Surga dan Neraka
Ketika ada diantara kita yang membicarakan masalah surga dan neraka. Kira kira apa yang ada di benak kita ? Kita teruskan atau kita sudahi saja alias berhenti bicara ? Kenyataannya jika ada beberapa orang yang bergerombol, pembicaran ini memancing beberapa reaksi. Reaksi-reaksi tersebut sangat tergantung pada “siapa” yang sedang bergerombol tersebut.
Reaksi yang pertama adalah seseorang yang bilang, “ Alaah,..kayak sudah tahu neraka dan surga aja kamu, ngomong liyane po`o, kayak kyai aja”.
Seseorang yang bereaksi seperti ini ada beberapa kemungkinan juga, mungkin orang ini adalah orang yang sama sekali tidak tertarik dengan apa yang namanya itu Surga dan apa itu yang namanya neraka. Tidak sedikit orang yang sepaham dengan seseorang ini. Mereka tidak perduli terhadap surga dan neraka. Orang seperti ini mempunyai prinsip : “Hidup adalah hidup. Tidak perlu dibebani dengan sesuatu yang belum jelas adanya. Cuek bebek,.. mau apa saja jadilah. Hidup ini tidak lama. Tidak perlu bersusah-susah dengan memikirkan hal-hal yang tidak nampak dimata kita.” Lalu dengan bersemangat orang tersebut menambahkan komentarnya :
“Pembicaraan mengenai surga dan neraka hanya akan membuat hidup menjadi pasif dan statis. Tidak ada perkembangan. Dari pagi hingga sore yang dibahas hanya surga saja. Nggak ada habisnya. Sepertinya tidak ada pembicaraan dengan topik yang lain. Di ulang-ulang terus. Kalau nggak surga ya neraka. Kalau nggak keduanya larinya ke Iman. Kalau bukan Iman paling-paling ya amal shalih. Monoton. Dari hari kehari itu,..itu aja,....padahal belum tentu kebenarannya,... Bosan !”
Pada akhirnya sampai juga pada kata kata yang paling menakutkan bagi kita yang meng-iman-i akhirat. Yaitu ketidakyakinan seseorang akan kebenaran kehidupan akhirat. Termasuk adanya surga dan neraka.
Kemungkinan yang lain atau reaksi yang kedua adalah seseorang yang menyela pembicaraan tersebut adalah orang yang mempunyai sedikit Ilmu tapi hendak menyombongkan diri di hadapan orang lain dengan komentarnya :
“Olah opo koên ngomong ngono iku. Wis nglonthok tah ilmu-mu kok wis wani ngomongno surgo ambek neroko. Aku ae sing wis mondhok pirang-pirangane tahun gak wani ngomongno surgo ambek neroko. Koen sing gak ngerti alip bengkong kok wani-wani ngrambah akhirat”.
Allah yaa Karim,... orang seperti ini benar ada diantara kita !
Dengan ilmu yang dimiliki, yang bagi dirinya sendiri saja masih belum berimbas pada Ke-iman-an, dia berusaha untuk mempengaruhi orang lain agar tidak usah berbicara masalah surga dan neraka. Orang-orang seperti ini sangat berbahaya buat kita. Mereka kadang menggunakan persepsi-persepsi pribadi untuk melemahkan keyakinan seseorang.
Harus di akui juga orang seperti ini biasanya aktif dan pandai bicara. Dan keyakinan yang tidak terbangun kemungkinan besar akibat pengaruh orang lain. Kemungkinannya adalah dia berguru kepada kepada seorang yang mempunyai Ilmu tertentu yang tidak berlandaskan pada Al Qur`an dan Al Hadist. Kemudian hatinya menjadi ragu kepada pada agama tauhid ini dan akhirnya condong kepada keyakinan sang Guru. Yang seperti ini sering terjadi.
Dengan berbagai keringanan dalam syarat dan amal atau perbuatan yang harus dilakukan, tidak sedikit mereka yang masih muda atau sudah berumur terbius untuk mengikuti kelompok orang-orang seperti ini. Mereka membentuk komunitas dan mengadakan pertemuan rutin secara berkala. Secara perlahan kegiatan mereka ini semakin ke permukaan atau berani secara terang-terangan dalam menjalankan ritualnya. Dan jika reaksi masyarakat sekitar mulai dirasakan tidak bersahabat, mereka akan menyelam kembali alias menurunkan suhu dengan berhenti kegiatan untuk sementara waktu.
Reaksi yang ketiga adalah salah satu diantara orang yang bergerombol itu berusaha untuk ingin tahu lebih lanjut karena dia merasa kurang memahami apa sebenarnya kehidupan akhirat itu. Dengan serius orang tersebut bertanya kepada teman yang tadi bercerita tentang surga dan neraka.
“Jan-jane akhirat iku bener ono opo ora sih ? Terus ono ngendi sakbenere surgo lan neroko iku ? Lha , awak dhewe iki mengko manggon nyang ndi ? Ning Surgo opo Neroko ?
Pertanyaan ini terlontar karena ketidaktahuan akan “Ilmu” agama. Dan biasanya yang melontarkan pertanyaan seperti ini adalah seseorang yang “lugu” atau jujur dan apa adanya. Sehingga dengan tidak malu-malu dia menanyakan tentang kebenaran akhirat dengan surga dan nerakanya. Serta semua hal yang masih berkaitan dengan keduanya.
Orang-orang dengan karakter seperti ini adalah sebuah hidangan buat orang yang lainnya. Baik orang yang berpikiran “kanan” maupun orang yang berpikiran “kiri”. Jika salah satu diantara orang yang bergerombol pada saat itu ada yang memberikan jawaban, tentu jawabannya sangat-sangat subyektif dengan kekuatan keyakinan masing-masing. Dan setiap jawaban akan mengundang reaksi dari orang yang lain. Setiap diri akan bertahan untuk mempertahankan keyakinannya dan berusaha untuk mendapat simpati dari si penanya tadi. Bukan tidak mungkin suasana akan hangat menuju ke panas.
Jika suasana panas tidak di kehendaki terjadi dalam gerombolan tersebut, maka pembicaraan akan di alihkan ke topik yang lain. Dan membiarkan si “lugu” menyimpan keingintahuan serta tetap berada dalam keraguan tentang akhirat. Menunggu kesempatan yang lain untuk kembali menanyakan pada saat yang lebih tepat.
Reaksi yang ke empat adalah seseorang yang diam dan mendengarkan secara serius ucapan temannya sambil sesekali menganggukkan kepalanya tanda setuju. Dan orang ini tidak membei satu komentarpun tentang pembicaraan yang sedang berlangsung. Pembawaanya begitu tenang dan sejuk. Senyum selalu terhias di wajahnya. Seseorang dengan pembawaan seperti itu justru meninggalkan beberapa pertanyaan di benak kita. Kalau kita mengenalnya dengan baik pasti kita bisa menemukan semua jawaban atas keraguan kita. Tetapi kalau tidak, bisa timbul pertanyaan “Jangan-jangan orang ini,..........” kok dari tadi cuma senyum-senyum terus. Atau mungkin orang ini sudah tahu semua jawaban dari pertanyaan tentang akhirat dan surga dan nerakanya. Mungkin saja.
Karena tanpa kita sadari sebenarnya banyak pula orang-orang berilmu berada di sekitar kita. Luasnya media informasi yang ada saat ini mau atau tidak mau akan lebih banyak menghasilkan manusia-manusia yang “capable” dalam bidangnya masing-masing. Tak terkecuali juga dalam bidang Agama atau ketauhidan. Kemauan belajar yang tinggi didukung dengan banyaknya buku yang beredar menyebabkan naiknya “Interested” individu di masyarakat dalam bidang ketauhidan.
Efek dari pada situasi dan kondisi semacam ini adalah, semakin banyak orang berilmu bukan dari produk pesantren. Tetapi dari kemauan yang kuat dan tersedianya sarana baca dan minat untuk meneliti tentang kebenaran yang hakiki tentang kehidupan dunia dan akhirat. Pada akhirnya akan muncul dari individu-individu tersebut “interested” untuk memperdalam ilmu agama di ekosistem dan komunitas yang sebenarnya, yaitu pondok pesantren atau lingkungan pendidikan formal dlam bidang agama.
Benarkah keberadaan akhirat dengan surga dan nerakanya ?
Bagaimana menjelaskannya ? Bagaimana pula meyakinkannya ? Diantara kita dan semua manusia yang ada, tidak ada yang pernah berkunjung kesana. Kecuali Rasulullah saw dalam peristiwa Israa` dan Mi`raj. Jika kita meminta saksi hidup dalam pembuktian akhirat ini tentu kita tidak akan pernah bisa mendapatkannya !
Sekarang begini saja. Dari buki-bukti alam dan seluruh apa yang ada di dalamnya serta seluruh aktivitas penghuninya. Kita sama-sama meyakini kalau Pencipta dan Pengatur dari semua itu, yaitu Allah yang Maha Kuasa itu benar adanya. Dan kita yakin juga kan kalau Nabi Muhammad itu Utusan Allah swt ? Nah marilah kita bangun kembali apa yang hilang dalam kepala dan hati kita. Manusia bisa berkata atau berbicara. Yakinlah bahwa Allah itu berfirman ! Yang hanya bisa diterima oleh seorang manusia pilihan Allah melalui media “Wahyu” yang di sampaikan oleh seorang Malaikat. Dia adalah Malaikat Jibril.
Sekumpulan firman yang di terima Rasulullah saw itu terabadikan dalam bentuk sebuah Kitab, yaitu Al Qur`an. Kitabullah ini mutlak harus kita yakini kebenarannya. Jika tidak,......maka keyakinan atau keimanan kita kepada Allah sebagai dzat mutlak sebagai pencipta dan penguasa langit dan bumi ini harus di rekonstuksi ulang. Harus dibangun kembali untuk meyakinkan ke-enam keyakinan yang tidak bisa terlepas satu sama lainnya. Melepaskan satu diantara 6 (enam) Iman adalah kufur atau ingkar atau bisa juga disebut kafir sindiq.
QS. Yaasiin : 36.
سُبْحَانَ الَّذِي خَلَقَ الْأَزْوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنْبِتُ الْأَرْضُ وَمِنْ أَنْفُسِهِمْ وَمِمَّا لَا يَعْلَمُونَ﴿٣٦﴾
“Subhaanal ladzii khalaqal azwaaja kullahaa mimmaa tunbitul ardhu wa min anfusihim wa mimma laa ya`lamuuna”
”Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.”
QS. Adz Dzariyaat : 49
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ﴿٤٩﴾
“Wa min kulli syai`in khalaqnaa zaujaini la`allakum tadzakkaruuna”
”Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.”
Dua ayat di atas memberi penjelasan kepada kita bahwa segala sesuatu diciptakan berpasangan. Baik apa yang bisa “terlihat” oleh mata kita maupun yang “tak terlihat” oleh mata kita. Cobalah perhatikan. Laki-laki dan perempuan, siang dan malam, langit dan bumi, hitam dan putih, baik dan buruk, negatif dan positif semuanya berpasangan. Buah pun juga diciptakan berpasangan, dalam surat Ar Ra`d ayat 3, dari bunga jantan dan bunga betina. Buah salakpun tidak akan berbuah bagus kalau tidak dibantu perkawinannya oleh manusia. Manusia dan binatang diciptakan berpasangan dalam surat Asy Syuura ayat 11. Manusia diciptakan berpasangan pada surat Az Zukhruf ayat 12; An Najm ayat 45; An Naba ayat 8.
Lantas apakah kita akan percaya kalau dunia itu berdiri sendiri ? Tidak ada pasangannya ? Sudah tentu akal dan hati kita tidak akan percaya. Suatu ciptaan tidak akan bisa berguna tanpa ada pasangannya. Maka dari itu keberadaan Akhirat dan segala sesuatunya adalah Haq atau benar belaka ! Jika kita sudah yakin, bahwa semua yang terlihat dan yang tak terlihat diciptakan berpasangan maka, Dunia ini juga pasti ada pasangannya, yang tidak lain adalah akhirat. Jika kita tidak yakin akan adanya akhirat, berarti keyakinan kita terhadap Allah sangatlah lemah yang justru lebih cenderung ke ingkar. Sekali lagi, jika kita tidak bisa meyakini kebenaran akhirat, kita tidak akan pernah juga untuk bisa meyakini tentang kebenaran surga dan neraka yang ada di dalamnya.
Keberadaan akhrat adalah benar dan pasti.
Tidak ada yang bisa membelokkan sebuah keyakinan tenang kebenaran Akhirat dan yang ada di dalamnya, kecuali orang yang mengingkari firman-firman Allah yang telah memberi penjelasan mengenai ketiganya. Dan tidak ada juga yang bisa membelokkan keyakinan kita tentang hukuman bagi orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Allah berupa calon penghuni Neraka Jahanam kecuali orang-orang yang mengingkari keberadaan Allah sebagai Tuhan Semesta Alam.
Tidak ada manusia di dunia ini yang memberikan gambaran tentang kebenaran surga dan neraka, kecuali manusia yang pernah di dekatkan dan di perlihatkan kepadanya keadaan surga dan neraka yang sebenarnya. Kebanyakan manusia tidak pernah mempercayai manusia yang lain dalam hal yang berkaitan dengan sesuatu yang membutuhkan kemampuan di luar kekuatan manusia. Kata “bohong” sangat akrab dengan hal-hal seperti ini.
Dalam sejarah, pembuktian Rasulullah saw tentang kebenaran peristiwa Israa` dan Mi`raj yang telah dilakukannya mendapatkan banyak pertentangan dari sebagian penduduk mekkah bahkan sebagian mereka yang sudah muslim lalu berbalik murtad. Bahkan setelah kejadian tersebut banyak kabilah yang memusuhi beliau dan mengucilkan dari lingkungannya sendiri. Tetapi diantara Nabi masih ada para sahabat-sahabat yang setia dan meyakini bahwa Israa` dan Mi`raj adalah benar adanya.
Demikian juga kebenaran akhirat dengan surga dan nerakanya, mereka yang merasa mengaku beriman pasti juga meyakini semua yang telah di informasikan melalui Al Qur`an. Bahkan mereka yang tidak mampu untuk berfikir secara akal memilih untuk bertaklid buta. Bahwa surga dan neraka di alam akhirat adalah benar dan pasti bagi manusia.
Sebuah balasan yang sangat adil bagi manusia.
Surga adalah sebuah “iming-iming”. Sebuah “hadiah”. Sebuah “balasan” atas “jerih payah”. Surga bukanlah sesuatu yang tidak mungkin di dapat. Surga adalah kemungkinan yang sangat besar bagi manusia. Dan surga adalah sesuatu yang Haq atau benar adanya bagi manusia yang bisa merenung tentang keberadaan dirinya di dunia. Benar dan pasti bagi manusia yang bisa memenuhi segala apa yang diperintahkanNya dan menghindari semua apa yang telah di larangNya.
Lantas dimanakah surga itu dan kapankah waktunya ?
Surga ada di telapak kaki ibu adalah sebuah ungkapan, betapa pentingnya kedudukan seorang ibu setelah pentingnya sebuah ketauhidan kepada Allah swt. lantas dimanakah surga ? Di akhirat ! Allah menjelaskan kepada manusia, bahwa di bumi kita dihidupkan dan di bumi pula kita dimatikan dan di bumi ini pula kita akan dibangkitkan pada kali yang lain. Yaitu pada periode akhirat. Suatu periode kehidupan dimana apa yang akan terjadi sama sekali berbeda dengan apa yang dialami oleh manusia selama di dunia.
Kapan waktunya ? Kelak, setelah akhir periode dunia. Dan setelah masing-masing diri kita telah melalui sebuah proses, yaitu Hisab atau perhitungan amal baik dan buruk sewaktu masih hidup di dunia. Berapa lama lagi kira-kira ? Tidak ada seorangpun di dunia ini yang bisa memastikan kapan datangnya hari penghitungan amal perbuatan itu. Hanya Allah yang mengetahuinya. Rasulullah saw sendiri menyebutkan dengan beberapa tanda-tanda tentang dekatnya hari penghisaban itu kepada kita.
Marilah kita mencoba lagi sedikit untuk berfikir lebih sederhana tentang kapan hari penghisaban itu. Dengan kenyataan yang ada dan dengan informasi yang ada dalam Al qur`an.
Hidup manusia di bumi ini menggunakan hitungan berdasarkan peredaran bulan dan matahari. Sebagian dari penduduk bumi menggunakan perhitungan tahunnya dengan peredaran bulan yang mengitari bumi dan sebagian lagi menggunakan peredaran bumi yang mengitari matahari dan membaginya dengan perpindahan posisi bumi terhadap matahari yang terjadi tiap 3 bulan. Tiga posisi yang terjadi adalah garis equator atau garis khatulistiwa, garis lintang utara dan garis lintang selatan.
Bumi berevolusi terhadap matahari yang waktunya diasumsikan 1 tahun. Dan ini berlaku untuk semua penduduk bumi. Tak terkecuali manusia. Diperkirkan umur manusia rata-rata sekitar 70 tahun. Jika kita saat ini berumur sekitar 50 tahun. Kira-kira hari penghisaban itu berapa lama lagi ?
Kita harus mencari informasi lebih dulu seberapa lama kita berada di alam kubur setelah kita mati. Coba kita perhatikan beberapa ayat berikut ini.
QS. Al Israa` : 52.
يَوْمَ يَدْعُوكُمْ فَتَسْتَجِيبُونَ بِحَمْدِهِ وَتَظُنُّونَ إِنْ لَبِثْتُمْ إِلَّا قَلِيلًا﴿٥٢﴾
“Yauma yad`uukum fatastajibuuna bihamdihi wa tazhunnuuna in labitstum illa qaliilan”
”yaitu pada hari Dia memanggil kamu, lalu kamu mematuhi-Nya sambil memuji-Nya dan kamu mengira, bahwa kamu tidak berdiam (di dalam kubur) kecuali sebentar saja.”
QS. Ar Ruum “ 55.
وَيَوْمَ تَقُومُ السَّاعَةُ يُقْسِمُ الْمُجْرِمُونَ مَا لَبِثُوا غَيْرَ سَاعَةٍ ۚ كَذَٰلِكَ كَانُوا يُؤْفَكُونَ﴿٥٥﴾
”Wa yaumaa taquumus saa`atu yuqsimul mujrimuuna maa labitsuu ghaira saa`atin, kadzaalika kanuu yu`fakuuna”.
”Dan pada hari terjadinya kiamat, bersumpahlah orang-orang yang berdosa; "mereka tidak berdiam (dalam kubur) melainkan sesaat (saja)". Seperti demikianlah mereka selalu dipalingkan (dari kebenaran).”
Kedua ayat diatas menginformasikan mengenai sumpah atau kesaksian mereka yang ada di dalam kubur bahwa mereka beada di dalamnya tidak lama. Hanya “sebentar” atau “tidak lama”. Lho kok bisa begitu ? Ada apa dengan mereka ?
Mereka merasakan perbedaan waktu yang sangat ekstrim di tempat saat itu dengan saat hidupnya di bumi atau dunia. Sehingga diantara yang dibangkitkan itu juga mengira-ngira lama hidupnya di dunia yang menurut mereka hanya sekitar 10 hari atau 1 hari atau bahkan cuma sebentar saja. Bahkan waktu yang hanya sebentar itu di asumsikan seperti waktu kita berkenalan dengan seseorang di siang saja.
Dengan demikian bisa pula kita berkesimpulan bahwa dari alam lain akan terlihat bahwa bumi itu berputar begitu cepatnya. Sehingga waktu yang sekitar 70 tahun hanya terasa cuma sebentar saja. Bisa juga dikatakan bahwa setelah kita mengalami kematian, tiba-tiba saja kita langsung dibangunkan dengan suara tiupan sangkakala dari malaikat Israfil. Berarti, bisa nggak di katakan kalau sesaat setelah kita mati, tiba-tiba terdengar terompet sangkakala itu ?
Seberapun lamanya kita “tidur” di alam kubur menurut ukuran dunia, kita tidak akan pernah bisa merasakan “cepat” atau “lama” tersebut. Sesuatu yang sudah pasti adalah kelak kita akan merasakan dan membuktikan kalau hidup di dunia yang kita rasakan begitu lama ini ternyata begitu cepatnya atau sebentar atau sesaat saja jika dirasakan dari alam lain tersebut. Dan “tidur” kita di alam kubur juga begitu terasa “sesaat” saja.
Maka dari itu kita tidak usah memperkirakan kapan kejadian “Kiamat”. Tinggal kita hitung kira-kira berapa sisa umur kita, itulah waktu kita untuk segera bisa mendengarkan tiupan sangkakala dari Malaikat israfil. Jika kita memperkirakan umur kita 63 tahun dan sekarang kita sudah 43 tahun, maka tunggu saja sampai dua puluh tahun lagi. Anda akan segera menghadapinya. Dan kita akan segera untuk menjalani kehidupan baru kita di alam yang sama sekali baru dan asing buat kita.
Fakta tentang kebenaran akhirat itu bisa di jangkau dengan akal. Kalau kita mau berfikir tentang dunia dan manfaatnya pasti juga akan terlintas tentang akhirat. Karena keduanya merupakan pasangan. Sedangkan gambaran tentang surga dan neraka juga di informasikan dalam Al Qur`an dan banyak juga di riwayatkan dalam hadist. Jika kita beriman kepada kitabullah tentu iman kita terhadap akhirat akan lebih cepat terbangun. Dan bila kita sudah yakin akan kehidupan akhirat, pasti kita juga yakin akan surga dan neraka. Jika kita sudah yakin akan benarnya surga dan neraka, kita juga perlu untuk tahu ada apa diantara keduanya .
Ada apa antara surga dan neraka ?
Kira-kira ada apa ya diantara surga dan neraka ? Yang jelas untuk saat ini kita hanya bisa mengetahui kalau diantara surga dan neraka itu ada beberapa permasalahan. Diantara masalah-masalah tersebut adalah :
1.Keraguan : Dimana antara manusia yang satu dengan manusia yang lain ada perbedaan tentang kualitas keimanan. Perbedaan kualitas keimanan ini menyebabkan ada sebagian manusia begitu ragu dengan keberadaan akhirat dan apa yang di dalamnya. Sehingga manusia tersebut hidupnya selalu terombang-ambing antara harus menerima keyakinan atau membuang keyakinan tersebut. Hal ini justru menimbulkan kecemasan dalam diri manusia itu sendiri tentang akhir dari kehidupannya.
2.Keyakinan : Dimana sebagian manusia selalu berusaha untuk memahami semua apa yang ada pada kehidupan ini dan memperoleh satu kesimpulan bahwa Allah dan segala kehendaknya adalah benar belaka. Sehingga seorang manusia akan selalu berusaha untuk berbuat sesuai dengan tuntunan dari keyakinan yang telah terpatri kuat dalam hatinya.
3.Rasa Pesimis : Dimana kekhawatiran ini terbangun karena lemahnya keyakinan. Sehingga di akhir-akhir kehidupannya seseorang akan berada di puncak kecemasan dan ketakutan pada sesuatu yang akan terjadi pada dirinya kelak. Perasaan cemas dan takut ini biasanya akan berujung pada pengakuan atas ketidak berdayaan dirinya atas suatu dzat Yang Maha Mulia Pengakuan yang terlambat tersebut justru tidak bisa menghasikan apa-apa untuk dirinya, karena ketertinggalan oleh perilaku ibadah dalam perbuatan yang hampir tidak dapat di pisahkan dengan keyakinan yaitu Amal yang shalih.
4.Rasa Optimis : Dimana perasaan seseorang yang telah diliputi oleh janji-janji Allah dalam Al Qur`an tentang akhir dari sebuah kehidupan dunia dan awal dari sebuah kehidupan selanjutnya. Perasaan seperti ini terbangun karena keyakinan dan kepercayaan diri yang sangat kuat. akan adanya pahala atau balasan dalam setiap perbuatan yang akan di terima oleh setiap manusia yang telah menggunakan seluruh fasilitas kehidupan yang diberikan oleh Allah swt, sang Penguasa yang sebenarnya.
Manusia dengan perasaanya tentang Surga dan Neraka itulah yang saat ini berada di antara keduanya. Atau diantara keduanya sedang berkumpul ahli-ahli Neraka dan Ahli-ahli Surga. Yang sama-sama menunggunya. Menunggu dengan harap-harap cemas. Dan yang masuk ke Neraka jelas jauh lebih banyak dari pada yang akan masuk surga. Karena Allah sudah berfirman akan memenuhi Neraka Jahaman dengan banyak Jin dan Manusia.
Sekian
Selengkapnya...
Jumat, 26 Maret 2010
Antara Surga dan Neraka.
Jumat, 19 Maret 2010
Harta dan Anak hanyalah Cobaan dan Perhiasan
QS. Al Anfaal : 28.
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ﴿٢٨﴾
“Wa`lamuu annamaa amwalukum wa aulaadukum fitnattun wa annallaha `indahu ajrun `adhiimun”
”Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.”
Ingatkah kita pada saat kita masih lajang ? Saat-saat dimana kita lebih banyak dihadapkan pada kesenangan dan kegembiraan ? Hampir setiap saat yang ada di pikiran kita hanyalah bagaimana hati kita bisa selalu senang dan tidak ada rasa susah yang menghampiri kita. Kemana saja arahnya asalkan kita suka, tidak ada orang yang melarang. Hati akan terus senang walaupun tak punya uang. Sepeti lirik lagu Koes plus.
Itulah lajang atau bujangan. Tapi apakah kita akan selamanya bujangan ? Tentu bukan keinginan kita. Ada saatnya kita berpikir untuk membangun sebuah mahligai rumah tangga. Ketika sampai saat nya mulailah kita berdo`a, mengingat Allah untuk beberapa saat, agar diberikan pasangan yang sesuai dengan seleranya plus ini plus itu. Setelah mendapatkan pasangan yang sesuai, maka hati menjadi gembira. Kegembiraan ini kadang membuat kita lupa pada Allah yang telah kita mintai tolong sebelumnya. Lupa dan terlena. Dzikir kita tertutup oleh keindahan “asmara” yang lagi “on”.
Kemudian sampai datang hari pernikahan kita. Kita Ingat lagi kepada Allah untuk beberapa saat. Meminta dengan memohon agar diberikan segala apa yang kita butuhkan. Dengan melibatkan banyak orang kita memohon pada Allah secara bareng-bareng agar Allah mengabulkan seluruh permintaan kita. Sebagai modal dalam menjalani hidup berumah tangga.
Lalu Allah swt benar-benar mengabulkan do`a-do`a kita. Dengan limpahan rezeki berupa materi, ditambah perasaan yang begitu bahagia. Kita nikmati sepercik karunia dari Allah swt untuk seseorang yang melakukan pernikahan. Untuk sementara kita lupa lagi kepada Allah. Kita terlena dengan limpahan rahmat Allah swt. Sementara untuk beberapa waktu hati kita terbalut nafsu duniawi. Kita hanyut dalam dalam suasana yang disebut “bulan madu” dan nafsu untuk selalu “shopping” segala kebutuhan materi kita.
Saat-saat seperti itu Allah memberikan limpahan rahmatnya kepada kita bukan hanya dengan materi tetapi juga dengan hadiah sebuah “janin” atau calon bayi atau sebuah boneka buat orang dewasa. Yang kemudian kita namakan “anak kandung”. Yang prosesnya sendiri membuat kita benar-benar berada pada puncak kenikmatan dunia.
Sesaat kita ingat lagi kepada Allah dan memohon agar diberikan anak yang shaleh, yang berbakti kepada kedua orang tuanya serta berguna bagi orang lain. Tak lupa pula agar berguna bagi “agama”, berguna bagi “bangsa dan Negara”. Beberapa bulan kemudian lahirlah “hadiah” dari Allah berupa “boneka” yang benar-benar sempurna dan sangat lucu. Yang berbeda dengan boneka-boneka yang di inginkan anak-anak.
Maha suci Allah. Betapa kasihnya Allah kepada makhluk ciptaannya, betapa pemurahnya Allah dengan bersedia memberikan apa saja yang terlintas di pikiran kita dan betapa sayangnya Allah kepada kita sebelum kita sampai pada ajal kita. Kita diberinya nikmat kesehatan dan kekuatan untuk menjalani sebuah kehidupan. Akan tetapi sadarkah kita akan semua ini, mengapa Allah begitu kasih kepada kita ?, mengapa Allah begitu pemurah kepada kita ? dan mengapa Allah juga begitu sayang kepada kita ?
Allah yang Maha Kaya akan memberikan kepada kita apa yang kita minta, sepanjang permintaan kita menyangkut kenikmatan dunia akan diberikan semua. Tidak perduli mereka yang taat kepadanya atau mereka yang mengingkariNya dengan tidak mau mengingatNya sama sekali. Semua kenikmatan dunia diberikannya, kita tinggal mengusahakannya untuk memperoleh semua kenikmatan dunia tersebut. Mengapa ? Sebab dunia ini, disamping berfungsi sebagai tanda-tanda kuasanya Allah swt, juga telah pula diberikan pula untuk kepentingan kita. Tetapi sadarkah kita kalau ada sebuah kepentingan yang lebih besar dari pada semua kenikmatan dunia ini ?
Satu ayat di awal tulisan ini menjelaskan, bahwa sesungguhnya harta dan anak-anak kita adalah cobaan dari Allah yang diberikan kepada kita. Dan disisi Allah ada pahala yang jauh lebih besar. Pahala apakah kiranya itu ? Itulah Surga dengan segala kenikmatan di dalamnya.
Dalam ayat lain Allah juga menegaskan lagi :
QS. At Taghaabun : 15
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۚ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ﴿١٥﴾
“Innamaa amwalakum wa aulaadukum fitnatun, wallahu `indahu ajrun `adhiim”
”Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.”
Sampai disini mungkin kita masih bertanya-tanya, dimana sih letak cobaanya anak-anak kita itu ?
Coba kita renungkan kembali. Di awal-awal kita mendapatkan rezeki atau karunia Allah berupa harta dan anak, pernahkah terpikir oleh kita untuk semakin menambah ketaatan kita pada Allah yang telah membeikan semua itu ? Yang terjadi kebanyakan dari kita adalah semakin sibuknya kita dan semakin terkonsentrasikannya pikiran kita pada harta dan anak tersebut. Apalagi pada saat balita. Sedang lucu-lucunya. Ungkapan sayang dan kecintaan kita pada anak tersebut, kadang justru mengabaikan kewajiban-kewajiban syariat. Harta dan anak kecil kita adalah cobaan bagi “keimanan” kita. Cobaan bagi ketaatan kita untuk menjalankan ibadah.
Pada saat anak dewasa akan semakin terasa kebenaran bahwa anak adalah cobaan bagi orang tuanya. Semakin dewasa anak akan semakin memonopoli “kehendak” yang dimilikinya. Kehendak anak yang semakin dewasa ini kadang justru banyak yang berseberangan dengan kehendak orang tua. Semakin lama kadang perbedaan keinginan itu akan semakin menganga. Pada puncaknya anak yang sejak kecil kita sayangi dan kita manjakan itu akan bisa menjadi musuh bagi kita. Bahkan Allah swt lebih menegaskan lagi, bukan hanya anak yang akan menjadi musuh bagi kita. Istri pun juga bisa menjadi musuh bagi kita.
QS. At Taghaabun : 14
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ﴿١٤﴾
”Yaa ayyuhal ladziina aamanuu `inna min azwaajikum wa `auladikum `aduw walakum fahdzaruuhum, wa`in ta`fuu watashfahuu wa taghfiruu fa`innallaha ghafuurur rahiimun”
”Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Lantas dimanakah cobaannya ? Ayat di atas cukup jelas. Allah hendak menguji kesabaran kita dengan menjadikan anak dan istri kita sebagai bagian dari keluarga dekat yang memusuhi kita. Jelas pula bahwa Allah Maha Pengampun. Kita dituntut untuk memaafkan semua kesalahan anak dan istri kita. Tidak marah atas semua perlakuannya. Serta berkenan untuk mengampuni atas semua kesalahan mereka. Yang demikian ini sangat dianjurkan, untuk merefleksikan sifat Pengampun Allah pada diri kita.
Untuk apa Allah memberi cobaan pada kita ?
Maha Suci Allah. Alam semesta dan apa yang terjadi di dalamnya adalah “Permainan Allah”, tetapi Allah tidak menciptakan semuanya dengan main-main. Ada tujuan yang jelas diciptakan dan di tempatkannya manusia dalam kehidupan di dunia. Tidak lain adalah Kehidupan Akhirat ! Dan sudah tentu pula bahwa yang namanya kehidupan sudah pasti ada aksi atau kegiatan. Dan sudah tentu pula apa yang ada di “sana” berpasangan pula. Surga dan neraka. Sebuah pasangan yang sangat akrab di telinga kita. Informasinya, salah satu dari keduanya akan menjadi tempat hidup kita kelak. Dan itu pasti !
Semua tergantung kita, mau memilih yang mana ?
Allah hendak memberi cobaan dan ujian pada manusia dengan semua yang ber”bau” dunia. Diantara cobaan-cobaan itu adalah harta dan anak-anak keturunannya. Banyaknya harta yang bisa membedakan status sosial kita di masyarakat menjadi lebih tinggi dari yang lain, tak lebih hanya sekedar cobaan dari Allah. Seharusnya dengan banyaknya harta manusia lebih mudah masuk ke”ridha”nya Allah. Lebih mudah untuk masuk ke surganya Allah swt. Akan tetapi kebanyakan dari manusia, banyaknya harta justru semakin banyak yang menjauhkan dirinya dari ridhanya Allah.
Disadari atau tidak ini adalah sebuah kecelakaan besar. Karena semua harta yang kita miliki ini hanyalah sekedar “pinjaman” dari Allah swt. yang tidak akan pernah kita membawa harta tersebut ke kehidupan akhirat. Yaitu sebuah kehidupan yang “sebenarnya”. Yang didalamnya ada dua buah tempat untuk kita. Yang pertama adalah surga. Satu tempat yang hanya bisa terbuka “pintunya” dengan selembar tiket atau karcis yang ber-marking ”takwa”. Satu lagi adalah neraka. Yang di dalamnya-lah kebanyakan manusia baru bisa menyadari untuk apa sebenarnya manusia di beri kesempatan hidup di dunia. Dan apa yang sesungguhnya harus dilakukan selama hidup di dunia.
Demikian juga dengan banyaknya anak. Anak bagi kita adalah sebuah impian yang di idam-idamkan dan kemudian menjadi kenyataan. Kelahiran seorang anak bagi kita adalah sebuah kegembiraan yang tak terlukiskan. Dan jika tidak bisa memperolehnya, akan bisa menjadi suatu kesedihan yang berkepanjangan. Itulah nikmat hidup yang sangat besar yang di limpahkan oleh Allah kepada manusia. Tetapi karunia Allah yang sangat besar ini kadang malah menjauhkan dan melalaikan kita dari Allah swt.
Kegembiraan atas kenikmatan keturunan memang sering kali membuat kita lupa pada Allah. Ingatan dan kesyukuran kebanyakan hanya terbatas pada “lisan” dan “selamatan” atau kenduri untuk tetangga sekitar saja. Sering kali pula kita memperlakukan anak kita dengan kemanjaan yang berlebihan. Segala apa yang dimintanya pasti kita akan mengusahakanya. Tetapi kewajiban untuk beribadah justru lebih banyak terabaikan, waktu shalat kadang banyak yang terlewatkan. Hanya karena ingin memanjakan anak dan bersenang-senang belaka.
Padahal kalau kita mengetahui. Kelahiran anak kita, disamping karunia dari Allah adalah juga merupakan juga cobaan bagi kita. Sampai seberapa sebenarnya kesyukuran kita dalam menerima karunia Allah berupa kenikmatan dunia ini.
Dalam ayat lain Allah swt. juga berfirman kalau harta dan anak hanyalah perhiasan dunia.
QS. Al Kahfi : 46
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا﴿٤٦﴾
“`Almaalu wal banuuna ziinatul hayaatiddunya, wal baqiyaatush shaalihaatu khairun `inda rabbika tsawaban wa khairun `amala”
”Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”
QS. Al Qashshas : 60
وَمَا أُوتِيتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَزِينَتُهَا ۚ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُنَ ﴿٦٠﴾
“Wa maa `uutiitum min syai`in famataa`ul hayaatiddunya wa ziinatuha, wa maa `indallahi khairun wa`abqaa, afalaa ta`qiluuna”
”Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah kamu tidak memahaminya?”
Harta dan anak adalah cobaan, hanyalah kenikmatan duniwi, hanyalah perhiasan kehidupan. Hanyalah cobaan dan kenikmatan duniawi yang cuma sesaat saja. Hanyalah sebuah perhiasan. Apa kira-kira pengertian “perhiasan” ini bagi kita ? Marilah kita telaah sedikit. Perhiasan adalah sesuatu yang melekat pada sesuatu yang sudah ada dan nyata atau riel. Yang tujuannya selain memperindah pandangan adalah membuat hati merasa senang dan bangga bagi yang memakainya.
Demikian juga “harta” dan “anak”. Bagi kita manusia keberadaan harta dan anak adalah sebuah pelengkap kehidupan kita. Manfaat yang langsung bisa di rasakan adalah memperindah tampilan kita. Baik dari segi status sosial, yaitu pandangan orang lain kepada kita jika kita hidup serba berkecukupan. Juga kepercayaan diri yang terbangun dari tampilan yang “exellent” atau trendy. Live Style atau gaya hidup yang mewah, yang selalu mengikuti perkembangan tehnologi. Baik yang menyangkut “kain kafan” atau perabot-perabot rumah mewahnya.
Demikian juga anak. Rasanya kurang lengkap hidup ini kalau tanpa anak atau keturunan. Keberadaan anak bagi kehidupan kita juga mempunyai manfaat “memperindah” pandangan orang lain kepada kita. Manfaat lain adalah sama dengan harta yaitu membut kita senang dan bangga. Bahkan kadang, harta dan anak kita malah membuat kita semakin “sombong” karena selalu membangga-banggakannya. Padahal Allah juga sudah mengingatkan bahwa amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisiNya serta lebih baik untuk pengharapan. Daripada sekedar hidup bermewah-mewahan dan berbangga-bangga tentang anak-anak kita.
Sesungguhnyalah bermewah-mewahan dengan banyaknya harta dan berbangga-bangga dengan banyaknya anak kita adalah sesuatu yang sia-sia. Dalam satu ayat Allah menjelaskan dengan begitu tegas.
QS. Al Mujaadilah : 17
لَنْ تُغْنِيَ عَنْهُمْ أَمْوَالُهُمْ وَلَا أَوْلَادُهُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ۚ أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ ﴿١٧﴾
“Lan tughniya `anhum amwaluhum walaa aulaaduhum minallahi syai`an, ulaaika ashhabun naar, hum fiihaa khaliduuna”
” Harta benda dan anak-anak mereka tiada berguna sedikitpun (untuk menolong) mereka dari azab Allah. Mereka itulah penghuni neraka, dan mereka kekal di dalamnya.”
Demikianlah, Allah telah menjanjikan kepada kita semua surga dan kita pasti kelak kita juga akan memperolehnya. Dengan segala ketaatan yang kita berikan kepada Allah swt, dengan menjalankan semua syariat yang di ajarkan oleh Rasulullah saw. semua janji-janji Allah akan kita dapatkan. Tetapi berlimpahnya harta yang tidak dipergunakan untuk mencari kehidupan akhirat dan banyaknya anak yang tidak banyak membawa manfaat akhirat, justru akan menjerumuskan diri kita ke jurang neraka dengan lebih cepat.
QS. Al Qashshas : 61
أَفَمَنْ وَعَدْنَاهُ وَعْدًا حَسَنًا فَهُوَ لَاقِيهِ كَمَنْ مَتَّعْنَاهُ مَتَاعَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ثُمَّ هُوَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنَ الْمُحْضَرِينَ ﴿٦١﴾
” Maka apakah orang yang Kami janjikan kepadanya suatu janji yang baik (surga) lalu ia memperolehnya, sama dengan orang yang Kami berikan kepadanya kenikmatan hidup duniawi; kemudian dia pada hari kiamat termasuk orang-orang yang diseret (ke dalam neraka)?”
Itulah kenapa Rasulullah saw. dan kedua sahabatnya yaitu Sayyid Abu Bakr dan Sayyid Umar bin Khattab begitu takut meninggalkan harta tatkala hampir sampai akhir umurnya. Demikianlah mudah-mudahan bisa bermanfaat bagi kita dan bisa merubah pandangan kita tentang harta dan anak yang di informasikan dalam Al Qur`an sebagai Cobaan dan perhiasan serta tidak akan bergunanya kelak di akhirat, apabila kita tidak dapat memanfaatkannya dengan benar.
Sekian.
Selengkapnya...
Rabu, 17 Maret 2010
Maulid Nabi.
Mauludan.
Wong jowo, setiap bulan Rabiul Awal hampir selalu memperingati hari kelahiran Rasulullah saw. kenapa Bulan Rabiul Awal di penanggalan Jawa jadi “Mulud”? Ya mungkin karena orang jawa itu nggak mau repot ! Mungkin juga kata Rabiul Awal dianggap terlalu rumit, sehingga untuk mempermudah ingatan disebutlah bulan itu dengan Bulan Mulud. Karena di bulan itulah kelahiran Nabi Muhammad. Dan bulan sesudahnya ? Tinggal sebut Ba`da Mulud, bukan Rabiul Akhir. Pokoke pilih gampange wae lah. Juga untuk Bulan Muharam, karena di bulan itu ada hari besar, yaitu “Hari Asy syura”, maka dengan gampang pula orang jawa menyebut bulan “Syura”. Suatu hari untuk memperingati diselamatkannya Nabi Musa oleh Allah dari kejaran raja fir`aun. Atau beberapa alasan lain.
Penyebutan itu tak lepas dari nama sebuah kerajaan di tanah Jawa, yaitu Kerajaan Mataram. Sampai saat sekarang peringatan itu tetap berlangsung setiap bulan Syura. Yaitu acara “Sekaten”. Yang maksud sebenarnya Syahadatain atau dua kalimat syahadat. Diperkirakan juga awal dari peristiwa ini adalah pembacaan dua kalimat syahadat yang digunakan sebagai tiket masuk dalam sebuah acara peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad. Yang kemudian masuk melewati sebuah Gapuro atau dalam bahasa Arabnya “Ghafuura” yaitu sebuah pintu “ampunan”. Kemudian melebur jadi satu dengan mereka yang sudah masuk duluan untuk akhirnya pulang dengan membawa kue “apem” . Kue apem ini mungkin maksudnya dalam bahasa Arab “ Afwuun” atau ma`af (dima`afkan).
Secara keseluruhan mungkin bisa di gambarkan bahwa, mereka yang masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat akan mendapatkan ampunan dari Allah swt dan semua kesalahan-kesalahan sebelumnya akan dima`afkan.
Peringatan Maulid Nabi sendiri ada yang tidak memperbolehkan pelaksanaannya. Tetapi kita menganggap bahwa peringatan maulid adalah sebagai momentum yang baik untuk mengingatkan kembali kepada kita akan pribadi Rasulullah saw dan ajaran yang dibawanya.
QS. Al Ahzab : 21
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا﴿٢١﴾
“Laqad kaana lakum fii rasuulillahi uswatun hasanatun, liman kaana yarjuullaha wal yaumal aakhira wa dzakarallaha katsiira”
”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.”
Allah swt. mengatakan ada suri tauladan pada diri Rasulullah saw, yaitu teladan yang baik. Tahukan kita teladan tersebut ? Bisa di pastikan banyak umat muslim “Benar-benar” tidak mengenal Nabinya sendiri kecuali hanya dari informasi yang di dapat melalui orang lain. Jarang sekali kebanyakan umat muslim mau memahami sejarah kehidupan Rasulullah saw secara intens dengan mencari sumber atau buku yang membahas secara rinci dan membacanya untuk kemudian menyimpan dalam memori di otak dan hati kita.
Sehingga banyak pula dari kita yang benar-benar tidak tahu apa yang dilakukan oleh Rasulullah selama hidupnya. Teladan apa yang bisa diambil dari Rasulullah saw. Jika kita rajin membaca buku-buku hadist beliau mungkin kita juga akan bisa memahami perilaku Rasulullah saw. tetapi alangkah lebih baiknya kita bisa membaca kisah hidup beliau dari mulai suasana sebelum kelahiran, kelahiran sampai dengan masa kenabian dan wafatnya.
Banyak dari kita yang juga membaca dan melantunkan Diba` yang sebenarnya di dalam diba` itu berisikan kisah atau riwayat hidup beliau. Tapi banyak juga dari kita yang tidak tahu apa arti yang kita baca dan lantunkan tersebut. Kalau dipikir ya aneh juga. Lebih aneh lagi kalau irama dari lantunan itu sudah di ubah-ubah meniru lagu yang lagi ngetrend saat ini. Ya, Masih mending juga kalau terdengar enak di telinga, kadang malah nggak karu-karuan iramanya. Untuk yang seperti ini diperlukan pembina-pembina yang bisa mengarahkan agar supaya terdengar lebih baik dan enak di dengar.
Kebanyakan dari kita “mengaku” mencintai Rasulullah saw. tetapi dalam perilaku kita sehari-hari seperti terlepas dari teladan-teladan beliau. Satu contoh, cinta manakah kita antara Rasulullah saw dan para Artis sinetron ? Kalau disuruh menjawab, pasti kita cinta Rasulullah. Tetapi kenyataannya, waktu kita lebih banyak kita gunakan untuk memperhatikan kehidupan para artis yang sering tampil di layar televisi kita.
Dari sekian stasiun TV yang ada, semua berlomba untuk “menjejali” otak kita dengan profil artis dan kehidupan pribadinya. Yang seharusnya bukan hak kita untuk mengetahuinya. Masih mending jika sang artis tingkah lakunya positif. Kebanyakan yang informasikan bernilai negatif. Bahkan banyak diantaranya yang sangat tidak pantas untuk diketahui publik. Lihat saja kasus perceraian, hamil nggak ketahuan bapaknya tapi begitu bangganya muncul di layar televisi, rebutan laki-laki, pertengkaran rumah tangga, dan masih banyak lagi.
Memori Otak kita ini lebih banyak kita gunakan untuk menyimpan hal-hal yang seharusnya tidak berada di dalamnya. Sedangkan kita bilang bahwa, kita mencintai Rasulullah. Dan kita semua meng-amin-i kalau Rasulullah saw membawa ajaran yang harus atau wajib kita masukkan kedalam memori tersebut yaitu Al Qur`an dan juga teladan dalam berperilaku. Mestinya, kalau kita mengaku mencintai Rasulullah memori otak kita akan penuh dengan ayat-ayat Al Qur`an dan hadist-hadist beliau. Bukan dengan sesuatu yang sama sekali tidak berguna bagi diri dan jiwa kita.
Itu baru satu contoh. Sekarang contoh yang lain. Lebih Cinta manakah kita antara Masjid dan Mall atau Plaza ? Demi keselamatan, pasti kita akan menjawab, Cinta Masjid !. Padahal kenyataannya kita lebih banyak berpikir tentang plaza dan apa yang ada di dalamnya. Kita lebih banyak menghamburkan uang disana. Sedangkan Rasulullah saw sangat mencintai Masjid. Yang dibangun pertama kali saat beliau hijrah ke madinah adalah Masjid. Sedangkan kita ? Untuk “mengisi” kotak amal di masjid saja kita jarang sekali melakukannya, apalagi untuk menyumbang pembangunan Masjid. Kalaupun ada diantara kita yang melakukannya, itupun kebanyakan setelah di sodori formulir sumbangan. Dan kebanyakan dari kita, Malu kalau tidak terlihat menyumbang.
Contoh lain lagi, Rasulullah saw sangat mencintai orang miskin. Kita ? Kadang kita malah alergi di dekati orang yang fakir atau miskin. Kalau dapat undangan “Kondangan” dari orang kaya dan terpandang kita sering begitu menyempatkan dan mementingkannya. Malah kadang-kadang kita datang lebih dulu untuk membantu disana-sini apa yang di rasa kurang sempurna. Tapi kalau di undang orang miskin kita kebanyakan ogah-ogahan, merasa malas karena “berkat” yang akan di bawanya pulang nanti pasti tidak memuaskan hati. Kalau dijadikan penerima tamu, kitapun begitu “Nguwongno” orang kaya dengan mempersilahkan duduk di tempat yang terbilang “eksklusif”. Tapi giliran yang datang orang yang miskin, kita menempatkannya di tempat yang paling pojok agar tidak terlihat orang lain.
Begitulah kebanyakan dari kita. Padahal Rasulullah kalau di undang orang miskin akan datang lebih dulu dari orang lain. Begitu mementingkannya dan begitu sayangnya Rasulullah kepada mereka yang fakir. Hal ini juga dikarenakan do`anya orang fakir atau miskin yang mustajab, sehingga Rasulullah begitu sayang sekaligus begitu takut untuk menyia-nyiakan orang miskin atau fakir. Bahkan Rasulullah saw selalu berdo`a agar dikumpulkan dengan orang-orang miskin, baik itu di dunia maupun kelak nanti di Surganya Allah swt.
Satu lagi contoh kalau kita mengaku mencintai Rasulullah saw. Rasulullah setiap malam bangun dan melihat ke angkasa dan membaca 11 ayat terakhir dari surat Ali Imraan. Dan setiap malam pula Rasulullah saw menyempatkan diri untuk melakukan Qiyamul lail atau shalat malam. Jumlah rakaatnya antara 11 sampai 13 rakaat. Sudahkah kita mencontohnya ? Atau lebih baik tidur saja ?
Demikianlah, masih banyak dari diri kita yang perlu untuk di koreksi apabila kita mengatakan mencintai Rasulullah saw. Rasulullah saw, selalu menjaga dari kesucian diri dan jiwa. Demikian juga kita hendaknya selalu berusaha untuk menjaga diri dan kesucian jiwa kita agar kelak kita benar-benar termasuk dalam golongan orang-orang yang beruntung.
QS. Asy Syams 9 – 10
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا﴿٩﴾
“Qad aflaha man zakkaahaa,
“sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,”
وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا﴿١٠﴾
“ Wa qad khaba man dassaahaa
”dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
Sekian.
Selengkapnya...
Minggu, 14 Maret 2010
Menghormati Rasulullah saw.
Haruskah kita “njambal” ?
Kelahiran Nabi “Muhammad” pada awalnya mungkin tidak berarti apa-apa bagi masyarakat jahiliyah pada saat itu. Mungkin sama saja dengan anak-anak seusia “beliau” saat itu. Tetapi pada saat tanda kenabian terlihat oleh seorang rahib yang bernama Bahira dan peringatan dari rahib tersebut agar jangan terlalu jauh masuk wilayah Syam, karena di khawatirkan akan ketahuan orang-orang jahudi yang mengetahui tanda-tanda kenabian tersebut akan berbuat jahat padanya. Mulai saat itulah “perhatian” terhadap “beliau” menjadi berbeda, terutama perhatian dari pamannya Abu Thalib.
Kemudian pada saat turun wahyu pertama kali, mulai timbul praduga kepada “beliau”. Beberapa orang diantaranya Waraqah bin Naufal, supupu dari istri “beliau” Khadijah. Seorang penganut agama nasrani yang sudah mengenal Bibel dan sudah pula menterjemahkanya ke dalam bahasa Arab. Waraqah begitu yakin kalau “beliau” adalah Nabi Umat ini. Keyakinan saudara sepupu istri “beliau” ini bermula dari pengalaman penerimaan wahyu oleh malaikat jibril yang diceritakan oleh “beliau” di ka`bah sewaktu selesai melakukan tawaf.
Dan kemudian semakin banyak pula dari keluarga dan beberapa sahabat yang mengakui dan mengikuti ajaran “beliau”. Semakin lama semakin banyak yang mengikuti agama baru ini. Demikian cepat perkembangannya sehingga dalam waktu yang singkat sudah pula tersiar di kota Madinah.
Kira-kira apa penyebabnya ? Kok begitu cepat perkembangannya ?
Disamping kebenaran yang di bawa agama baru ini, tak bisa lepas pula dari perilaku “beliau” yang sopan, lemah lembut, jujur, menghormati yang lebih tua, yang sabar, tidak pernah marah, walaupun disakiti. Bahkan contoh atau teladan yang pada diri “beliau”berpengaruh besar pada perkembangan agama baru ini. Hal itu tak bisa dipungkiri oleh siapapun. “Beliau” adalah ayat Allah yang “berjalan”. Cerminan dari “kebenaran” yang terungkap melalui ayat-ayat yang disampaikan.
Pada periode-periode itu orang boleh dan sah-sah saja memanggilnya dengan hanya menyebut nama “beliau”. Mereka semua keluarga dan teman-teman seumur. Wajar jika mereka “Njambal” dengan memanggil “Muhammad”. Dan “beliau” tidak marah atau memprotesnya. Sikap ini menunjukkan bahwa “nabi” memang bukan manusia yang gila hormat. Lebih mementingkah keberhasilan dakwah ajaran-ajarannya dari pada hanya sekedar meributkan masalah “panggilan”. Itulah pengorbanan bagi sebuah tujuan yang sangat besar. Yaitu “kebenaran” yang hakiki dalam bertauhid. Yang hanya menyembah pada satu Tuhan yaitu Allah swt.
Akan lain halnya jika pada saat itu “nabi” mengharuskan sebuah panggilan penghormatan terhadap dirinya karena “beliau” telah diutus oleh Allah. Mungkin perkembangannya tidak akan secepat itu. Karena apa ? Kesan sombong dan tinggi hati akan muncul. Yang justru akan menghambat laju perkembangan ajaran tauhid. Dan ini tidak dikehendaki oleh Allah.
Tapi pada saat banyak kaum muslimin memanggil “beliau” dengan panggilan “Njambal” dengan hanya memanggil nama “Muhammad”. Lantas diturunkan oleh Allah sebuah ayat :
QS. An Nuur : 63.
لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا ۚ قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا ۚ فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ﴿٦٣﴾
“Laa taj`aluu du`aa`ar rasuuli bainakum kadu`aa`i ba`dhikum ba`dhaa, qad ya`lamullahul ladziina yatasallaluuna minkum liwaadza, falyahdzarilladziina yukhaalifuuna `an amrihi an tushiibahum fitnatun au yushiibahum `adzaabun aliim “.
”Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.”
”Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain).” apakah ayat ini kurang jelas untuk mengharuskan penyebutan untuk memanggil Rasulullah tidak hanya dengan menyebut namanya ?
Apakah kita ini seangkatan dengan Rasulullah saw ? Apakah kita ini sederajat dengan Rasulullah saw ?
Apakah kita ini saudara yang lebih tua dari Rasulullah saw ? Apakah ilmu kita melebihi Rasulullah ? Apakah kita guru dari Rasulullah saw ? Sehingga tidak ada lagi batasan-batasan rasa hormat dengan memanggil seorang utusan Allah swt hanya dengan namanya saja ?
Masih “lumrah” kalau Rasulullah saw itu teman kita atau adik kita atau murid kita atau lebih rendah ilmunya dari kita atau bahkan lebih rendah derajatnya dari kita. Bahkan jika benar demikian keadaannya, boleh saja kita memanggil “beliau” dengan panggilan seenak perut kita sendiri. Walaupun yng demikian itu dilarang oleh Allah.
Apakah setelah turun ayat ini para sahabat memanggil beliau dengan hanya menyebut namanya saja ? Dalam biografi beliau yang saya baca para sahabat memanggil beliau dengan kata “Rasulullah” atau “Hai Nabi Allah”. Apakah panggilan ini pada saat ini tidak cocok lagi ? Sehingga kita yang hidup di saat sekarang hanya memanggilnya dengan namanya saja “Muhammad” ?
Saat ini banyak manusia dengan menggunakan nama Muhammad, tapi sama sekali tidak ada korelasinya dengan perilaku beliau yang demikian santun, penyabar, penyayang kepada umatnya. Sehingga tidak pantaslah kita hanya memanggilnya dengan nama “Muhammad”.
Dalam perilaku kita sehari-hari saja kita begitu menghormati orang lain dengan memanggilnya “Pak atau Bapak” dengan orang tua kita, dengan saudara dari kedua orang tua kita, dengan guru kita di sekolah, dengan dosen kita, dengan guru ngaji kita memanggil pak Uztad atau pak kyai, dengan atasan kita di tempat kerja dengan pejabat dari tinggkat RT sampai ke tingkat yang paling tinggi. Dengan Diponegoro kita memanggil Pangeran yang dalam bahasa jawa artinya pengengeran .Apa maksudnya semua panggilan itu ? Tidak ada lain kecuali Menghormati !
Apakah Rasulullah saw lebih rendah dari mereka semua ? Apakah mereka semua lebih tinggi dari Rasulullah ? Tidak ! Tidak ada dari kita yang lebih tinggi moral dan perilakunya dari Rasulullah saw. tidak ada dari kita yang hatinya sebersih dan sesuci Rasulullah. Hanya kita saja yang tidak bisa menempatkan diri kita, kita tidak tahu posisi kita di hadapan Rasulullah.
Kita berani “Njambal” kepada beliau hanya karena takut dikira “mengkultuskan” atau mendewakan beliau. Kita tidak mendewakan “beliau” karena Rasulullah saw mengajarkan untuk bertauhid hanya kepada Allah. Kita mengatakan bahwa beliau adalah “junjungan kita”, tetapi kita menyebutnya atau memanggilnya tak lebih hormat dari Pak De kita, Pak Lik kita, Pak Guru kita, Atasan kita, Pak RT kita Pak RW, Pak Lurah dan semuanya saja.
Kenapa kita mengatakan sebagai “junjungan kita” kalau menempatkan beliau lebih tinggi dari kita saja kita tidak “sudi”. Kalau perintah Allah untuk jangan memanggil dengan panggilan seperti kita memanggil teman kita saja kita berani melanggarnya, lantas perintah siapa yang akan kita turut ? Ya, kalau Rasulullah saw mungkin nggak akan pernah untuk mengatakan : Panggilah aku dengan panggilan Pak atau Bapak atau Baginda atau Sayyid-ina, ya nggak mungkin lah !
Tetapi ya kita yang mestinya bisa memahaminya dengan menempatkan beliau lebih tinggi derajatnya dari orang-orang di sekitar kita yang kenyataanya banyak dosa dan banyak berbuat zhalim. Allah tidak pernah menyebut dalam Al Qur`an hanya dengan sebutan “Muhammad” seperti menyebut nabi yang lain. Tetapi Allah menyebut dengan “Hai Utusanku atau “Hai nabi”.
Dengan menyebut beliau dengan sebutan yang mengisyaratkan tingginya kedudukan beliau di mata manusia bahkan di mata Allah swt, Mudah-mudahan kita nantinya tidak dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang “kuwalat” seperti kata orang jawa.
Abu Nuaim di dalam kitab Dala'il mengetengahkan sebuah hadis melalui jalur Dhshhak yang bersumber dari Ibnu Abbas r.a. Ibnu Abbas r.a. menceritakan, bahwa kaum Muslimin mengatakan, "Hai Muhammad! Hai Abul Qasim!", maka Allah menurunkan firman-Nya, "Janganlah kalian jadikan panggilan Rasul di antara kalian seperti panggilan sebagian kalian kepada sebagian yang lain." (Q.S. An Nur, 63). Setelah itu mereka memanggilnya, "Hai Nabi Allah! Hai Rasulullah!".
Sekian.
Selengkapnya...
Jumat, 12 Maret 2010
Berimanlah atau tidak usah beriman sama sekali.
Berimanlah, atau tidak usah beriman sama sekali.
Allah menciptakan alam semesta dan segala sesuatu yang ada di dalamnya. Untuk siapa ? Untuk manusia. Alam dan segala sesuatunya di ciptakan lebih dulu sebagai tanda-tanda kebenaran akan keberadaaNya, akan kuasaNya dalam menciptakan segala sesuatu, akan keperkasaan yang tiada bandingnya, akan kemuliaanNya diatas semua makhluk yang diciptakan, akan keikhlasan terhadap segala sesuatu yang menimpa alam ciptaannya dan atas kehendak yang tidak ada garis pembatasnya.
Kemudian Allah menciptakan manusia, sebuah makhluk yang mirip dengan makhluk yang sudah ada, yang padanya hanya ada secuil kekuatan, yang hanya bisa bertahan hanya dalam beberapa kali pergantian siang dan malam. Sebuah makhluk yang bisa berdarah hanya karena goresan kukunya. Makhluk yang sengaja di buat begitu lemah, karena Allah hendak memberikan keringanan padanya.
Tapi dibalik kelemahan itu tersembunyi kekuatan yang dahsyat. Sebuah kekuatan yang tidak dimiliki oleh makhluk lain yang ada di permukaan bumi. Terbukti telah beraninya manusia tampil sebagai pengemban amanat Allah yang hampir semua makhluk di muka bumi ini tidak ada yang sanggup mengembannya.
QS. Al Ahzab : 72
إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا﴿٧٢﴾
“Inna `aradhnal amaanata `alaas samaawaati wal `ardhi wal jibaali fa`abaina an yahmilnahaa wa asyfaqna minhaa wa hamalahal `insaanu, innahu kaana zhaluuman jahuulan”
”Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh,
Hanya manusia yang berani mengemban amanat-amanat Allah dalam tugas-tugas agama yang akan dibebankan. Tidak ada satu makhluk pun yang berani mengemban amanat Allah di karenakan takutnya akan berkhianat nantinya. Dan kekuatan dahsyat manusia terletak pada kebersihan dan kesucian hatinya. Terbukti telah berlalunya beberapa Rasul-rasul yang padanya telah sanggup menerima beratnya wahyu Allah berupa kalimat-kalimat yang disampaikan melalui malaikat jibril.
Demikian juga dengan Rasulullah Sayyidina Muhammad saw, beliau telah membuktikan kekuatan atas bersih dan sucinya hati yang dimiliki dengan penerimaan wahyu berupa ayat-ayat Al Qur`an yang seluruh ayatnya berjumlah ribuan. Yang Allah sendiri telah menginformasikan dalam ayat yang lain, bahwa jika saja Al Qur`an ini diturunkan kepada sebuah gunung, niscaya gunung tersebut akan hancur berantakan di karenakan saking takutnya kepada Allah.
QS. Al Hasyr : 21
لَوْ أَنْزَلْنَا هَٰذَا الْقُرْآنَ عَلَىٰ جَبَلٍ لَرَأَيْتَهُ خَاشِعًا مُتَصَدِّعًا مِنْ خَشْيَةِ اللَّهِ ۚ وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ﴿٢١﴾
“Lau anzalnaa haadzal qur`aana `alaa jabalin lara `autuhu khaasyi`an mutashaddian min khasyyatillahi, wa tilkal amtsaalu nadhribuha linnasi la`allahum yatafakkaruuna”
”Kalau sekiranya Kami turunkan Al-Quran ini kepada sebuah gunung, pasti kamu akan melihatnya tunduk terpecah belah disebabkan ketakutannya kepada Allah. Dan perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia supaya mereka berfikir.”
Demikianlah, manusia telah diciptakan dan akan di jadikan pemimpin di muka bumi, sebagai makhluk yang mewakili Allah dalam menyampaikan tugas-tugas keagamaan yang di dasarkan pada perintah-perintah Allah berupa ayat-ayat yang diturunkan melalui wahyu. Dan Allah juga mengatakan bahwa manusia itu amat zhalim dan bodoh.
Dengan bentuknya yang sempurna. Allah membekali manusia dengan mata, telinga dan hati. Yang ketiganya mempunyai fungsi untuk digunakan memahami segala sesuatu yang sudah ada. Masih ditambah lagi dengan kemampuan berfikir yang lebih baik dari pada makhluk yang sudah ada.
Tujuan utamanya adalah agar manusia bertauhid kepada Allah yang telah menciptakannya dan memberikan kesempatan kepadanya untuk tampil di arena ujian kehidupan. Yang apabila ada yang lulus, Allah akan memberikan sertifikat “muttaqiin” yaitu orang-orang yang tunduk dan patuh kepada Allah dan sertifikat “mukhlasiin” yaitu orang-orang yang “ikhlas” hanya bertauhid kepada Allah swt. dan sebuah kompensasi yang akan di terimanya adalah kehidupan di sebuah kampung akhirat yang dinamakan syurga. Yang segala sesuatunya belum pernah terbayangkan sebelumnya.
Agar game kehidupan lebih menarik, disertakan juga kehendak dalam diri manusia untuk memberikan kebebasan dalam memilih kehidupan mana yang akan di kehendakinya. Ada dua pilihan bagi manusia yang satu kehidupan dunia satunya lagi kehidupan akhirat. Dan kehendak inilah yng nantinya membuktikan kebenaran kalimat Allah bahwa manusia itu sangat zhalim dan bodoh.
Dalam perkembangannya, manusia justru lebih banyak yang “hanya” terkesima pada ciptaan-ciptaan yang sudah ada. Manusia lebih cenderung menikmati apa yang sudah ada. Mengeksplorasinya dengan membabi buta tanpa menghiraukan lagi akibat sampingan yang akan di terima. Semua itu dilakukannya atas nama “kemakmuran kehidupan”, bukan karena Allah semata.
Inilah kezhaliman dan kebodohan. Zhalim terhadap diri sendiri dengan mengabaikan sang pencipta alam semesta, zhalim terhadap alam dengan melakukan berbagai kerusakan padanya, bodoh dalam menafsirkan keberadaan alam. Alam yang seharusnya menjadi tanda-tanda kebesaran dan kekuasan Allah, sama sekali tak pernah terlintas dalam fikiran mereka. Dan kezhaliman akan bertambah lagi dengan kekerasan yang terjadi antara sesama dalam memperebutkan kekayaan alam untuk memenuhi hasrat dunianya.
Kemudian Allah mengirimkan utusan kepada manusia, untuk memberi kabar tentang kebenaran akan tauhidnya suatu dzat yang Maha perkasa, yang telah menciptakan alam semesta dan segala sesuatu yang ada di dalamnya. Tak terkecuali pula manusia yang juga diciptakanNya. Para utusan Allah ini datang membawa perintah untuk beriman dan bertauhid hanya kepadaNya, untuk beriman kepada para Malaikat-malaikatNya, untuk beriman kepada Kitab-kitabnya, untuk beriman kepada rasul-rasulnya, untuk beriman kepada hari kiamat yang pasti akan terjadi, dan untuk beriman kepada ketentuanNya atau TakdirNya. Dengan membawa petunjuk yang diterimanya melalui wahyu para utusan Allah berusaha untuk menyadarkan mereka dari keingkarannya. Dan apa tanggapan dari mereka ?
Manusia ternyata banyak yang membantah tentang keberadaan Allah. Bantahan tanpa alasan yang jelas. Bahkan Allah mengatakan dalam firmanNya, banyak manusia membantah tentang keberadaan Allah tanpa “ilmu pengetahuan”, tanpa petunjuk dan tanpa kitab yang bercahaya.
Sesungguhnyalah bahwa ajaran Iman yang di bawa oleh Rasulullah saw itu adalah untuk kepentingan manusia sendiri. Allah tidak membutuhkan Iman mereka. Kekafiran seluruh manusia tidak akan berdampak apa-apa sama sekali bagi Allah. Allah tetap akan berkuasa dengan kerajaannya dan jika Allah menghendaki, Allah akan memusnahkan semua manusia dan menggantinya dengan umat yang lain.
QS. Al Israa` : 107
قُلْ آمِنُوا بِهِ أَوْ لَا تُؤْمِنُوا ۚ إِنَّ الَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ مِنْ قَبْلِهِ إِذَا يُتْلَىٰ عَلَيْهِمْ يَخِرُّونَ لِلْأَذْقَانِ سُجَّدًا﴿١٠٧﴾
“Qul aaminuu bihi au laa tu`minuu, innal ladziina `utuul `ilma min qablihi `idzaa yutlaa `alaihim yajirruuna lil `adzqaani sujjadan”
107. Katakanlah: "Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah). Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al Quran dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud,
QS. Ar Ruum : 44.
مَنْ كَفَرَ فَعَلَيْهِ كُفْرُهُ ۖ وَمَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِأَنْفُسِهِمْ يَمْهَدُونَ﴿٤٤﴾
“Man kafara fa`alaihi kufruhu, wa man `amila shalihan fa lianfusihim yamhaduuna”
“Barangsiapa yang kafir Maka dia sendirilah yang menanggung (akibat) kekafirannya itu; dan barangsiapa yang beramal saleh Maka untuk diri mereka sendirilah mereka menyiapkan (tempat yang menyenangkan),”
QS. An Nisaa` : 133
إِنْ يَشَأْ يُذْهِبْكُمْ أَيُّهَا النَّاسُ وَيَأْتِ بِآخَرِينَ ۚ وَكَانَ اللَّهُ عَلَىٰ ذَٰلِكَ قَدِيرًا﴿١٣٣﴾
“In yasya` yudzhibkum ayyuhan naasu wa ya`ti biakhariina, wa kaanallahu `alaa dzaalika qadiiran”
”Jika Allah menghendaki, niscaya Dia musnahkan kamu wahai manusia, dan Dia datangkan umat yang lain (sebagai penggantimu). Dan adalah Allah Maha Kuasa berbuat demikian.”
Allah yang menciptakan, Allah pula yang mempunyai hak untuk memusnahkan untuk kemudian di ciptakannya kembali manusia-manusia dengan kualitas yang lebih baik. Iman yang ada pada diri manusia adalah mutlak untuk dirinya sendiri. Dua buah pilihan dengan dua konsekwensi. Yang satu berkonotasi baik satu lagi berkonotasi buruk. Kita sendirilah yang akan menentukannya.
Allah menciptakan manusia untuk menguji dan mengetahui, siapa diantara mereka yang paling baik amalnya. Maka Allah akan memberikan balasannya kepada masing-masing diri, baik yang beriman maupun yang mengingkariNya.
QS. Al Kahfi : 29.
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ ۖ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ ۚ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا ۚ وَإِنْ يَسْتَغِيثُوا يُغَاثُوا بِمَاءٍ كَالْمُهْلِ يَشْوِي الْوُجُوهَ ۚ بِئْسَ الشَّرَابُ وَسَاءَتْ مُرْتَفَقًا﴿٢٩﴾
“Wa qulil haqqu min robbikum, faman syaa`a falyu`min wa man syaa`a falyakfur, inna a`tadnaa lizhzhalimiina naran `ahaatha bihim suraadiquhaa, wa in yastaghiitsuu yughaatsuu bimaa`in kalmuhli yasywiil wujuuha, bi`sasy syaraabu wa saa`at murtafaqan”
”Dan katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir". Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. Dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.
Begitulah Allah mempersilahkan kepada manusia, yang ingin beriman silahkan beriman dan yang ingin ingkar dipersilahkah untuk ingkar. Dan hanya orang-orang yang menggunakan akalnya saja yang akan mendapatkan petunjuk ke jalan yang benar. Kemudian silahkan memilih mau beriman atau mau ingkar dan kita semua kelak akan membuktikan siapa diantara kita yang menempuh jalan yang paling benar.
Sekian.
Selengkapnya...
Rabu, 10 Maret 2010
Infaq, Menguji Keikhlasan Kita.
Infaq, Menguji Kelkhlasan kita.
Infaq mempunyai makna menafkahkan atau membelanjakan harta yang kita miliki, terutama untuk kepentingan agama atau memberikan makna menafkahkan harta di jalan Allah. Bisa berupa pengeluaran zakat dan non zakat. Sedangkan infaq itu sendiri ada yang wajib dan ada yang sunnah. Zakat, kafarat, nadzar dll, adalah infaq wajib sedangkan infaq yang ditujukan kepada fakir miskin, sesama muslim, untuk bantuan kemanusiaan adalah infaq sunnah.
Keberadaan infaq ini tidak bisa lepas dari kata “Iman”, karena membelanjakan harta untuk kepentingan agama Allah ini merupakan amalan yang wajib. Yang tidak bisa di tinggalkan atau di abaikan begitu saja. Konsekwensi apabila kita meninggalkannya adalah “kepincangan” dari tingkah laku atau perbuatan atau amalan-amalan kita.
Iman dan Amal shalih itu mempunyai keterkaitan yang tidak seorangpun dapat memisahkannya kecuali orang fasik atau munafik. Orang fasik adalah orang yang mengaku beriman tapi masih suka berbuat dosa. Sedangkan orang munafik adalah orang yang “mengaku” beriman, tetapi antara lisan dan perbuatanya sangat berlawanan. Artinya tidak ada kesesuaian antara apa yang di ucapkan dan perilaku sehari-harinya.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat muslim sendiri masih berkutat di perkara “Iman”. Keberadaan iman di dalam dada tiap diri kita ini masih transparan. Belum begitu jelas terbaca dalam perwujudan perilaku sehari-hari. Mereka yang menggenggam “Iman” secara kuantitas dan kualitas juga masih di ragukan. Karena setiap perilaku yang berkaitan dengan infaq masih sangat erat kaitannya dengan tendensi masing-masing pribadi orang tersebut. Dan anggapan bahwa hanya orang-orang yang mempunyai kecukupan harta saja yang wajib infaq, semakin menenggelamkan ibadah infaq di kubangan hati kaum muslimin.
Dalam kenyataan hidup sehari-hari, kita juga banyak melihat orang kaya yang dermawan. Mereka itu suka membantu saudaranya, tetangganya, kegiatan-kegiatan sosial di lingkungan masyarakatnya, anak-anak yatim pembangunan-pembangunan masjid, sekolah-sekolah Islam dll. Jika kita bisa melihat atau menyaksikan sendiri betapa religius orang tersebut, betapa jujurnya orang tersebut, barulah kita bisa mengambil kesimpulan itulah orang yang benar-benar beriman.
Tetapi seberapa banyak orang-orang seperti tersebut di atas di lingkungan kita ? Jawabnya tidak banyak. Bisa di hitung dengan jari. Bahkan bisa di hitung tanpa jari alias awangan saja. Kenapa ? Karena “Iman”. Keberadaan Iman yang “Iman-iman-an” membuat “amal shalih infaq” tidak jalan atau berhenti terbatas pada orang-orang tertentu saja. Yaitu orang-orang yang ber-agama secara sungguh-sungguh.
Celakanya juga, kebanyakan dari kita menjadikan agama hanya sebagai “hiasan” atau “accessories” kehidupan. Sehingga “Ilmu” dari infaq itu sendiri tidak begitu banyak diketahui orang. Yang paling banyak diketahui orang kebanyakan adalah, infaq itu mengurangi harta yang kita miliki dan kita kumpulkan dengan susah payah. Sehingga rasa enggan untuk mengeluarkannya di jalan Allah jauh lebih besar dari pada untuk kepentingan diri sendiri.
Dan kata “infaq” mereka identikan dengan “memberi”. Atau memberikan sebagian harta mereka kepada orang lain. Bagi mereka memberi itu tidak akan pernah kembali. Jelas ini akan mengurangi harta yang mereka miliki. Karena merasa untuk memperolehnya butuh usaha yang tidak mudah, maka rasa “eman” akan lebih mendominasi. Akibatnya “Keikhlasan” juga akan belalu begitu saja dari hati.
Nah ketidaktahuan atau tiadanya kepahaman tentang ilmu “memberi” inilah yang membuat manusia, siapapun orangnya bisa menjadi begitu sayang terhadap apa yang menjadi miliknya, terutama harta benda, begitu pelit alias medhit dalam hal “memberi”. Kalaupun memberi, hampir pasti tidak disertai rasa ikhlas atau bahkan tersembunyi maksud-maksud tertentu.
Meskipun begitu kita masih bisa melihat, banyak dari kaum muslimin yang dermawan, terbukti banyak sekali pembangunan-pembangunan masjid, mushalla, sekolah-sekolah yang bernafaskan Islam. Tetapi kalau dibandingkan dengan jumlah masyarakat Islam dan besarnya arus distribusi hasil infaq ke mereka yang membutuhkan masih harus di tingkatkan. Dengan memberikan pencerahan Iman kepada setiap masyarakat muslim diharapkan kepahaman akan pentingnya infaq ini akan semakin bertambah, sehingga benar-benar akan terbukti bahwa Islam memang benar membawa kemaslahatan bagi umatnya.
Allah menempatkan infaq setelah Iman dan shalat. Kenapa ?
Iman adalah pondasi kehidupan beragama dan kewajiban yang mutlak bagi setiap hamba yang benar-benar menyadari bahwa keberadaan dirinya adalah karena Allah swt. Shalat dan infaq adalah amalan. Shalat adalah perbuatan atau tingkah laku yang bernilai transenden, cermin “Habblun min Allah “. Sedangkan infaq adalah perbuatan atau tingkah laku yang mengandung nilai vertikal sekaligus horizontal. Cermin dari “Habblun minan nas”.
Shalat adalah interaksi antara seorang hamba dan Tuhannya. Efeknya adalah terhindarnya diri para pengamalnya dari perbuatan keji dan munkar. Sedangkan Infaq adalah perwujudan Iman dan ketaatan seorang hamba kepada Tuhannya. Efek horizontal dari infaq ini sangat besar sekali bagi umat. Kita bisa perhatikan beberapa efek dari infaq di bawah ini.
Menghindari dan mempersempit kesenjangan atau jurang pemisah antara si Kaya dan si Miskin.
Merupakan Pilar atau tiang penyangga antara mereka yang kaya dengan para Mujahid dan da`i yang berjuang dan berda`wah untuk meninggikan Kalimat Allah swt.
Membersihkan dan mengikis akhlak yang buruk dengan memberikan teladan yang baik melalui zakat dan sedekah.
Merupakan alat pembersih harta (dengan zakat) dan penjagaan dari ketama`an orang jahat.
Merupakan ungkapan rasa syukur kepada Allah atas nikmat yang dilimpahkan kepadanya.
Untuk membantu mengembangkan potensi umat dalam ilmu dan sosialnya.
Sebagai dukungan moral bagi para mu`allaf atau mereka yang baru masuk agama Islam.
Sebagai income untuk negara yang dapat di gunakan untuk membangun sarana-sarana untuk kepentingan umat.
Sedangkan manfaat dari Infaq bagi diri sendiri banyak di terangkan dalam Al Qur`an yang di antaranya :
QS. Al Baqarah : 245.
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً ۚ وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ﴿٢٤٥﴾
“Man dzal ladzii yuqridhullaha qardhan hasanan fa yudhaa`ifahu lahu adh`aafan katsirah, wallahu yaqbidhu wa yabsuthu wa ilaihi turja`uuna”
”Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.”
QS. Al Hadiid : 11
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ وَلَهُ أَجْرٌ كَرِيمٌ﴿١١﴾
“Man dzal ladzii yuqridhullaha qardhan hasanan fa yudhaa`ifahu lahu wa lahu ajrun kariimun”
”Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.”
QS. Al Hadiid : 18
إِنَّ الْمُصَّدِّقِينَ وَالْمُصَّدِّقَاتِ وَأَقْرَضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَاعَفُ لَهُمْ وَلَهُمْ أَجْرٌ كَرِيمٌ﴿١٨﴾
“Innal mushaddiqiina wal mushaddiqaati wa `aqradhuullaha qardhan hasanan yudhaa`afu lahum wa lahum ajrun kariimun”
”Sesungguhnya orang-orang yang membenarkan (Allah dan Rasul-Nya) baik laki-laki maupun perempuan dan meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan (pembayarannya) kepada mereka; dan bagi mereka pahala yang banyak.”
QS. At Taghaabun : 17
إِنْ تُقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا يُضَاعِفْهُ لَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۚ وَاللَّهُ شَكُورٌ حَلِيمٌ﴿١٧﴾
“In tuqridhuullaha qardhan hasanan yudhaa`ifhu lakum wa yaghfirlakum, wallahu syakuurun haliimun”
”Jika kamu meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya Allah melipat gandakan balasannya kepadamu dan mengampuni kamu. Dan Allah Maha Pembalas Jasa lagi Maha Penyantun.”
Dari beberapa ayat di atas Allah swt menjanjikan, bahwa siapa saja yang bersedia meminjamkan kepada Allah dengan pinjaman yang baik, niscaya Allah swt akan melipat gandakan penggantiannya.
Kata “Meminjamkan” disini adalah istilah ungkapan untuk menafkahkan harta di jalan Allah. Bukan Allah yang meminjam kepada kita atau Allah meminjam harta kita. Allah Maha Kaya, bahkan Allahlah yang melampangkan dan menyempitkan rezeki kepada kita atau kepada mereka yang di kehendakiNya.
Kenapa Allah menggunakan istilah “meminjamkan” ?
Marilah kita mencoba untuk menela`ah sedikit. Jika seseorang memberikan sesuatu barang kepada orang lain tentu orang yang diberi tersebut tidak wajib untuk mengembalikannya karena, kata “memberikan” mengisyaratkan lepas atau tidak ada tanggungan lagi bagi si penerima. Tetapi akan lain pengertiannya jika kita meminjamkan sesuatu kepada orang lain. Si peminjam berkewajiban untuk mengembalikan pinjaman itu dengan nilai yang sama dengan waktu meminjam. Tidak boleh ada kelebihan, yang berakibat riba, yang hukumnya di haramkan oleh Allah swt.
Dan bagi orang beriman segala perbuatan dan tingkah lakunya hanya di dasarkan karena Allah semata. Infaq yang di keluarkan dari hartanya dan di serahkan kepada mereka yang berhak bukan karena dorongan atau pengaruh dari siapapun juga. Tetapi hanya karena Allah semata. Infaq bagi mereka adalah perintah yang harus atau wajib dipenuhi. Tidak bisa di tawar-tawar lagi. Dan sesuatu yang dilakukan karena Allah semata, urusannya kembali kepada Allah swt.
Allah menjanjikan akan memberikan balasan dengan berlipat ganda bagi mereka yang bersedia membelanjakan hartanya hanya karena Allah semata. Karena apa yang telah kita infaq-kan tersebut akan memperoleh ganti, yang nantinya kita juga yang akan menerimanya, maka kiranya tidak berlebihan atau bahkan sudah tepat jugalah penggunaan kata “meminjamkan” di gunakan.
Kata “memberi” tidak pantas digunakan manusia untuk Allah. Karena Allah Maha Kaya, tidak membutuhkan sesuatupun dari kita. Kitalah yang berkehendak kepada Allah dengan segala limpahan rahmat berupa rezeki yang halal dan kesehatan jasmani dan ruhani kita. Yang dikehendaki oleh Allah adalah ketaatan kita sebagai hamba saja. Itupun demi kebaikan kita juga akhirnya. Yaitu demi keselamatan kita kelak di akhirat.
Dan Allah akan memberikan gantinya dengan jumlah yang berlipat ganda dan yang demikian itu adalah haq. Bukan riba ! Allah berhak untuk meluaskan rezeki orang-orang yang dikehendakinya. Janji Allah kepada hambanya pasti akan di tepati. Tidak ada di dunia ini yang paling menepati janjinya kecuali Allah swt. dan itu benar-benar sangat di yakini oleh mereka yang beriman dengan sebenar-benarnya iman. Dan Allah memberi ketegasan atas janji-janjinya tersebut dengan lebih teliti lagi di :
QS. Al Baqarah : 261
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِائَةُ حَبَّةٍ ۗ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ﴿٢٦١﴾
“Matsalul ladziina yunfiquuna amwalhum fii sabiililahi kamatsalil habbatin `anbatan sab`a sanaabila fii kulli sunbulatin mi`atu habbatin. Wallahu yudhaa`ifuu liman yasyaa`u, wallahu wasi`unn `aliimun”
”Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Itulah penjelasan dan janji yang haq dari Allah bagi orang-orang yang mau menafkahkan hartanya di jalan Allah. Bahkan Allah tidak hanya akan memberikan ganti dengan jumlah yang berlipat ganda tetapi Allah juga akan memberikan sesuatu yang lain seperti yang ada di ayat berikut :
QS. Ash Shaaf 10 – 12
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَىٰ تِجَارَةٍ تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ﴿١٠﴾
“Yaa ayyuhal ladziina aamanu hal adullukum `alaa tijaaratin tunjiikum min `adzaabin aliimi:
”Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih?”
تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ﴿١١﴾
“Tu`minuuna billahi wa rasuulihi wa tujaahiduuna fii sabiililahi bi`amwalikum wa anfusikum, dzalikum khairun lakum in kuntum ta`lamuuna”
”(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
يَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَيُدْخِلْكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ وَمَسَاكِنَ طَيِّبَةً فِي جَنَّاتِ عَدْنٍ ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ﴿١٢﴾
“Yaghfirlakum dzunuubakum wayudkhilkum jannaatin tajrii min tahtihal anhaaru wa masaakina thaiyibatan fii jannaati `adn, dzaalikal fauzul `azhiimu”
”Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam jannah 'Adn. Itulah keberuntungan yang besar.”
Beriman dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa yang akan memberikan kepada kita semua janji Allah. Disamping nikmat yang berlipat ganda juga Allah akan mengampuni dosa-dosa kita dan akan memasukkan kita ke dalam surga yang penuh dengan kenikmatan. Dan itulah keberuntungan yang benar-benar sangat besar bagi manusia.
Dan ada ayat yang lain lagi yang akan menambah keyakinan kita tentang manfaat infaq ini,
QS. Faathir 29.
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ ﴿٢٩﴾
“Innal ladziina yatluuna kitaballahi wa aqaamush shalata wa anfaquu mimma razaqnaahum sirran wa `alaa niyatan yarjuuna tijaaratan lan tabuura”
”Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi,”
QS. Faathir 30.
لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُمْ مِنْ فَضْلِهِ ۚ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ ﴿٣٠﴾
“liyuwaf fiyahum ujuurahum wayaziidahum min fadhlihi, innahu ghafuurun syakuurun”
” agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri.”
Itulah manfaat infaq bagi diri kita. Dan infaq juga memiliki banyak arti bagi kehidupan sosial masyarakat khususnya kaum muslimin. Diantara hikmah yang berguna bagi masyarakat adalah :
Membantu dan membina serta membangun kaum miskin dengan sedikit materi yang berguna bagi mereka sekedar untuk mampu berdiri beribadah kepada Allah swt.
Menghilang sifat iri atau dengki dari mereka yang tidak mampu secara materi terhadap mereka yang mempunyai harta berlebih dan hidup yang jauh lebih baik.
Mewujudkan keseimbangan dalam distribusi harta berupa materi ke masyarakat dan bisa memotivasi tanggung jawab individu terhadap dirinya sendiri.
Merupakan cermin ukhuwah Islamiyah (persaudaraan dalam Islam).
Sebagai pencuci diri dari dosa dan sucinya jiwa dari kotoran-kotoran yang masuk ke hati melalui sifat kikir atau serakah.
Sebagai pengikat persatuan umat dan pengikat bathin antara mereka yang kaya dan mereka yang miskin sekaligus sebagai penutup dalamnya jurang penyekatnya.
Mewujudkan tatanan masyarakat yang damai sejahtera dengan terjalinnya ukhuwah dan rasa kepedulian yang sangat tinggi terhadap sesama, yang akhirnya bisa menciptakan sebuah kehidupan masyarakat yang baldatun thaiyibatun wa rabbun ghafur.
Dan sebagai akhir dari tulisan ini saya tambahkan satu ayat yang bisa kita renungkan bersama-sama tentang pentingnya infaq.
QS. Ali Imraan : 92
لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ ﴿٩٢﴾
”Lan tanaaalul birra hattaa tunfiquu mimmaa tuhibbuuna, wa maa tunfiquu min syai`in fa innallaha bihi `aliimun”
” Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”
Jelas kan sekarang ?
Suatu kebajikan belumlah bisa dianggap sempurna, apabila kita belum menafkahkan sebagian harta yang kita cintai. Itulah kenapa Sayyidina Abu Bakr As shidiq dan Sayyidina Umar bin Khattab pada masa kekhalifahanya mencontoh perilaku Rasulullah saw. dengan tidak meninggalkan harta yang berlebih bahkan bisa di bilang sangat sedikit sekali harta yang di tinggalkan untuk keluarganya. Tetapi Rasulullah saw dan kedua sahabatnya tersebut telah mewariskan contoh perilaku yang sangat sulit dan sangat berat untuk di ikuti pengikutnya yang kebanyakan sudah memalingkan mata dan hatinya kepada kenikmatan dunia.
Yang dengan kenikmatan dunia itu mereka bisa lupa. Lupa kepada Tuhannya yang telah memberikan segala apa yang di inginkannya. Yang telah memberikan segala apa yang dibutuhkanya. Lupa terhadap kesaksian yang telah di ucapkannya melalu dua kalimah syahadatnya dan lupa bahwa kelak kita akan dan pasti berhadapan dengan hari “penghisaban”Nya.
Dan dengan memahami manfaat dari infaq, mudah-mudahan kita diberi kekuatan oleh Allah swt untuk bisa meresapi ilmu-ilmu agama yang telah di wariskan oleh Rasulullah saw dan sahabatnya tersebut dengan mencoba untuk memahami petunjuk-petunjuk yang ada agar cara beribadah kita lebih terarah dan lebih mendekati ke-khusyu`an.
Dan mudah-mudahan pula kita akan diberikan oleh Allah hidayah untuk bersedia mengamalkan salah satu perintah Allah yang sangat bermanfaat, baik bagi diri sendiri maupun bagi masyarakat banyak, terutama kaum muslimin yang ada di sekitar kita maupun yang jauh dari kita. Serta mudah-mudahan pula Allah akan menghiasi amalan-amalan kita dengan kain baju “keikhlasan” dari masing-masing hati kita, sehingga kita tidak akan pernah ragu-ragu lagi dalam memberikan sebagian harta yang kita cintai ke jalan Allah.
Terutama untuk kaleng-kaleng masjid dan untuk anak-anak yatim piatu. Janganlah membiarkan kotak amal masjid menjadi saksi akan ke-engganan kita dalam ber-infaq untuk kepentingan agama dan untuk kepentingan umat muslim. Sehingga nantinya akan banyak pula kotak-kotak amal di berbagai mushala dan masjid yang pernah kita singgahi dan kita gunakan untuk ibadah shalat yang menjadi saksi akan keterpurukan kita dalam kehidupan akhirat.
Selamat ber “infaq”. Sedikit tapi berkelanjutan adalah lebih baik dari pada banyak namun berhenti dalam jangka waktu yang lama. Dan biasakan diri kita untuk selalu membawa “dinar” pada setiap kali memasuki Mushala atau masjid. Agar kelak kotak-kotak amal tersebut bersedia untuk menjadi saksi amalan kita di hadapan Allah swt.
Sekian.
Selengkapnya...
Minggu, 07 Maret 2010
Membumikan Al Qur`an
Membumikan Al Qur`an
Kalau lihat judulnya terasa agak aneh, kenapa ?
Al Qur`an itu kan sudah diturunkan ke bumi, di qalbu Rasulullah saw. melalui wahyu dengan perantaraan malaikat jibril. Kenapa harus di bumikan ? Marilah kita mencoba lebih sedikit mendalami maksud judul di atas. Membumikan biasanya mempunyai makna menyatukan atau mengintegrasikan sesuatu untuk diketahui dan di pahami orang banyak atau khalayak dan menjadikannya sebagai pegangan atau kebiasaan sehari-hari. Makna yang lebih mendekati adalah menjadikan Al Qur`an melekat di hati khalayak khususnya kaum muslimin yang telah mengaku diri sebagai orang Islam.
Mengapa harus di integrasikan ke dalam hati masing-masing orang Islam ? Lantas selama ini bagaimana “hubungan” orang Islam dengan Kitabnya ? Jujur saja, kita ini muslim, kita mengaku beriman dan salah satunya adalah beriman kepada kitab yang diturunkan oleh Allah yaitu Al Qur`an. Tetapi sikap dan perlakuan kita terhadap kitab itu sendiri bagaimana ? Kita lebih banyak mengabaikannya ! Kita lebih banyak menempatkan Al Qur`an pada tempatnya. Yaitu di tempat khusus di almari kaca atau di atas lemari. Jarang kita mau membacanya. Kenapa ?
Agak banyak juga alasannya. Yang pertama, mungkin kita memang nggak bisa membacanya karena kita memang tidak pernah mempelajarinya. Baik huruf-hurufnya maupun cara membacanya. Yang kedua mungkin kita hanya sekedar membaca tanpa mengetahui arti atau terjemahannya cuma menjaga agar tidak lupa terhadap huruf dan bacaannya saja. Yang ketiga mungkin kita membacanya dan membaca juga terjemahannya, tetapi waktunya hanya kadang-kadang saja. Mungkin terlalu sibuk kerja seharian. Yang ke empat mungkin kita memang sengaja hanya menempatkan Al Qur`an hanya sebagai hiasan saja.
Terlalu banyak alasan memang untuk orang yang dasarnya enggan atau malas. Dan kita memang kebanyakan malas untuk membacanya. Kalaupun kita membacanya hanya sekedarnya saja bahkan mungkin hanya secara tidak sengaja, karena sedang membaca bulletin jum`at yang di bagi-bagikan di masjid di waktu shalat jum`at. Itu masih dalam “membaca”. Apalagi menghafalnya !
Kira-kira ada benarnya nggak kalau kita ini dikatakan sebagai orang Islam yang menzhalimi Al Qur`an ? Bagaimana tidak ? membaca saja enggan, menghafal saja hanya terbatas pada surat-surat pendek. Asal sudah bisa di pakai untuk bacaan shalat setelah surat Al Faatihah ya sudah !
Saudaraku se-Iman, ….surat-surat pendek dalam Al Qur`an itu tidak untuk menjebak umat Islam ke dalam rutinitas bacaan shalat hanya di lembar-lembar akhir dari seluruh lembar yang ada. Tetapi justru kita yang terjebak dalam rutinitas ibadah shalat kita dengan hanya membaca surat-surat pendek yang sudah kita baca dan hafal. Masih mending kalau kita menghayati apa makna yang terkandung di dalam bacaan pendek itu. Kalau tidak ? Apa nggak seperti sekedar olah raga sambil bersiul saja ?
Kenapa kita hanya berkutat dengan beberapa surat pendek yang isinya beberapa ayat saja. Padahal banyak sekali ayat yang sangat perlu untuk dibaca dan dihafal karena pesan dan makna yang ada di dalamnya. Bahwa Al Qur`an itu bukan di lembar-lembar akhir saja. Dari awal surat sampai dengan akhir surat. Itulah Al Qur`an. Dari sekian ribu ayat, yang kita sering baca hanya sedikit saja. Sementara yang lainnya terabaikan. Tidak pernah dibaca, apalagi di pahami. Kenapa ?
Semuanya itu di akibatkan karena kita menganggap Kitabullah hanyalah sebuah buku yang tak beda dengan buku-buku yang lain. Kita tidak pernah tahu apa manfaat yang akan kita dapatkan dengan banyak membacanya, bahkan kita tidak tahu segala sesuatu tentang kitabullah itu ! Baik mengenai apa Al Qur`an itu, bagaimana cara turunnya, kenapa kita harus membacanya dan bagaimana cara memahaminya !
Jika kita mengaku beriman terhadap kitab Al Qur`an, niscaya kita tidak akan jauh darinya. Realitas yang ada adalah kebanyakan kita memang jauh dari kitabullah tersebut. Nah bagaimana supaya kita bisa dekat atau lebih dekat lagi dengan kitabullah itu ? Tentunya tidak ada cara lain kecuali “mengenalnya”. Dengan harapan kita akan lebih “mencintai” nya karena memang kita membutuhkannya. Marilah kita mencoba untuk sedikit mengenal “diri” dari kitabullah yang kita Imani tersebut.
Dengan harapan jika lebih mengenalnya, lambat laun kita juga akan mencintainya. Jika kita sudah jatuh cinta dengannya niscaya kita tak akan pernah berusaha jauh darinya. Ingin selalu dekat dan lebih dekat lagi. Dan kita akan menyadari kalau kita membutuhkannya. Semakin lama akan semakin terasa pula bahwa kita tak kan bisa hidup tanpanya. Dan itulah buah dari usaha yang tak akan pernah sia-sia. Baik di dunia maupun kelak di alam baqa.
Apakah Al Qur`an itu ?
Al Qur`an berasal dari kata “Qara`a” yang artinya adalah “bacaan”. Sedangkan kitab Al Qur`an adalah sebuah buku bacaan yang di dalamnya berisi sekumpulan surat-surat yang terdiri dari ayat-ayat yang di yakini sebagai firman Tuhan dan di turunkan dari langit.
Di dalamnya terbagi menjadi 7 manzil atau bagian yang di gunakan untuk mempermudah mereka yang akan menyelesaiakan bacaannya dalam 7 (tujuh) hari. Pembagian yang lain adalah sebanyak 30 Juz untuk mempermudah mereka yang akan menyelesaiakan dalam waktu 30 hari. Kemudian di dalamnya terdiri dari 114 surat dan sekitar 6666 ayat. Pembagian yang lain yaitu berdasar tempat turunnya, yaitu Mekah dan Madinah. Juga berdasarkan sebelum dan sesudah hijrahnya Rasulullah saw dari dan ke dua kota tersebut
Pembagian lain adalah diantara ayat-ayat itu ada yang disebut ayat Muhkamat dan lainnya disebut Mutasyabihat. Ayat Muhkamat adalah ayat-ayat yang arti dan maknanya sudah jelas dan tidak memerlukan penafsiran lebih lanjut, seperti ayat-ayat yang berisikan perintah-perintah shalat, zakat, berbuat baik dan lain sebagainya. Sedangkan mutasyabihat adalah ayat-ayat yang serupa yang maknanya masih memerlukan penafsiran dari para ahli-ahli tafsir.
Pembagian menurut panjang pendeknya surat terbagi menjadi 4 bagian, yaitu kelompok surat-surat panjang yang berjumlah 7 surat. Kelompok surat yang terdiri lebih dari 100 ayat. Kemudian kelompok yang terdiri dari kurang dari 100 ayat. Dan yang terakhir adalah kelompok surat-surat pendek.
Lantas Siapakah yang menurunkannya ?
Al Qur`an dengan semua surat dan ayat yang ada di dalamnya diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. oleh Allah swt melalui wahyu dengan perantaraan malaikat Jibril. Yaitu salah satu malaikat yang di yakini menjadi utusan khusus Allah untuk menyampaikan wahyu berupa kata-kata yang tergabung dalam satu atau lebih kalimat yang juga disebut sebagai ayat, yang mempunyai pengertian sebagai perintah ataupun informasi mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan ketauhidan Allah dan berbagai hal tentang hukum-hukum yang mengatur tata cara kehidupan umat Islam.
Kapan Al Qur`an diturunkan ?
Dalam suatu ayat Allah menerangkan bahwa Al Qur`an diturunkan pada malam yang di sebut “Lailatul Qadr” atau “Malam kemuliaan” . Yang nilai malam itu sendiri di informasikan lebih baik dari seribu bulan atau sekitar 83 tahun. Sedangkan secara riil sebagian dari seluruh ayat diturunkan sebelum Rasulullah hijrah ke Madinah, yaitu di kota kelahiran beliau di Mekkah selama 12 tahun setelah masa kenabian beliau dan sebagian yang lain diturunkan setelah Rasulullah hijrah ke Madinah selama sekitar 10 tahun. Sehingga jika di tambahkan, waktu diturunkannya Al Qur`an adalah 22 tahun 2 bulan 22 hari.
Dimanakah Al Qur`an diturunkan ?
Sebagian di turunkan di kota Mekkah yang ayat-ayatnya di sebut ayat atau surat Makkiyah dan sebagian lagi di turunkan di Madinah yang ayat atau suratnya disebut ayat atau surat Madaniyah. Ciri-ciri dari kedua ayat atau surat itu adalah, yang di turunkan di Mekkah merupakan ayat atau surat yang tergolong pendek-pendek dan yang diturunkan di Madinah ayat atau suratnya panjang-panjang.
Kenapa Al Qur`an di turunkan ?
Jika ditelaah lebih dalam bahwa Al Qur`an adalah sebagai peringatan. Bukan saja untuk Rasulullah dan umat beliau, tetapi untuk peringatan bagi seluruh alam. Juga untuk memperingatkan umat pada saat itu yang banyak menyembah Tuhan selain Allah. Kehidupan pada saat itu yang jauh dari kebenaran dalam beragama dan banyaknya kebengkokan dalam praktik beragama diyakini menjadi salah satu penyebab di turunkannya Al Qur`an.
Kebengkokan yang terjadi saat itu adalah diantaranya mengatakan bahwa Tuhan mempunyai anak dan anggapan bahwa nabi Isa putera Maryam adalah Tuhan. Juga ada yang menganggap Malaikat Jibril sebagai musuh, anggapan bahwa “Tuhan itu tiga” serta penyembahan terhadap berhala yang dianggapnya sebagai cara pendekatan kepada Tuhan. Sehingga masing-masing orang mempunyai satu berhala sebagai perantara mereka terhadap Tuhan mereka. Hal – hal seperti inilah diantaranya yang menyebabkan diturunkannya Al Qur`an sebagai peringatan atas keingkaran-keingkaran pada ketauhidan
Bagaimana Al Qur`an diturunkan ?
Al Qur`an diturunkan secara berangsur-angsur selama kurun waktu 22 tahun 2 bulan 22 hari. Dari riwayat yang ada cara turunnya ayat-ayat pertama ke dada/qalbu Rasulullah saw itu menyebabkan Rasulullah mengalami ketakutan yang amat sangat. Badannya menggigil seperti terserang demam. Dan kejadian seperti ini terus berulang setiap wahyu turun melalui Malaikat Jibril.
Bisa di bayangkan betapa beratnya saat-saat Rasulullah saw menerima wahyu. Bahkan diriwayatkan, salah seorang sahabat yang kala itu pahanya ada di bawah paha Rasulullah dalam keadaan duduk, kemudian wahyu turun sahabat tersebut merasa pahanya seperti mau hancur karena beratnya tertindih paha Rasulullah saw. Jika kejadian itu berlangsung berulang-ulang dan berlangsung selama kurun waktu sekitar 22 tahun, kita bisa membayangkan betapa berat beban Rasulullah menerima wahyu berupa ayat-ayat Al Qur`an tersebut.
Dan kita yang saat ini tinggal membaca dan memahaminya saja begitu enggan melakukannya. Umat Rasulullah macam apa kita ini ?. Hanya tinggal makan dan menikmati sari-sarinya saja kita enggan apalagi terlibat dalam prosesnya. Cobalah kita bertanya pada diri kita sendiri. Berapa jam yang kita gunakan untuk membaca dan mencoba memahaminya ? Berapa menit yang kita gunakan untuk mencoba untuk menghafalnya dan berapa detik yang kita gunakan untuk mengingat apa makna yang yang terkandung di dalamnya ?
Allah juga menjelaskan dalam Al Qur`an bahwa jika saja Al Qur`an ini diturunkan pada sebuah gunung niscaya akan hancur berantakan gunung tersebut. Dan ayat-ayat Al Qur`an hanya bisa diterima oleh hati yang tenang, yang bersih, yang lembut. Hanya Rasulullahlah yang saat itu sanggup menerimanya. Oleh karena itu sudah sepantasnyalah kalau kita tidak menyia-nyiakan jerih payah beliau yang telah sudi menyediakan diri dan jiwanya demi untuk kebaikan seluruh umat.
Al Qur`an adalah Kebenaran. Seluruh isi Kitabullah membawa kebenaran dan tidak ada keraguan padanya. Petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa, bahkan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Merupakan perkataan yang baik yang diturunkan untuk manusia oleh Allah swt. Yang membuat gemetar kulit orang-orang yang takut kepada TuhanNya, dan kemudian menjadi tenang kulit dan hati mereka diwaktu mengingat Allah. Yang dengannya Allah memberikan petunjuknya kepada siapa yang di kehendakinya. Tentunya kepada mereka yang mengusahakan diri dan jiwanya untuk selalu dekat dengan Tuhannya.
Al Qur`an adalah wahyu yang nyata diturunkan oleh Tuhan semesta alam. Sebagai bacaan yang mulia dan sebagai petunjuk bagi orang-orang yang mengikuti keridhaannya dalam menempuh jalan keselamatan. Yang mengeluarkan orang-orang dari jalan kegelapan menuju cahaya yang terang benderang atas izinNya serta menunjuki orang-orang ke jalan yang lurus.
Al Qur`an adalah ayat-ayat Allah yang nyata yang tidak akan pernah berubah sampai kapanpun karena terpelihara dalam dada orang-orang mukmin yang banyak menghafalnya dan memahaminya secara turun temurun. Yang merupakan pembeda antara yang hak dan yang bathil. Yang merupakan pelajaran dan penyembuh bagi penyakit-penyakit yang ada di dalam dada kaum muslimin dan menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.
Demikian sempurnanya Al Qur`an yang bukan saja menjadi peringatan bagi manusia tetapi menjadi peringatan bagi semesta alam. Betapa meruginya kita yang menyia-nyiakannya. Betapa tidak perdulinya kita terhadap sebuah kitab yang menjadi petunjuk jalan kita untuk memperoleh keridhaanNya.
Saudaraku se-Iman,..
Marilah mengubah diri kita, mengubah Iman kita yang jauh dari sempurna, dengan memalingkan mata dan hati kita pada kitabullah. Jika kita mengaku sebagai orang-orang yang beriman, tidak sepantasnya kita memandang sebelah mata padanya. Seharusnya kita menjadikan kitabullah sebagai bacaan yang selalu menghiasi hati dan lisan kita. Yang selalu akan membuat kita merindukannya disaat kita membuka mata.
Bagaimana cara memahaminya ?
Sekarang ini banyak cara untuk memahami Al Qur`an. Banyak lembaga-lembaga kajian Qur`an yang membuka kesempatan kepada kaum muslimin untuk belajar memahami kitabullah tersebut. Disamping banyak juga Masjid-masjid yang menyediakan waktu-waktu tertentu untuk kalangan muslimin yang ingin belajar memahami Al Qur`an. Para Ustadz, Kyai di pondok-pondok pesantren, bacaan-bacaan di website atau situs-situs yang bernafaskan Islam, serta buku-buku yang banyak beredar di toko buku di hampir setiap kota di indonesia.
Meskipun begitu, kita tidak boleh untuk menerima begitu saja secara mentah dari uraian-uraian yang kita terima. Kesadaran akal kita haruslah tetap berjalan untuk memilah-milah mana kiranya yang “benar-benar” bisa diterima dan mana yang harus di kesampingkan. Untuk ayat-ayat yang penafsirannya masih meragukan penerimaan akal kita, hendaknya juga di cari referensi lainnya. Dan jika masih juga kita ragu-ragu berpindahlah ke ayat yang lain. Karena tidak semua ayat penafsirannya akan bisa langsung kita terima. Bahkan ada ayat-ayat yang makna sebenarnya ada pada Allah swt.
Jika anda mempelajari sendiri, hendaknya harus hati-hati. Jangan mencoba mengungkapkan penafsiran kita kepada orang lain sebelum kita melihat dari referensi yang sudah ada. Memang, perkembangan penafsiran akan selalu aktif dan semakin lama semakin mendekati kebenaran dari Al Qur`an itu sendiri. Tetapi kita yang tidak mempunyai basic atau dasar bahasa Al Qur`an dengan segala yang berkaitan dengan bahasanya tentu akan sulit untuk memperoleh penafsiran yang benar. Bahkan hal ini cenderung tidak di perbolehkan, karena akan menjurus ke pemahaman yang salah dan menimbulkan tersesat dari makna yang sebenarnya. Bukan berarti penafsiran di zaman sekarang ini semuanya tidak benar, jika penafsiranya tidak bertentangan dengan logika dan tidak menunjukkan pertentangan dengan penafsiran-penafsiran sebelumnya, justru akan lebih membantu akan kebenaran makna suatu ayat.
Posisikan diri kita seperti orang yang sedang belajar memahami. Janganlah memposisikan diri dan pikiran kita sebagai guru yang sedang mengoreksi soal-soal ujian siswanya. Al Qur`an sudah sempurna dan penafsirannya sudah ada di Rasulullah saw yang di tularkan kepada para sahabat yang pertama-tama. Oleh karena itu jika kita menemukan suatu ayat yang kita tidak paham tafsirannya sehingga kita tidak menemukan makna di dalamnya, hendaknya kita cari referensi lain atau bertanya pada para Ustadz atau para Ulama yang lebih paham tentang penafsiran para sahabat. Dengan demikian kita tidak akan tersesat jalan dalam pemahaman. Yang dengan tersesatnya pemahaman itu akan berakibat kehilangan makna yang sebenarnya dari suatu ayat.
Jangan tergesa-gesa dalam usaha memahaminya, karena sesuatu yang dilakukan secara tergesa-gesa akan berakibat salah yang lebih besar. Perlahan saja yang penting kontiniuitasnya terjaga. Karena dengan usaha yang terus menerus kita bisa menemukan makna di dalam tiap-tiap ayat yang akan berakibat pada pencerahan batin kita akan ke-Iman-an dan ketauhidan Allah swt. dari pada tergesa-gesa untuk kemudian berhenti sama sekali dalam waktu yang lama. Hal demikian tidak akan memberikan pemahaman yang bersambung antara satu ayat dengan ayat yang lain. Yang kemungkinan besar juga akan membuat kita lupa pada apa-apa yang telah kita pelajari sebelumnya.
Lakukan secara intens, setiap hari. Tidak ada alasan bagi kita untuk tidak membacanya. Jika kita membutuhkan petunjuk Allah yang ada di dalamnya, tak akan ada sesuatu yang menghalangi kita dari keinginan untuk membacanya. Selingi dengan bacaan lain dari penulis-penulis yang “putih” di lain waktu. Misalnya di waktu kita sedang santai menunggu kereta atau bus. Atau disaat sat kita istirahat dalam pekerjaan.
Penulis “putih” yang saya maksudkan adalah mereka yang menulis untuk tujuan agama yang sebenarnya, yaitu kedamaian, ketenangan hati, kebenaran yang hakiki dan kata-kata yang menyejukkan hati. Yang dengan tulisan itu kita semakin menginginkan untuk terus selalu membaca dan membaca. Bukanlah suatu keputusan untuk menghentikan kegiatan membaca. Hal ini bisa terjadi kalau “orang bebas” yang sedang membaca beberapa kali tetapi yang ditemukan dan dibaca adalah sebuah buku yang isinya cenderung membawa kita untuk membenarkan yang satu dan cenderung untuk menyalahkan yang lain. Dan buku seperti ini banyak kita temui di banyak tempat yang memasarkan buku-buku agama.
“Orang Bebas” yang saya maksudkan adalah orang yang tidak terikat dengan keberagaman perbedaan-perbedaan khilafah ada saat ini. Yang keberadaan mereka itu sudah berbaur menjadi satu dengan panji masing-masing di masyarakat. Orang-orang “bebas” ini meng-amin-i kebiasaan-kebiasaan yang sudah mendarah daging di masyarakat sepanjang “akal dan hati” mereka bisa menerimanya.
Orang-orang seperti ini menganggap suatu perbedaan adalah rahmat dari Allah. Yang bisa di pahami sebagai suatu cobaan kepada masing-masing diri kita untuk bisa menerima atau tidak setiap perbedaan yang muncul. Disamping suatu kenyataan kalau perbedaanlah yang bisa membangun suatu kekuatan yang sangat besar. Tanpa sesuatu yang berbeda sesuatu tidak akan memperoleh kekuatannya.
Metode lain dalam memahami Al Qur`an adalah dengan membaca dan meneliti satu per satu ayatnya untuk kemudian mencoba mengumpulkan makna yang terkandung di dalam satu ayat. Kemudian menuliskan pokok permasalahan yang tersirat dan menulis di bawahnya ayat tersebut dengan memberikan garis tebal pada kata yang terkait dengan masalah. Dan ayat itulah yang bisa dijadikan salah satu dalil tentang penyelesaian permasalahan yang terkait.
Hal ini harus dilakukan dengan kesabaran dan ketelitian yang tinggi sehingga akan memperoleh suatu hasil yang maksimal dan kebenaran tentang relevan atau tidaknya suatu ayat untuk digunakan sebagai dasar penyelesaian permasalahan yang ada. Sebenarnya buku buku seperti ini sudah banyak yang beredar di masyarakat. Tetapi seperti kebiasaan kita, kalau hanya sekedar “makan” kita tak akan perduli tentang prosesnya dan tak perduli pula dampak dari makanan yang kita makan tersebut.
Berbeda sekali kalau kita melakukannya sendiri dengan tetap di selingi dengan bacaan-bacaan lain yang sudah ada. Proses yang kita lalui itulah yang akan memberikan kekuatan pada kita untuk menyelesaikan dan menikmati “makanan” tersebut. Tentunya dengan kepahaman tentang semua bahan yang terkandung di dalam “makanan” kita. Sehingga dengan mudah kita akan bisa memberikan “resep makanan” tersebut kepada orang lain untuk kepentingan saling mengingatkan dalam kebaikan dan saling mengingatkan dalam kesabaran. Agar nantinya kita tidak tergolong dalam orang-orang yang mengalami kerugian karena telah menyia-nyiakan waktu yang terus berlalu tanpa berhenti sedetikpun.
Jika anda melakukannya secara intensif, insya Allah anda akan menemukan ratusan bahkan ribuan permasalahan sebagai pokok bahasan dengan dalil-dalilnya. Dalil-dalil penyelesaian permasalahan tersebut ada di berbagai surat dan ayat dan di tiap surat mengandung beberapa pokok permasalahan. Sehingga jika anda berhasil “khatam” Al Qur`an anda akan mempunyai pegangan sebuah kitab untuk mendampingi anda dalam memahami isi kitabullah.
Sudah cukupkan itu ? Ternyata belum ! Anda harus melengkapi buku pendampingnya minimal buku tafsir Al Qur`an yang sudah ada dan sudah banyak beredar dan satu buku tentang Hadist Rasulullah saw. serta buku tentang riwayat turunnya ayat-ayat Al Qur`an. Dan beberapa buku lagi yang penting diantaranya kitab yang menerangkan tentang terhapus dan tergantinya satu ayat dengan ayat yang lain yang sifatnya saling melengkapi, serta satu kitab tentang perjalanan hidup Rasulullah saw. yang lengkap membahas dari zaman pra Islam dan sesudah kelahiran Nabi serta zaman sesudah Rasulullah saw wafat.
Sekian, mudah-mudahan ada manfaat yang dapat diambil dan mudah-mudahan bisa menjadi inspirasi masing-masing diri kita untuk belajar memahami essensi dari sebuah komitmen ber-agama yang harus berefek pada Iman dan berbuah ketakwaan untuk menuju keridhaan Allah swt.
Amiin.
Selengkapnya...