Perbedaan adalah rahmat ?
Kita semua mungkin sepakat, mungkin juga tidak dengan kalimat ini. Jika kita sepakat, maka kita akan mengingatnya sebagai kalimat yang “benar”. Yang tidak akan kita pungkiri sampai kapanpun selama kita masih dalam Islam. Tapi pernahkah kita meneliti dimana kebenaran kalimat tersebut ? Atau kita hanya menyimpan untuk suatu saat kita keluarkan sebagai pembenar dari kalimat yang sama yang diutarakan oleh orang lain ?
Kita bisa meneliti sebuah perbedaan yang berjalan seiring dan saling mendukung serta saling menghormati dalam sebuah kerjasama yang menghasilkan kekuatan yang maksimal. Perhatikanlah sebuah kapal perang. Kekuatan yang maksimal bisa di dapat dari sebuah kerjasama antar bagian yang masing-masing mempunyai keahlian berbeda-beda. Antara satu bagian dan bagian yang lain bekerja dengan sungguh-sungguh dan saling menghormati. Semua berjalan sesuai dengan fungsinya masing-masing. Perekat kekuatan mereka adalah “sumpah” prajurit dengan misi dan visi yang sama.
Kita ambil lagi sebuah contoh sebuah bangunan yang kokoh. Kokohnya bangunan tersebut didukung oleh beberapa unsur. Diantaranya adalah batu kali, batu bata, pasir, semen, besi, kawat. Mereka direkatkan oleh air. Yang dengan ikhlas membasahi semua unsur tersebut untuk kemudian “moksa”. Lenyap setelah semua unsur sebelumnya “bisa” berkolaborasi menjadi sebuah kekuatan yang baru. Sebelum kekuatan itu menjadi nyata. Air tidak akan meninggalkan mereka.
Ada yang mengatakan kalau kekuatan itu justru terjadi kalau air meninggalkan semua unsur tersebut. Kalau air tidak “pergi” tidak akan terbentuk kekuatan. Memang benar. Tapi tetap saja harus ada “air” dalam proses tersebut. Karena air merupakan “jiwa” dalam proses tersebut. Tanpa “jiwa” semua unsur tersebut tetap tercerai berai dengan kekuatan parsialnya.
Contoh lain perbedaan yang menghasilkan perpaduan yang begitu indah adalah pelangi. Pembiasan dari satu cahaya yang menjadi bermacam-macam warna terlihat begitu indah di langit. Siapapun menyukai munculnya pelangi. Dan kehadirannya menghiasi langit sangat ditunggu oleh banyak manusia, terutama anak-anak. Tapi benarkah perbedaan itu indah ?
Perbedaan adalah rahmat. Sebagian dari kita mengakuinya dan sebagian dari kita meragukannya. karena ada beberapa peristiwa yang begitu menyedihkan terjadi juga akibat dari terjadinya perbedaan di antara kita. Teror bom yang terjadi di negara kita ini juga lebih di sebabkan adanya perbedaaan mengenai akidah politik. Bentrokan – yang banyak terjadi antar warga dan antar supporter sepakbola juga diakibatkan karena adanya perbedaaan.
Dalam kenyataan sehari-hari, perbedaan pendapat saja kadang kita sulit untuk menerima. Apalagi kalau sudah masuk wilayah agama. Lebih-lebih lagi. Ikhltilafu ummati rahmah ini seakan hanya di akui tapi tidak pernah dapat diterima dalam hati. Kita sudah terlanjur taat pada mazhab kita. Kita terlanjur cinta pada mazhab kita. Kita terlanjur yakin akan kebenaran yang di bawanya melalui penafsiran-penafsiran Al Qur`an dan Hadits yang diajarkan pada kita. Padahal kebenaran sejati ada pada Allah.
Permasalahannya adalah kita yang tidak mau susah. Kita tidak mau susah-susah lagi untuk menggunakan akal kita untuk membuktikan sendiri tentang kebenaran itu. Istilah “gitu aja kok repot” sangat dianggukkan disini. Kasihan hati yang ada di dalam dada ini. Kenapa ? Karena dipaksa untuk meyakini sesuatu tanpa melalui seleksi kebenaran menurut akal. Akal yang seharusnya lebih banyak bekerja kenyataannya lebih banyak di “istirahatkan”. Padahal Allah memerintahkan kepada kita untuk lebih banyak menggunakan akal dalam memahami kebenaran. Jangan asal ikutan saja.
Begitu banyak perbedaan yang ada di depan mata kita. Baik perbedaan dalam tata cara shalat, dalam berpakaian dan dalam menyikapi satu ayat atau satu hadits. Yang kalau penafsiran yang satu begitu di yakini, penafsian yang lain dianggap salah. Padahal perbedaan-perbedaan itu sebenarnya juga nggak terlalu prinsip. Shalat adalah berdiri, rukuk dan sujud serta duduk beserta semua bacaan yang ada di dalamnya. Kalau keempat posisi shalat ini berbeda secara ekstrem baru jadi masalah. Misal berdiri dengan kaki satu, ruku dengan satu tangan di lutut satu tangan lagi di punggung, sujud dengan dengan kepala menoleh ke atas atau seperti posisi mau jungkir balik.
Saya tak pernah melihat itu dilakukan oleh seseorang pelaku shalat yang sudah dewasa. Kecuali anak2 yang masih dalam taraf belajar memang bisa kita temui melakukan hal-hal seperti itu. Sungguh perbedaan-perbedaan yang sangat kecil sangatlah banyak. Dan kita mengakui perbedaan itu.
Masalahnya, untuk selera agama masing-masing diri kita ini nggak suka yang berbeda. Dan ini nyata. Lihat saja kalau shalat berjama`ah di masjid. Ada yang mau berjabat-tangan selesai salam. Ada yang nggak mau sama sekali. Dan yang nggak mau berjabat tangan terlihat begitu percaya diri. Padahal kalaupun berjabat tangan apa ruginya ? Kalau saya mengatakan jabat tangan itu sebagai kepedulian kita terhadap sesama jama`ah dan sebagai rasa terima kasih atas telah bersedianya untuk shalat berjama`ah. Salah nggak ? Kalau nggak ada jama`ah lain di samping kita apakah kita akan mendapatkan pahala shalat jama`ah ? Jawabnya tidak ! Penyebab dapatnya pahala shalat berjama`ah sebanyak 27 derajat adalah adanya jama`ah lain di sebelah kita. Sehingga jabat tangan selesai shalat sebagai ucapan terima kasih adalah satu kebaikan yang bermakna. Paling tidak, menunjukkan kepedulian kita terhadap seseorang yang telah memberikan kontribusi atas perolehan pahala sebanyak 27 derajat kepada kita.
Kita mengakui kalau perbedaan itu merupakan rahmat. Tapi kita sendiri tidak pernah mau berada dalam perbedaan. Apakah ini bukan merupakan suatu tanda kalau di hati kita ini belum kemasukan “ruh” Islam. Sesama orang Islam adalah saudara. Tapi kita justru mengingkari dengan menganggap seseorang yang pakaiannya berbeda dengan kita sebenarnya adalah “musuh”. Seseorang yang shalatnya “sedikit” berbeda dengan kita adalah bukan saudara kita. Sehingga tidak perlu ada sentuhan diantara kita dan mereka walupun sekedar jabat tangan. Padahal jabat tangan itu mempunyai makna yang sangat dalam.
Rasulullah saw tidak membawa perbedaan. Kita sendiri yang membuat perbedaan-perbedaan itu terjadi. Beliau sangat toleran terhadap setiap perbedaan yang kebenarannya sendiri masih relatif. Dan agama Islam tidak membuat sesuatu yang mudah menjadi sulit. Segala sesuatunya dibuat begitu mudah dan tidak memberatkan orang-orang yang beriman. Tapi kita yang membuat perbedaan kecil menjadi sebuah urusan yang sangat besar. Yang akhirnya justru membuat kita kehilangan nilai-nilai luhur dan keindahan agama Islam. Dengan menjadikan saudara seiman sebagai seseorang yang harus dijauhi, yang harus diremehkan, yang tidak perlu di dekati dalam pergaulan. Bahkan kita juga mempunyai anggapan kalau yang paling benar adalah cara beragama kita sendiri, orang lain yang tidak sepaham dengan kita walaupun mereka shalat di masjid bersama kita mereka itu salah semua. Tidak ada yang benar. Cuma diri kitalah yang benar.
Kita tidak pernah mau menyadari kalau sifat-sifat seperti itulah yang harus hilang dari diri orang beriman. Tapi kenyataannya justru kita semakin memelihara sifat-sifat tersebut. Malah kita semakin memperlebar jarak dengan mereka. Mereka yang mayoritas merasa bahwa kamilah yang paling benar. Dan yang minoritas juga ngotot merasa sayalah yang paling benar. Tidak ada yang lebih benar kecuali kelompok kami. Semuanya tidak pernah merasa salah. Padahal semua kesalahan itu ada pada diri kita. Ada pada diri mereka semua.
Kita semua terjebak pada pemahaman “tekstual” atau Pemahaman “katanya” kita tidak pernah mau untuk menyelam sendiri untuk membuktikan sebuah berita kebenaran. Kita ini lebih taat pada mazhab masing-masing. Dan cenderung menyalahkan mazhab yang lain. Bukannya taat kepada Allah. Padahal para Imam mazhab itu semua mengajak kita untuk taat hanya pada Allah dan Rasulnya. Tetapi kita lebih mempercayai “apa katanya” Imam kita, apa katanya guru kita. Akal kita tidak pernah kita gunakan untuk mencari dan membuktikan sendiri tentang kebenaran.
Marilah kita kembali pada prinsip.
QS. Al Baqarah : 256.
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ
“Laa ikraaha fiid diini qad tabayyanar rusydu minal ghayyii ,.......
”Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang sesat,.....”
Kalau untuk masuk agama islam seseorang tidak pernah dipaksa, apalagi untuk sama dengan apa yang kita lakukan. Rasulullah tidak pernah memaksa seseorang untuk masuk dalam agama Islam. Rasulullah hanyalah menyampaikan sesuatu tentang kebenaran dalam beragama yang harus bertauhid hanya pada Allah semata. Tidak pernah ada paksaan dalam Islam. Apalagi kita. Seharusnya juga tidak paksaan terhadap orang lain untuk sama dengan yang kita jalankan.
Demikian juga untuk beriman. Allah mempersilahkan kepada kita dalam satu ayat. Mau beriman silahkan, mau ingkar ya silahkan. Allah tidak akan pernah merasa di rugikan dengan keingkaran kita.
QS. Al Israa` : 107 (84)
قُلْ آمِنُوا بِهِ أَوْ لَا تُؤْمِنُوا ۚ إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا﴿١٠٧﴾
“Qul aaminuu bihi au laa tu`minuu, innal ladziina `utuul `ilma min qablihi `idzaa yutlaa `alaihim yakhirruuna lil `adzqaani sujjadan”
Katakanlah: "Berimanlah kamu kepadaNya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud,
Sesungguhnyalah tiap-tiap diri akan membawa dirinya sendiri untuk menghadap Allah. Kita ini hanya diwajibkan untuk melengkapi Iman dan amal shalih itu dengan sikap saling mengingatkan dalam Kebenaran dan Kesabaran. Saling mengingatkan. Jadi tidak perlu ada perasaan saling menyalahkan antara kita yang mempunyai perbedaan dalam keyakinan.
Sebisa mungkin. Dengan sukarela atau terpaksa kita harus menghargai setiap perbedaan yang yang terjadi. Dengan terus mengasah dan melatih agar hati bisa menerima perbedaan itu dengan tulus. Sebab kebenaran yang kita angankan juga menjadi angan-angan orang lain. Menurut kita, kitalah yang benar. Menurut orang lain, merekalah yang benar. Jika pikiran dan perasaan seperti ini kita turuti, bukan tidak mungkin akan dimanfaatkan oleh setan untuk terus memelihara “egoisme” tersebut.
QS. Al Israa` : 84
قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَىٰ شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَىٰ سَبِيلًا﴿٨٤﴾
Qul kullun ya`malu `alaa syaakilatihi farabbukum a`lamu biman huwa ahdaa sabiila”
”Katakanlah: "Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing". Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya”.
Nah, kita bisa berkilah kalau ayat itu bukan dimaksudkan untuk kita, umat islam. Mungkin berkaitan dengan umat yang lain. Tapi relevansi dari Al Qur`an yang sesuai dengan segala zaman telah mengingatkan kepada kita semua bahwa tiap-tiap orang berbuat menurut caranya masing-masing. Dan hanya Allah yang mengatahui siapa diantara kita ini yang paling benar caranya atau jalannya.
Jadi nggak usah terlalu percaya diri dengan apa yang telah kita lakukan. Belum tentu kebenaran itu menjadi milik kita sendiri. Sementara banyak sekali umat Islam yang mempunyai pemikiran lebih “benar” dari kita. Terlalu bangga dengan kelebihan yang kita miliki dan yang telah kita lakukan adalah suatu kesalahan yang mungkin tidak kita sadari. “Ego' yang terjadi disini menyebabkan kita berpikiran, bahwa kebenaran hanya milik kita, surga hanya milik kita, ridha Allah hanya akan diberikan kepada kita.
Tanpa sengaja kita telah berbuat dzalim terhadap diri kita sendiri dengan banyak memandang rendah orang lain. Dengan menyalahkan cara-cara beribadah orang lain. Tidak mau bergaul dengan orang selain yang sekeyakinan dengan kita. Selain dzalim terhadap diri sendiri, secara otomais juga kita telah berbuat dzalim kepada orang lain. Dan yang lebih tidak kita sadari adalah, bahwa semua itu akibat oleh bujukan setan. Setanlah yang telah menguasai kita dengan membungkus pikiran dan hati kita dengan rasa “paling benar sendiri”. Dan lucunya kita tidak pernah menyadari kalau kita telah di kuasai setan.
Demikianlah, sudah sepatutnya kalau kita lebih bisa menjaga diri kita dari hal-hal yang sebenarnya merugikan diri kita sendiri. Seharusnya kita juga menyadari kalau rasa “paling benar” sendiri itu lebih banyak di pengaruhi oleh setan. Hanya saja kita tidak bisa merasakan. Sehingga kita justru semakin larut dalam kebencian yang semakin dalam dengan seseorang yang sebenarnya merupakan saudara kita sendiri.
Perbedaan haruslah di sikapi sebagai “ujian kesabaran”. Karena kesabaran yang kita miliki adalah rahmat dari Allah. Tidak mudah untuk menjadi orang yang sabar. Dan kesabaran dari seseorang lebih mudah untuk mendapatkan ridhanya Allah. Oleh karena itu hendaknya kita tidak menganggap orang lain lebih buruk dari kita. Dan sadarilah bahwa hanya Allah yang paling tahu siapa diantara kita yang paling benar.
QS. Al Hujurat : 11
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ﴿١١﴾
”Yaa ayyuhalladziina aamanuu laa yaskhar qaumum min qaumin `asaa an yakuunuu khairan minhum walaa nisaa`un min nisaa`in `asaa an yakunna khairan minhunn. Walaa talmizuu anfusakum walaa tanaabazuu bil alqaabi. bi`sal ismulfusuuqu ba`dal iimaani. wa man lam yatub fa`ulaa`ika humudz dzalimuna”
”Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim”.
Belajarlah untuk memahami ayat-ayat Al Qur`an. Hayatilah isinya. Ada banyak pelajaran yang bisa di ambil di dalamnya. Termasuk juga kesabaran dalam menghadapi segala sesuatu yang terjadi di sekitar kita. Dan janganlah mudah terhanyut oleh kata hati yang mengarah ke tindakan negatif. Apalagi tindakan pengrusakan. Segala sesuatu yang terjadi di sekitar kita yang melibatkan diri kita secara langsung atau tidak langsung adalah sebuah cobaan yang harus di redam dengan kesabaran.
Perlawanan yang terjadi lebih banyak tidak membuahkan manfaat bagi diri kita. Sebelum kesepakatan tentang “damai” terjadi, kita akan selalu dalam “konflik” yang justru lebih banyak melelahkan. Kecuali untuk sebuah “kebenaran” yang akan melindungi semua umat manusia. Perbedaan harus di sikapi sebagai sebuah cobaan untuk diri kita khususnya dan sebagian besar umat pada umumnya.
Dan kalau kita mau jujur perbedaan itu lebih banyak bermanfaat dari pada kesamaaan. Sebuah problem tak akan bisa diselesaikan kalau kita hanya terpancang pada satu pemikiran saja. Harus berkembang hingga bisa memperoleh hasil yang terbaik. Demikian juga seorang tukang service motor atau mobil tidak akan bisa bekerja hanya dengan menggunakan beberapa biji alat yang bentuk dan fungsinya sama. Harus ada alat yang berbeda-beda untuk bisa membuat proses “service” berjalan lancar dan membuat motor atau mobil berfungsi kembali dengan baik.
Bersatulah, bergaullah satu sama lain dengan pergaulan yang baik. Dengan tidak berburuk sangka kepada saudara kita yang lain. Dan yakinlah kalau kesatuan sesuatu yang terbangun atas perbedaan-perbedaan bisa menghasilkan sesuatu yang mempunyai kekuatan yang luar biasa. Bayangkan kalau semua umat Islam bersatu dengan mengesampingkan semua perbedaan-perbedaan yang ada. Betapa kuatnya Islam. Betapa Indahnya Islam. Seperti sebuah taman yang sangat indah yang terbentuk dari berbagai macam tanaman hias dan bunga-bunga yang beraneka ragam dan warnanya. Yang di masing-masing sisinya berdiri kokoh benteng yang melindungi semua apa yang ada di dalamnya. Yang apabila orang lain melihatnya, maka tak akan kuasa menahan untuk ingin segera memasukinya dan merasakan begitu indah dan damainya kehidupan di dalamnya.
Sekian.
Minggu, 18 April 2010
Perbedaan adalah rahmat ?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar