Haruskah kita meminta ?
Di tulisan sebelumnya saya mencoba sedikit mengupas masalah “pengemis”. Ada seseorang yang memang seharusnya meminta-minta dan ada pula dari mereka yang tidak seharusnya meminta-minta. Tapi kemudahan untuk mengumpulkan uang receh dengan hanya menjadi “pengemis” ini telah pula merangsang mereka yang seharusnya berusaha secara normal untuk ikut terjun di dalamnya.
Diantara mereka yang melibatkan diri dalam dunia “peminta-minta” itu ada yang bekerja secara sendiri-sendiri ada pula yang bekerja secara kelompok. Mereka ada yang mengkoordinir. Dengan alasan untuk kepentingan pembangunan masjid atau pondok pesantren atau yayasan pengasuh Yatim Piatu. Mereka rela untuk berjalan jauh dari tempat asal. Bahkan sejauh ratusan kilometer dari tempat asal.
Sekarang ini muncul banyak cara-cara pemungutan sumbangan dana. Misalnya yang sudah lama sekali berlangsung dan sampai sekarang masih berlangsung adalah praktik permintaan sumbangan di jalan-jalan raya. Dengan dalih untuk pembangunan masjid, sering kita jumpai permintaan sumbangan yang kadang justru membuat mecet jalanan dan membuat tidak nyaman pengguna jalan.
Meskipun model pemungutan sumbangan seperti itu pernah tidak di setujui oleh para ulama, tapi sampai saat ini masih saja ada yang melakukannya. Mereka bersikeras bahwa pemungutan sumbangan itu murni untuk pembangunan rumah ibadah. Mereka juga beranggapan dengan cara itu pembangunan akan lebih cepat selesai. Dan dengan cara itu pula mereka mencoba menggugah kemauan orang untuk bersedekah.
Yang tidak kita sadari adalah keterlibatan nama agama di dalamnya. Masjid identik dengan “rumah” Allah yang kalau diartikan adalah tempat beribadah sekumpulan orang-orang yang mengabdikan dirinya hanya kepada Allah. Allah tidak membutuhkan sedekah kita. Allah itu Maha Kaya. Kitalah yang membutuhkan Allah. Jadi seharusnya kitalah yang memberikan sedekah kepada mereka dengan kemauan sendiri. Bukan di minta ! Apalagi di jalan raya atau tempat-tempat umum.
Banyak alasan untuk membantah tentang “kebenaran” bahwa manusialah yang butuh Allah. Ada yang beralasan kita “menjemput bola” kok. Kita melayani mereka untuk bersedekah kok. Kita membantu untuk menyalurkan hasrat infaq mereka kok. Dan banyak lagi alasan-alasan lain untuk “pembenaran” apa yang telah dilakukannya.
Jika tidak membawa-bawa nama Allah atau nama agama Islam. Silakan saja mereka lakukan yang demikian. Tapi jika kita membawa nama Islam sebagai “penghipnotis” orang agar mau menyumbang hasrat kita, hal yang demikian sangat tidak bijaksana. Terlalu merendahkan nilai sebuah ajaran agama yang mengharuskan untuk berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan sesuatu sebelum memutuskan untuk “meminta-minta”.
Tidak bisakah kita untuk selalu berusaha mengajak umat untuk memenuhi kewajiban untuk berinfaq demi tegaknya agama Allah dan demi keselamatan diri kita sendiri ? Apakah meminta sumbangan dengan cara itu merupakan satu-satunya cara untuk mendapatkan dana pembangunan rumah Allah ? Tidakkah kita menyadari kalau cara tersebut lebih di dominasi oleh besarnya nafsu untuk tergesa-gesa agar pembangunan segera selesai ?
Dan tidakkah kita juga menyadari kalau-kalau dalam ketergesaan kita dipengaruhi oleh sesuatu yang menginginkan kita menempuh jalan yang justru bisa membuat kita “kewirangan” ? Sesungguhnya kita harus lebih bersemangat untuk melakukan pencerahan-pencerahan hati umat agar tidak segan untuk berinfaq demi agama dan demi diri umat sendiri. Toh yang demikian itu memang diperintahkan. Bahkan merupakan pilar perbuatan kebajikan.
Contoh lain adalah pemungutan sumbangan yang meng-atasnama-kan Islam. Yang cara memintanya dengan berkeliling ke tempat-tempat umum. Terutama di pasar-pasar tradisional. Mereka membawa rombongan yang masing-masing orang membawa kaleng-kaleng untuk di isi uang sedekah dari orang-orang yang di jumpainya. Dan di belakang mereka sebuah mobil station membututi langkah kaki para peminta sumbangan itu dengan mengumandangkan shalawat dan kata-kata yang bermakna minta sumbangan.
Ada lagi yang di “drop” di ujung jalan kampung lalu serombongan orang keluar menuju rumah-rumah sambil membawa map berisikan surat permintaan sumbangan. Kemudian satu per satu rumah dimasuki. Tak perduli itu rumahnya orang muslim atau rumah non muslim. Pernah saya tanya dari mana asalnya, mereka menjawab dari jawa tengah. Saya berpikir, jauh sekali orang-orang ini minta sumbangan. Alasan mereka untuk pondok pesantren.
Kadang saya juga berpikir, apa ya benar mereka meminta sumbangan untuk pondok pesantren sampai sedemikian jauh ratusan kilometer ? Kadang memang meragukan orang-orang ini. Sudah gitu membawa nama Islam lagi. Apa ya benar Islam membolehkan mencari dana dengan cara seperti itu ?
Setiap kali menghadapi orang-orang seperti itu selalu datang keraguan yang sama. Apa ya benar agama saya mengharuskan mencari dana sumbangan untuk pondok, pembangunan Masjid, untuk panti asuhan dengan cara demikian. Seakan-akan tidak ada lagi orang-orang Islam yang mau datang untuk menyumbangkan hartanya di jalan Allah.
Apakah orang-orang itu mengerti kalau cara-cara demikian itu justru membuat turunnya martabat umat Islam ? Apakah mereka juga tidak tahu kalau yang demikian itu justru menjadi bahan tertawaan umat di luar Islam ? Peran mereka dalam meminta sumbangan itu bisa di ibaratkan melepas satu per satu penutup aurat Islam. Satu hal yang sangat penting sekali adalah malu itu sebagian dari Iman. Jika sebagian umat Islam tanpa rasa malu lagi berani melakukan “minta-minta” sumbangan di tempat-tempat umum dan disaksikan oleh umat-umat beragama lain, maka pelan tapi pasti kredibilitas Islam sebagai agama yang kita anggap “benar” akan semakin terkikis.
Yang agak baru yang saya temui adalah “meminta” di Anjungan Tunai Mandiri atau ATM. Dengan alasan untuk panti asuhan mereka memberikan masing-masing orang yang akan masuk ke bilik ATM selembar amplop kosong ber-label Yayasan Yatim Piatu. Cara ini juga di pakai di bus-bus antar kota. Mereka ini berpakaian begitu rapi. Ada laki-laki ada juga yang perempuan. Tidak seperti umumnya orang yang meminta-minta mereka terlihat begitu berwibawa, sopan, bagus bicaranya. Tapi pada dasarnya mereka itu “meminta” sumbangan. Tidak berbeda dengan yang telah saya ceritakan di atas.
Mungkin mereka hendak meminta dengan cara “terhormat”. Dengan berpakaian rapi dan bersepatu. Berdiri di sebelah pintu bilik ATM. Atau di bus-bus antar kota. Membagikan amplop kosong. Berharap amplop diserahkan kembali sudah berisi uang. Tentunya uang kertas. Bukan uang “receh”. Tentunya juga berharap yang dimasukkan ke amplop adalah satu lembar atau lebih uang yang baru saja diambil dari “mesin” ATM. Jadi, paling tidak ya lima puluh ribuan.
Tapi apa ada ya yang mengisi amplop itu dengan uang lima puluh ribuan atau bahkan mungkin seratus ribuan. Kalau ada siapa ya yang akan menerima sumbangan tersebut ? Pernah saya tanya tentang jumlah karyawan yang terlibat dalam pemungutan sumbangan. Mereka menjawab tidak ada karyawan. Yang ada cuma relawan. Saya tidak tahu para relawan ini mendapat gaji apa benar-benar rela tidak digaji. Atau mungkin ada aturan-aturan tentang bagi hasil dari perolehan “minta-minta” tersebut.
Kalau sama sekali tidak mendapatkan “hasil” saya pribadi ya kurang percaya. Kenapa ? Sekarang ini siapa sih di negara ini yang bisa di percaya ? Negara kita ini mayoritas penduduknya beragama Islam. Tapi pribadi-pribadi yang tercetak justru telah menghasilkan” image” kalau negara ini penuh dengan koruptor. Bahkan menurut urutan, negara kita ada di daftar “atas” negara yang penuh dengan kasus korupsi. Para pejabatnya saja nggak bisa di percaya, apalagi mereka yang yang nggak jelas asal usulnya.
Orang boleh meminta kalau sudah dalam keadaan terpaksa. Itupun harus terbatas pada kebutuhan perut untuk hari itu saja. Untuk esok dia harus mengusahakannya lagi. Kalau alasannya menggalang dana untuk menghidupi anak yatim piatu, tidak adakah cara lain yang lebih terhormat dan lebih manusiawi ?
Sudah tidak adakah umat muslim yang perduli dengan perintah agamanya sendiri ? Hingga umat yang jumlahnya mayoritas ini harus dibuat “malu” dengan jalan “diminta” dengan disaksikan oleh umat-umat beragama lain ?
Banyak cara yang lebih arif untuk menggalang dana demi kepentingan anak yatim. Seperti yang sudah ada di Surabaya. Dengan bekerja sama dengan lembaga atau institusi pemerintah atau swasta. Setiap bulan para karyawan rela menyisihkan sebagian kecil penghasilannya untuk sedekah. Dengan imbalan informasi tentang dunia Islam melalui sebuah bulletin, sedikit demi sedikit dana akan terkumpul untuk yayasan. Dan cara ini lebih “Islami”. Karena ada faktor usaha untuk membuat sekumpulan berita tentang Islam dan dakwah Islam. Disini ada faktor “kerja” sebagai usaha untuk mendapatkan sesuatu.
Rasulullah pernah bersabda, “Demi Allah yang hidupku dalam genggamanNya, seseorang yang mengambil seutas tali kemudian mencari kayu bakar, lalu kayu tersebut diangkutnya di atas punggungnya, adalah lebih baik baginya daripada dia meminta-minta kepada orang lain yang mungkin dia akan diberi atau di tolak”.
Harus ada sedikit “usaha”. Dan “usaha” inilah yang harus dimodifikasi bentuknya. Bukan cuma “tampilannya” saja yang dibuat perlente tapi essensinya tetap minta-minta. Dan cara ini juga kurang manusiawi, karena dengan menyodori amplop yang seharusnya diisi uang. Sementara orang lain melihat kronologis proses “minta-minta” tersebut. Cara ini seperti menembak sekaligus mempermalukan sasaran.
Bagaimana tidak, ajaran agama menganjurkan untuk tidak segan memberi pada mereka yang membutuhkan, tidak pelit. Sementara kita semua yang antri di depan ATM sudah mengetahui kalau pemberi amplop itu “minta” sumbangan. Mau menolak langsung di luar pintu kok “sawangan-ne” wong jelas-jelas mau ambil uang kok nggak mau dimintai sumbangan. Kok cik medhite, kata orang jawa. Mau diterima amplopnya tapi keluar ATM dikembalikan kosong kok ya “kebacut”. Wong yang terima amplop kembali bilang banyak terima kasih. Padahal amplope “kosong”. Kita yang mengalami jadi serba repot. Nggak dikasih terkesan “bakhil” dikasih justru menambah semangat mereka.
Dari segi agama memang tidak membolehkan untuk berpikir negatif. Mau memberi ya beri saja, nggak usah mikir yang macem-macem. Lakukan sesuatu yang baik dengan senang hati. Karena di “senang hati” ada keikhlasan. Jika memberi tapi disertai dengan rasa curiga, juga tak akan menghasilkan apa-apa buat yang memberi. Kalaupun di beri juga tidak akan menyelesaikan masalah. Mereka akan tetap terus meminta dan meminta lagi. Sepanjang hari, sepanjang minggu. Malah bisa-bisa sepanjang tahun.
Padahal sudah jelas, mereka itu tidak membawa nama sendiri. Mereka bersembunyi di balik pondok pesantren, yayasan anak yatim dan gerakan-gerakan sosial lainnya. Dan bagaimanapun kemasannya tetap saja essensinya adalah “meminta”. Yang sangat tidak dianjurkan oleh agama. Yang dianjurkan adalah “berusaha” untuk memenuhi kebutuhan kita. Jika memang tidak mampu lagi untuk berusaha, apa boleh buat. Minta lah walaupun hasilnya hanya cukup untuk mengganjal perut.
Tulisan ini hanya untuk memancing pembaca untuk berkomentar. Bagaimana seharusnya kita harus bersikap terhadap masalah seperti itu. Hasilnya adalah tergantung masing-masing diri kita. Mau langsung “kasih saja” “atau tidak usah dikasih” masing-masing ada konsekwensinya sendiri-sendiri. “Dikasih” berkesan baik tapi tidak tahu aliran dananya. Dan semakin membuat mereka bersemangat untuk meminta. Tidak dikasih, konsekwensinya adalah pandangan orang terhadap kita pada saat itu. Terkesan “medhit, pelit, kikir, bakhil” semua menyatu dalam diri kita.
Sekian.
Jumat, 23 April 2010
Haruskah kita Meminta.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar