Minggu, 09 Mei 2010

Benciku sedalam Lautan.

Benciku sedalam lautan.

“Rasa” yang selalu menyertai pikiran kita mempunyai pengaruh yang dominan terhadap keputusan hati. Perasaan “sayang” kita terhadap sesama tak ubahnya seperti sebuah “pengakuan” terhadap hak hidup atau keberadaan orang lain di atas bumi ini. Maka perasaan “sayang” inipun hanya terbatas pada seseorang yang kita kenal. Baik itu saudara dekat atau saudara jauh. Teman dekat atau teman yang jauh. Atau hanya sekedar pernah berkenalan atau pernah “melihat” orang tersebut.

Kata sayang disini lebih bermakna “sedikit peduli” karena sama-sama makhluk Allah. Bisa juga bermakna “ngeman” (jawa) karena sama-sama manusia. Bukan pengertian sayang-nya orangtua kepada anak atau sebaliknya. Sayang-nya kakak terhadap adik atau sebaliknya. Sayang-nya seseorang dengan pacarnya. Sayangnya suami terhadap istrinya atau sebaliknya. Karena kata sayang disini tidak dikarenakan “milik” atau rasa “ingin” memiliki.

Kepada mereka yang belum kita kenal, kita lebih banyak untuk “tidak” merasa sayang. Sebuah ungkapan “Tak kenal maka tak sayang” memang benar-benar sebuah “kenyataan”. Hanya orang-orang yang kita kenal sajalah yang akan kita sayang. Marilah coba sedikit mengingat tingkah laku kita.

Jika bertemu dengan seseorang yang belum kita kenal, belum ada sedikitpun rasa “sayang” dalam hati kita. Hati akan menolak sebelum ada interaksi antara kita dengan orang “baru” tersebut. Rasa “sayang” akan mulai timbul jika kita melihat sedikit senyum yang tersimpul. Atau sekedar anggukan sebagai pertanda kita adalah makhluk yang “se-species”.

Rasa “sayang” seperti ini tidak ada batasan waktunya. Bisa berlanjut sayang atau berhenti dengan tiba-tiba. Penyebab “keputusan hati” ini adalah informasi yang masuk ke dalam kalbu kita. Kualitas informasi berupa “kesan” yang bernilai “positif” atau “negatif” akan sangat mempengaruhi keputusan hati untuk menerima atau tidak menerima orang baru tersebut masuk dalam kelompok orang-orang yang kita sayangi.

Jika kesan positif yang masuk, orang tersebut akan masuk kedalam kelompok yang kita “sayang”. Dan orang-orang yang masuk dalam kelompok ini bisa dan mudah berbalik menjadi orang-orang yang kita “benci”. Kenapa ? Mungkin karena interaksi yang sudah terjalin telah tergores. Goresan yang terjadi, walau cuma goresan kecil tapi tetap menyebabkan luka. Sebuah luka yang menyebabkan kata “benci” dalam hati muncul ke permukaan.

Kebencian yang terjadi dalam kelompok ini biasanya tidak berakibat yang sangat fatal. Hanya rasa ingin menjauh dan ber “ikrar” untuk tidak akan lagi berhubungan dekat. Karena belum adanya jalinan kasih. Ini bisa terjadi antara laki-perempuan, sesama perempuan atau sesama laki-laki. Jalinan kasih disini adalah keinginan untuk menjalin hubungan lebih erat seperti persahabatan. Pada fase ini seseorang akan berbagi dalam beberapa hal. Misalkan berbagi makanan atau “curhat” untuk permasalahan yang bersifat pribadi.

“Kasih” dan “sayang” bisa terjalin menjadi “kasih sayang” kalau interaksi kita dan seseorang menemukan sebuah kecocokan dalam beberapa hal. Dan inilah yang disebut persahabatan. Perasaan memberi dan menerima sudah ikut serta dalam fase ini. Tetapi kondisi seperti inipun belumlah aman. Pemeliharaan persahabatan yang salah, bisa menyebabkan timbulnya rasa “kebencian” yang lebih dalam daripada hanya sekedar sayang dari sebuah perkenalan.

Kata “melaut benciku” bisa timbul apabila kita tidak bisa menjaga perasaan sahabat kita. Hanya karena sesuatu hal yang sepele, kita menaikkan “suhu” emosi pada posisi “top” atau puncak. Sehingga kata-kata yang keluar dari mulut sudah tidak bisa lagi terkontrol oleh alam kesadaran kita. Dengan tiba-tiba sifat-sifat setan atau iblis menghiasi pikiran dan bibir kita. Kata-kata pedas saling terlontar hanya karena kita tidak ingin berada posisi yang “bersalah”. Rasa ingin “menghancurkan” mengakibatkan kata pedas dan kotor menjelma menjadi senjata yang “mematikan”.

Jika setan atau iblis yang menyertai masih belum merasa puas, per-cekcok-an bisa berlanjut pada “perkelahian” fisik. Pada diri perempuan bisa saling “menjambak” atau menampar. Kadang juga saling menarik kain atau pakaian hingga robek. Dan orang-orang disekitarnya akan berusaha melerai sambil menikmati. Tapi usaha melerai yang berpihak justru akan memperkeruh suasana. Dan setan akan semakin menari-nari karena mereka yang terlibat pertikaian semakin banyak.

Jika masing-masing diri belum mendapatkan “kesadaran”nya. Suasana akan semakin kacau. Para laki-laki akan terpancing untuk ikut dan masuk dalam pertikaian yang sedang berlangsung. Selama belum ada seseorang tampil sebagai penengah yang “adil”, selama itu pula mereka yang terlibat cenderung berpihak. Tidak jarang pula terjadi, “pertempuran” dilanjutkan laki-laki yang tadinya berusaha untuk melerai. Dan jika tidak segera berhenti, bisa dipastikan arena akan berubah menjadi pertempuran yang lebih hebat. Yang mungkin juga tidak terkendali.

Jika suasana sudah sampai pada titik puncak emosional. Tidak ada yang bisa menghentikan kecuali hanya “kesadaran”. Hanya kesadaran diri yang bisa menghentikan sebuah pertikaian. Jika pertikaian berhenti tanpa ada penyelesaian atau kesepakatan apapun, sebuah pertikaian akan berubah menjadi sebuah “permusuhan”. Karena sebuah pertikaian yang tidak tuntas dalam penyelesaian akan menimbulkan sebuah kata milik setan melenggang masuk dalam hati kita. Yaitu kata “dendam”.

“Dendam” akan tertanam dalam hati. Dan akan selalu menyertai sebuah “permusuhan”. Agar permusuhan menjadi lebih “sempurna” dendam mengajak seorang teman yang berinisial “balas”. Keduanya merupakan pasangan yang sangat serasi karena telah menjalin kerjasama begitu lama. Selama umur manusia dimuka bumi. Pada situasi ini setan atau iblis akan sedikit bersabar sambil sekali-sekali membisikkan kata-kata yang membangkitkan semangat “balas dendam”. Mereka menunggu saat yang tepat untuk menyiram bara yang bersemanyam di dada dengan “minyak neraka”.

Itulah sebuah gambaran akibat sebuah pertikaian yang terjadi “hanya” karena kesalahan dalam memelihara sebuah persahabatan. Kebencian yang tersimpan seharusnya sedikit demi sedikit akan terkikis dengan rasa “kasih sayang” yang tumbuh dari sebuah persahabatan. Tapi pengendalian diri terhadap emosi yang terabaikan akan dapat menjadi penyulut sebuah pertikaian kecil yang bisa menjadi demikian dalam dan besar.

Yang tidak kita sadari adalah usaha setan atau iblis yang selalu ingin membuat manusia selalu dalam pertikaian. Sebuah kata “Sesama muslim adalah saudara” telah melekatkan persatuan antara orang-orang beriman dalam Islam. Tetapi setan dan iblis telah tergelitik oleh kata ini. Mereka ingin membuktikan bahwa kata-kata itu tidak akan berlaku di kalangan kebanyakan manusia. Tidak juga orang beriman dalam Islam.

Mereka bekerja dengan semangat tinggi untuk membuktikan bahwa manusia lebih banyak yang mengikuti langkah setan dari pada jalan Allah. Mereka berkelana ke semua penjuru bumi sambil menebar “bibit-bibit” kebencian. Sambil sekali-sekali berbisik untuk keluar dari Iman, setan meraih banyak sukses dalam memasarkan “bibit” kebencian pada tiap diri manusia.

Kebencian yang timbul bukan hanya terbatas seperti gambaran dua orang yang menjalin sebuah persahabatan atau sekedar hanya kenalan. Tetapi kebencian juga bisa dengan mudah muncul pada diri dua orang yang bersaudara. Antara anak dan orang tua kadang bisa timbul rasa benci melebihi kebencian kita terhadap orang lain yang tidak ada hubungan kerabat sama sekali.

Dua saudara kandung yang saling membenci banyak kita temui di lingkungan tempat tinggal kita. Penyebab utamanya kebanyakan adalah rasa iri hati yang bersifat kebendaan atau keduniaan. Yang menyebabkan keduanya hanya terlihat sebagai saudara, tapi sebenarnya menyimpan sebuah rasa saling membenci. Jika berkumpul seakan sebuah keluarga yang harmonis. Tapi jika sudah terpisah tak ada perasaan lain kecuali sebuah rasa “benci”

Sedangkan kebencian yang muncul antara orang tua dan anak biasanya di picu oleh curahan kasih sayang yang berbeda antara satu anak dengan anak yang lainnya. Banyak juga karena ingin menguasai harta benda yang masih dimiliki oleh orang tua. Bisa juga di picu karena keyakinan dan tingkah laku yang tidak sesuai dengan keinginan kita. Misalnya anak yang “durhaka” atau orang tua yang berperilaku menyimpang dari seharusnya. Misalnya, pemabok, penjudi atau suka “daun” dan “kambing” muda.

Lain lagi akibatnya kalau setan melumuri “kasih sayang” antara dua orang yang sedang memadu cinta dengan bibit kebencian. Akibat yang timbul bisa menyebabkan ke-putus asa-an salah satu dari keduanya. Tidak jarang juga berakibat stress yang berkepanjangan. Dan sering pula timbul rasa keinginan untuk mengakhiri hidup dengan jalan pintas alias bunuh diri. Jika benar-benar bunuh diri berarti kinerja setan benar-benar sukses. Karena bisikannya telah berhasil mempengaruhi keputusan hati manusia.

Banyak sekali bibit-bibit penyulut “api” kebencian yang ditebarkan oleh setan dan teman-temannya. Hanya kita jarang sekali menyadari kalau setiap “konflik” yang terjadi selalu ditunggangi oleh setan. Kebanyakan dari kita justru hanyut terbawa oleh buaian dan tarian setan. Sepertinya kita tak mempunyai daya atau kekuatan untuk melawan atau menangkalnya. Bahkan banyak pula diantara kita yang justru menikmati tarian setan. Sehingga secara sukarela menyediakan diri menjadi pengikut-pengikutnya yang setia.

Kebencian yang muncul dari dalam hati kita lebih banyak berakibat negatif. Baik bagi diri kita maupun bagi orang lain yang kita benci. Rasa benci kadang tidak lagi menghiraukan akal atau rasio. Emosi yang tinggi kadang menyebabkan keluarnya kata-kata yang seharusnya tidak sampai terucap. Dalam situasi normal orang tidak akan mengeluarkan kata-kata sumpah dalam konotasi negatif. Tapi dalam situasi yang diliputi oleh setan seseorang bisa bersumpah dalam konotasi yang sangat-sangat negatif.

Ada yang bersumpah untuk tidak akan mengajak bicara selama-lamanya. Ada yang bersumpah untuk tidak menginjakkan kakinya di rumah orang yang mereka benci untuk selama-lamanya. Jika berpapasan di jalan membuang muka. Jika tiba urutan untuk berjabat tangan dalam suatu majelis melewatinya untuk kemudian berjabat tangan dengan orang lain.

Kita tidak pernah tahu kalau Islam melalui nabinya mengatakan, “Tidak halal seorang muslim, memutuskan hubungan dengan saudaranya (sesama muslim) lebih dari tiga hari, barang siapa memutuskan lebih dari tiga hari dan meninggal maka ia masuk neraka”.

Di riwayat yang lain Rasulullah mengatakan, “Barang siapa memutus hubungan dengan saudaranya selama setahun, maka ia seperti mengalirkan darahnya (membunuhnya)”. Dan Allahpun menolak memberikan ampunan kepada mereka yang saling bermusuhan seperti diriwayatkan di bawah ini :

“Semua amal manusia diperlihatkan (kepada Allah) pada setiap jum`at (setiap pekan) dua kali ; hari senin dan hari kamis. Maka setiap hamba yang beriman diampuni (dosanya), kecuali hamba yang diantara dirinya dengan saudaranya ada permusuhan. Difirmankan kepada malaikat : “Tinggalkanlah atau tangguhkanlah (pengampunan untuk) dua orang ini sehingga keduanya kembali berdamai”.

Maka, camkanlah hadist tersebut. Agar kita tidak mendapatkan kesulitan kelak di hari kiamat. Tebarkanlah rasa kasih sayang atau kepedulian kita terhadap sesama dengan dibarengi rasa “ingin” memberikan sesuatu yang berguna bagi mereka yang membutuhkan. Tumbuhkan juga rasa ingin mengayomi, melindungi dan memberdayakan orang lain dari kelumpuhan akibat kebodohan, kemiskinan dan ke-tidakpaham-an akan sesuatu hal, terutama dalam masalah ketauhidan.

Sekian.

Tidak ada komentar: