sebuah kehidupan yang “baik” sampai ajal menjemput kita, konsekuensinya adalah harus mau mengusahakannya. “Usaha” ini menyangkut tenaga dan pikiran. Kadang sebuah “kemenangan” materi harus di tebus dengan tenaga dan pikiran sekaligus. Kadang tenaga yang lebih dominan. Tapi di lain waktu bisa pikiran yang lebih banyak bekerja.
Bagi seseorang yang berusaha di bidang perniagaan ada kalanya sebuah pertarungan tidak menghasilkan sebuah kemenangan. Tetapi kadang bisa menghasilkan kemenangan yang “telak” dengan hasil yang jauh lebih besar. Besaran kemenangan dari sebuah perniagaan relatif lebih “baik” dari pada hanya sebatas pengabdian dengan imbalan upah. Walaupun begitu para “abdi” tersebut masih layak disebut sebagai petarung materi demi eksistensi kehidupan dirinya sendiri.
Dan jangan lupa pula hasil dari perniagaan belum tentu lebih baik dari hasil seseorang yang hanya “mengabdi” dengan besaran upah yang relatif tetap. Kualitas dari hasil sebuah usaha sangat di pengaruhi oleh bagaimana cara seseorang mengusahakannya. Faktor “niat”-an dan kejujuran akan membedakan kualitas hasil atau pendapatan atau rezeki dari tiap-tiap orang.
Sedangkan lawan berupa non materi adalah seperti yang tersurat dalam Al Qur`an yaitu, Iblis dan setan atau jin yang telah mendapat restu dari Allah untuk menggoda manusia agar terjerumus dalam bujukannya untuk ingkar kepada TuhanNya. Mereka ini berserikat untuk menjauhkan “Iman” dari dada manusia. Kebanyakan manusia takluk pada mereka dengan jalan menuruti apa kemauan iblis atau setan tersebut. Dan kebanyakan pula manusia justru menghamba pada mereka hanya demi kepuasan hidup di dunia.
Musuh lain dari manusia adalah hawa nafsu yang terbungkus oleh keinginan-keinginan materi dan non materi seperti misalnya syahwat. Hawa nafsu ini lebih banyak di tunggangi oleh setan dan iblis. Keduanya memanfaatkan kelemahan manusia dalam hal materi dan syahwat. Sehingga banyak sekali manusia yang menyediakan diri untuk menghamba pada keduanya hanya demi terpenuhinya keinginan-keinginan tersebut. Keinginan yang hampir semuanya bermuara pada kenikmatan dan kesenangan pada dunia yang hanya bersifat sementara.
Manusia yang “terlanjur” hidup mau tidak mau harus menghadapi semua itu. Menghadapi godaan-godaan syetan dan iblis selama kurun waktu kehidupannya. Keinginan-keinginan yang muncul di pikiran kita di pengaruhi oleh kesadaran ilahiyah dan ketidaksadaran karena di pengaruhi oleh setan atau iblis.
Hampir setiap keinginan kita yang bersifat keduniaan yang berlebihan, lebih banyak di pengaruhi oleh setan atau iblis. Keduanya lebih banyak mengajak manusia untuk tidak lagi mengingat Allah dalam hidupnya. Dan lebih banyak memalingkan manusia pada kesenangan atau kenikmatan dunia yang bersifat sementara. Untuk kemudian terjerumus dalam panasnya api neraka yang memang berbahan bakar manusia dan batu.
Suatu kebenaran yang tidak bisa dibantah bahwa Allah menginformasikan kepada kita kalau iblis atau setan adalah musuh yang nyata bagi manusia. Tentunya musuh dalam mempertahankan kodrat keimanan manusia hanya pada Allah swt. Dan kodrat manusia sebagai makhluk ibadah. Yang mengharuskan seorang manusia untuk menghabiskan waktu kehidupannya dengan perbuatan yang baik. Yang teraplikasi dalam kehidupan sehari-harinya dengan beribadah kepada Allah dan berbuat baik dengan sesama serta tidak berbuat kerusakan terhadap alam dimanapun dia berada.
Kematian yang bagaimanakah yang menghasilkan sebuah kemenangan ?
Kematian adalah sebuah kemenangan. Tidak semua kematian berakibat pada kemenangan yang sebenarnya. Kemenangan pada saat kematian adalah sebuah kemenangan yang semu. Hanya sebuah kemenangan melawan “keharusan hidup” yang tak pernah dapat dihindari oleh siapapun. Setiap yang hidup “haruslah hidup” sampai saat ajal datang menjemput. Tidak di benarkan bagi siapapun untuk mengakhiri hidup sebelum waktunya atau mengakhiri hidup dengan sengaja. Mengakhiri hidup dengan sengaja ini kerap di sebut mati dengan “jalan pintas” atau sering juga disebut “bunuh diri”.
Hidup adalah sebuah kesempatan. Kesempatan untuk meraih sebuah kehidupan yang jauh lebih baik dari pada hanya sekedar hidup. Mengapa sekedar hidup ? Ya karena hidup yang kita perkirakan lama ini sebenarnya hanyalah waktu yang sesaat saja bagi Allah atau makhluk Allah yang lain seperti misalnya Malaikat.
Kemenangan yang kita raih dari sebuah kematian hanyalah kemenangan terhadap umur yang tak bisa lagi bertahan. Hanyalah kemenangan terhadap berhentinya cobaan-cobaan yang terjadi selama kurun waktu kehidupan. Itu kalau kita benar-benar menyadari bahwa hidup adalah cobaan. Kalau tidak, kehidupan yang telah kita jalani hanyalah sekedar senda gurau saja. Hanya kerugian yang telah kita dapatkan.
Kemenangan akibat kematian tidaklah pantas untuk di dengungkan. Tidaklah pantas untuk di publikasikan. Tidaklah pantas untuk dibanggakan. Karena kemenangan dari sebuah kematian adalah buah dari ketakutan terhadap kehidupan. Buah kekhawatiran dari berbagai macam cobaan. Buah kepicikan dalam mempersepsi kehidupan. Dan buah kesalahan dalam menyikapi sebuah kata yaitu “kematian”
Dalam agama Islam, “kematian” di bagi menjadi 2 (dua) kategori. Yang pertama adalah kematian dengan tambahan kata Khusnul Khatimah. Yaitu sebuah kematian yang mempunyai predikat “baik” atau mati dalam kebaikan. Dimana seseorang yang mati tersebut selama hidupnya termasuk orang-orang yang selalu berbuat kebaikan. Kebaikan-kebaikan yang di lakukan dilandasi “Iman” yang jumlahnya ada 6 (enam). Dan disebut dalam Al Qur`an mereka itu adalah sebaik-baiknya makhluk.
Sedangkan kematian yang kedua adalah sebuah kematian dengan predikat Su`ul Khatimah. Dimana seseorang yang mengalami kematian dengan membawa banyak dosa. Yang di sebabkan dalam kehidupannya lebih banyak dipergunakan untuk berbuat sesuatu yang jelek atau lebih banyak melanggar larangan-larangan Allah. Seseorang yang mati dengan predikat seperti ini di sebut dalam Al Qur`an sebagai sejelek atau seburuk-buruknya makhluk.
Dua predikat kematian tersebut menentukan dapat atau tidaknya seseorang akan keridhaan dari Allah swt. dan menentukan juga balasan-balasan yang akan di terimanya nanti di kehidupan yang akan di jalaninya kemudian. Keduanya membawa konsekuensi sendiri-sendiri. Tentu dengan kenyataan yang berlawanan. Seperti dua kutub magnet yang saling menolak dan menarik. Keberadaan surga dan neraka demikian juga. Di satu pihak hanya akan menerima mereka yang baik dan menolak yang jelek untuk kemudian beraktifitas di kehidupan yang berkonotasi baik. Di lain pihak hanya akan menerima yang jelek dan menolak yang baik, untuk kemudian beraktifitas di kehidupan yang berkonotasi jelek.
Tidak semua manusia memperoleh kemenangan dalam kematiannya. Bahkan mayoritas cenderung mengalami kekalahan. Kekalahan demi kekalahan sering di alami oleh manusia tanpa mereka sadari kalau mereka sebenanya “kalah”. Mengapa bisa begitu ?
Ya karena kekalahan-kekalahan yang di alami selama hidup manusia itu justru menghasilkan “upah” yang menyenangkan. Walaupun waktu yang menyenangkan itu hanya sesaat. Namun kekalahan yang berulang-ulang itu menjadikan kesenangan yang sambung menyambung. Hingga manusia jarang yang menyadari kalau sebenarnya mereka adalah petarung yang kalah dalam mempertahankan “Iman” melawan musuh yang tak kelihatan yaitu setan.
Dengan demikian bagaimanakah kematian yang bisa berakibat kemenangan yang sebenarnya ?
Kematian yang bisa berimplikasi sebuah kemenangan yang nyata adalah suatu kematian yang meninggalkan bekas-bekas kebaikan di hampir di seluruh kehidupan seseorang. Dan membawa penghargaan-penghargaan atas semua kebaikan itu untuk menuju pada sebuah pintu pemeriksaan yang yang akan mempertimbangkan secara adil. Untuk kemudian membawanya pada tahapan kehidupan yang lebih baik dan lebih kekal di kampung akhirat.
Sebuah kematian yang menyebabkan kehidupan secara tidak langsung. Jika kita perhatikan seorang ulama besar yang telah meninggalkan dunia selama ratusan tahun tapi sampai saat ini masih meninggalkan bekas-bekas ilmu yang relevan dengan zaman. Dan sampai saat ini ilmu-ilmu tersebut masih melekat pada diri pengikut-pengikut agama mereka. Mereka sudah mati tapi Ilmu mereka akan hidup terus dan dimanfaatkan oleh banyak manusia.
Makam mereka bisa menghidupi banyak manusia dengan memanfaatkan para peziarah yang datang atau yang hanya sekedar berkunjung. Mereka berdagang atau berjualan aneka makanan dan souvenir khas daerah untuk para pengunjung makam atau peziarah. Mereka, para syuhada yang telah meninggal dunia itu bermanfaat bagi manusia baik di waktu hidupnya mapun dikala matinya. Mati yang seperti inilah yang mempunyai kemungkinan besar bisa meraih kemenangan.
Kalau uraian di atas mengenai sebuah kemenangan lantas bagaimana dengan sebuah kekalahan ?
Sebuah pertarungan akan menghasilkan kemenangan atau kekalahan bagi pesertanya. Musuh yang nyata bagi manusia adalah bujukan setan, jin serta Iblis. Mereka berserikat untuk memalingkan hati manusia dari ketauhidan pada gemerlapnya dunia. Sehingga banyak manusia yang lalai pada dzat yang telah menciptakannya dan memberinya kesempatan untuk hidup di dunia.
Kekalahan adalah penyesalan yang berkepanjangan. Kalimat ini tidaklah mengandung kesalahan. Kekalahan kita dalam petarungan melawan setan dan iblis akan membawa dampak yang sangat besar pada kehidupan kita kelak di periode akhirat. Allah tidak akan mengampuni seseorang yang telah menyekutukanNya. Dan allah telah menetapkan bahwa manusia yang menghamba atau mengikuti ajakan setan sampai di akhir hayatnya, balasannya tidak lain hanyalah neraka.
Hanya kekalahan dalam mempertahankan Iman yang akan berakibat penyesalan yang berkepanjangan. Sepanjang umur periode akhirat. Kekalahan dalam berebut keduniaan hanya menimbulkan penyesalan dan kesedihan yang relatif sebentar. Hanya sepanjang umur kita. Jika kita bisa bersabar dan berbesar hati dalam menghadapi kekalahan dunia tersebut insya Allah kemenangan yang lebih besar akan kita segera kita raih. Sesaat setelah kematian kita.
Di saat kita masih hidup, kemenangan pada saat kematian adalah sebuah mimpi. Mimpi hampir tiap-tiap orang yang dirinya mengaku sebagai manusia yang beriman. Sebuah mimpi yang sulit untuk diwujudkan tetapi bukanlah sesuatu yang mustahil untuk direalisasikan. Dibutuhkan kekuatan dan kedisiplinan dalam meraihnya. Juga dibutuhkan kesungguhan dan kesabaran dalam mewujudkannya.
Jalan berliku dan tebing yang terjal serta banyaknya gangguan telah siap menghadang bagi siapa saja yang bekehendak pada kemenangan pada saat kematian. Dan semua itu bukanlah perkara yang ringan sekaligus bukan perkara yang memberatkan. Karena Allah telah mengukur kemampuan tiap-tiap makhluk yang telah di ciptakanNya. Semua hal tersebut akan terasa lebih mudah jika kita menjalani dengan berpegang pada tali Allah. Yaitu buhul tali yang sangat kuat dan tidak akan putus atau terurai. Tidak lain hanyalah “Iman” yang sebenar-benarnya Iman.
Kunci dari kemenangan saat kematian itu tidak lain adalah selalu mengingat Allah disaat kapanpun dan dalam situasi dan kondisi macam apapun. Mempertahankan iman agar tetap menghiasi hati kita. Berbuat kebaikan selama berada di alam dunia dengan mengacu pada Al Qur`an dan Hadits Rasulullah saw. Menjalankan semua perintah-perinyahNya dan berusaha untuk selalu menjauhkan diri dari semua laranganNya. Dan tetap bertawakal hanya kepada Allah swt. Yang demikian itu adalah wujud kepasrahan kepada Allah dan yang demikian itu adalah juga wujud dari Islam yang sebenarnya. Wujud kepasrahan dan keikhlasan seorang hamba kepada Tuhannya.
Sekian.
Selengkapnya...