Jumat, 19 Maret 2010

Harta dan Anak hanyalah Cobaan dan Perhiasan

QS. Al Anfaal : 28.
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ وَأَنَّ اللَّهَ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ﴿٢٨﴾
“Wa`lamuu annamaa amwalukum wa aulaadukum fitnattun wa annallaha `indahu ajrun `adhiimun”

”Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar.”

Ingatkah kita pada saat kita masih lajang ? Saat-saat dimana kita lebih banyak dihadapkan pada kesenangan dan kegembiraan ? Hampir setiap saat yang ada di pikiran kita hanyalah bagaimana hati kita bisa selalu senang dan tidak ada rasa susah yang menghampiri kita. Kemana saja arahnya asalkan kita suka, tidak ada orang yang melarang. Hati akan terus senang walaupun tak punya uang. Sepeti lirik lagu Koes plus.

Itulah lajang atau bujangan. Tapi apakah kita akan selamanya bujangan ? Tentu bukan keinginan kita. Ada saatnya kita berpikir untuk membangun sebuah mahligai rumah tangga. Ketika sampai saat nya mulailah kita berdo`a, mengingat Allah untuk beberapa saat, agar diberikan pasangan yang sesuai dengan seleranya plus ini plus itu. Setelah mendapatkan pasangan yang sesuai, maka hati menjadi gembira. Kegembiraan ini kadang membuat kita lupa pada Allah yang telah kita mintai tolong sebelumnya. Lupa dan terlena. Dzikir kita tertutup oleh keindahan “asmara” yang lagi “on”.

Kemudian sampai datang hari pernikahan kita. Kita Ingat lagi kepada Allah untuk beberapa saat. Meminta dengan memohon agar diberikan segala apa yang kita butuhkan. Dengan melibatkan banyak orang kita memohon pada Allah secara bareng-bareng agar Allah mengabulkan seluruh permintaan kita. Sebagai modal dalam menjalani hidup berumah tangga.

Lalu Allah swt benar-benar mengabulkan do`a-do`a kita. Dengan limpahan rezeki berupa materi, ditambah perasaan yang begitu bahagia. Kita nikmati sepercik karunia dari Allah swt untuk seseorang yang melakukan pernikahan. Untuk sementara kita lupa lagi kepada Allah. Kita terlena dengan limpahan rahmat Allah swt. Sementara untuk beberapa waktu hati kita terbalut nafsu duniawi. Kita hanyut dalam dalam suasana yang disebut “bulan madu” dan nafsu untuk selalu “shopping” segala kebutuhan materi kita.

Saat-saat seperti itu Allah memberikan limpahan rahmatnya kepada kita bukan hanya dengan materi tetapi juga dengan hadiah sebuah “janin” atau calon bayi atau sebuah boneka buat orang dewasa. Yang kemudian kita namakan “anak kandung”. Yang prosesnya sendiri membuat kita benar-benar berada pada puncak kenikmatan dunia.

Sesaat kita ingat lagi kepada Allah dan memohon agar diberikan anak yang shaleh, yang berbakti kepada kedua orang tuanya serta berguna bagi orang lain. Tak lupa pula agar berguna bagi “agama”, berguna bagi “bangsa dan Negara”. Beberapa bulan kemudian lahirlah “hadiah” dari Allah berupa “boneka” yang benar-benar sempurna dan sangat lucu. Yang berbeda dengan boneka-boneka yang di inginkan anak-anak.

Maha suci Allah. Betapa kasihnya Allah kepada makhluk ciptaannya, betapa pemurahnya Allah dengan bersedia memberikan apa saja yang terlintas di pikiran kita dan betapa sayangnya Allah kepada kita sebelum kita sampai pada ajal kita. Kita diberinya nikmat kesehatan dan kekuatan untuk menjalani sebuah kehidupan. Akan tetapi sadarkah kita akan semua ini, mengapa Allah begitu kasih kepada kita ?, mengapa Allah begitu pemurah kepada kita ? dan mengapa Allah juga begitu sayang kepada kita ?

Allah yang Maha Kaya akan memberikan kepada kita apa yang kita minta, sepanjang permintaan kita menyangkut kenikmatan dunia akan diberikan semua. Tidak perduli mereka yang taat kepadanya atau mereka yang mengingkariNya dengan tidak mau mengingatNya sama sekali. Semua kenikmatan dunia diberikannya, kita tinggal mengusahakannya untuk memperoleh semua kenikmatan dunia tersebut. Mengapa ? Sebab dunia ini, disamping berfungsi sebagai tanda-tanda kuasanya Allah swt, juga telah pula diberikan pula untuk kepentingan kita. Tetapi sadarkah kita kalau ada sebuah kepentingan yang lebih besar dari pada semua kenikmatan dunia ini ?

Satu ayat di awal tulisan ini menjelaskan, bahwa sesungguhnya harta dan anak-anak kita adalah cobaan dari Allah yang diberikan kepada kita. Dan disisi Allah ada pahala yang jauh lebih besar. Pahala apakah kiranya itu ? Itulah Surga dengan segala kenikmatan di dalamnya.

Dalam ayat lain Allah juga menegaskan lagi :

QS. At Taghaabun : 15
إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلَادُكُمْ فِتْنَةٌ ۚ وَاللَّهُ عِنْدَهُ أَجْرٌ عَظِيمٌ﴿١٥﴾
“Innamaa amwalakum wa aulaadukum fitnatun, wallahu `indahu ajrun `adhiim”

”Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.”

Sampai disini mungkin kita masih bertanya-tanya, dimana sih letak cobaanya anak-anak kita itu ?
Coba kita renungkan kembali. Di awal-awal kita mendapatkan rezeki atau karunia Allah berupa harta dan anak, pernahkah terpikir oleh kita untuk semakin menambah ketaatan kita pada Allah yang telah membeikan semua itu ? Yang terjadi kebanyakan dari kita adalah semakin sibuknya kita dan semakin terkonsentrasikannya pikiran kita pada harta dan anak tersebut. Apalagi pada saat balita. Sedang lucu-lucunya. Ungkapan sayang dan kecintaan kita pada anak tersebut, kadang justru mengabaikan kewajiban-kewajiban syariat. Harta dan anak kecil kita adalah cobaan bagi “keimanan” kita. Cobaan bagi ketaatan kita untuk menjalankan ibadah.

Pada saat anak dewasa akan semakin terasa kebenaran bahwa anak adalah cobaan bagi orang tuanya. Semakin dewasa anak akan semakin memonopoli “kehendak” yang dimilikinya. Kehendak anak yang semakin dewasa ini kadang justru banyak yang berseberangan dengan kehendak orang tua. Semakin lama kadang perbedaan keinginan itu akan semakin menganga. Pada puncaknya anak yang sejak kecil kita sayangi dan kita manjakan itu akan bisa menjadi musuh bagi kita. Bahkan Allah swt lebih menegaskan lagi, bukan hanya anak yang akan menjadi musuh bagi kita. Istri pun juga bisa menjadi musuh bagi kita.

QS. At Taghaabun : 14
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ وَأَوْلَادِكُمْ عَدُوًّا لَكُمْ فَاحْذَرُوهُمْ ۚ وَإِنْ تَعْفُوا وَتَصْفَحُوا وَتَغْفِرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ﴿١٤﴾
”Yaa ayyuhal ladziina aamanuu `inna min azwaajikum wa `auladikum `aduw walakum fahdzaruuhum, wa`in ta`fuu watashfahuu wa taghfiruu fa`innallaha ghafuurur rahiimun”

”Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Lantas dimanakah cobaannya ? Ayat di atas cukup jelas. Allah hendak menguji kesabaran kita dengan menjadikan anak dan istri kita sebagai bagian dari keluarga dekat yang memusuhi kita. Jelas pula bahwa Allah Maha Pengampun. Kita dituntut untuk memaafkan semua kesalahan anak dan istri kita. Tidak marah atas semua perlakuannya. Serta berkenan untuk mengampuni atas semua kesalahan mereka. Yang demikian ini sangat dianjurkan, untuk merefleksikan sifat Pengampun Allah pada diri kita.

Untuk apa Allah memberi cobaan pada kita ?

Maha Suci Allah. Alam semesta dan apa yang terjadi di dalamnya adalah “Permainan Allah”, tetapi Allah tidak menciptakan semuanya dengan main-main. Ada tujuan yang jelas diciptakan dan di tempatkannya manusia dalam kehidupan di dunia. Tidak lain adalah Kehidupan Akhirat ! Dan sudah tentu pula bahwa yang namanya kehidupan sudah pasti ada aksi atau kegiatan. Dan sudah tentu pula apa yang ada di “sana” berpasangan pula. Surga dan neraka. Sebuah pasangan yang sangat akrab di telinga kita. Informasinya, salah satu dari keduanya akan menjadi tempat hidup kita kelak. Dan itu pasti !

Semua tergantung kita, mau memilih yang mana ?
Allah hendak memberi cobaan dan ujian pada manusia dengan semua yang ber”bau” dunia. Diantara cobaan-cobaan itu adalah harta dan anak-anak keturunannya. Banyaknya harta yang bisa membedakan status sosial kita di masyarakat menjadi lebih tinggi dari yang lain, tak lebih hanya sekedar cobaan dari Allah. Seharusnya dengan banyaknya harta manusia lebih mudah masuk ke”ridha”nya Allah. Lebih mudah untuk masuk ke surganya Allah swt. Akan tetapi kebanyakan dari manusia, banyaknya harta justru semakin banyak yang menjauhkan dirinya dari ridhanya Allah.

Disadari atau tidak ini adalah sebuah kecelakaan besar. Karena semua harta yang kita miliki ini hanyalah sekedar “pinjaman” dari Allah swt. yang tidak akan pernah kita membawa harta tersebut ke kehidupan akhirat. Yaitu sebuah kehidupan yang “sebenarnya”. Yang didalamnya ada dua buah tempat untuk kita. Yang pertama adalah surga. Satu tempat yang hanya bisa terbuka “pintunya” dengan selembar tiket atau karcis yang ber-marking ”takwa”. Satu lagi adalah neraka. Yang di dalamnya-lah kebanyakan manusia baru bisa menyadari untuk apa sebenarnya manusia di beri kesempatan hidup di dunia. Dan apa yang sesungguhnya harus dilakukan selama hidup di dunia.

Demikian juga dengan banyaknya anak. Anak bagi kita adalah sebuah impian yang di idam-idamkan dan kemudian menjadi kenyataan. Kelahiran seorang anak bagi kita adalah sebuah kegembiraan yang tak terlukiskan. Dan jika tidak bisa memperolehnya, akan bisa menjadi suatu kesedihan yang berkepanjangan. Itulah nikmat hidup yang sangat besar yang di limpahkan oleh Allah kepada manusia. Tetapi karunia Allah yang sangat besar ini kadang malah menjauhkan dan melalaikan kita dari Allah swt.

Kegembiraan atas kenikmatan keturunan memang sering kali membuat kita lupa pada Allah. Ingatan dan kesyukuran kebanyakan hanya terbatas pada “lisan” dan “selamatan” atau kenduri untuk tetangga sekitar saja. Sering kali pula kita memperlakukan anak kita dengan kemanjaan yang berlebihan. Segala apa yang dimintanya pasti kita akan mengusahakanya. Tetapi kewajiban untuk beribadah justru lebih banyak terabaikan, waktu shalat kadang banyak yang terlewatkan. Hanya karena ingin memanjakan anak dan bersenang-senang belaka.

Padahal kalau kita mengetahui. Kelahiran anak kita, disamping karunia dari Allah adalah juga merupakan juga cobaan bagi kita. Sampai seberapa sebenarnya kesyukuran kita dalam menerima karunia Allah berupa kenikmatan dunia ini.

Dalam ayat lain Allah swt. juga berfirman kalau harta dan anak hanyalah perhiasan dunia.

QS. Al Kahfi : 46
الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَالْبَاقِيَاتُ الصَّالِحَاتُ خَيْرٌ عِنْدَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلًا﴿٤٦﴾
“`Almaalu wal banuuna ziinatul hayaatiddunya, wal baqiyaatush shaalihaatu khairun `inda rabbika tsawaban wa khairun `amala”

”Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.”

QS. Al Qashshas : 60
وَمَا أُوتِيتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَمَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَزِينَتُهَا ۚ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ خَيْرٌ وَأَبْقَىٰ ۚ أَفَلَا تَعْقِلُنَ ﴿٦٠﴾
“Wa maa `uutiitum min syai`in famataa`ul hayaatiddunya wa ziinatuha, wa maa `indallahi khairun wa`abqaa, afalaa ta`qiluuna”

”Dan apa saja yang diberikan kepada kamu, maka itu adalah kenikmatan hidup duniawi dan perhiasannya; sedang apa yang di sisi Allah adalah lebih baik dan lebih kekal. Maka apakah kamu tidak memahaminya?”

Harta dan anak adalah cobaan, hanyalah kenikmatan duniwi, hanyalah perhiasan kehidupan. Hanyalah cobaan dan kenikmatan duniawi yang cuma sesaat saja. Hanyalah sebuah perhiasan. Apa kira-kira pengertian “perhiasan” ini bagi kita ? Marilah kita telaah sedikit. Perhiasan adalah sesuatu yang melekat pada sesuatu yang sudah ada dan nyata atau riel. Yang tujuannya selain memperindah pandangan adalah membuat hati merasa senang dan bangga bagi yang memakainya.

Demikian juga “harta” dan “anak”. Bagi kita manusia keberadaan harta dan anak adalah sebuah pelengkap kehidupan kita. Manfaat yang langsung bisa di rasakan adalah memperindah tampilan kita. Baik dari segi status sosial, yaitu pandangan orang lain kepada kita jika kita hidup serba berkecukupan. Juga kepercayaan diri yang terbangun dari tampilan yang “exellent” atau trendy. Live Style atau gaya hidup yang mewah, yang selalu mengikuti perkembangan tehnologi. Baik yang menyangkut “kain kafan” atau perabot-perabot rumah mewahnya.

Demikian juga anak. Rasanya kurang lengkap hidup ini kalau tanpa anak atau keturunan. Keberadaan anak bagi kehidupan kita juga mempunyai manfaat “memperindah” pandangan orang lain kepada kita. Manfaat lain adalah sama dengan harta yaitu membut kita senang dan bangga. Bahkan kadang, harta dan anak kita malah membuat kita semakin “sombong” karena selalu membangga-banggakannya. Padahal Allah juga sudah mengingatkan bahwa amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisiNya serta lebih baik untuk pengharapan. Daripada sekedar hidup bermewah-mewahan dan berbangga-bangga tentang anak-anak kita.

Sesungguhnyalah bermewah-mewahan dengan banyaknya harta dan berbangga-bangga dengan banyaknya anak kita adalah sesuatu yang sia-sia. Dalam satu ayat Allah menjelaskan dengan begitu tegas.

QS. Al Mujaadilah : 17
لَنْ تُغْنِيَ عَنْهُمْ أَمْوَالُهُمْ وَلَا أَوْلَادُهُمْ مِنَ اللَّهِ شَيْئًا ۚ أُولَٰئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ ۖ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ ﴿١٧﴾
“Lan tughniya `anhum amwaluhum walaa aulaaduhum minallahi syai`an, ulaaika ashhabun naar, hum fiihaa khaliduuna”

” Harta benda dan anak-anak mereka tiada berguna sedikitpun (untuk menolong) mereka dari azab Allah. Mereka itulah penghuni neraka, dan mereka kekal di dalamnya.”

Demikianlah, Allah telah menjanjikan kepada kita semua surga dan kita pasti kelak kita juga akan memperolehnya. Dengan segala ketaatan yang kita berikan kepada Allah swt, dengan menjalankan semua syariat yang di ajarkan oleh Rasulullah saw. semua janji-janji Allah akan kita dapatkan. Tetapi berlimpahnya harta yang tidak dipergunakan untuk mencari kehidupan akhirat dan banyaknya anak yang tidak banyak membawa manfaat akhirat, justru akan menjerumuskan diri kita ke jurang neraka dengan lebih cepat.

QS. Al Qashshas : 61
أَفَمَنْ وَعَدْنَاهُ وَعْدًا حَسَنًا فَهُوَ لَاقِيهِ كَمَنْ مَتَّعْنَاهُ مَتَاعَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ثُمَّ هُوَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ مِنَ الْمُحْضَرِينَ ﴿٦١﴾
” Maka apakah orang yang Kami janjikan kepadanya suatu janji yang baik (surga) lalu ia memperolehnya, sama dengan orang yang Kami berikan kepadanya kenikmatan hidup duniawi; kemudian dia pada hari kiamat termasuk orang-orang yang diseret (ke dalam neraka)?”

Itulah kenapa Rasulullah saw. dan kedua sahabatnya yaitu Sayyid Abu Bakr dan Sayyid Umar bin Khattab begitu takut meninggalkan harta tatkala hampir sampai akhir umurnya. Demikianlah mudah-mudahan bisa bermanfaat bagi kita dan bisa merubah pandangan kita tentang harta dan anak yang di informasikan dalam Al Qur`an sebagai Cobaan dan perhiasan serta tidak akan bergunanya kelak di akhirat, apabila kita tidak dapat memanfaatkannya dengan benar.

Sekian.

Tidak ada komentar: