Kamis, 04 Maret 2010

Mengukur Kualitas Iman kita.

Mengukur Kualitas Iman kita.

Iman adalah rasa percaya dan keyakinan hati terhadap wujud dan kebenaran (haq) serta eksisitensinya suatu Dzat yaitu Alah swt. Keimanan ini tidak hanya sebatas mempercayai dan menyakini adanya dzat Allah saja, tetapi mempercayai dan meyakini tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan keberadaan Allah itu sendiri.

Misalnya tentang keberadaan Malaikat, tentang firman-firman yang diturunkan melalui wahyu kepada para Rasul, yang sudah terhimpun dalam kitab, tentang para Rasul atau orang-orang yang diutus untuk menyampaikan firman-firman yang telah turun kepada sekelompok kaum, tentang kebenaran akan datangnya hari kiamat atau hari penghisaban, yang terakhir tentang ketentuan dan ketetapan Allah yang dinamakan takdir.

Iman ini sendiri terbagi menjadi lapisan-lapisan yang relatif tipis atau tebalnya antara satu orang dengan orang yang lain, tetapi secara garis besar lapisan atau tingkatan iman itu terbagi menjadi 3 (tiga) yaitu, Ilmul Yakin, ainul yakin dan haqqul yakin.

Ilmul Yakin adalah kesadaran untuk meyakini tentang segala sesuatu khususnya tentang ketauhidan Allah dan segala yang berkaitan dengan sifat-sifatNya melalui orang lain, misalnya guru di sekolah, kyai atau para ustadz bahkan mungkin orang-orang yang dekat dengan kita yang bersedia untuk memberikan masukan tentang berbagai hal. Khususnya mengenai ilmu agama.

Ainul Yakin adalah suatu keyakinan yang tidak hanya di dapat dari seseorang, tetapi keyakinan yang terbangun karena suatu pencarian tentang bukti-bukti keberadaan Allah dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kekuasaan dan kemutlakan mengenai hukum-hukum alam yang telah di ciptakannya. Pada tahap ini seseorang akan melihat sendiri dan bahkan akan mengalaminya sendiri proses-proses dari pembuktian akan kebenaran yang awalnya hanya berupa informasi-informasi yang bersifat tekstual.

Haqqul Yakin adalah keyakinan yang mutlak dan tidak akan tergoyahkan dari seseorang yang merasa bahwa dirinya hanyalah bagian yang sangat kecil dari sesuatu yang sangat-sangat besar dan diluar kemampuan logika berpikir manusia. Disini bukan hanya mata yang bisa melihat tetapi ada keterlibatan hati yang sangat dominan dalam keyakinan akan dzat Allah. Inilah Iman dengan sebenar-benarnya Iman.

Pada tingkatan ini seorang hamba akan secara otomatis melakukan perintah-perintah dari Tuhannya tanpa ada rasa keterpaksaan. Pada tingkatan ini pula akan timbul rasa kebutuhan yang sangat besat dari seseorang pada Tuhannya dan ada rasa ketergantungan yang sangat kepadaNya. Sehingga menimbulkan efek untuk selalu bisa berinteraksi kapan saja dan dimana saja dia berada.

Ujung dari perilaku seseorang yang sampai pada tingkatan ini adalah rasa ikhlas akan tindakan dan tingkah lakunya. Semua yang di lakukan hanya karena Allah semata. Bukan karena yang lain yang hanya merupakan sesuatu yang di ciptakan. Yang tidak akan bisa mempunyai kekuatan yang paling lemah sekalipun tanpa adanya keterlibatan Tuhannya yaitu Allah swt.

Dari adanya tingkatan-tingkatan inilah seseorang yang mengatakan dirinya beriman masih belum bisa dikatakan sebagai seorang yang beriman dengan sebenar-benarnya Iman. Sehingga Allah perlu memperjelas memberikan informasi kepada kita,

QS. Al Anfaal : 2 – 3.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ﴿٢﴾
”“Innamal mu`minuunal ladziina idza dzukirallahu wa jilat quluubuhum wa idza tuliiyat alaihim ayaatuhu zadathum iimaanan wa alaa rabbihim yatawakkaluuna”

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal.

الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ﴿٣﴾
“Alladziina yuqiimuunash shalaata wa mimmaa razaqnaahum yunfiquuna”
(yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.

QS. An Naml : 3.
الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَهُمْ بِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ﴿٣﴾
“Alladziina yuqiimuunash shalata wa yu`tuunaz zakaata wa hum bil aakhiratihum yuuqinuuna”
(yaitu) orang-orang yang mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.

QS. Al Ankabuut : 59.
الَّذِينَ صَبَرُوا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ﴿٥٩﴾
”Alladziinash shabaruu wa `alaa rabbihim yatawakkaluuna”
(yaitu) yang bersabar dan bertawakkal kepada Tuhannya.

QS. Al Hujuraat : 15.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ﴿١٥﴾
“ Innamal mu`minuual ladziina amanuu billahi wa rasuulihi tsumma lam yartaabuu wa jaaahaduu bi `amwalihim wa `anfusihim fii sabiilillahi, ulaa`ika humush shaadiquuna”

”Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang percaya (beriman) kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjuang (berjihad) dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.”

Iman yang sebenarnya adalah iman dengan amal shalih, yaitu Iman yang disertai dengan amal perbuatan seperti yang disebutkan di beberapa ayat dalam Al Qur`an. Amal perbuatan itu diantaranya adalah : yang mengerjakan shalat dengan ikhlas, yang menafkahkan hartanya yang telah di limpahkan kepadanya di jalan Allah yaitu memberikan kepada mereka yang berhak dan yang membutuhkan, yang bertawakal hanya kepada Allah, yang mampu bersabar meski dalam keadaan tertekan, yang begitu yakin akan kebenaran tentang kehidupan akhirat, yang jika di sebut nama Allah bergetar hatinya karena takut akan adzabnya, yang apabila di bacakan ayat-ayatnya imannya akan bertambah. Itulah orang yang beriman dengan sebenar-benarnya Iman, dan Allah menambahkan dalam satu Ayat,

QS. Al Anfaal : 4.
أُولَٰئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا ۚ لَهُمْ دَرَجَاتٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ﴿٤﴾
“Ulaa`ika humul mu`minuuna haqqan, lahum darajaatun inda rabbihim wa maghfiratun wa rizkun kariimun”

”Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia.”

Banyak dari diri kita yang menyatakan beriman tapi sedikit dari kita yang selalu berusaha untuk meningkatkan kualitas keimanannya. Sebagian besar dari kita adalah beriman di level yang pertama, karena sesungguhnyalah keimanan yang kita akui itu tak lebih dari sekedar hanya pengakuan atas wujudnya Allah dan kebenaran agama saja. Bahwa Allah itu wujud memang benar adanya. Bahwa beragama itu suatu kewajiban yang harus menempel pada identitas kita, yang jika kita melalaikannya akan berakibat fatal, kita akan dituding sebagai pengikut aliran terlarang, akan dituding sebagai pengikut kepercayaan tertentu yang bukan merupakan suatu agama yang “resmi” dan diakui oleh penguasa atau pemerintah. Sehingga banyak pula dari kita yang beragama tanpa mengetahui apa makna dari beragama itu sendiri.

Dalam “diri” agama itu sendiri tersusun dari beberapa tingkatan. Dalam Agama Islam sebenarnya tingkatan itu tersusun menjadi 3 (tiga) level. Tingkatan yang pertama adalah Iman, yang kedua Taqwa dan yang ke tiga Islam.

Mungkin bagi sebagian orang susunan itu rancu atau kacau karena sebagian orang menempatkan taqwa sebagai tujuan terakhir dari tujuan beragama. Muttaqin menjadi tolok ukur diterima atau tidaknya diri kita oleh Allah untuk kembali kepadaNya. Hal ini memang benar adanya dan jangan pernah pula untuk dipungkiri. Tapi kalau di cermati susunan tingkatan diatas juga bisa diterima sepenuhnya oleh akal atau nalar kita.

Kata “Islam” jika di cermati dari arti kata-nya bisa berarti “Tunduk” atau“berserah diri” . Berserah diri disini tentunya hanya berserah diri kepada Allah. Itulah agama tauhid yang di bawa oleh Rasulullah saw. Muttaqiin yang sebenarnya bisa pula di identikkan dengan orang-orang yang “aslam” yang berarti tunduk, menyerahkan diri sepenuhnya hanya kepada Allah semata.

QS. Ali Imraan 83.
أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ﴿٨٣﴾
“Afaghaira diinillahi yabghuuna wa lahu aslama man fiissamaawaati wal ardhi thau`an wa karhaan wa ilaihi yurja`uuna”

”Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan”.

Jika Islam di maknai sebagai penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah swt, memang harusnya berada di tingkatan akhir dari suatu proses beragama, tetapi jika “Islam” dimaknai sebagai suatu nama dari sebuah agama, maka makna Islam yang sebenarnya akan berada di balik bayang-bayang kebesaran agama Islam.

Kita semua mengetahui dan menyadari bahwa berapa banyak orang yang mengaku beragama Islam tetapi pengetahuan tentang Islamnya begitu minim sekali. Mending kalau masih disertai dengan kemauan belajar, kalau tidak ? Betapa menyedihkan sekali ! Kita hanya akan berada dipinggiran inti dari sebuah agama yang lurus yang terbungkus oleh tebalnya “ilmu”.

Inti agama tauhid yang terbungkus oleh dalam dan tebalnya ilmu bagaikan biji dalam buah semangka tanpa biji. “Biji” yang sepertinya tidak ada tetapi sebenarnya ada, dalam arti, inti dari sebuah proses ber-agama itu sebenarnya ada dan nyata, yaitu “Iman”. Tetapi tidak akan pernah kita temukan jika kita tidak pernah mengusahakannya.

“Iman” itu bisa diminta kepada Allah. Asal kita mau sedikit bersusah payah, niscaya Allah akan menurunkan sebuah “petunjuk” Nya. Nah “petunjuk” itulah yang akan kita gunakan untuk menelusuri “peta” inti dari sebuah pentingnya agama bagi kita.

Sebenarnya petunjuk itu sudah ada, yaitu Al Qur`an dan tanda-tanda kebesaran dan kekuasaan Allah yang ada di alam semesta. Tetapi jika seseorang bersikat apatis terhadap Iman dan tauhid dia tidak akan pernah menghiraukan keduanya. Bahkan bersikap menjauhi keduanya. Sampai datangnya kesadaran spritual dalam qalbu atau hatinya. Pada saat datang kesadaran akan kebutuhan dan ketergantungan kepada Allah itulah seseorang akan mulai berpaling kepada “petunjuk” Allah tersebut.

Jika komitmennya kuat dan konsisten dalam memahaminya orang tersebut akan mendapat suatu pencerahan batin. Dimana akan timbul sikap untuk taat dalam menjalankan perintah-perintah agamanya.

QS. Al Israa` : 36.

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ۚ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَٰئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا﴿٣٦﴾
“Wa laa taqfu maa laisa laka bihi ilmun, innas sam`a wal abshara wal fu`aada kullu ulaa`ika kaana `anhu mas`uulan”

”Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.”

Allah memberikan kan kita pendengaran, penglihatan dan hati tak lain karena Allah menginginkan manusia memahami keberadaan Allah dengan segala sifat-sifatnya melalui ketiganya. Jika tidak, Allah sudah mempersiapkan diri dan jiwa kita untuk berhadapan dengan hukum Allah di akhirat yang pedihnya jauh melebihi siksa di dunia.

Uraian di atas untuk mengulas sedikit dari tingkatan iman. Sekarang kita coba untuk mengetahui sedikit tentang tingkatan dalam “ber-agama”. Yang pertama adalah komitmen ber-agama, yang kedua adalah buah dari komitmen beragama yaitu Iman, yang ketiga adalah taqwa, hasil dari masuknya Iman ke dalam hati yang disertai dengan amalan atau perbuatan-perbuatan yang baik, yang merupakan perwujudan dari iman itu sendiri.

Jika kita bisa melalui ketiga fase atau tingkatan tersebut, maka kita akan sampai pada esensi beragama yaitu “Islam” atau “penyerahan diri” sepenuhnya hanya kepada Allah. Dan itu semua adalah buah dari jerih payah atau usaha pencarian makna hidup dari keber-agama-an kita.

Komitmen beragama tidak boleh berhenti hanya sebatas persaksian melalui ucapan dua kalimat syahadat. Komitmen ber-agama harus berefek pada ketebalan Iman. Dengan apa ? Tentunya dengan “Ilmu” . Ilmu itulah nanti yang akan memberikan kita pemahaman akan arti pentingnya seseorang harus berkomitmen untuk ber-agama. Hanya dengan pemahaman tentang ayat-ayat Allah saja seseorang bisa menemukan sebuah contoh kebenaran. Baik itu ayat-ayat yang ada dalam Al Qur`an yang disebut ayat qauliyah maupun ayat-ayat yang ada di alam yang biasa disebut ayat kauniyah.

Kedua ayat tersebut hendaknya dipahami secara bersamaan, karena salah satunya merupakan penjelasan atau bukti dari yang lain, yaitu ayat-ayat Al Qur`an. khususnya untuk ayat-ayat yang berkaitan dengan peristiwa alam. Misalnya bergantinya siang dan malam, tentang turunnya hujan, tentang tanaman yang berbuah, semua itu adalah bukti-bukti keberadaan dan kekuasaan Allah swt.

Iman yang semakin “menebal” dikarenakan pemahaman akan lebih kuat melekatnya dari pada iman yang hanya sekedar “katanya”. Karena iman yang di dapat dari pemahaman ini akan berefek pada pembentukan karakter diri dengan keinginan yang datangnya dari hati untuk segera merealisasi perwujudan dari pada iman itu sendiri. Yaitu berupa amalan atau pembiasaan diri dalam tingkah laku yang sesuai dengan tingkah laku Rasulullah yang telah memberi contoh atau teladan yang baik.

Pembiasaan diri dalam bertingkah laku yang baik berdasarkan iman ini akan berefek pada taqwa. Dimana kata “taat” akan secara perlahan namun pasti akan melekat pada dirinya. Pada kondisi ini seseorang tidak boleh berhenti untuk selalu melakukan eksplorasi terhadap ayat-ayat Allah untuk mengasah kemampuan dalam memahaminya. Ayat-ayat Allah tersebar di seantero jagat raya, yang jika kita gunakan seluruh umur kita untuk mencoba memahaminya tidak akan habis kalimat-kalimat Allah.

Pemahaman harus selalu bertambah, kehidupan beragama kita harus dinamis. Hari ini haruslah lebih baik dari hari kemarin dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Iman haruslah selalu bertambah selaras dengan pemahaman. Jika tidak berarti kita termasuk dalam kelompok orang yang merugi karena menyia-nyiakan waktu. Dan kita semua tahu bahwa waktu tidak akan berjalan mundur. Waktu akan terus berlalu seiring dengan bergesernya bumi yang kita tempati. Dan umur manusia akan selalu berkurang dari waktu ke waktu, sampai tiba waktu ajal yang telah di tentukan.

Lantas bagaimanakah dengan orang yang beriman tetapi tidak beramal shalih ? Allah berfirman :
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ ۖ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ ۚ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انْفِصَامَ لَهَا ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ﴿٢٥٦﴾
“Laa ikraaha fiiddiini, qad tabaiyanar rusydu minal ghaiyi, faman yakfur bith thaghuuti wa yu`min billahi faqadistamsaka bil`urwatil wusyqaa lan fishaama lahaa. Wallahu samii`un `aliimun”

”Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.”

dijelaskan di ayat tersebut bahwa mereka yang “ber-iman” mereka itu sudah berpegangan kepada buhul tali Allah yang sangat kuat dan tidak akan pernah putus. Buhul tali atau simpul tali atau ikatan tali yang kuat, lebih memberikan penjelasan tentang “tali” yang merupakan kabel atau penghubung atau jalan yang menghubungkan seorang hamba kepada Tuhannya. Iman yang diumpamakan tali tersebut tidak lain karena Iman adalah modal atau merupakan modal dalam menjalani amal perbuatan selanjutnya.

Ibarat sebuah bangunan “Iman” adalah pondasi. Tanpa pondasi akan sia-sia keberadaan sebuah bangunan, bahkan kemungkinan besar akan mencelakan bagian-bagian lain dari bangunan itu sendiri. Tetapi pondasi yang kuat akan mempertahankan sebuah bangunan sampai semua bagian dari bangunan itu perlahan lapuk atau dimakan usia. Dan pondasi saja masih belum cukup untuk menjadikan diri kita bagai sebuah bangunan yang sempurna. Kesempurnaan diri dan jiwa kita bisa terbangun apabila kita bisa membangun Amalan yang baik di atas pondasi iman kita.

Di ayat lain Allah juga menegaskan kalau amal perbuatan yang tidak dilandasi oleh iman adalah sesuatu yang sia-sia. Iman menjadi sesuatu yang paling utama dalam hidup. Tanpa Iman otomatis kita termasuk dalam golongan orang-orang yang ingkar kepada Allah. Padahal segala sesuatu yang ada di bumi dan di langit dan di antara keduanya ini hanyalah milik Allah. Maka menjadi masuk akal jika seseorang yang melakukan segala aktifitas perbuatan yang menurut dirinya paling baik sekalipun akan sia-sia karena tertolak dikarenakan ke-kafiran-an yang melekat pada dirinya.

QS. An Nuur : 39.
وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَعْمَالُهُمْ كَسَرَابٍ بِقِيعَةٍ يَحْسَبُهُ الظَّمْآنُ مَاءً حَتَّىٰ إِذَا جَاءَهُ لَمْ يَجِدْهُ شَيْئًا وَوَجَدَ اللَّهَ عِنْدَهُ فَوَفَّاهُ حِسَابَهُ ۗ وَاللَّهُ سَرِيعُ الْحِسَابِ﴿٣٩﴾
“Walladziina kafaruu a`maaluhum kasaraabin biqii`atin yahsabuhuzh zhamnu maa`an hattaa `idzaa jaa`ahu lam yajidhu syaian wa wajadallaha `indahu fawaffaahu hisaabahu, wallahu sarii`ul hisaabi”

”Dan orang-orang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan didapatinya (ketetapan) Allah disisinya, lalu Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah sangat cepat perhitungan-Nya.”

QS. An Nuur : 40.
أَوْ كَظُلُمَاتٍ فِي بَحْرٍ لُجِّيٍّ يَغْشَاهُ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ مَوْجٌ مِنْ فَوْقِهِ سَحَابٌ ۚ ظُلُمَاتٌ بَعْضُهَا فَوْقَ بَعْضٍ إِذَا أَخْرَجَ يَدَهُ لَمْ يَكَدْ يَرَاهَا ۗ وَمَنْ لَمْ يَجْعَلِ اللَّهُ لَهُ نُورًا فَمَا لَهُ مِنْ نُورٍ﴿٤٠﴾
“Au kazhulumaatin fii bahrin lujiiyin yaghsyaahu maujun min fauqihi maujun min fauqihi sahaabun, zhulumaatun ba`dhuhaa fauqa ba`dhin `idzaa akhraja yadahu lam yakad yaraahaa, wa man lam yaj`alillahu lahu nuuran famaa lahu min nuurin”

”Atau seperti gelap gulita di lautan yang dalam, yang diliputi oleh ombak, yang di atasnya ombak (pula), di atasnya (lagi) awan; gelap gulita yang tindih-bertindih, apabila dia mengeluarkan tangannya, tiadalah dia dapat melihatnya, (dan) barangsiapa yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah tiadalah dia mempunyai cahaya sedikitpun.”

Untuk itulah kita harus “Istiqomah” dalam pemahaman tanda-tanda atau ayat-ayat Allah ini. Hingga semakin hari semakin bertambah Iman kita. Sejalan dengan berlalunya waktu semakin dekat pula ajal kita. Semakin dekat saatnya semakin kita kedinginan, tapi jika kita berjalan dengan berselimut “Iman”, jangan pernah khawatir dan merasa ketakutan. Sehingga nantinya kita bisa berharap untuk ditetapkannya mati dalam keadaan iman dan Islam.

Jika Iman sudah melekat pada diri dan hati kita secara alami kita akan berusaha untuk memenuhi segala efek dari Iman itu sendiri. Efek dari Iman adalah memenuhi segala yang di perintahkan oleh Allah swt. berupa amalan-amalan yang baik. Amalan-amalan yang baik inilah yang nantinya akan menjadi saksi perbuatan kita selama hidup dalam ke-Iman-an. Dan Iman dan amalan yang baik inilah yang nantinya akan memasukkan diri kita ke dalam golongan orang-orang yang benar. Dan orang-orang yang di kehendaki oleh surganya Allah swt.

Dan mudah-mudahan pula Allah akan memasukkan mereka yang “istiqamah” dalam pemahaman ketauhidan kedalam golongan orang-orang yang bertaqwa yang berbalut kain “keikhlasan”. Dan akan berakhir dengan keridhaan Allah dalam menerima kembalinya diri dan jiwa kita kepadaNya.

Sekian..

Tidak ada komentar: