Kamis, 20 Mei 2010

Melambungkan Cita-cita.

Melambungkan cita-cita.

Gantungkan cita-citamu setinggi langit !
Ingat kata-kata diatas ? Sebuah kalimat pembakar semangat. Biasanya ditanamkan sejak anak-anak sampai mendekati usia remaja. Untuk apa ? Untuk memberikan motivasi kepada setiap anak agar bersemangat dalam belajar. Karena sebuah cita-cita mempunyai korelasi dengan “keberhasilan”. Dan sebuah keberhasilan akan sulit dicapai hanya dengan bermalas-malasan. Harus ada semangat yang tinggi untuk meraihnya.

Cita-cita berbeda dengan keinginan. Pada “diri” cita-cita ada sebuah keinginan, sedangkan pada sebuah keinginan belum tentu ada cita-cita. Cita-cita adalah sebuah obsesi. Obsesi adalah sebuah keinginan. Jadi cita-cita adalah sebuah keinginan paling tinggi dan paling akhir dari seseorang yang ingin diwujudkan sampai batasan umur tertentu. Sedangkan “keinginan” lebih banyak digunakan pada kebutuhan jangka pendek. Yang kebanyakan bisa dipenuhi saat itu juga atau dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Masalahnya adalah sebuah cita-cita kadang ditetapkan sebelum seorang anak bisa mengukur kemampuannya. Baik kemampuan inteligensi maupun finansial pendukungnya. Dalam istilah lain cita-cita ditetapkan secara tidak proporsional, karena itulah kadang sebuah cita-cita sering tidak terwujud. Dan sering berubah ditengah jalan. Hal ini disebabkan, dalam menetapkan cita-cita seseorang banyak mengabaikan faktor-faktor pendukung terwujudnya keinginan itu sendiri. Misalnya inteligensi, bakat, kondisi fisik, finansial dan lain-lain.

Sedangkan pada sebuah obsesi penetapannya lebih proporsional. Dimana seseorang mempunyai keinginan pada saat dia sudah bisa memprediksi bisa mewujudkannya. Seperti seseorang yang berusaha untuk mewujudkan keinginan mendirikan sebuah usaha restoran atau usaha home industri. Pada awalnya mungkin hal tersebut tidak pernah terpikirkan. Tetapi sejalan dengan waktu dan pengalaman, seseorang bisa membelokkan sebuah angan jadi seorang dokter pada keinginan menjadi seorang pengusaha.

Sebuah cita-cita biasanya dihubungkan erat dengan keberhasilan kehidupan dunia. Sebuah “impian' atau keinginan untuk sebuah martabat atau harga diri di hadapan manusia lain. Sangat erat hubungannya dengan pembentukan dan penempatan diri dan keluarga di masyarakat. Pada umumnya juga sebuah penetapan cita-cita tidak dihubungkan dengan Iman. Entah hanya sekedar “guyon” apa melatih kemampuan anak, yang jelas profesi favorit anak adalah dokter, insinyur, presiden atau apa sajalah.

Walaupun ada, tapi sangat jarang sekali yang menjawab jadi seorang “ustadz” atau seorang “Kyai” atau bahkan jadi seorang “modin”. Karena apa ? Karena kebanyakan dari kita menginginkan anak-anak kita nanti jadi seorang yang berhasil dalam kehidupan dunia. Urusan agama atau Iman urusan belakangan. Agama bisa dipelajari secara sambilan. Asal sudah bisa membaca Al Qur`an saja sudah bagus.

Agama dalam pikiran orang tua kepada anaknya adalah “ngaji” membaca Al Qur`an dan nilai-nilai “baik” pada rapot di sekolah. Masalah ke-Iman-an menjadi sesuatu yang terabaikan. Apa yang didapat di tempat “ngaji” dan di sekolah sudah cukup bagi anak. Tetapi untuk mewujudkan sebuah “cita-cita” orang tua kadang sampai begitu “sangat” peduli. Sehingga akan mengusahakan tambahan pelajaran di luar sekolah, meski dengan konsekwensi keluar banyak biaya.

Begitulah, kepintaran atau kecerdasan anak selalu menjadi prioritas utama. Karena anak yang pandai dan berprestasi pasti akan membuat kita bangga. Bisa mengangkat martabat orang tua dan bisa menjamin masa depan dunianya. Sedangkan untuk agama, asal sudah bisa “shalat” dan melakukannya, sudahlah cukup. Walaupun shalatnya banyak “lubang” disana-sini dan terkesan asal shalat.

Mengapa bisa terjadi seperti ini ?

Karena secara umum manusia lebih cenderung kepada sesuatu yang bersifat keduniaan. Juga karena ketidak pedulian manusia pada kehidupan akhirat. Jujur saja, bagi sebagian besar manusia, akhirat adalah sesuatu yang meragukan. Belum teryakini secara mendalam. Kalaupun ada yang mengatakan “yakin kebenarannya” hal itu adalah sebuah keraguan yang “nyata” . Karena secara umum sudah terlihat di masyarakat kemana manusia banyak “cenderung”.

Bagi orang-orang yang benar-benar yakin kehidupan akhirat, niscaya dia akan memperjuangkannya dengan sungguh-sungguh. Dengan memberikan banyak perhatian kepada ilmu agama atau setidaknya memberikan porsi yang seimbang dalam memperjuangkannya. Tidak pincang seperti saat-saat sekarang. Dimana ilmu dunia diusahakan dengan pengorbanan materi yang “unlimited” dan ilmu agama diusahakan secara “terbatas” sekali.

Orang tua yang benar-benar beriman pasti peduli dengan masa depan Iman anak-anaknya. Jika orang tua mempunyai kemampuan ilmu agama anak akan lebih mudah belajar dari keduanya di “rumah”. Tetapi jika orang tua sadar akan kemampuan agamanya yang terbatas, mereka akan berusaha untuk mencarikan dimana anaknya harus belajar ilmu agama. Sehingga akan terjadi keseimbangan antara ilmu umum dan pengetahuan agama.

Manusia menyakini bahwa dirinya akan “mati”. Dan kita juga yakin bahwa kita akan menghadapi sebuah pengadilan. Sebuah penghisaban atas segala amal perbuatan kita. Kita yakin bahwa tingkah laku kita di dunia saat inilah yang akan kita pertaruhkan untuk akhirat kita kelak. Tetapi pada saat hidup di dunia kita menunda-nunda untuk sebuah kata “Taubatan Nasuuha”. Kebanyakan dari kita menyadari pentingnya taubat dan ibadah pada saat-saat kita tak berdaya. Pada saat-saat kita kehilangan banyak kemampuan untuk beraktifitas secara normal.

Disaat itulah kita baru sadar akan pentingnya mempertebal Iman. Dan kita melihat anak-anak kita dimasa mudanya tak jauh dengan masa muda kita. Tak paham agama, tak bisa berdoa untuk kedua orang tuanya. Yang dipikirkan dan banyak dikejar hanya kehidupan dunia. Bahkan perhatian anak kepada orang tua tak kita dapatkan disaat-saat kita membutuhkannya. Karena apa ? Karena kepedulian kita pada Iman dan masa depan Iman anak-anak kita sangat “terbatas”. Tidak sebanding dengan usaha kita dalam meraih kehidupan dunianya.

Sebuah cita-cita untuk meraih kesuksesan dunia adalah sesuatu yang baik. Cuma kita banyak yang lupa menambahkan dalam cita-cita tersebut sebuah bentuk cita-cita yang lain. Yang akan berfungsi sebagai penyeimbang cita-cita yang pertama. Kenapa harus dua ? Ya memang segala sesuatu harus berpasangan. Kalau tidak, hampir bisa dipastikan kegunaannya sangat terbatas atau tidak maksimal. Seperti sebuah baut, jika tanpa mur baut tidak akan banyak berguna.

Demikian juga cita-cita. Jika hanya terpancang pada hal yang bersifat duniawi saja, kelak juga tidak akan banyak berguna. Karena kesuksesan dunia berupa banyaknya materi tidak akan bisa digunakan untuk menebus sebuah ampunan dari hukuman yang akan dijatuhkan. Yang dibutuhkan saat itu adalah modal keimanan dan bukti perbuatan yang baik selama hidup.

Maka dari itu marilah kita sama-sama untuk merekonstruksi lagi tujuan kita, cita-cita kita. Selagi belum terlambat, marilah kita berbuat sesuatu untuk diri kita dan untuk anak-anak kita serta orang-orang di dekat kita. Dengan cara saling mengingatkan tentang tujuan hidup sebenarnya dari Allah. Bahwa kehidupan kita ini bukan hanya untuk saat sekarang saja. Masih ada sebuah kehidupan yang lain yang keberadaanya sudah pasti tapi kita masih meragukannya bahkan mengabaikannya.

Keyakinan akan kehidupan yang lain itulah yang justru harus kita bangun mulai saat ini. Tidak ada kata terlambat untuk sebuah tujuan yang baik. Sebuah perubahan diri yang terlambat masih lebih baik dari pada terus menerus menenggelamkan diri dalam kebodohan agama. Agama ada karena kehidupan manusia yang kacau. Baik secara personal maupun secara komunitas. Agama mengatur kehidupan manusia agar tidak kacau. Bukan kacau dalam arti tatanan bermasyarakat saja, tetapi agar pikiran manusia tidak kacau dalam menentukan sebuah jalan hidupnya.

Agar manusia tidak selalu hidup dalam keraguan tentang kebenaran akhirat. Agama memberikan penjelasan secara rinci tentang kehidupan dunia maupun akhirat. Bagaimana harus hidup dan bagaimana harus berbuat. Agar terjadi keseimbangan dalam diri pribadi dalam keluarga dan dalam masyarakat. Keseimbangan yang dimaksud adalah keseimbangan dalam hal spiritual dan material. Sebuah keyakinan atau iman yang kuat, akan menjadi sebuah landasan dalam melakukan suatu perbuatan. Sehingga setiap kaki melangkah kita masih berada pada jalur-jalur yang telah di tentukan oleh Allah dan Rasulnya.

Antara dunia dan akhirat itu di pisahkan oleh sebuah peristiwa yang setiap orang pasti akan mengalaminya, yaitu sebuah “kematian”. Dalam sebuah kematian menempel sebuah predikat. Sebuah predikat kematian yang bisa dijadikan tolok ukur sebuah keimanan dan amal shalih. Hanya kita tidak ada yang tahu mana sebuah kematian yang baik dan mana sebuah kematian yang buruk.

QS. Ali Imran : 185.

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۖ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ ۗ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ﴿١٨٥﴾
“kullun nafsin dzaa`iqatul mauti, wa innamaa tuwafauna ujuurakum yaumal qiyaamati. Faman zuhziha `anin naari wa udkhilal jannata faqad faaza, wa maal hayaatudunyaa `illa mataa`ul ghuruuri”.

”Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan”.

Kematian dengan membawa bekal iman dan amal shalih adalah sebuah kematian yang “Khusnul Khatimah” dan kematian dengan membawa bekal banyak perbuatan buruk adalah sebuah kematian yang “Su`ul Khatimah”. Untuk itu, marilah kita tambahkan dalam setiap keinginan jangka panjang kita dengan sebuah harapan bahwa kelak kita akan mati dengan membawa iman dan amalan yang shalih.

Dan yang tetap harus di sadari adalah bahwa sebuah keinginan hanya akan menjadi sebuah keinginan. Tanpa adanya usaha untuk meraih, keinginan bisa diibaratkan seperti sebuah hadiah atau pahala yang tergantung di atas pohon “pinang”. Yang menjadi incaran banyak manusia di bawahnya. Ada yang berusaha untuk meraihnya secara sendiri-sendiri. Tapi banyak pula dari mereka yang tidak berhasil karena “licin”nya jalan di permukaan batangnya.

Pada akhirnya hadiah atau sebuah balasan yang ada di ketinggian pohon pinang bisa diraih dengan cara saling bergotong royong diantara pesertanya. Demikian juga kita jika kita tidak mampu untuk meraih sesuatu yang kita anggap sulit atau tidak mungkin dalam meraihnya, hendaknya kita juga berusaha untuk mencari ilmunya pada orang-orang yang mempunyai kompetensi dalam hal tersebut.

Jika yang kita cari adalah ilmu untuk menambah kekuatan Iman, ya kita harus mencari seorang Ustadz atau banyak mengikuti pengajian2 yang di laksanakan di banyak masjid di setiap kota di Indonesia. Di majelis tersebut kita akan banyak mendapat teman dengan tujuan yang sama dengan kita. Dengan begitu kita bisa belajar bersama-sama dan bisa saling berbagi pengetahuan agama.

Kemudian untuk anak-anak kita , hendaknya kita lebih perduli dengan pengetahuan agama mereka. Jangan hanya mengejar prestasi untuk pelajaran sekolahnya saja. Pelajaran akhlak tidak kalah pentingnya dengan semua prestasi di sekolah. Alangkah lebih baik kalau prestasi di sekolah di imbangi dengan pengetahuan tentang agama yang mencukupi. Sehingga ada keseimbangan antara ilmu dunia dan ilmu akhirat.

Dan yang demikian itu akan sangat banyak membantu anak-anak kita kelak setelah dewasa dan pada saat kita sudah sampai pada usia lanjut. Sebab apabila sejak anak-anak sampai dewasa hati mereka telah terbungkus oleh iman, niscaya mereka akan tahu bagaimana harus memperlakukan orang tua. Niscaya mereka juga tahu bagaimana memperlakukan anak-anaknya, saudara-saudaranya, tetangganya dan anak-anak yatim piatu yang membutuhkan banyak uluran tangannya.

Sekian.

Tidak ada komentar: