Rabu, 21 April 2010

Mengapa Harus Meminta.

Mengapa harus meminta ?

Sering kita menjumpai seseorang yang datang kepada kita untuk meminta sedekah. Di rumah, di jalan-jalan atau di tempat-tempat umum sewaktu kita sedang berada di luar rumah. Kita menyebut mereka dengan sebutan “pengemis”. Yaitu orang yang memanfaatkan hari-hari dalam hidupnya untuk meminta-minta kepada orang lain. Tak jarang pula kita memberi mereka dengan uang “receh” karena para peminta-minta ini identik sekali dengan uang “receh” atau uang logam. Tak jarang pula seseorang menolak untuk memberi dengan alasan nggak ada uang “receh”. Dengan menolak secara halus dengan kata-kata yang sopan atau dengan mempersilahkan kepada peminta-minta tersebut untuk meminta kepada orang lain saja.

Yang akan coba kupas adalah bagaimana kita harus bersikap terhadap mereka ? Dan bagaimanakah sebenarnya kenyataan kehidupan mereka ? Haruskah mereka meminta-minta ?

Bagaimana kita harus bersikap kepada mereka ?

Ada dasar yang sangat kuat bagaimana kita harus bersikap terhadap mereka. Allah menempatkan sedekah di urutan paling atas setelah iman dan shalat. Dan disini ada peran besar sedekah dalam mempersatukan manusia dalam kebaikan. Disamping janji-janji Allah dengan balasan yang berlipat ganda, sedekah adalah pilar penyangga keimanan umat. Yang memberi semakin bertambah kekuatan Imannya karena bertambahnya nikmat dari Allah. Yang menerima juga akan semakin memelihara Iman mereka karena Allah senantiasa memelihara rizki dan memudahkan urusan-urusan mereka.

Ada dua arah ibadah dalam pemberian sedekah. Yang pertama terkait dengan keikhlasan dalam mengeluarkan dan memberikannya. Yang menyebabkan ridhanya Allah kepada diri orang yang besedekah. Yang kedua adalah efek horizontal yang terjadi akibat dari suburnya sedekah. Yang bisa menyebabkan meningkatnya kesadaran moral dan kepedulian sosial yang tinggi dari orang-orang beriman.

Sedikit uraian di atas adalah dasar bagi kita untuk memberikan sedekah kepada mereka yang membutuhkan. Disamping sabda Rasulullah saw, bahwa tangan yang diatas (memberi sedekah) lebih baik daripada tangan yang dibawah (peminta sedekah). Pada kali yang lain Rasulullah saw juga berkata kepada para sahabat disaat ada peminta-minta datang kepada mereka “Berikan bantuan, maka kalian akan mendapat pahala, dan Allah akan melaksanakan apa yang Dia kehendaki melalui lisan nabiNya”

Pada riwayat yang lain Rasulullah saw juga bersabda, “Janganlah kamu menahan hartamu (menghindari sedekah) yang akan mengakibatkan Allah menahan anugerahNya kepadamu”. Lantas bagaimana kita harus bersikap ? Kalau merujuk dari Allah dan Rasulullah tak ada pilihan lain kecuali memberi mereka dengan tanpa berpikir panjang lagi. Tentu saja pemberian itu harus sesuai dengan kemampuan kita.

Memberi mereka yang meminta-minta tanpa disertai dengan perasaan yang bertanya tentang “layak” atau tidaknya orang tersebut meminta-minta adalah mutlak memberi karena Allah dan anjuran Rasulullah. Ucapkan basmalah dan berikan dengan “senang hati” lantaran mereka telah menjadi penyebab kita bisa menyalurkan sedekah. Dan do`akan mudah-mudahan sedekah yang kita berikan benar-benar bermanfaat bagi mereka.

Bagaimana sebenarnya kehidupan mereka ?

Hati kadang tidak bisa di ajak kompromi. Walau pada awalnya kita membangun niat bersedekah hanya karena Allah, di akhir sedekah kadang hati bertanya dan pikiran mempersepsi siapa sebenarnya yang telah kita beri sedekah. Hal seperti ini bisa terjadi karena keyakinan kita tentang adanya penyusup-penyusup dari orang yang seharusnya tidak “meminta” menjadikan dirinya “Peminta-minta”. Mengapa demikian ?

Seperti juga sabda Rasulullah saw kepada salah salah satu dari mereka,”Wahai Hakim, harta itu “segar dan manis” siapa yang mengambilnya dengan hati yang puas (tidak rakus) ia akan mendapatkan berkah dari harta itu. Dan siapa yang mengambilnya dengan rakus, ia tidak akan mendapatkan berkah dari harta itu. Seperti orang yang makan tapi tidak pernah merasa kenyang. Tangan yang di atas itu lebih baik daripada tangan yang di bawah”.

Harta itu segar dan manis. Segar dan manisnya harta itulah yang menyebabkan mereka yang seharusnya tidak meminta-minta jadi peminta-minta. Dan cara yang paling mudah mendapatkan sesuatu adalah “meminta” pada orang lain. Kemudahan dalam mengumpulkan “receh” tersebut telah menarik minat sebagian orang untuk menjadikan dirinya “peminta-minta”. Mereka ini tidak menyadari kalau kehadiran mereka ini sebenarnya mengambil hak orang lain. Yaitu hak orang miskin yang “meminta-minta”.

Diantara mereka itu ada “peminta-minta” yang sebenarnya. Yaitu mereka yang memenuhi kebutuhan hidupnya memang harus meminta dikarenakan beberapa faktor. Misalnya : Orang yang sudah tidak lagi mempunyai kemampuan untuk bekerja dikarenakan renta dimakan usia. Orang yang mempunyai cacat tubuh, sehingga tidak mampu untuk bekerja. Orang buta. Dan faktor-faktor lainnya.

Tetapi jika kita melihat realitas “Peminta-minta” yang saat ini banyak kita temui kita bisa mendapatkan kenyataan-kenyataan yang bisa membelalakkan mata kita. Simak saja di media. Ada “Peminta-minta” yang di koordinir oleh seseorang yang di sebut “boss”. Dengan memberikan penampungan dan makan di sebuah rumah yang relatif “menyendiri” atau justru berbaur dengan penduduk di lingkungan kumuh, setiap harinya mereka di “drop” ke tempat-tempat yang sudah di sepakati untuk kemudian di jemput pada sore harinya.

Ada yang bekerja sendiri-sendiri dengan “menyamar” seakan-akan penyandang cacad tubuh seperti lumpuh, atau membalut kaki atau tangan untuk kemudian di lumuri “obat merah” dan kemudian siap beroperasi di perempatan-perempatan jalan. Ada pula yang memang merelakan diri untuk meminta-minta. Padahal di daerah asalnya mereka bukanlah orang “miskin” yang layak untuk meminta-minta. Bahkan mereka itu cukup dalam hal materi. Hanya mereka dengan sengaja menjadikan “Peminta-minta” sebagai profesi.

Pernah juga di tayangkan oleh media televisi tentang realitas kehidupan para “pengemis” di sebuah makam seorang auliya`. Ternyata rumah-rumah kediaman mereka jauh lebih baik dari pada para pekerja atau karyawan sebuah pabrik. Mereka ini “meminta” dengan keadaan sehat dan kuat. Dengan santai mereka menggoyang-goyangkan baskom yang berisi uang recehan hingga terdengar suara gaduh di sekitar jalan menuju makam.

Kenyataan-kenyataan seperti itulah yang menimbulkan keraguan dari diri kita untuk menganggap semua peminta-minta adalah mereka yang memang patut untuk dibantu atau di beri sedekah. Walaupun segala sesuatu bermuara pada Allah. Tetap saja masih ada keraguan dalam melaksanakannya. Ada rasa khawatir jika yang kita lakukan itu tidak tepat pada sasaran. Dan rasa khawatir melakukan sesuatu yang sebenarnya sia-sia.

Haruskah mereka meminta-minta ?

Jika memang harus melakukannya kita akan menerima mereka sebagai kaum yang memang berhak untuk menerima sedekah kita. Tapi jika tidak seharusnya mereka melakukannya mengapa mereka memaksa diri untuk melakukannya ? Tidak adanya rasa takut pada Allah dan relatif mudahnya mencari nafkah dengan meminta-minta telah membuat sebagian orang tidak lagi memperdulikan diri sendiri. Tidak perduli dengan apa yang dilakukannya saat ini dan tidak perduli dengan apa akibat yang akan diterimanya nanti.

Sabda Rasulullah saw di atas berkaitan dengan salah seorang sahabat atau beberapa orang dari kaum anshar yang selalu meminta kepada Rasulullah. Setiap selesai diberikan apa yang telah dia minta sebelumnya esoknya mereka meminta lagi. Dan salah seorang dari mereka yaitu Hakim bin Hizam tersadar dan berkata, “ Ya Rasulullah demi Allah yang telah mengutus anda dengan kebenaran, setelah ini saya tidak akan mau menerima pemberian dari orang lain sehingga saya mati”. Dan sampai akhir hayatnya dimasa dua khalifah yaitu Sayyidina Abu Bakr dan khalifah Umar bin Khattab, hakim tetap tidak mau menerima jatah pampasan perang yang seharusnya menjadi haknya.

Dalam riwayat lain yang masih berkaitan dengan hadist di atas Rasulullah juga mengatakan, “Jika aku masih memiliki sesuatu, tentu aku tidak akan menyembunyikannya dari kalian. Siapa yang menghindari minta-minta, Allah akan memenuhi kebutuhannya. Siapa yang merasa cukup dengan pemberian Allah, Allah akan mencukupinya. Siapa yang berupaya unatuk bersabar, Allah akan membuatnya bersabar. Dan tidak ada anugerah Allah yang diberikan kepada seseorang yang lebih baik dan lebih besar dari pada kesabaran”.

Kekosongan hati dari pengetahuan ilmu agama banyak menyebabkan manusia lebih menoleh pada kenikmatan duniawi. Apa yang telah di capai oleh tetangga kanan kirinya kadang justru membuat lupa pada kebenaran yang pernah diyakininya. Gemerlap cahaya lampu di sekitarnya telah membuat silau mata mereka. Sehingga mereka rela untuk menutup mata dan menyembunyikan muka di hadapan manusia lain hanya untuk menyalakan lampu yang sama dengan tetangga sekitarnya.

Sungguh ironis sekali apa yang terjadi di makam para Auliya. Para Waliyullah itu mengajarkan bagaimana hidup dengan hati dan baju agama. Tujuannya tidak lain hanyalah agar kita tidak terpesona hanya dengan menyaksikan “rupa” dan kilauan “cahaya” dunia. Dan mengajarkan pada kita untuk selalu berusaha dengan segenap kemampuan yang ada dan bersabar dalam menunggu ketetapanNya.

“Pengemis” adalah sebuah fenomena. Tidak di negara kita tidak juga di negara manca. Tidak ada diantara kita yang pernah meminta untuk jadi “peminta-minta”. Tapi diri kita sendirilah yang menghendakinya. Demi kemilaunya cahaya dunia sebagian manusia tidak perduli lagi cahaya yang sebenarnya. Yang akan sangat dibutuhkannya kelak di hari yang sudah di tentukan Allah swt.

Terhadap mereka yang memaksa diri untuk meminta, Rasulullah pernah bersabda, “Demi Allah yang hidupku dalam genggamanNya, seseorang yang mengambil seutas tali kemudian mencari kayu bakar, lalu kayu tersebut diangkutnya di atas punggungnya, adalah lebih baik baginya daripada dia meminta-minta kepada orang lain yang mungkin dia akan diberi atau di tolak”.

Sabda Rasulullah tersebut memberikan pengertian kepada kita bahwa pekerjaan atau upaya serendah apapun menurut penilaian manusia masih lebih baik dari pada harus merelakan diri kita untuk jadi “peminta-minta”. Di riwayat lain Rasulullah juga bersabda, “Ada orang yang tak pernah berhenti meminta-minta kepada orang lain, sehingga kelak pada hari kiamat tidak ada daging sedikitpun di wajahnya”.

Pernahkah kita membayangkan bahwa kita akan menghadap seseorang dengan wajah tanpa daging ? Hanya berupa tulang yang terbungkus kulit ari yang tipis ? Tak akan terbayangkan betapa malunya kita. Apalagi yang akan kita hadapi adalah Allah yang telah menciptakan kita. Yang telah memberikan berbagai kenikmatan selama hidup di dunia. Kita akan mendapat malu yang luar biasa. Yang tidak akan pernah kita bayangkan sebelumnya selama kita hidup di dunia.

Belum lagi balasan yang akan kita terima akibat dari mengabaikan perintah-perintahNya. Tidak mengindahkan apa yang telah dilarangNya. Dan memandang dengan sebelah mata apa yang telah di sabdakan oleh UtusanNya. Tidak mencontoh semua teladan dari RasulNya. Betapa akan sengsaranya kita dalam kehidupan yang sebenarnya. Yang dengan sukarela atau terpaksa kita akan menjalaninya tanpa bisa mengatakan sesuatu apa.

Saya sendiri tidak tahu apa tulisan ini ada gunanya, saya juga tidak pernah membayangkan bahwa tulisan ini akan sampai kepada mereka. Saya cuma bisa berharap bahwa Malaikat akan membisiki sesuatu kepada mereka tentang satu hal, yaitu tangan yang di atas (yang memberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (yang meminta). Sehingga satu demi satu dari mereka akan tersadar dari hipnotis musuh kita yang nyata. Yang senantiasa memalingkan mata, telinga, lambung dan hati manusia menuju keingkaran terhadap Allah azza wa Jalla.

Sekian.

Tidak ada komentar: