Haruskah kita “njambal” ?
Kelahiran Nabi “Muhammad” pada awalnya mungkin tidak berarti apa-apa bagi masyarakat jahiliyah pada saat itu. Mungkin sama saja dengan anak-anak seusia “beliau” saat itu. Tetapi pada saat tanda kenabian terlihat oleh seorang rahib yang bernama Bahira dan peringatan dari rahib tersebut agar jangan terlalu jauh masuk wilayah Syam, karena di khawatirkan akan ketahuan orang-orang jahudi yang mengetahui tanda-tanda kenabian tersebut akan berbuat jahat padanya. Mulai saat itulah “perhatian” terhadap “beliau” menjadi berbeda, terutama perhatian dari pamannya Abu Thalib.
Kemudian pada saat turun wahyu pertama kali, mulai timbul praduga kepada “beliau”. Beberapa orang diantaranya Waraqah bin Naufal, supupu dari istri “beliau” Khadijah. Seorang penganut agama nasrani yang sudah mengenal Bibel dan sudah pula menterjemahkanya ke dalam bahasa Arab. Waraqah begitu yakin kalau “beliau” adalah Nabi Umat ini. Keyakinan saudara sepupu istri “beliau” ini bermula dari pengalaman penerimaan wahyu oleh malaikat jibril yang diceritakan oleh “beliau” di ka`bah sewaktu selesai melakukan tawaf.
Dan kemudian semakin banyak pula dari keluarga dan beberapa sahabat yang mengakui dan mengikuti ajaran “beliau”. Semakin lama semakin banyak yang mengikuti agama baru ini. Demikian cepat perkembangannya sehingga dalam waktu yang singkat sudah pula tersiar di kota Madinah.
Kira-kira apa penyebabnya ? Kok begitu cepat perkembangannya ?
Disamping kebenaran yang di bawa agama baru ini, tak bisa lepas pula dari perilaku “beliau” yang sopan, lemah lembut, jujur, menghormati yang lebih tua, yang sabar, tidak pernah marah, walaupun disakiti. Bahkan contoh atau teladan yang pada diri “beliau”berpengaruh besar pada perkembangan agama baru ini. Hal itu tak bisa dipungkiri oleh siapapun. “Beliau” adalah ayat Allah yang “berjalan”. Cerminan dari “kebenaran” yang terungkap melalui ayat-ayat yang disampaikan.
Pada periode-periode itu orang boleh dan sah-sah saja memanggilnya dengan hanya menyebut nama “beliau”. Mereka semua keluarga dan teman-teman seumur. Wajar jika mereka “Njambal” dengan memanggil “Muhammad”. Dan “beliau” tidak marah atau memprotesnya. Sikap ini menunjukkan bahwa “nabi” memang bukan manusia yang gila hormat. Lebih mementingkah keberhasilan dakwah ajaran-ajarannya dari pada hanya sekedar meributkan masalah “panggilan”. Itulah pengorbanan bagi sebuah tujuan yang sangat besar. Yaitu “kebenaran” yang hakiki dalam bertauhid. Yang hanya menyembah pada satu Tuhan yaitu Allah swt.
Akan lain halnya jika pada saat itu “nabi” mengharuskan sebuah panggilan penghormatan terhadap dirinya karena “beliau” telah diutus oleh Allah. Mungkin perkembangannya tidak akan secepat itu. Karena apa ? Kesan sombong dan tinggi hati akan muncul. Yang justru akan menghambat laju perkembangan ajaran tauhid. Dan ini tidak dikehendaki oleh Allah.
Tapi pada saat banyak kaum muslimin memanggil “beliau” dengan panggilan “Njambal” dengan hanya memanggil nama “Muhammad”. Lantas diturunkan oleh Allah sebuah ayat :
QS. An Nuur : 63.
لَا تَجْعَلُوا دُعَاءَ الرَّسُولِ بَيْنَكُمْ كَدُعَاءِ بَعْضِكُمْ بَعْضًا ۚ قَدْ يَعْلَمُ اللَّهُ الَّذِينَ يَتَسَلَّلُونَ مِنْكُمْ لِوَاذًا ۚ فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ﴿٦٣﴾
“Laa taj`aluu du`aa`ar rasuuli bainakum kadu`aa`i ba`dhikum ba`dhaa, qad ya`lamullahul ladziina yatasallaluuna minkum liwaadza, falyahdzarilladziina yukhaalifuuna `an amrihi an tushiibahum fitnatun au yushiibahum `adzaabun aliim “.
”Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah telah mengetahui orang-orang yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.”
”Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain).” apakah ayat ini kurang jelas untuk mengharuskan penyebutan untuk memanggil Rasulullah tidak hanya dengan menyebut namanya ?
Apakah kita ini seangkatan dengan Rasulullah saw ? Apakah kita ini sederajat dengan Rasulullah saw ?
Apakah kita ini saudara yang lebih tua dari Rasulullah saw ? Apakah ilmu kita melebihi Rasulullah ? Apakah kita guru dari Rasulullah saw ? Sehingga tidak ada lagi batasan-batasan rasa hormat dengan memanggil seorang utusan Allah swt hanya dengan namanya saja ?
Masih “lumrah” kalau Rasulullah saw itu teman kita atau adik kita atau murid kita atau lebih rendah ilmunya dari kita atau bahkan lebih rendah derajatnya dari kita. Bahkan jika benar demikian keadaannya, boleh saja kita memanggil “beliau” dengan panggilan seenak perut kita sendiri. Walaupun yng demikian itu dilarang oleh Allah.
Apakah setelah turun ayat ini para sahabat memanggil beliau dengan hanya menyebut namanya saja ? Dalam biografi beliau yang saya baca para sahabat memanggil beliau dengan kata “Rasulullah” atau “Hai Nabi Allah”. Apakah panggilan ini pada saat ini tidak cocok lagi ? Sehingga kita yang hidup di saat sekarang hanya memanggilnya dengan namanya saja “Muhammad” ?
Saat ini banyak manusia dengan menggunakan nama Muhammad, tapi sama sekali tidak ada korelasinya dengan perilaku beliau yang demikian santun, penyabar, penyayang kepada umatnya. Sehingga tidak pantaslah kita hanya memanggilnya dengan nama “Muhammad”.
Dalam perilaku kita sehari-hari saja kita begitu menghormati orang lain dengan memanggilnya “Pak atau Bapak” dengan orang tua kita, dengan saudara dari kedua orang tua kita, dengan guru kita di sekolah, dengan dosen kita, dengan guru ngaji kita memanggil pak Uztad atau pak kyai, dengan atasan kita di tempat kerja dengan pejabat dari tinggkat RT sampai ke tingkat yang paling tinggi. Dengan Diponegoro kita memanggil Pangeran yang dalam bahasa jawa artinya pengengeran .Apa maksudnya semua panggilan itu ? Tidak ada lain kecuali Menghormati !
Apakah Rasulullah saw lebih rendah dari mereka semua ? Apakah mereka semua lebih tinggi dari Rasulullah ? Tidak ! Tidak ada dari kita yang lebih tinggi moral dan perilakunya dari Rasulullah saw. tidak ada dari kita yang hatinya sebersih dan sesuci Rasulullah. Hanya kita saja yang tidak bisa menempatkan diri kita, kita tidak tahu posisi kita di hadapan Rasulullah.
Kita berani “Njambal” kepada beliau hanya karena takut dikira “mengkultuskan” atau mendewakan beliau. Kita tidak mendewakan “beliau” karena Rasulullah saw mengajarkan untuk bertauhid hanya kepada Allah. Kita mengatakan bahwa beliau adalah “junjungan kita”, tetapi kita menyebutnya atau memanggilnya tak lebih hormat dari Pak De kita, Pak Lik kita, Pak Guru kita, Atasan kita, Pak RT kita Pak RW, Pak Lurah dan semuanya saja.
Kenapa kita mengatakan sebagai “junjungan kita” kalau menempatkan beliau lebih tinggi dari kita saja kita tidak “sudi”. Kalau perintah Allah untuk jangan memanggil dengan panggilan seperti kita memanggil teman kita saja kita berani melanggarnya, lantas perintah siapa yang akan kita turut ? Ya, kalau Rasulullah saw mungkin nggak akan pernah untuk mengatakan : Panggilah aku dengan panggilan Pak atau Bapak atau Baginda atau Sayyid-ina, ya nggak mungkin lah !
Tetapi ya kita yang mestinya bisa memahaminya dengan menempatkan beliau lebih tinggi derajatnya dari orang-orang di sekitar kita yang kenyataanya banyak dosa dan banyak berbuat zhalim. Allah tidak pernah menyebut dalam Al Qur`an hanya dengan sebutan “Muhammad” seperti menyebut nabi yang lain. Tetapi Allah menyebut dengan “Hai Utusanku atau “Hai nabi”.
Dengan menyebut beliau dengan sebutan yang mengisyaratkan tingginya kedudukan beliau di mata manusia bahkan di mata Allah swt, Mudah-mudahan kita nantinya tidak dimasukkan ke dalam golongan orang-orang yang “kuwalat” seperti kata orang jawa.
Abu Nuaim di dalam kitab Dala'il mengetengahkan sebuah hadis melalui jalur Dhshhak yang bersumber dari Ibnu Abbas r.a. Ibnu Abbas r.a. menceritakan, bahwa kaum Muslimin mengatakan, "Hai Muhammad! Hai Abul Qasim!", maka Allah menurunkan firman-Nya, "Janganlah kalian jadikan panggilan Rasul di antara kalian seperti panggilan sebagian kalian kepada sebagian yang lain." (Q.S. An Nur, 63). Setelah itu mereka memanggilnya, "Hai Nabi Allah! Hai Rasulullah!".
Sekian.
Minggu, 14 Maret 2010
Menghormati Rasulullah saw.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar