Selasa, 06 April 2010

Kematian adalah sebuah kemenangan ?

Kematian adalah sebuah kemenangan.

Persepsi umum mengenai sebuah peristiwa “kematian” adalah berakhirnya masa kehidupan seseorang atau berhentinya seluruh kinerja organ tubuh yang di akibatkan karena suatu peristiwa sebelumnya. Atau berakhirnya sebuah kehidupan bagi seseorang akibat dari berhentinya fungsi organ tubuh yang diakibatkan karena satu sebab alamiah dan sebab tidak alamiah. Bisa juga di katakan sebagai terputusnya hubungan jasad dengan dunia akibat datangnya ajal yang telah di tetapkan oleh Allah swt.

Tetapi saya tertarik pada sebuah kalimat yang pernah saya baca “Kematian adalah sebuah kemenangan dan kekalahan adalah sebuah penyesalan yang berkepanjangan”. Benarkah kalimat ini ? Saya mencoba untuk sedikit memahaminya dari apa yang ada di kepala atau otak saya, tentu juga melibatkan hati yang ada di dalam dada.

Dalam pikiran saya kehidupan ini adalah sebuah kesempatan untuk sebuah kehidupan yang lain yang “lebih” dari kehidupan saat ini. Tapi Al Qur`an menginformasikan kepada kita kalau hidup adalah sebuah cobaan dari Allah. Sebuah cobaan untuk mengetahui siapa di antara kita yang paling baik amalnya. Dan Allah hendak memberi balasan kepada mereka yang paling baik amalnya dengan sebuah kehidupan yang lain yang sama sekali berbeda dengan kehidupan kita sekarang yang serba nisbi dan sementara.

Tetapi benarkah kematian sebuah kemenangan ?

Hidup adalah sebuah pertarungan. Dimana kemenangan menjadi sebuah keharusan untuk sebuah eksistensi kehidupan tiap-tiap diri. Dan untuk bisa di sebut pertarungan haruslah ada “lawan” atau “musuh”. Lantas siapa yang menjadi musuh manusia ?

Musuh kita bisa berupa materi dan non materi. Lawan berwujud materi kita adalah sesama manusia dengan saling berebut pengaruh, kekuasaan, jabatan atau lahan. Berwujud binatang dengan berebut daerah atau lahan untuk eksistensi kehidupan atau bahkan untuk dimakan. Bisa juga lawan kita berupa alam. Misalnya tempat-tempat atau daerah yang sulit, terjal, curam dll. Atau pohon-pohon yang sangat besar yang menghalangi eksplorasi kekayaan alam atau untuk bercocok tanam.

Jika kita ingin sebuah kehidupan yang “baik” sampai ajal menjemput kita, konsekuensinya adalah harus mau mengusahakannya. “Usaha” ini menyangkut tenaga dan pikiran. Kadang sebuah “kemenangan” materi harus di tebus dengan tenaga dan pikiran sekaligus. Kadang tenaga yang lebih dominan. Tapi di lain waktu bisa pikiran yang lebih banyak bekerja.

Bagi seseorang yang berusaha di bidang perniagaan ada kalanya sebuah pertarungan tidak menghasilkan sebuah kemenangan. Tetapi kadang bisa menghasilkan kemenangan yang “telak” dengan hasil yang jauh lebih besar. Besaran kemenangan dari sebuah perniagaan relatif lebih “baik” dari pada hanya sebatas pengabdian dengan imbalan upah. Walaupun begitu para “abdi” tersebut masih layak disebut sebagai petarung materi demi eksistensi kehidupan dirinya sendiri.

Dan jangan lupa pula hasil dari perniagaan belum tentu lebih baik dari hasil seseorang yang hanya “mengabdi” dengan besaran upah yang relatif tetap. Kualitas dari hasil sebuah usaha sangat di pengaruhi oleh bagaimana cara seseorang mengusahakannya. Faktor “niat”-an dan kejujuran akan membedakan kualitas hasil atau pendapatan atau rezeki dari tiap-tiap orang.

Sedangkan lawan berupa non materi adalah seperti yang tersurat dalam Al Qur`an yaitu, Iblis dan setan atau jin yang telah mendapat restu dari Allah untuk menggoda manusia agar terjerumus dalam bujukannya untuk ingkar kepada TuhanNya. Mereka ini berserikat untuk menjauhkan “Iman” dari dada manusia. Kebanyakan manusia takluk pada mereka dengan jalan menuruti apa kemauan iblis atau setan tersebut. Dan kebanyakan pula manusia justru menghamba pada mereka hanya demi kepuasan hidup di dunia.

Musuh lain dari manusia adalah hawa nafsu yang terbungkus oleh keinginan-keinginan materi dan non materi seperti misalnya syahwat. Hawa nafsu ini lebih banyak di tunggangi oleh setan dan iblis. Keduanya memanfaatkan kelemahan manusia dalam hal materi dan syahwat. Sehingga banyak sekali manusia yang menyediakan diri untuk menghamba pada keduanya hanya demi terpenuhinya keinginan-keinginan tersebut. Keinginan yang hampir semuanya bermuara pada kenikmatan dan kesenangan pada dunia yang hanya bersifat sementara.

Manusia yang “terlanjur” hidup mau tidak mau harus menghadapi semua itu. Menghadapi godaan-godaan syetan dan iblis selama kurun waktu kehidupannya. Keinginan-keinginan yang muncul di pikiran kita di pengaruhi oleh kesadaran ilahiyah dan ketidaksadaran karena di pengaruhi oleh setan atau iblis.

Hampir setiap keinginan kita yang bersifat keduniaan yang berlebihan, lebih banyak di pengaruhi oleh setan atau iblis. Keduanya lebih banyak mengajak manusia untuk tidak lagi mengingat Allah dalam hidupnya. Dan lebih banyak memalingkan manusia pada kesenangan atau kenikmatan dunia yang bersifat sementara. Untuk kemudian terjerumus dalam panasnya api neraka yang memang berbahan bakar manusia dan batu.

Suatu kebenaran yang tidak bisa dibantah bahwa Allah menginformasikan kepada kita kalau iblis atau setan adalah musuh yang nyata bagi manusia. Tentunya musuh dalam mempertahankan kodrat keimanan manusia hanya pada Allah swt. Dan kodrat manusia sebagai makhluk ibadah. Yang mengharuskan seorang manusia untuk menghabiskan waktu kehidupannya dengan perbuatan yang baik. Yang teraplikasi dalam kehidupan sehari-harinya dengan beribadah kepada Allah dan berbuat baik dengan sesama serta tidak berbuat kerusakan terhadap alam dimanapun dia berada.

Kematian yang bagaimanakah yang menghasilkan sebuah kemenangan ?

Kematian adalah sebuah kemenangan. Tidak semua kematian berakibat pada kemenangan yang sebenarnya. Kemenangan pada saat kematian adalah sebuah kemenangan yang semu. Hanya sebuah kemenangan melawan “keharusan hidup” yang tak pernah dapat dihindari oleh siapapun. Setiap yang hidup “haruslah hidup” sampai saat ajal datang menjemput. Tidak di benarkan bagi siapapun untuk mengakhiri hidup sebelum waktunya atau mengakhiri hidup dengan sengaja. Mengakhiri hidup dengan sengaja ini kerap di sebut mati dengan “jalan pintas” atau sering juga disebut “bunuh diri”.

Hidup adalah sebuah kesempatan. Kesempatan untuk meraih sebuah kehidupan yang jauh lebih baik dari pada hanya sekedar hidup. Mengapa sekedar hidup ? Ya karena hidup yang kita perkirakan lama ini sebenarnya hanyalah waktu yang sesaat saja bagi Allah atau makhluk Allah yang lain seperti misalnya Malaikat.

Kemenangan yang kita raih dari sebuah kematian hanyalah kemenangan terhadap umur yang tak bisa lagi bertahan. Hanyalah kemenangan terhadap berhentinya cobaan-cobaan yang terjadi selama kurun waktu kehidupan. Itu kalau kita benar-benar menyadari bahwa hidup adalah cobaan. Kalau tidak, kehidupan yang telah kita jalani hanyalah sekedar senda gurau saja. Hanya kerugian yang telah kita dapatkan.

Kemenangan akibat kematian tidaklah pantas untuk di dengungkan. Tidaklah pantas untuk di publikasikan. Tidaklah pantas untuk dibanggakan. Karena kemenangan dari sebuah kematian adalah buah dari ketakutan terhadap kehidupan. Buah kekhawatiran dari berbagai macam cobaan. Buah kepicikan dalam mempersepsi kehidupan. Dan buah kesalahan dalam menyikapi sebuah kata yaitu “kematian”

Dalam agama Islam, “kematian” di bagi menjadi 2 (dua) kategori. Yang pertama adalah kematian dengan tambahan kata Khusnul Khatimah. Yaitu sebuah kematian yang mempunyai predikat “baik” atau mati dalam kebaikan. Dimana seseorang yang mati tersebut selama hidupnya termasuk orang-orang yang selalu berbuat kebaikan. Kebaikan-kebaikan yang di lakukan dilandasi “Iman” yang jumlahnya ada 6 (enam). Dan disebut dalam Al Qur`an mereka itu adalah sebaik-baiknya makhluk.

Sedangkan kematian yang kedua adalah sebuah kematian dengan predikat Su`ul Khatimah. Dimana seseorang yang mengalami kematian dengan membawa banyak dosa. Yang di sebabkan dalam kehidupannya lebih banyak dipergunakan untuk berbuat sesuatu yang jelek atau lebih banyak melanggar larangan-larangan Allah. Seseorang yang mati dengan predikat seperti ini di sebut dalam Al Qur`an sebagai sejelek atau seburuk-buruknya makhluk.

Dua predikat kematian tersebut menentukan dapat atau tidaknya seseorang akan keridhaan dari Allah swt. dan menentukan juga balasan-balasan yang akan di terimanya nanti di kehidupan yang akan di jalaninya kemudian. Keduanya membawa konsekuensi sendiri-sendiri. Tentu dengan kenyataan yang berlawanan. Seperti dua kutub magnet yang saling menolak dan menarik. Keberadaan surga dan neraka demikian juga. Di satu pihak hanya akan menerima mereka yang baik dan menolak yang jelek untuk kemudian beraktifitas di kehidupan yang berkonotasi baik. Di lain pihak hanya akan menerima yang jelek dan menolak yang baik, untuk kemudian beraktifitas di kehidupan yang berkonotasi jelek.

Tidak semua manusia memperoleh kemenangan dalam kematiannya. Bahkan mayoritas cenderung mengalami kekalahan. Kekalahan demi kekalahan sering di alami oleh manusia tanpa mereka sadari kalau mereka sebenanya “kalah”. Mengapa bisa begitu ?

Ya karena kekalahan-kekalahan yang di alami selama hidup manusia itu justru menghasilkan “upah” yang menyenangkan. Walaupun waktu yang menyenangkan itu hanya sesaat. Namun kekalahan yang berulang-ulang itu menjadikan kesenangan yang sambung menyambung. Hingga manusia jarang yang menyadari kalau sebenarnya mereka adalah petarung yang kalah dalam mempertahankan “Iman” melawan musuh yang tak kelihatan yaitu setan.

Dengan demikian bagaimanakah kematian yang bisa berakibat kemenangan yang sebenarnya ?
Kematian yang bisa berimplikasi sebuah kemenangan yang nyata adalah suatu kematian yang meninggalkan bekas-bekas kebaikan di hampir di seluruh kehidupan seseorang. Dan membawa penghargaan-penghargaan atas semua kebaikan itu untuk menuju pada sebuah pintu pemeriksaan yang yang akan mempertimbangkan secara adil. Untuk kemudian membawanya pada tahapan kehidupan yang lebih baik dan lebih kekal di kampung akhirat.

Sebuah kematian yang menyebabkan kehidupan secara tidak langsung. Jika kita perhatikan seorang ulama besar yang telah meninggalkan dunia selama ratusan tahun tapi sampai saat ini masih meninggalkan bekas-bekas ilmu yang relevan dengan zaman. Dan sampai saat ini ilmu-ilmu tersebut masih melekat pada diri pengikut-pengikut agama mereka. Mereka sudah mati tapi Ilmu mereka akan hidup terus dan dimanfaatkan oleh banyak manusia.

Makam mereka bisa menghidupi banyak manusia dengan memanfaatkan para peziarah yang datang atau yang hanya sekedar berkunjung. Mereka berdagang atau berjualan aneka makanan dan souvenir khas daerah untuk para pengunjung makam atau peziarah. Mereka, para syuhada yang telah meninggal dunia itu bermanfaat bagi manusia baik di waktu hidupnya mapun dikala matinya. Mati yang seperti inilah yang mempunyai kemungkinan besar bisa meraih kemenangan.

Kalau uraian di atas mengenai sebuah kemenangan lantas bagaimana dengan sebuah kekalahan ?
Sebuah pertarungan akan menghasilkan kemenangan atau kekalahan bagi pesertanya. Musuh yang nyata bagi manusia adalah bujukan setan, jin serta Iblis. Mereka berserikat untuk memalingkan hati manusia dari ketauhidan pada gemerlapnya dunia. Sehingga banyak manusia yang lalai pada dzat yang telah menciptakannya dan memberinya kesempatan untuk hidup di dunia.

Kekalahan adalah penyesalan yang berkepanjangan. Kalimat ini tidaklah mengandung kesalahan. Kekalahan kita dalam petarungan melawan setan dan iblis akan membawa dampak yang sangat besar pada kehidupan kita kelak di periode akhirat. Allah tidak akan mengampuni seseorang yang telah menyekutukanNya. Dan allah telah menetapkan bahwa manusia yang menghamba atau mengikuti ajakan setan sampai di akhir hayatnya, balasannya tidak lain hanyalah neraka.

Hanya kekalahan dalam mempertahankan Iman yang akan berakibat penyesalan yang berkepanjangan. Sepanjang umur periode akhirat. Kekalahan dalam berebut keduniaan hanya menimbulkan penyesalan dan kesedihan yang relatif sebentar. Hanya sepanjang umur kita. Jika kita bisa bersabar dan berbesar hati dalam menghadapi kekalahan dunia tersebut insya Allah kemenangan yang lebih besar akan kita segera kita raih. Sesaat setelah kematian kita.

Di saat kita masih hidup, kemenangan pada saat kematian adalah sebuah mimpi. Mimpi hampir tiap-tiap orang yang dirinya mengaku sebagai manusia yang beriman. Sebuah mimpi yang sulit untuk diwujudkan tetapi bukanlah sesuatu yang mustahil untuk direalisasikan. Dibutuhkan kekuatan dan kedisiplinan dalam meraihnya. Juga dibutuhkan kesungguhan dan kesabaran dalam mewujudkannya.

Jalan berliku dan tebing yang terjal serta banyaknya gangguan telah siap menghadang bagi siapa saja yang bekehendak pada kemenangan pada saat kematian. Dan semua itu bukanlah perkara yang ringan sekaligus bukan perkara yang memberatkan. Karena Allah telah mengukur kemampuan tiap-tiap makhluk yang telah di ciptakanNya. Semua hal tersebut akan terasa lebih mudah jika kita menjalani dengan berpegang pada tali Allah. Yaitu buhul tali yang sangat kuat dan tidak akan putus atau terurai. Tidak lain hanyalah “Iman” yang sebenar-benarnya Iman.

Kunci dari kemenangan saat kematian itu tidak lain adalah selalu mengingat Allah disaat kapanpun dan dalam situasi dan kondisi macam apapun. Mempertahankan iman agar tetap menghiasi hati kita. Berbuat kebaikan selama berada di alam dunia dengan mengacu pada Al Qur`an dan Hadits Rasulullah saw. Menjalankan semua perintah-perinyahNya dan berusaha untuk selalu menjauhkan diri dari semua laranganNya. Dan tetap bertawakal hanya kepada Allah swt. Yang demikian itu adalah wujud kepasrahan kepada Allah dan yang demikian itu adalah juga wujud dari Islam yang sebenarnya. Wujud kepasrahan dan keikhlasan seorang hamba kepada Tuhannya.

Sekian.

Tidak ada komentar: