Aku mulai berpikir ketika aku mulai bisa berpikir. Tapi yang kupikirkan hanyalah sebatas sesuatu yang tampak di kedua bola mataku. Seberkas wajah yang begitu mempesona dengan balutan warna tulang telah membuatku ekstase. Tak sedetikpun waktu berlalu tanpa senyumnya. Kadang bibirku tersenyum tanpa didahului kata. Di kesendirian kutumpahkan semua kata-kata indah. Kutuang dalam lembaran-lembaran berwarna, lalu kubingkai dengan bunga-bunga yang indah.
Saat-saat berlalu tanpa sentuhan. Jauh dari jangkauan jari jemariku. Hanya pandangan mata yang berucap mesra. Menuangkan isi hati dan pikiran yang penuh dengan khayal dan angan. Menceritakan kata hati yang tak sanggup kuucapkan dengan lisan. Betapa indah hidup ini. Serasa di awang-awang. Senyumnya membuat pikiranku lelap. Tak bisa berpikir yang lain kecuali wajahnya, bola matanya, rambut di keningnya dan gemulai langkahnya.
Kulalui waktu demi waktu tanpa ingat kepadaMu yaa... Allah.
Malam berselimut bintang. Ketika hening itu mulai sedikit mencekam, aku mulai tersadar. Aku sendirian ditengah malam. Aku tak punya apa-apa. Aku tak punya siapa-siapa. Aku tak punya dunia. Yang akan bisa menahan batang tubuhku. Yang bisa membawa langkah kedua kakiku. Menuju sebuah pintu gerbang pengikat dua hati yang sebelumnya berserakan. Aku mulai berfikir lagi. Berfikir untuk mencari duniaku. Tapi aku tak pernah tahu, dari mana aku harus memulai.
Kulalui waktu demi waktu tanpa ingat kepadaMu yaa... Allah.
Kucari duniaku dengan berbekal segenggam tanah. Berjalan tanpa arah bagai debu yang berterbangan. Kugenggam tanah yang lain. Untuk kupadu dengan tanah di genggaman tangan yang lain. Tapi apa yang kutemukan ? Tanah di genggamanku yang lalu telah sirna. Tak berbekas. Aku tak tahu kemana perginya. Dengan lunglai kulangkahkan lagi kakiku mencari dunia yang lain. Ketika sampai tangan kananku menggapai, genggaman di tangan kirikupun telah sirna. Begitu selalu. Semakin tak kumengerti apa yang sedang terjadi.
Tanpa sadar, aku telah sampai di pintu gerbang perjalanan hidupku. Dengan segala keterbatasan dunia yang kumiliki aku meniti tangga. Kutemui sebuah jembatan diatas sungai yang kering, tanpa aliran air. Yang ada hanyalah rumput-rumput kecil sisa makan sekumpulan kambing. Kujalani mimpi hidupku bersamanya. Senang, susah berbaur menjadi satu dalam sebuah kesederhanaan hidup. Satu demi satu buah hatiku datang. Menjadikan hidupku lebih berwarna. Perlahan kurasakan nikmat kehidupan. Semakin hari semakin terasakan nikmatnya. Tak terasa begitu mudahnya semuanya kuraih.
Lalu datang sekumpulan setan yang menawarkan berbagai kenikmatan dunia. Dengan bujuk rayunya yang demikian memikat, membuat hanyut sedikit demi sedikit keyakinan yang baru terajut. Tanpa sadar kuikuti langkah-langkahnya. Kuturuti kata-katanya. Kuikuti saran-sarannya. Lalu kuterjuni dunianya.
Kulalui waktu demi waktu tanpa ingat kepadaMu yaa...Allah.
Tanah dalam genggamanku tak lagi mudah sirna. Bahkan telah datang pula genggaman tanah dari tangan yang lain. Kunikmati hidupku dengan senyum dan tawa. Kumanjakan bunga di sebelahku, kumanjakan pula buah-buah hatiku. Kuturuti nafsu duniaku seperti aku tak pernah memilikinya. Kubiarkan diriku larut dalam manisnya dunia. Kubiarkan bunga dan buah hatiku menikmati dengan seleranya. Kakiku semakin kuat melangkah. Tak lagi rapuh seperti dulu. Lelah seakan menjauh. Berganti dengan kekuatan yang entah dari mana datangnya.
Dunia semakin indah dalam pandanganku. Kugapai apa yang bisa kugapai. Kuraih apa yang bisa kuraih. Tak perduli lagi dengan tangan yang mana aku memperolehnya. Mataku tertutup. Tak bisa melihat lagi kenyataan hidup yang sebenarnya. Leherku bahkan terkunci. Tak bisa lagi kupalingkan kearah yang lain. Tanganku begitu aktif, kakiku begitu lincah. Kubiarkan dia melangkah tanpa arah, asal tidak mengganggu kesenangan hatiku. Tak ku hiraukan bunga dan buah hatiku, kutinggalkan larut dalam kesenangan hidup yang nyata. Yang sebenarnya semu belaka.
Kubiarkan bungaku sendirian, kulepaskan buah hatiku di bebasnya alam. Sendirian kurajut benih-benih dosa. Kubeli kemaksiatan ditiap malam, bersama sekumpulan burung-burung hantu. Yang tak pernah lepas melayangkan pandangannya yang tajam. Yang siap memangsa siapa saja yang datang, untuk menjadi korban biadabnya nafsu. Tak ada waktu tanpa rajutan dosa. Semakin jauh aku melangkah semakin banyak jurang ku temui. Tak peduli lagi dimana letak kebenaran. Semua sudah terbungkus dan terbingkai dengan keindahan lukisan setan.
Kulalui waktu demi waktu tanpa ingat kepadaMu yaa...Allah.
Tanpa sadar aku telah meninggalkan bunga dan buah hatiku di kejauhan. Tanpa sadar pula aku telah membawa mereka masuk dalam kegelapan. Tanpa sadar aku berenang dalam laut yang memabukkan. Tanpa sadar pula begitu banyak racun dunia yang sudah aku telan. Kesombongan telah melekat erat di sikapku. Ketidak pedulian telah pula menghiasi sifatku. Semakin jauh aku melangkah semakin jauh pula aku meninggalkanNya.
Begitu indah terbuai mimpi ditiap malam yang kulalui, menyebabkan aku selalu merindukan saat tidurku. Kunikmati lelapnya malam dalam sebuah fantasi dunia. Membuatku tak lagi merasakan putaran waktu. Makin lama makin terasa, bahwa waktu akan menelan semuanya. Semua yang pernah ada dan pernah singgah di bola mata, lambat laun tak terdengar lagi bisikan-bisikannya. Adakah semua akan sirna ? Meninggalkan aku sendirian seperti semula ?
Perlahan kakiku mulai bergetar. Tak lagi bisa berdiri tegak. Pandangan mataku mulai suram. Tak lagi jelas apa yang sedang kuperhatikan. Kurasakan dunia mulai gelap. Keperhatikan wajahku di cermin. Seakan bukan diriku. Seakan telah lenyap wajah yang selalu kubangga-banggakan selama ini. Kemana? Kemana semua yang pernah kumiliki selama ini ? Bunga satu-satunya milikku juga tak jauh berbeda. Lemah, layu, rapuh, tak berdaya. Buah hatikupun telah tumbuh jauh dari jangkauan.
Kulalui waktu demi waktu tanpa ingat kepadaMu yaa...Allah.
Kepalaku tersentak. Kulihat seberkas sinar menyambar di depan mata. Membuatku takut. Takut yang amat sangat. Tiba-tiba mataku basah, keringat dingin mulai terasa mengalir di pori-pori kulitku. Membuatku semakin takut. Takut kalau-kalau kematian segera datang menjemput. Kubuka mataku sejenak untuk memastikan bahwa semuanya telah berlalu. Kuangkat tubuhku. Berat. Seberat beban yang saat ini berada di punggungku. Dosa-dosa yang begitu banyak. Bagai bongkahan batu membentuk gunung.
Perlahan kulangkahkan kaki keluar kamar. Tak terlihat seorangpun berada di sana. Kulangkahkan kakiku lagi lebih jauh keluar. Hening. Tak terdengar apapun. Perlahan aku bersimpuh di atas rumput. Berat. Nafasku begitu berat. Dengan cemas kutunggu datangnya mentari. Lama kutunggu sendirian. Selimut malam yang dingin tak lagi ku hiraukan. Samar-samar terdengar suara burung. Semakin lama semakin dekat dan semakin jelas terdengar. Gemetar aku mendengarnya. Kututup telinga rapat-rapat. Tapi burung itu tak mau segera pergi. Terus berputar di atas atap gubuk reotku.
Beberapa saat kemudian hening kembali datang. Lalu disusul suara adzan dari surau kecil di ujung jalan. Ya,.. aku masih ingat suara itu. Suara yang tidak asing di masa kecilku. Tak terasa lagi air mataku mengalir deras. Aku menangis. Menangis keras di keheningan subuh. Mengakibatkan sedikit kegaduhan di suasana desa yang sunyi. Beberapa saat kemudian terdengar suara menyebut-nyebut sebuah nama. Sebuah nama yang pernah begitu akrab di telingaku.
“Pak Parto,.......Pak Parto,.......hidup !....... Pak Parto hidup lagiiiiiiiii,........” . Semakin lama semakin jelas dan semakin banyak suara berdatangan ke gubuk reotku. Tangisku belum berhenti. Sementara semakin banyak orang berkerumun di gelapnya subuh itu, semakin sesak pula nafas di dadaku.
“Lampu,...tolong ambilkan lampu dan bantu untuk mengangkat Pak Parto”, salah seorang dari mereka berkata pada yang lain. Tak lama kemudian suasana yang begitu gelap berubah menjadi terang. Disamping lampu yang telah datang, mentaripun sudah sedikit menampakkan wajahnya. Beberapa orang membantu mengangkat tubuh lemahku ke dalam gubuk. Lalu seseorang menyodorkan segelas air putih. Sambil memegang telapak tanganku.
Tak ada pertanyaan. Hening kembali datang. Semua orang duduk diam di depan mataku. Seakan menunggu apa yang akan aku katakan. Perlahan aku membuka mulut. Dengan lemah aku bertanya kepada mereka, “Dimana isteriku ?”
Tak ada jawaban. Hening. Kuulangi lagi pertanyaanku, “Dimana Isteriku?”. Lalu terdengar jawaban, “Pak Parto,....P ak Parto sudah bisa mendengar ya ?”. aku menganggukkan kepala dengan pelan.
“Pak Parto,....ibu sudah meninggal pak”, kata seseorang yang duduk di paling depan.
Tiba-tiba air mataku menetes lagi. Tapi tak terdengar tangisku. Hanya begitu perih dalam hati yang menyebabkan tak kuasanya aku menahan lelehnya air mata. Lalu aku mengangguk-anggukkan kepala lagi untuk memberikan tanda kepada mereka bahwa aku kuat untuk menahan semua yang telah terjadi. Kemudian salah satu dari mereka bercerita bahwa, istriku telah meninggal beberapa bulan yang lalu. Aku tidak tahu dan tidak pernah tahu karena saat itu aku sudah “mati”
Aku “mati” karena aku sama sekali tak bisa bergerak dan membuka mata. Hanya nafas yang masih tersisa. Hingga tak terasa sampai datang seberkas sinar menyambar di sebuah malam yang begitu hening dan menyadarkanku dalam tidur lelap “matisuri”. Lalu kudengar lagi cerita yang lain yang membuatku begitu trenyuh. Bahwa selama aku “mati” seseorang telah begitu sabar dan telaten mengunjungiku dan mengusap tubuhku dengan air setiap hari. Seseorang itu adalah kakek tua yang tinggal di ujung desa yang setiap harinya melewati gubuk reotku sambil menghalau kambingnya.
Ya,.. Allah. Tiba-tiba mulutku menyebut namaNya. “Ya Allah begitu lama aku menjauhimu. Begitu kejam aku mempermainkan Iman kepadaMu. Begitu banyak dosa yang ada di pundakku. Yang tak mungkin engkau ampunkan ya Allah. Dahulu aku tak punya sesuatu apapun. Tak punya siapapun. Kini aku kembali sendiri. Tak punya sesuatupun yang bisa kubuat sandaran. Ya Allah,.... aku tahu seberapa besar dosaku. Aku tahu seberapa besar dosaku terhadap istriku,.. aku tahu seberapa besar dosaku terhadap anak-anakku,....aku tahu seberapa besar dosaku terhadap orang-orang yang ada di depanku,....mereka tak pernah tahu apa yang pernah aku perbuat dalam hidupku. Mereka tak pernah tahu betapa ingkarnya aku kepadaMu. Aku datang pada mereka saat semuanya sudah sirna.
Tak ada lagi yang bisa kuharapkan dari sisa hidupku. Selama ini telah kusia-siakan kesempatan yang Engkau berikan. Betapa malunya aku ya Allah. Aku akan kembali kepadaMu dalam keadaan hina. Tak punya ilmu, tak punya amal yang baik. Sendiri dalam kehinaan. Kala hidup begitu jauh dariMu ketika dekat hari kematian justru aku sudah “mati”. Ya Allah untuk terakhir kali aku menyapamu. Aku akan kembali kepadamu untuk memenuhi hukumanMu”
Sesaat aku terpaku. Pandangan mataku kosong. Masih kurasakan ketika tubuhku lunglai, lalu terjatuh dipangkuan kakek tua yang meneteskan air matanya. Sayup-sayup kudengar dalam tidurku, “Pak parto pergi,..... pergi meninggalkan gubuknya,.....pergi meninggalkan dunianya. Meninggalkan kita semua.
Inna lillahi wa inna ilaihi raji`uun.
Sekian.
Ditulis : Agushar, 22 Juni 2010.
Selengkapnya...
Rabu, 30 Juni 2010
Ketika Dekat Sudah Mati.
Selasa, 29 Juni 2010
Nikmatnya Bertahajud.
Rasulullah saw hampir tidak pernah melewatkan malam tanpa mengerjakan shalat malam atau Tahajud. Bagaimana dengan kita ? Sudahkan kita melaksanakan perintah shalat tahajud ? Atau bahkan belum pernah sekalipun mengerjakannya ? Tahukah kita kalau shalat ini perintah Allah ? Rasulullah dan para sahabat mendakwamkan shalat ini karena shalat ini diperintahkan oleh Allah swt. langsung dalam Al Qur`an.
QS. Al Israa` : 79.
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَىٰ أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا﴿٧٩﴾
”Wa minal laili fatahajjad bihi naafilatan laka `asaa an yab`atsaka rabbuka maqaaman mahmuudan”
”Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji”.
Diantara shalat-shalat sunnah yang ada, shalat tahajud adalah shalat yang paling utama. Karena shalat ini diperintahkan langsung oleh Allah dengan beberapa ayat dalam Al Qur`an. Diantaranya dalam surat Al Insaan, surat Muzammil dan surat Al Israa`. Shalat tahajud ini mengandung banyak keistimewaan. Sampai-sampai Rasulullah saw hampir tidak pernah meninggalkannya. Hampir setiap malam Rasulullah saw bangun untuk mengerjakan shalat tahajud. Sampai telapak kaki beliau membengkak. Begitu juga para sahabat. Mereka mengikuti apa yang dikerjakan oleh Nabi saw.
Sebelum turun ayat 20 surat Muzzamil shalat tahajud merupakan shalat yang diwajibkan. Tetapi Allah mengetahui betapa beratnya shalat malam bagi umat Rasulullah, sehingga turunnya ayat tersebut memberikan sedikit keringanan bagi para sahabat. Dan menjadikan shalat tahajud yang semula wajib menjadi sunnah hukumnya. Bisa kita bayangkan seandainya shalat malam menjadi kewajiban bagi setiap muslim. Pasti akan sangat banyak yang tidak sanggup melaksanakannya.
Bangun diwaktu malam bukanlah perkara yang ringan bagi kebanyakan orang. Apalagi bangun untuk mengambil air wudlu lalu mengerjakan shalat, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw. Sebagian besar kita lebih suka bangun malam untuk “ngopi” ke warung atau menikmati sajian televisi berupa pertandingan bola. Banyak dari kita “nglilir” di tengah malam, tapi banyak juga dari kita yang tidak ingin melakukan shalat malam. Paling cuma ke kamar mandi untuk buang hajat kecil lalu segera melanjutkan mimpi yang tertunda.
Begitulah, memang berat untuk melaksanakan shalat malam atau tahajud. Tetapi bagi mereka yang mempunyai Iman kuat, pasti akan mengusahakan untuk bisa melaksanakan shalat malam. Dan mereka yang sudah merasakan nikmatnya shalat tahajud pasti akan selalu merindukannya, selama Iman tetap terpelihara. Jika Iman tidak terpelihara dengan baik, orang akan gampang untuk melupakan dan meninggalkan shalat malam. Ini bukan berarti, yang tidak melaksanakan shalat malam tidak beriman. Bukan. Tapi indikasi Iman yang kuat akan terlihat dari seberapa besar keinginan untuk seseorang untuk menjalankan perintah shalat malam, seperti yang selalu dikerjakan oleh Rasulullah saw dan para sahabat.
Jika belum pernah melaksanakannya, maka berusahalah. Karena shalat malam ini bisa menjadi indikator kekuatan Iman seseorang dalam beribadah. Juga shalat berjama`ah di masjid diwaktu Isya` dan subuh. Seperti kita ketahui shalat berjama`ah Isya` dan subuh di masjid bukanlah perkara yang ringan bagi tiap orang. Berjalan ke Masjid untuk shalat berjama`ah diwaktu enak-enaknya “jagongan” dan diwaktu nkmatnya “tidur” adalah perkara yang berat bagi orang-orang yang menggenggam sedikit Iman. Hanya orang-orang yang benar-benar menggenggam Iman kuat yang sanggup melaksanakan perintah dan tuntunan tersebut. Maka dari itu pemahaman ilmu agama untuk menambah Iman adalah sesuatu yang sangat penting dan sangat dianjurkan. Agar kita bisa sampai pada Iman yang sebenarnya.
Mengapa harus shalat tahajud ?
Disamping diperintah langsung oleh Allah dalam Al Qur`an, Rasulullah juga mengatakan bahwa, “Seutama utamanya shalat sesudah shalat fardhu ialah shalat sunnat di waktu malam”. Mengapa Rasulullah mengatakan demikian ? Karena shalat malam mengandung banyak keutamaan. Salah satunya adalah, Allah akan mengabulkan permintaan-permintaan kita, baik permintaan untuk kebaikan di dunia maupun permintaan ampunan dari seluruh dosa-dosa kita. Dan keutamaan yang lain adalah Allah akan memberikan 9 (semilan) macam kemuliaan. 5 macam kemuliaan di dunia dan 4 macam kemuliaan di akhirat. Kemuliaan-kemuliaan itu diantaranya adalah :
Lima macam keutamaan di dunia,
1.Akan dipelihara oleh Allah swt dari berbagai macam bencana atau musibah.
2.Tanda-tanda ketaatan pada Allah akan tampak atau kelihatan di mukanya.
3.Akan dicintai oleh banyak hamba Allah yang shalih an dicintai oleh semua manusia.
4.Lidahnya akan mampu mengucapkan kata-kata yang banyak mengandung hikmah.
5.Akan dijadikan orang bijaksana, yakni diberi pemahaman dalam ilmu agama.
Sedangkan 4 (empat) keutamaan yang akan diberikan di akhirat adalah :
1.Wajahnya akan berseri-seri ketika bangkit dari kubur pada hari pembalasan nanti.
2.Akan mendapatkan keringanan ketika dihisab atau dihitung amalan-nya.
3.Ketika meniti jembatan “Sirathal Mustaqim”, bisa melakukannya dengan sangat cepat, seperti halilintar yang menyambar sesuatu.
4.Catatan amalnya diberikan di tangan sebelah kanan.
Itulah ke sembilan keutamaan dari “Istiqamah”nya kita dalam melaksanakan shalat malam. Disamping itu Allah juga memberikan sebab kita dianjurkan untuk shalat malam. Dalam surat Al Muzammil Allah menjelaskan, bahwa pada waktu siang hari kita terlalu banyak urusan dunia yang harus diselesaikan dan bangun untuk shalat di waktu malam adalah lebih tepat, karena waktu malam akan memberikan suasana yng lebih khusyuk dari pada waktu siang. Dan bacaan-bacaan yang akan kita baca akan terasa lebih berkesan.
Bagaimana cara bertahajud ?
Shalat Tahajud dilakukan pada malam hari. Lebih afdhal kalau didahului dengan tidur lebih dulu. Dan waktu yang paling utama adalah sepertiga malam terakhir sampai menjelang waktu subuh. Jumlah rakaatnya antara 11 (sebelas) sampai 13 (tiga belas) rakaat. Menurut sebuah redaksi Rasulullah saw mengerjakan shalat malam dengan di dahului dengan 2 rakaat shalat iftitah (pembuka). Sifat shalat iftitah ini ringan. Surat yang di baca cukup surat pendek semacam. Al Kafirun dan Al Ikhlas.
Kemudian, shalat tahajud dengan 2 (dua) rakaat lalu salam. Dan diulangi lagi sampai 4 (empat) salam. Sehingga jumlah rakaatnya menjadi 8 (delapan) rakaat. Lalu dilanjutkan dengan shalat witir (ganjil) sebanyak 3 (tiga) rakaat dengan 2 (dua) salam. Kemudian berdoa dengan doa yang telah di contohkan oleh Rasulullah saw.
Surat-surat yang dibaca dalam shalat malam ini sangat tergantung dengan pemahaman dan hafalan ayat-ayat Qur`an kita. Lebih banyak ayat lebih baik. Untuk itulah senantiasa diperlukan bagi setiap muslim membaca dan menghafal sebanyak-banyaknya ayat-ayat Al Qur`an. Dan itu harus dilakukan setiap saat dan setiap hari tanpa adanya rasa bosan. Dan sekedar untuk di ingat, jika kita bisa menghafal dan mengerti arti dan makna satu ayat, kita akan merasa rindu untuk menghafal dan mengerti makna ayat-ayat yang lain. Demikian Allah akan memberikan petunjuk kepada hambanya yang mempunyai keinginan untuk memahami ilmu agama.
Tetapi jika kita tidak banyak hafal ayat-ayat selain juz amma, maka sudah cukuplah menggunakan ayat-ayat yang sudah dihafal dalam shalat tahajud atau shalat malam yang akan dilakukan. Kemudian bacalah dengan perlahan dan resapi apa makna yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut. Dan jangan lupa untuk selalu belajar menghafal ayat-ayat yang lain, sehinggga memori otak kita akan semakin banyak terisi dengan ayat-ayat Allah. Tidak hanya dengan beberapa surat pendek saja. Karena Al Qur`an penuh dengan pelajaran dan petunjuk bagaimana kita harus beribadah.
Ketahuilah bahwa, orang-orang saleh sejak jaman dahulu sampai saat ini selalu mendakwamkan shalat-shalat sunnah, terutama shalat malam. Mereka adalah orang-orang yang disayang oleh Allah, karena ketaatan mereka dalam menjalankan perintah. Baik perintah shalat, infaq atau sedekah, perintah berbuat kebajikan seperti yang di informasikan di surat Al Baqarah 177 dan perkara-perkara yang dipandang baik dalam kehidupan sehari-hari. Lambung mereka jauh dari tempat tidur. Bisa dimaknai, tidak terlalu banyak tidur. Lebih sering beribadah. Waktu malam lebih banyak di gunakan untuk shalat dan berdzikir.
Itulah cara beragama dengan Iman. Maka hendaklah kita selalu untuk memberikan pondasi agama kita dengan Iman, sehingga semakin lama kekuatan Iman akan semakim kokoh. Jika Iman kita kokoh tiada sesuatu perintah yang berat untuk dilaksanakan sepanjang kita melandasi ibadah kita hanya karena Allah swt. Semua perintah akan terasa ringan karena keinginan untuk melaksanakan sudah begitu melekat erat. Dan tak akan ada yang bisa menghalangi kalau hati sudah tertambat pada Allah swt. yang ada hanyalah rasa rindu untuk selalu berinteraksi denganNya dalam setiap saat melalui dzikir di lisan dan hati kita.
Nikmatnya shalat malam.
Shalat adalah perintah, tapi jika shalat kita karena perintah kitapun akan menunaikannya hanya karena diperintahkan, walaupun dengan keterpaksaan. Jika shalat kita karena diperintah, maka shalat kitapun akan berjalan datar. Tanpa getaran-getaran hati yang menyebabkan kita tak ingin lepas dari aktifitas shalat. Mungkin akan terasa hambar, karena keterpaksaan yang menyebabkan kita shalat. Dan gerakan-gerakan serta bacaan akan mengalir begitu saja menuju akhir shalat. Kalau sudah demikian harus ada sebuah perubahan. Sebuah perubahan motivasi yang bisa menyebabkan kita bisa menikmati shalat. Bukan hanya sebuah rutinitas ritual belaka.
Shalat yang kita lakukan kadang kurang bisa dinikmati karena di kepala kita masih penuh dengan berbagai macam urusan dunia. Urusan dunia yang banyak terjadi di siang harilah yang banyak memenuhi pikiran kita. Untuk menghilangkannya kita harus melupakannya untuk sementara dan “menitipkan”nya pada Allah. Karena di tangan Allahlah segala urusan akan terselesaikan. Rubahlah motivasi shalat yang semula karena diperintahkan menjadi sebuah “kebutuhan” primer atau kebutuhan utama. Hingga waktu shalat akan selalu menjadi pengingat untuk ber”kunjung” pada Allah dan memasrahkan diri sepenuhnya tanpa ada rasa enggan atau keterpaksaan.
Untuk bisa merubah shalat menjadi sebuah kebutuhan adalah dengan memahami shalat itu sendiri. Tentu saja Iman atau keyakinan akan tauhid dan kuasanya Allah menjadi yang paling utama. Hingga dengan keyakinan itu kita tertarik untuk memahami gerakan dan dan makna bacaan yang ada dalam shalat. Jika selama ini kita hanya bergerak dan berucap tanpa makna, maka esok hari kita harus bergerak dan berucap dengan penuh makna. Setiap perubahan gerakan ada “Allah” di dalamnya. Maka segera palingkan hati dan pikiran hanya kepada Allah semata sebelum setan mengisi pikiran kita dengan ingatan materi duniawi.
Berjalan untuk berdiri adalah sebuah usaha untuk “datang” dan memenuhi panggilan. Ruku` adalah sebuah penghormatan sekaligus ketundukan atas semua yang telah diperintahkan kepada kita. Sujud adalah manifestasi dari kepasrahan akan diri dan jiwa kita atas semua cobaan yang akan terjadi pada diri kita yang memang datangnya dari Allah. Dan duduk adalah kesempatan untuk memohon semua keinginan kita serta kesempatan untuk bershalawat kepada Rasulullah saw agar kelak kita termasuk orang-orang yang mendapatkan syafaatnya.
Lakukan shalat dan pahami makna bacaanya secara mutlak. Kemudian rasakan dalam shalat-shalat yang akan kita lakukan. Demikian terus ulangi pada shalat-shalat yang lain. Dan jangan lupa untuk terus belajar ayat-ayat Allah, baik yang ada di dalam kitab maupun yang tersebar di seluruh alam. Jika pemahaman berjalan dengan lancar dan berimbas pada keinginan mendekat yang begitu kuat pada Allah, lambat laun akan membawa kita untuk “ingin” mencicipi shalat malam atau ber tahajud seperti yang selalu dilakukan oleh Rasulullah saw. dan para sahabat serta orang-orang yang shalih.
Jika keinginan itu begitu kuat, maka persiapkanlah diri untuk memulai shalat. Niatkanlah bangun dimalam hari untuk shalat malam. Jangan terlalu memaksakan diri dengan rakaat yang banyak dahulu. Karena yang demikian akan menimbulkan rasa letih atau lelah. Biarkanlah banyaknya jumlah rakaat menuruti keinginan hati sampai beberapa waktu kemudian. Lakukan dengan rutinitas setiap malam, walaupun dengan jumlah rakaat hanya 2 (dua) atau 4 (empat).
Lambat laun, shalat malam akan menjadi sebuah kebutuhan. Seiring dengan terpenuhinya janji-janji Allah kepada kita. Seperti kemudahan dalam memahami ilmu, terutama ilmu agama. Dan keinginan kuat untuk selalu menambah pengetahuan tentang Al Qur`an. Kemudahan dalam urusan-urusan dunia, berupa urusan pekerjaan dan urusan pribadi atau keluarga. Kemudahan mengucapkan kata-kata penuh hikmah yang bersumber dari Al Qur`an. Dan berubahnya pandangan orang lain kepada diri kita menjadi lebih baik. Itulah janji Allah. Dan Allah tidak akan pernah mengingkari janji kepada hambaNya.
Malam memang selalu sunyi. Dan itulah saat kita bisa dengan mudah lebih dekat kepada Allah. Tak ada suara berisik. Yang ada adalah suara lirih kita yang terdengar di setiap kamar yang ada. Dengan alunan ayat-ayat Allah yang kita pahami, kita akan larut dalam kebersamaan dengan Allah. Kita akan merasakan betapa kecilnya diri kita di hadapan Allah. Betapa tidak berartinya diri kita bagi Allah jika kita mengingkariNya. Bagaikan setitik debu di luasnya alam semesta. Yang hanya bisa menggapai tapi tak kuasa untuk meraih, kecuali jika Allah memang menghendaki kita memilikinya. Itulah surga. Yang hanya bisa dicapai dan dibuka dengan satu kunci. Takwa yang bersumber dari Laa ilaha Illallah.
Tahajud begitu nikmat dirasakan. Baik diwaktu malam saat menjalankannya ataupun diwaktu siang dengan segala kemudahan urusan yang kita hadapi. Bagai sebuah asap yang bercandu, jika sudah pernah merasakan akan menimbulkan ketagihan. Jika nikmat tahajud sudah bisa kita rasakan, Insya Allah tiada malam tanpa shalat tahajud. Satu malam yang terlewat membuat kita begitu kehilangan. Seakan ada yang hilang, yang tak bisa dikembalikan, kecuali hanya sebuah penyesalan dengan lewatnya malam tanpa tahajud.
Tahajud akan memperkuat ketaatan kita menjalankan shalat lima waktu. Terutama shalat jamaah di masjid waktu Isya` dan subuh. Yang saat ini kelihatan begitu berat dilaksanakan oleh sebagian besar orang-orang Islam. Mereka lebih senang untuk shalat sendirian di rumah dengan menunggu hilangnya gelap dan terlena dengan lamunan sisa “kanthuk” semalaman. Padahal Rasulullah mengatakan, jika saja seseorang tahu rahasia apa yang ada pada shalat subuh dengan berjama`ah di masjid, niscaya kita akan mendatanginya walaupun dengan cara merangkak.
Saudaraku dalam Iman dan Islam, marilah. Marilah kita kejar ketertinggalan kita dalam Iman atau keyakinan. Agama bukankah sebuah permainan atau sekedar kebutuhan sekunder. Agama adalah kebutuhan utama dalam hidup. Janganlah kita beragama hanya pada kulitnya. Nikmatilah bagian dalam dari agama yang begitu indah dan mempesona. Yang akan membawa kita pada Iman yang sebenarnya. Dan akan berimbas pada tingkah laku atau perbuatan bijak yang bersumber dari Al Qur`an dan Sunnah-sunnah Rasulullah saw. Sikap yang demikianlah yang dapat menyelamatkan kita di dunia maupun di akhirat kelak. Dan mudah-mudahan pula Allah akan menempatkan kita pada derajat dan tempat yang terpuji, sesuai dengan apa yang dijanjikan.
Amiin.
Sekian.
Ditulis oleh : Agushar, 21 juni 2010.
Selengkapnya...
Jumat, 25 Juni 2010
Mempersiapkan Kematian.
Ketakutan yang paling besar pada diri manusia adalah “mati” . Kemudian takut kehilangan “dunia” yang seakan sudah menjadi milik kita sendiri. Contoh-contoh kematian manusia yang kita saksikan selama ini telah pula memberikan gambaran sedikit tentang sebuah “kematian”. Diam, tak bergerak. Diiringi tangis dan kerumunan orang. Diangkat beramai-ramai, untuk kemudian “ditanam” dalam-dalam di komunitas yang “penuh sesak”. Disambut keheningan dalam nuansa sepi yang kadang mencekam.
Kematian memang selalu mencekam. Isak tangis bersahutan dari orang-orang yang selama ini begitu dekat dan saling berbagi rasa dengan kita. Yang tidak mungkin lagi akan menggugah kita dalam “tidur” yang panjang. Sementara diluar kamar orang banyak membicarakan sebab kematian kita. Ada yang bernada kasihan, ada pula yang merasa kehilangan. Orang-orang banyak membicarakan kebaikan kita selama dalam kebersamaan. Sebagian “musuh” kita mencibir dan “mensyukuri” kematian kita. Sebagian kecil yang lain menganggapi dengan biasa saja. Tak ada sedih, tidak juga gembira. Mereka menanggap kematian adalah hal biasa yang bisa menimpa diri siapa saja. Kapanpun waktunya dan dimanapun tempatnya.
Itulah realitas setiap peristiwa “kematian” disekitar kita. Kita tidak mengharapkan kematian itu akan segera menghampiri. Karena kita memang benar-benar “takut” dengan kematian. Tapi, sangatlah perlu membangun keyakinan, bahwa kematian pasti akan menghampiri. Tidak ada satupun dari diri kita yang bisa menghindar dari kematian. Karena kematian sudah merupakan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah kepada setiap makhluk yang hidup di muka bumi. Hingga mau tidak mau kita juga akan menghadapinya dan menerimanya dengan suka atau terpaksa. Seperti dalam surat Ali Imran ayat 185 dan beberapa ayat di bawah ini.
QS. Al Anbiyaa` 35.
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ﴿٣٥﴾
“Kullu nafsin dza`iqatul mauti,wa nabluuwakum bisysyarri wal khairi fitnah. Wa ilainaa turja`uuna”
”Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan”.
QS. Al Ankabuut 57.
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۖ ثُمَّ إِلَيْنَا تُرْجَعُونَ﴿٥٧﴾
“ Kullu nafsin dza`iqatul mauti, tsumma ilainaa turja`uuna”.
”Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan”.
QS. Al Qashash 88.
وَلَا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ ۘ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ ۚ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ﴿٨٨﴾
“Wa laa tad`u ma`allahi `ilahan aakhara, laa `ilaha illa huwa, kullu syai`in halikun illa wajhah, lahulhukmu wa ilaihi turja`uuna”
”Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, Tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nya-lah segala penentuan, dan hanya kepada-Nya-lah kamu dikembalikan”.
Beberapa ayat di atas memberikan penegasan kepada manusia bahwa setiap diri kita pasti akan mati. Dan jika kita mati pasti dihadapkan pada situasi seperti yang telah kita gambarkan diatas. Kita semua adalah milik Allah, maka kitapun akan kembali kepada Allah. Ibarat seorang pengembara yang kembali ke tempat asalnya. Maka, apa yang dibawa dari pengembaraan itu akan menjadi kunci penentu bermanfaat dan tidaknya sebuah pengembaraan.
Begitu juga hidup kita. Ibarat sebuah perjalanan yang penuh dengan cobaan. Dengan keterbatasan waktu, kita dituntut cepat kembali dengan membawa “oleh-oleh” yang akan kita tunjukan kepada Allah untuk kemudian dikembalikan lagi kepada kita dengan sejumlah “tambahan” balasan. Nah, tambahan balasan inilah yang menentukan setiap diri kita termasuk dalam golongan orang-orang yang “berarti” dalam hidup atau “tidak berarti” sama sekali. Baik bagi diri kita sendiri, bagi orang lain maupun bagi alam sekitar kita.
Untuk itulah mengapa kita sangat perlu mempersiapkan kematian kita. Sebab kesempatan tidak akan datang dua kali. Umur kita tidak akan berjalan mundur, jika rambut sudah memutih, tidak akan ada lagi yang bisa merubah hitam kecuali sebuah kepalsuan. Kepalsuan yang berguna hanya untuk sementara, karena dalam waktu yang tak begitu lama kondisi sebenarnya akan muncul kembali. Hal ini dikarenakan bahwa kenyataan tak akan bisa tertutupi untuk selamanya. Karena “kenyataan” adalah milik Allah dan kepalsuan adalah milik sebagian besar dari kita.
Maka dari itu, menjadikan diri “sekali berarti sesudah itu mati” adalah sebuah kewajiban yang mutlak. Ibarat pohon pisang, hidup hanya untuk sebuah pengabdian. Pengabdian hanya kepada Allah swt. Selama hidup dipergunakan untuk bertasbih dan bersedekah. Tunas yang tumbuh besar dan tinggi menghasilkan pelepah yang bisa di gunakan untuk tali pengikat sayuran. Kadang tunas dan batang “diambil” jasanya untuk mendampingi sebuah prosesi pernikahan. Daun-daun yang lebar dan memanjang selalu dibutuhkan dalam beberapa keperluan. Terakhir adalah buah yang dihasilkan memberikan sedikit penghidupan pada diri manusia. Setelah itu pohon pisang harus “mati” sebagai sebuah ketetapan.
“Mati”nya pohon pisang adalah mati yang “berarti”. Warisan yang di tinggalkan adalah selalu bertasbih dan berbuat amal kebaikan untuk makhluk lain. Tunas-tunas yang tumbuh dari pohon pisang yang telah mati “mewarisi” akhlak induknya. Mereka hidup dengan mudah dimana-mana tempat di atas bumi. Apa tujuannya ? Tak lain hanyalah memberi contoh kepada manusia bagaimana seharusnya hidup. Tapi kebanyakan diri kita hanya mengambil dan memanfaatkan “diri” pohon pisang, bukan “pesan” yang disampaikan. Sehingga pelajaran hidup yang seharusnya kita contoh dalam menjalani kehidupan menjadi sebuah pesan yang sia-sia. Karena kita yang tidak bisa menerjemahkannya.
Itulah kenapa kita harus mempersiapkan prosesi kematian diri kita, baik di hadapan Allah maupun dihadapan manusia. Dengan memperhatikan beberapa perkara kita coba untuk membuat mati kita menjadi sebuah kematian yang di inginkan oleh banyak orang. Karena sesungguhnya “kebaikan” kita akan terkuak pada saat ajal datang menjemput. Kenyataan yang kita lihat selama ini adalah, ada sesorang yang dikala “mati”nya banyak orang lain yang merasa kehilangan. Karena mereka turut merasakan manfaat dari hidupnya orang tersebut. Ada pula seseorang yang mati tanpa ada yang merasa kehilangan kecuali hanya kerabat terdekatnya saja.
Yang perlu kita perhatikan dalam mempersiapkan kematian kita adalah sebagai berikut :
Umur berapa kita akan meninggalkan dunia ini ?
Apa yang akan menyebabkan kematian kita ?
Apa yang kita tinggalkan disaat kita mati ?
Apa kesan para pelayat tentang diri kita disaat kita masih hidup ?
Siapa dan berapa banyak orang yang akan mengantarkan ke tempat tidur terakhir kita ?
Pada umur berapa kita akan meninggal dunia ?
Tidak satupun diri kita yang tahu kapan akan meninggal, walaupun kematian itu sudah ada di ujung tanduk. Karena hanya Allah yang paling tahu kapan ajal kita akan menjemput. Baik saat ini maupun saat yang akan datang kita tidak tahu tentang kepastian ajal kita. Yang kita tahu hanyalah bahwa kita akan meninggal. Dan itu pasti. Bisa dekat waktunya bisa pula agak lama bisa pula Allah memberikan umur yang panjang kepada kita. Semua kemungkinan itu bisa terjadi.
Karena kita tidak tahu kapan kita akan mati, maka tidak ada alasan bagi kita untuk menunda sebuah pertaubatan. Kita harus segera memulai untuk sebuah pembekalan diri dengan amalan-amalan yang baik. Yang nantinya akan bisa kita kita gunakan disaat kita membutuhkanya. Dan bekal yang paling baik yang bisa diandalkan kelak adalah takwa. Seperti firman Allah yang disebutkan dalam satu ayat yaitu,
QS. Al Baqarah 197.
….. ۗ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ ۚ وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ﴿١٩٧﴾
“Watazawwaduu fa`inna khairazzaadit takwaa, wattaaquuni yaa uliil albaabi”
“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal”.
Ayat ini mengingatkan orang-orang yang berangkat ibadah haji dan persiapan bekalnya. Ada diantara orang-orang yang tidak membawa bekal dan hanya mengatakan bahwa mereka hanya bertawakal kepada Allah saja. Kemudian turunlah ayat di atas untuk memperingatkan orang-orang agar jika berangkat haji hendaknya membawa bekal. Dan bekal yang paling baik untuk dibawa adalah takwa. Dan takwa adalah bekal yang paling baik pula untuk dibawa dalam kematian kita.
Apa yang akan menyebabkan kematian kita ?
Contoh-contoh sebab kematian seseorang sering kita ketahui dari peristiwa-peristiwa kematian orang-orang di sekitar kita. Ada yang mati karena usia yang begitu uzur, ada yang mati di usia muda karena kecelakaan, terlalu banyak minum alkohol. Ada yang mati di usia sekitar 40 sampai 50 tahun karena penyakit ganas semacam tumor, kanker, hiv atau aids atau penyakit apa saja yang bisa cepat menimbulkan kematian. Semua penyebab kematian itu insya Allah bisa kita minimalkan.
Dengan pola hidup yang “benar” kita akan bisa terhindar dari sebuah kematian yang “menyusahkan” diri dan keluarga kita. Contoh nyata dari perilaku atau pola hidup yang benar adalah dengan mencontoh perilaku sehari-hari kehidupan Rasulullah saw. Dengan memperbanyak ibadah shalat, berpuasa, makan secukupnya (tidak terlalu berlebihan), mengerjakan shalat malam, bersedekah, berkata yang baik dan benar insya Allah, semua itu bisa meminimalkan kesempatan mati karena dihinggapi banyaknya penyakit.
Saat ini banyak sekali penyakit yang menghinggapi diri manusia yang disebabkan pola makan yang merangsang selera. Makan menjadi kesenangan hidup. Tidak mau makan kalau tidak “nikmat” rasanya. Hingga banyak manusia tidak memperdulikan lagi bumbu-bumbu racikan setan yang banyak mengakibatkan timbulnya berbagai macam penyakit. Obesitas atau kegemukan yang banyak merangsang timbulnya penyakit, lebih banyak dikarenakan makan yang tidak ada kontrol. Dibarengi dengan banyak tidur yang otomatis mengurangi banyaknya gerak atau aktifitas semakin mempercepat terjadinya kegemukan.
Apa yang kita tinggalkan disaat kita mati ?
Kebanyakan kita kalau sudah berbicara “tinggalan” hampir pasti yang terlintas adalah “warisan” materi. Warisan materi yang banyak justru bisa menjadi buah simalakama. Mati meninggalkan kekayaan yang berlimpah, jika tidak disertai sifat dermawan sewaktu masih hidup akan memberikan cap atau label pada jasad kita sebagai orang yang pelit, kikir bin bakhil. Dan itu akan menjadi pembicaraan yang tidak enak di telinga bagi keluarga yang di tinggalkan.
Yang perlu kita perhatikan tentang “peninggaan” ini adalah, anak-anak yang shalih, ilmu yang bermanfaat, dan shadaqah jariyah. Pertama, anak-anak yang shalih menunjukkan keberhasilan kita dalam mendidik dan membentuk pribadi-pribadi generasi yang taat beragama. Yang kedua, Ilmu yang bermanfaat bagi diri, keluarga dan orang-orang di sekitar kita. Terutama ilmu agama. Dan yang ke tiga adalah amalan yang baik semacam sedekah yang dilakukan secara terang-terangan ataupun secara sembunyi. Itulah yang patut kita “tinggal”kan untuk anak cucu kita. Bukan kekayaan materi yang pasti akan habis tak bersisa.
Apa kesan para pelayat tentang diri kita disaat kita masih hidup ?
Selama kita menyaksikan sebuah kematian seseorang, yang banyak dibicarakan adalah kebaikan-kebaikan yang pernah di buat selama masih hidup. Baik atau buruk itulah yang akan menjadi image mereka yang masih hidup dan menyaksikan kematian seseorang. Jika selama hidup banyak menebarkan kasih sayang dan berbuat kebaikan, insya Allah “Image”nya akan baik pula. Tapi jika hanya perbuatan buruk yang selalu di kerjakan pasti “image” yang melekat adalah kesan yang buruk pula.
Untuk itulah hidup ini harus dibuat sedemikian berarti. Baik bagi diri sendiri, keluarga maupun untuk orang lain. Dengan selalu berbuat baik dengan sesama dan diringi dengan sikap santun, sabar, menghormati orang yang lebih tua. Bersikap merendah dan tidak sombong. Berkata yang benar saja dan diam jika tidak perlu untuk dibicarakan. Berinteraksi dengan banyak orang dan tidak bersikap membenci pada orang yang tidak senang dengan kita. Membela orang yang lemah dan membantu mereka yang membutuhkan bantuan kita. Insya Allah kita akan mati dengan meninggalkan kesan yang baik dan di-ingin-kan sebagian besar orang.
Siapa dan berapa banyak orang yang akan mengantarkan ke tempat tidur terakhir kita ?
Pernahkah kita melihat iringan jenazah yang begitu panjang menuju ke tempat pemakaman ? Itulah hasil jerih payah dari jenazah sewaktu masih hidup. Mereka yang di cintai banyak orang dikala hidupnya hampir pasti banyak orang yang merasa kehilangan diwaktu matinya. Dan ini akan berakibat pada banyaknya kerabat dan teman sejawat atau mereka yang bersimpati ingin mengiringkan jenazah sampai ke persinggahan terakhir. Sebagai penghormatan terakhir pada si mati.
Sambutan orang atas kematian kita sangat tergantung pada sikap dan tingkah laku kita sewaktu masih hidup. Jika perjalanan hidup kita selalu mengacu pada tuntunan Alqur`an dan perilaku Rasulullah saw. niscaya akan meninggalkan kesan yang baik pada mereka yang kita tinggalkan. Iman yang menjadi pegangan hidup bisa berimbas pada amalan yang baik. Tentu saja Iman dengan sebenar-benarnya Iman. Jika kita yakin akan hari kebangkitan dan kehidupan akhirat, niscaya kita akan mulai menata hidup kita mulai saat ini untuk mempersiapkan kematian kita.
Sekali berarti sesudah itu mati, buatlah hidup sebagai pengabdian kepada Allah dan kesempatan berbuat baik kepada orang lain dan alam sekitar kita. Sehingga tujuan hidup kita dan angan kita untuk mati dalam damai benar-benar bisa tercapai. Ujian atau cobaan dari Allah pun Insya Allah akan bisa kita lalui dengan ridha Allah dan bimbingan Rasulullah saw. melalui sunnah-sunnahnya. Dan kematian kita adalah sebuah kematian yang “berarti”. Baik bagi diri sendiri, keluarga, orang lain dan bagi kehidupan alam sekitar kita.
Sekian.
Ditulis oleh : Agushar, 17 Juni 2010.
Selengkapnya...
Rabu, 23 Juni 2010
Para Pendusta Agama.
Manusia membutuhkan Allah. Karenanya, manusia membutuhkan jalan untuk bisa bekomunikasi dengan Allah. Dan agama adalah sarana bagi manusia untuk mempelajari bagaimana bisa berhubungan dengan Allah. Agama adalah ilmu. Sebuah ilmu yang memberikan berbagai informasi mengenai seluk beluk cara beragama yang benar. Dari mulai ilmu Iman yang banyak membahas tentang keyakinan hati terhadap ketauhidan Allah, tentang para Malaikat, tentang firman-firman Allah yang tertulis dalam Kitab, tentang para UtusanNya, tentang hari akhir atau hari kiamat dan tentang takdir atau ketentuan Allah. Sampai dengan ilmu Islam yang membahas tentang hukum dan tata cara beribadah sehari-hari
Manusia membutuhkan Allah. Tapi yang benar-benar membutuhkan Allah untuk membimbing dirinya selama dalam hidup sangat terbatas jumlahnya. Sedangkan yang membutuhkan hanya dikala dalam keadaan benar-benar sulit sangat banyak bahkan tak terhitung jumlahnya. Mengapa bisa demikian ? Karena manusia banyak yang salah dalam mempersepsi arti kehidupan yang sedang mereka jalani. Sehingga fungsi lima indera yang di berikan oleh Allah kepada kita telah salah pula dalam melakukan semua tugasnya.
Mereka yang benar-benar membutuhkan Allah akan berusaha untuk selalu ingat dalam berbagai situasi dan kondisi. Di saat apapun dan dalam kondisi yang bagaimanapun ingatan kepada Allah menjadi prioritas utama. Tidak ada waktu tanpa kehadiran Allah dalam dirinya. Sehingga pikiran dan tingkah lakunya juga selalu diliputi oleh Allah. Yang menyebabkan kualitas hati dan perilakunya begitu baik dan selalu terjaga kondisi baiknya. Tidak mudah berpikir negatif dan tidak mudah berlaku sembrono dalam tingkah laku. Segala sesuatu sudah dipertimbangkan dengan pikiran yang matang.
Berbeda dengan mereka yang membutuhkan Allah hanya pada saat dia membutuhkannya. Jika situasinya begitu sulit dan sangat tidak menguntungkan bagi dirinya, mereka cepat-cepat ingat untuk meminta tolong untuk segera terlepas dari semua beban yang sedang menghimpit. Tapi jika sudah terlepas dari semua permasalahan, begitu cepat pula mereka untuk lupa dari mengingat Allah. Untuk kemudian tenggelam lagi dalam kesenangan dan kenikmatan duniawi yang menjadi impian mereka. Orang-orang seperti inilah yang dikatakan beragama dikulitnya saja.
Mereka tidak mau isi dalamnya agama, karena mereka telah melihat apa yang telah dilakukan orang-orang alim, yaitu orang-orang yang dalam ilmu agamanya. Mereka melakukan apa yang telah diperintahkan Allah dalam kitab, yang mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang sia-sia dan membuang-buang waktu saja. Shalat di lima waktu dengan gerakan yang sama persis, bukanlah sesuatu yang berharga. Hasil yang didapat dari aktifitas shalat yang tidak bisa dirasakan langsung seperti halnya berolah raga yang berakibat tubuh sehat. Mereka menganggap aktifitas membosankan dan tak ada gunanya.
Orang-orang seperti inilah yang nantinya bisa masuk ke dalam golongan orang-orang yang mendustakan agama. Diawal-awal Islam ada orang-orang yang memberi salam dan memuji-muji para sahabat apabila bertemu tapi jika sudah berada jauh ditempat yang terpisah mereka menjelek-jelekkan dan mengatakan bahwa para sahabat nabi itu adalah sekumpulan orang yang bodoh. Kemudian Allah menurunkan satu ayat yang berkaitan dengan Abdullah bin Ubay dan kawan-kawannya.
QS. Al Baqarah : 14.
وَإِذَا لَقُوا الَّذِينَ آمَنُوا قَالُوا آمَنَّا وَإِذَا خَلَوْا إِلَىٰ شَيَاطِينِهِمْ قَالُوا إِنَّا مَعَكُمْ إِنَّمَا نَحْنُ مُسْتَهْزِئُونَ﴿١٤﴾
”Wa idzaa laqulladziina aamanuu qaaluu aamannaa wa idzaa khalau ilaa syatatinihim qaaluu innaa ma`akum innamaa nahnu mustahzi`uun”.
”Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan: "Kami telah beriman". Dan bila mereka kembali kepada syaitan-syaitan mereka, mereka mengatakan: "Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok".
Secara gamblang surat Al Ma`un sudah memberikan gambaran siapa dan bagaimana orang-orang yang mendustakan agama itu. Diantara beberapa ayat tersebut menggambarkan mereka yang disebut telah mendustakan agama dan sebagian lain menjelaskan tentang celakanya orang-orang yang menjalankan shalat bukan karena Allah semata.
QS. Al Maa`uun : 1 – 3.
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ﴿١﴾
“Ara`aital ladziiyukadzdzibu biddiini”
”Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?
فَذَٰلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ﴿٢﴾
“Fadzaalikal ladzii yadu`ul yatiim”
”Itulah orang yang menghardik anak yatim,
وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ﴿٣﴾
“Walaa yahudhdhu `alaa tha`aamil miskiini”
”dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.
Orang yang mendustakan agama adalah orang yang menghardik anak Yatim. Yaitu mereka yang tidak mempunyai rasa belas kasihan dengan anak-anak yatim atau anak-anak yang ditinggal mati oleh bapak-bapaknya. Tidak memberikan hak-haknya seperti yang sudah dianjurkan oleh agama. Bersikap keras karena didasari perasaan tidak suka dan perasaan menganggap bahwa anak yatim sebagai beban untuk orang lain. Yang tidak ada hubungan keluarga dengan dirinya sama sekali.
Pada situasi perang yang berkepanjangan, kebanyakan para istri dan anak-anak kecil berdiam di rumah. Sedangkan para laki-laki banyak yang berangkat berperang. Seperti yang di alami pasukan muslimin pada awal-awal Islam disebarkan. Mereka berperang demi mempertahankan dan memperluas ajaran Islam. Dengan semangat yang tinggi mereka terus berperang dan saling membantu apabila ada pasukan lain di daerah yang lain mengalami kekalahan. Sehingga kepulangan para pasukan tidak pernah bisa diharapkan pada waktu atau saat setelah meraih kemenangan di tempat tujuan awal.
Walaupun setiap kemenangan dalam peperangan membuahkan hasil berupa harta rampasan dari pasukan lawan. Tetapi tidak jarang pula maut datang menjemput sebelum ada keputusan pulang atau kembali ke rumah untuk bertemu sanak keluarga. Dalam kondisi ini akan banyak anak-anak yang menyandang predikat yatim karena bapak-bapak mereka gugur dalam peperangan membela agama Allah. Sehingga keberadaan para anak yatim ini mau tidak mau harus menjadi tanggungan negara atau kaum muslimin yang masih hidup.
Dan Allah telah mengabadikan perintah kepada orang-orang yang mengaku beragama Islam. Mereka mempunyai kewajiban untuk menjaga dan memelihara anak-anak yatim sampai mereka sudah bisa dianggap dewasa. Hingga jelas hak hidup dari setiap manusia yang belum bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri karena masih terlalu kecil untuk berusaha. Tapi tidak jarang pula mereka yang masih kecil dan sudah kehilangan orang-tua akibat peperangan justru mempunyai peninggalan harta yang tidak sedikit. Hingga harus ada seseorang yang menjaga dan membelanjakan harta itu sesuai dengan ketentuan yang telah diatur oleh agama. Kemudian setelah dianggap dewasa semua harta tersebut akan diberikan pengelolaannya kepada si anak tersebut.
Permasalahannya adalah jika si anak tersebut tidak ada peninggalan harta atau warisan sama sekali dari orang tuanya. Dan tidak ada saudara dekat yang mempunyai kesanggupan untuk memeliharanya. Hal ini akan menimbulkan permasalahan bagi umat. Sebagian dari orang-orang Islam yang dalam ilmu Iman-nya menganggap bahwa keberadaan anak yatim justru sangat menguntungkan buat diri mereka. Karena mereka bisa menjalankan perintah Allah dalam bersedekah dengan mengasuhnya. Dan amalan ini sangat bisa untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah.
Tetapi bagi mereka yang “pelit” atau “kikir” akan menganggap keberadaan anak-anak yatim sebagai suatu beban, karena akan semakin mengurangi harta mereka. Rasa tidak suka ini akan berdampak perubahan sikap terhadap anak-anak yatim. Mereka suka menghardik dan berkata keras serta kasar terhadap mereka. Dan orang-orang seperti inilah yang dianggap sebagai orang yang mendustakan agama. Karena jelas agama menganjurkan untuk menjaga dan memelihara mereka. Tapi mereka bahkan berbuat yang tidak sepatutnya.
Kalau kita mau sedikit berpikir, tidak ada seorangpun anak yang ingin untuk menjadi yatim atau yatim piatu. Dan kalau kita juga mau berpikir lagi, bahwa keberadaan anak yatim – piatu justru memberikan kesempatan buat kita untuk memenuhi perintah Allah. Kita bisa menjadikan moment menjaga dan merawat mereka untuk semakin mendekatkan diri kita pada ridhanya Allah terhadap harta-harta yang kita miliki serta hati yang dipenuhi Iman dan Islam.
Di ayat selanjutnya juga dijelaskan tentang sifat orang yang mendustakan agama, yaitu mereka yang tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Orang yang tidak menganjurkan memberi makan orang miskin, kemungkinan besar juga tidak pula memberi makan orang miskin. Hal ini adalah mengingkari perintah Alllah untuk bersedekah. Dan sedekah adalah perintah Allah yang paling utama setelah shalat. Sebuah amalan yang tidak boleh ditinggalkan oleh seseorang yang mengaku beragama Islam.
Seperti kita ketahui, Islam di bangun di atas lima perkara. Yang pertama adalah syahadat, yang kedua Shalat, ketiga zakat yang didalamnya ada shadaqah, ke empat Puasa dan kelima Haji ke tanah suci. Kelima perkara ini menjadi sesuatu yang tak bisa terpisahkan antara satu dengan yang lainnya. Kecuali Ibadah Haji yang membutuhkan biaya begitu besar, semua perkara yang lain tidak boleh tertinggal barang satupun. Yang jika kita meninggalkan salah satu dari empat perkara tersebut, bisa di kategorikan dalam orang-orang yang mengingkari Islam.
Memberi makan orang miskin adalah bagian dari sedekah. Yaitu suatu perbuatan yang sangat dianjurkan bahkan merupakan perintah dari Allah bagi setiap diri yang mengaku beragama Islam. Sedekah adalah bagian dari pengorbanan atas sebagian harta yang kita miliki sebagai manifestasi atau perwujudan dari rasa kesyukuran kita kepada Allah atas semua nikmat yang telah kita terima. Juga sebagai perwujudan ketaatan kita kepada perintah-perintah Allah dan kepedulian kita terhadap sesama manusia serta kewajiban kita terhadap agama.
Tidak ada orang yang hidup pada saat ini yang menginginkan hidup dalam kesusahan atau kemelaratan. Dimana untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari begitu sulit sekali. Kalaupun mendapatkannya juga belum tentu bisa untuk mencukupi kebutuhan hidup untuk sehari. Kita yang diberi nikmat oleh Allah lebih dari yang mereka dapat kadang tidak pernah bisa berpikir. Bahwa apapun yang ada di dunia ini terbagi dari dua sisi.
Demikian juga keadaan hidup seseorang. Kalau sebagian orang ada yang kaya, pasti ada sebagian yang lain hidup dalam kemiskinan. Seperti juga senang sama susah, jika tidak ada salah satu dari keduanya maka yang lain juga tidak bisa disebut. Sedangkan realitas yang ada mengenai kedua sisi tersebut adalah sebagian yang satu adalah menjadi cobaan bagi sebagian yang lain. Kemiskinan yang kita sandang adalah cobaan dari Allah. Kekayaan harta yang kita punya juga merupakan cobaan dari Allah.
Orang miskin dicoba dengan kemiskinannya. Ketabahannya dalam menghadapi kemiskinan dan kesabarannya dalam menjalani kemiskinan itu sendiri. Semua cobaan tak lain hanya bermaksud bagaimana kita bisa mempertahankan Keimanan kita kepada Allah dengan segala kesulitan hidup yang kita terima dan kita jalani. Tidak satupun seseorang dengan segala kekayaan yang dia punyai menjadikannya mulia di hadapan Allah. Hanya orang-orang yang mempunyai ketakwaan yang tinggi sajalah yang paling mulia di hadapan Allah.
Orang kaya juga dicoba oleh Allah dengan kekayaannya. Jika seseorang bisa memanfaatkan kekayaan yang diberikan kepadanya oleh Allah pada jalan dan rambu-rambu yang sudah ditentukan dalam kitab niscaya kekayaannya akan bisa lebih dekat menuju ridhanya Allah. Jika tidak, waspadalah !. Kita bisa masuk dalam kategori orang-orang yang mendustakan agama Allah. Karena kita enggan memberi makan orang-orang miskin dan tidak pula menganjurkan orang lain untuk memberi makan kepada mereka.
Kadang subyektifitas begitu mempengaruhi pikiran seseorang. Sehingga jika seseorang sudah menjatuhkan penilaian negatif terhadap seseorang yang lain, maka yang terjadi adalah pembunuhan karakter terhadap orang tersebut dengan cara memprovokasi orang lain untuk mendukung tindakannya. Demikian juga, jika ada seseorang dengan kekayaanya membenci orang miskin karena ketidak sukaannya, hampir pasti yang terjadi adalah keengganan untuk memberikan bantuan kepada si miskin dan mempengaruhi orang lain untuk mengikuti tindakannya.
Yang demikian inilah yang di sebut oleh Allah sebagai orang-orang yang mendustakan Agama. Karena agama mengajarkan untuk memberikan sedekah sampai pada batas waktu akhir umur kita kepada mereka yang membutuhkan. Sedangkan kita enggan untuk memberikannya. Hal demikian tak lebih dikarenakan kurangnya pengetahuan tentang agama dan ketidaksadaran diri kita bahwa kita kaya karena mereka miskin. Jika mereka yang miskin menjadi kaya, kemungkinan besar yang akan miskin dan sengsara adalah kita yang saat ini dianggap sebagai orang kaya.
Apakah benar kita orang kaya ? Coba saja dicermati tentang semua yang ada pada diri kita. Setelah itu kita menoleh ke lain orang, adakah mereka yang lebih buruk keadaaanya dari kita ? Adakah dari mereka yang bahkan jauh lebih sengsara dari kita ? Jika ada dan bahkan banyak, maka kita adalah orang-orang yang kaya tapi tidak mampu melihat bahwa kita adalah orang kaya yang penuh nikmat dari Allah. Dan semacam itulah orang-orang yang mendustakan agama.
Mudah-mudahan sedikit tulisan ini ada manfaatnya bagi kita sekalian untuk lebih mengenal diri dan memahami tentang kewajiban-kewajiban sebagai orang yang beragama, sehingga nantinya kita tidak terjerumus karena ketidaktahuan kita tentang bagaimana seharusnya kita berjalan di rel agama dan berperilaku seperti yang di perintahkannya. Mudah-mudahan Allah segera memberikan petunjukNya kepada kita semua dan mudah-mudahan pula kita segera tersadar dari nikmatnya “kantuk” yang sering membuat kita terlena.
Sekian.
Wrote by : Agushar.
Selengkapnya...
Minggu, 20 Juni 2010
Diam itu Emas.
Diam adalah emas. Benarkah ?
Rasulullah saw pernah berkata, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata benar atau diam” sabda Rasulullah ini bisa juga diartikan, lebih baik diam jika tidak bisa berbicara dengan benar. Apakah sebenarnya “diam” itu ? Begitu pentingkah hingga Rasulullah saw menganjurkannya ?
Diam berarti tidak bergerak. Seperti batu yang tidak berbentuk atau batu yang berbentuk semacam “arca” atau patung yang dibuat dari batu yang dipahat oleh seorang seniman. Diamnya batu ini laksana diamnya manusia dalam “kematian”. Tetapi yang akan kita renungkan kali ini adalah “diam” mulut atau “lisan” kita. Benar kata Rasulullah, jika tidak bisa berkata dengan baik dan benar, lebih baik diam. Karena dengan diam kita bisa kita bisa “selamat” dari kata-kata yang membahayakan diri kita dan orang lain. Juga bisa memberikan kesan positif kepada orang lain.
Manusia dengan mulut atau lisan yang “diam” bisa dikarenakan beberapa sebab. Pertama, orang yang “diam” karena sudah pembawaan dari faktor genetik atau keturunan. Orang seperti ini akan terlihat “diam” dimanapun dia berada. Tidak ada perbedaaan tempat yang bisa menyebabkan seorang “pendiam” jadi banyak bicara. Orang seperti ini sangat jarang berbicara. Dia hanya mau bicara pada saat diperlukan untuk bicara. Jika tidak perlu bicara, dia tidak akan pernah berbicara. Dan inilah seorang “pendiam” yang “asli”. Karena memang dasarnya tidak suka berbicara yang tidak berguna. Dan sikap seperti inilah yang lebih dekat ke “tawadu” atau rendah hati.
Yang kedua adalah orang yang “diam” karena faktor kesengajaan atau sengaja untuk “diam”. Nah diam yang seperti inilah yang banyak memberikan tafsiran kepada orang lain. Karena diam dengan sengaja ini ada bermacam jenisnya. Sangat tergantung pada niat, cara, situasi dan kondisi diri dan orang-orang sekitarnya. Pada “diam” jenis ini ada dua jenis lagi yang bisa dibedakan. Pertama “diam” karena kejujuran dan menguasai ilmu “diam” yang diajarkan agama. Kedua “diam” karena sengaja membisu dikarenakan sesuatu hal. Penyebab diam yang seperti inilah yang bisa di uraikan menjadi beberapa jenis diam seperti dibawah ini.
Diam Bodoh.
Yaitu orang yang diam karena tidak tahu apa yang harus di ucapkan atau katakan. Hal ini dikarenakan kurangnya ilmu pengetahuan dan ke-tidak mengerti-annya. Semua itu lebih banyak di sebabkan karena lemahnya pemahaman dalam berbagai hal, terutama dalam bidang pengetahuan agama. Atau alasan lain karena tidak mempunyai kemampuan untuk berbicara dengan lancar (gagap). Namun, diam karena kebodohan ini menjadi lebih baik dari pada memaksakan diri sok tahu dalam berbagai hal. Terutama dalam bidang agama.
Diam Malas.
Yaitu diamnya orang yang enggan bicara. Dia malas berbicara karena tidak punya selera untuk bicara atau tidak ada “mood” atau sedang malas bicara. Dan ini merupakan suatu sifat yang buruk. Karena orang seperti ini akan diam pada saat orang lain membutuhkan perkataan atau pembicaraannya. Kalau yang diperlukan sebuah kesaksian sebuah perkara, tentu akan sangat merugikan orang yang sedang berperkara tersebut.
Diam Sombong.
Diam jenis ini juga tidak baik. Karena diamnya orang seperti ini karena memandang rendah orang-orang yang sedang berbicara dihadapannya. Dia menganggap dirinya tidak berada satu level dengan mereka yang sedang berbicara. Sehingga dia menganggap sia-sia saja jika dia ikut nimbrung pembicaraan. Sikap ini adalah sikap yang buruk. Lebih baik mendengarkan untuk kemudian berbicara apabila mereka memerlukan kita untuk bicara. Tapi jangan menyela untuk kemudian menjatuhkan seseorang karena pembicaraannya.
Diam Khianat.
Diam jenis ini merupakan “diam”nya orang jahat. Karena diam yang dilakukan mempunyai maksud untuk mencelakakan atau menyusahkan orang lain. Ini termasuk “diam” yang keji. Karena dia mengetahui permasalahan tapi “diam” saat orang lain sedang meributkan permasalahan tersebut. Misal, perubahan jadwal ujian yang semula telah di sepakati kemudian dirubah, sedang orang lain tidak tahu, tapi dia yang tahu sengaja “diam” agar mereka yang tidak tahu mendapatkan masalah.
Diam marah.
Jenis “diam” seperti ini mempunyai kebaikan dan keburukan. Kebaikannya adalah bisa terhindar dari perkataan “keji” yang akan lebih mengeruhkan suasana. Keburukannya adalah. Dia berusaha untuk menyelesaikan masalah tapi tetap dengan memperlihatkan atau menunjukkan kemarahannya. Sehingga “diam” yang dilakukan justru akan memperbesar permasalahan yang sedang terjadi.
Diam Utama atau Diam Aktif.
Adalah sikap diam yang diperoleh dari hasil penelitian atau pemikiran yang membuahkan keyakinan bahwa rasa enggan bersikap diam atau menahan diri yang berarti ceroboh dalam berbicara, akan menjadi masalah yang lebih besar dibanding dengan sekedar berbicara sesuai dengan keperluan atau hal-hal yang penting saja.
Diantara beberapa sikap “diam” diatas yang perlu untuk diperhatikan ada 2 jenis, yaitu diam 2MK atau diam marah, malas, khianat dan diam utama atau diam aktif. Karena keduanya mempunyai sebab permasalahan yang bisa diuraikan lebih luas lagi.
Diam 2MK adalah diam yang disebabkan karena sebuah permasalahan yang sedang terjadi. Dan hal ini sangat berhubungan dengan sifat atau karakter seseorang yang sedang bermasalah tersebut. Jika seseorang mempunyai jiwa pendendam dan suka memelihara sebuah kebencian. Maka dia akan cenderung berlaku diam 2MK atau marah, malas dan khianat. Karena ketiga sifat diam itu sangat akrab dengan sifat-sifat dasar yang buruk.
“Diam”nya orang seperti ini adalah diam dalam kebohongan. Karena dia hanya diam jika berhadapan dengan orang yang sedang bermasalah dengan dirinya. Menahan diri untuk tidak berbicara karena ada rasa enggan yang sangat besar dan rasa benci yang bercampur dendam. Tetapi jika bertemu atau berhadapan dengan orang lain yang tidak bermasalah dengan dirinya, akan kelihatan sifat “orsi”nya. Yaitu sikap “tidak bisa” diam, bahkan cenderung fitnah.
Sikap inilah yang sangat berbahaya. Dan sesungguhnya orang yang mempunyai sikap seperti ini tidak banyak, mungkin hanya beberapa orang diantara banyak orang. Jika hanya “diam” menunggu “cair”nya permasalahan mungkin masih tidak berakibat fatal. Tapi kalau sifat “hasud” yang muncul pasti akan berakibat fatal. Karena nafsu men”jelek-jelek”kan orang yang dia benci akan selalu disalurkan ke tempat atau orang lain yang “sudi” mendengarnya. Sifat inilah yang disebut sebagai sifat orang “pembawa” kayu bakar atau penyebar fitnah.
Sedangkan sifat “diam” aktif adalah sebuah sikap diam-nya lisan dan aktifnya otak dan akal. Orang -orang seperti ini selalu mementingkan kinerja otak untuk berpikir positif, dan hanya orang-orang yang mau banyak menggunakan akalnya saja yang bisa melakukan “diam” aktif ini. Mereka selalu berusaha untuk menahan diri dari perkataan yang tidak berguna. Tidak berbicara kecuali sesuatu yang baik dan benar. Hingga jumlah orang-orang yang seperti ini juga tidak banyak. Mungkin hanya beberapa dari sekian banyak orang yang ada.
Keutamaan bersikap Diam Aktif.
Ada beberapa keuntungan bagi seseorang yang memilih untuk diam aktif. Diantara kebaikan-kebaikan yang akan diperoleh orang-orang yang memilih diam ini adalah :
Bisa terbebas dari mengeluarkan kata-kata yang berpeluang menimbulkan masalah. Karena kebanyakan bicara lebih mudah pula kehilangan kontrol dari kata-kata yang seharusnya tidak dikeluarkan.
Bisa terbebas dari murka Allah akibat keluarnya kata-kata yang menyebabkan dosa, seperti kata-kata kotor dan umpatan.
Bisa meningkatkan kepahaman terhadap permasalahan yang mencuat, karena kita mendengar dan memperhatikan dengan baik penjelasan-penjelasan dari semua permasalahan.
Hati akan terjaga dari sifat-sifat ujub, Riya` dan takabur atau sombong serta berbagai penyakit hati yang lain.
Mampu mengeluarkan ide atau gagasan yang cemerlang, karena kalbu yang selalu bercahaya dan selalu selalu mendapat petunjuk dari Allah tentang lisan dan sikap serta perilaku kita.
Menimbulkan kewibawaan dan segan orang lain karena sikap dan pembawaan kita. Dan hal itu kadang tidak kita sadari. Juga orang lain akan menaruh hormat kepada kita, karena kita juga menaruh hormat kepada mereka.
Diam aktif juga bisa menghindarkan diri kita dari perkataan dusta, bicara sia-sia, komentar yang cenderung kasar, berlebihan dalam berkata-kata, terhindar dari keluh kesah, dari kata-kata yang menyakiti perasaan orang lain, dan terhindar dari sifat sok tahu dan sok pintar sendiri.
Demikian, mudah-mudahan kita bisa menjadi manusia yang terbiasa berkata benar dan diam jika tidak begitu penting untuk dibicarakan. Semoga pula lisan kita terbiasa dengan lafal kalimat thayyibah dan hati yang selalu ingat kepada Allah hingga akhir ajal menjemput kita.
Sekian.
Wrote by : Agushar
Selengkapnya...
Kamis, 17 Juni 2010
Mengapa Memilih Islam.
Agama ada untuk mengatur kehidupan manusia. Agama tak bisa lepas dari ibadah kepada sang pencipta alam semesta yaitu Allah swt. Untuk menuntun langkah manusia melalui jalan yang sudah ditentukan, yaitu “jalan” Tuhan. Tuhan yang ahad. Dialah Allah SWT. yang Maha Kuasa dan Maha Perkasa. Yang menjadi penentu setiap manusia akan bertempat dimana kelak di akhirat, setelah kita menyempurnakan sisa umur kita. Dalam sebuah pengadilan yang tak ada bantahan di dalamnya. Yang hanya menyediakan dua pilihan antara surga atau neraka.
Islam hanyalah salah satu dari beberapa agama yang ada dan mempunyai pengikut yang jumlahnya cukup besar. Terutama di benua asia. Seperti agama-agama yang lain, Islam juga menjanjikan “surga” sebagai balasan bagi para pengikutnya yang sanggup memenuhi seluruh permintaan “Tuhan”nya seperti yang ada dalam kitab Al Qur`an dan tuntunan Nabinya, yaitu Rasulullah saw. sebagai penutup para Nabi yang berjumlah 25 nabi.
Islam membawa syariat yang relatif lebih berat dari pada 2 agama samawi sebelumnya. Shalat dengan ruku` dan sujudnya yang berjumlah 17 raka`at minimal dalam waktu sehari semalam, mutlak harus dijalankan oleh pemeluknya. Puasa sebanyak 30 hari atau satu bulan dalam satu tahun juga menjadi satu kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan. Zakat dan sedekah yang harus dibayarkan atau diserahkan untuk kepentingan umat. Juga ada satu lagi sebuah kewajiban yang harus ditunaikan bagi mereka yang mempunyai kemampuan materi berlebih, yaitu haji ke tanah suci Mekkah.
Apakah semua itu cukup menjamin pemeluk agama Islam untuk mendapatkan balasan “surga” ? Ternyata masih belum ! Meninggalkan salah satu dari kewajiban di atas bisa menyebabkan kita jauh dari surga. Tinggal di neraka dengan segala siksa yang ada di dalamnya. Bisa mengakibatkan penyesalan yang berkepanjangan. Juga bisa menyebabkan penderitaan yang menyengsarakan jiwa kita kelak di akhirat. Semua konsekwensi ini sudah “diketahui” oleh hampir semua pemeluknya.
Beberapa kewajiban ibadah tersebut bisa di masukkan dalam amalan atau perbuatan. Tentu yang dikehendaki agama adalah amal atau perbuatan yang shalih atau baik. Artinya, adalah sebuah perbuatan yang akan mendatangkan kebaikan, baik bagi dirinya pribadi maupun orang lain. Tetapi, semua amalan atau perbuatan yang baik sekalipun akan menjadi sesuatu yang sia-sia, apabila tidak di landasi dengan sebuah ke-Iman-an atau keyakinan tentang ada dan kuasanya Allah swt. Dan akan berakibat langsung terhadap balasan yang akan di terima, yaitu neraka.
Iman dan amal yang baik, menjamin diri kita akan memperoleh balasan yang baik pula dari Allah. Tetapi perwujudan “Iman” dan “amal shalih” tidak sesederhana seperti yang kita bayangkan. Iman mempunyai bertingkat-tingkat kualitas. Sehingga masing-masing diri akan berada di posisi yang berbeda. Tergantung tingkat kepahaman masing-masing orang terhadap Iman itu sendiri. Dan hanya Iman dengan se-benar-benarnya Iman yang bisa dijadikan dasar untuk beramal atau berbuat kebaikan.
Iman yang asal-asalan tidak bisa dijadikan landasan untuk berbuat baik. Karena dasar yang di gunakan akan bisa berubah-ubah tergantung dari kepentingan apa yang ada di kepala masing-masing orang. Keimanan yang lemah sama sekali jauh dari amalan atau perbuatan yang baik, karena lemahnya Iman seseorang akan cenderung melakukan sesuatu perbuatan yang tidak sesuai dengan tuntunan Al Qur`an. Dan cenderung pula untuk mengingkari ayat-ayat Allah yang ada dalam kitab. Apalagi terhadap perilaku yang telah di contohkan oleh Rasulullah saw, bahkan lebih-lebih lagi.
Sampai saat ini umat Islam masih berkutat pada masalah “kualitas” Iman, karena bagian terpenting dari pada bangunan amal adalah Iman yang berfungsi sebagai pondasinya. Amal-amal yang demikian baikpun akan jadi fatamorgana jika tidak berada di pondasi yang kuat. Seperti debu yang tertiup angin. Berpindah tempat dan sulit untuk menemukannya kembali. Itulah mengapa peningkatan Iman selalu menjadi prioritas utama dalam pembentukan pribadi seorang muslim.
Iman yang benar-benar kuat akan berimbas pada amal yang shalih. Dan ini adalah sebuah kepastian. Karena keimanan yang kuat akan cenderung untuk memenuhi semua apa yang di perintahkan dalam Al Qur`an dan sunnah-sunnah Nabi saw. Gambaran seseorang yang hidup dengan keteguhan Iman bisa dilihat dan dibaca dalam beberapa ayat seperti 2 ayat dibawah ini.
QS. Al Anfaal : 2.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللَّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ﴿٢﴾
“Innamal mu`minuunal ladziina `idzaa dzukirallahu wajilat quluubuhum wa idzaa tuliyat `alaihim ayaatuhu zadathum imaanan wa`alaa rabbihim yatawakkaluuna”.
”Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal”.
QS. Al Anfaal : 3.
الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنْفِقُونَ﴿٣﴾
”Alladziina yuqiimuunash shalaata wa mimmaa razaqnaahum yunfiquuna”.
“(yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka”.
QS. Ali Imran : 134.
الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ ۗ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ﴿١٣٤﴾
“Alladziina yunfiquuna fiis sarraa`i wadh dharraa`i wal kazhimiinal ghaizha wal `aafiina `anin naasa wallahu yuhibbul muhsiniina”
”(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”.
Tiga ayat diatas adalah gambaran orang yang beriman dengan sebenar-benarnya Iman. Beberapa cirinya adalah : Selalu mengingat Allah dalam keadaan apapun, suka membaca dan mendengarkan lantunan ayat-ayat Allah, memelihara shalat, baik shalat wajib maupun yang sunnah. Menunaikan zakat dan suka bersedekah untuk membantu fakir miskin, mampu menahan amarahnya walaupun dia sanggup untuk membalasnya, dan suka berbuat kebaikan.
Ciri-ciri Iman yang sebenarnya adalah seperti gambaran diatas. Tapi dalam pelaksanaan sehari-hari kebanyakan manusia masih jauh dari perilaku tersebut. Belum lagi sifat-sifat yang menjamin berkurangnya pahala seperti iri, dengki, hasad, takabur dan lain sebagainya. Demikian banyak penyebab kita lebih dekat ke neraka dari pada ke surga. Sehingga surga menjadi satu jalan penempuhan yang mempunyai tingkat kesulitan sangat besar.
Itulah agama Islam. Janji surga memang benar. Tapi bukan merupakan jalan yang mudah. Banyak sekali rintangan nyata yang justru menyebabkan kita lebih banyak terjerumus ke dalam jurang neraka. Dan Islam memberikan semuanya dengan transparan. Membahas semua ilmunya dengan begitu rinci. Tidak ada yang harus ditutupi dalam kemudahan masuk jurang neraka. Mereka yang berusaha memahami ilmu Iman dan Islam pasti tahu semua konsekwensi tersebut.
Surga yang dijanjikan adalah surga yang nyata. Dan neraka yang akan diberikan juga neraka yang nyata. Dengan segala bentuk siksaan yang serba menyakitkan dan menyengsarakan. Semua begitu jelas. Sulitnya jalan ke surga dan mudahnya jalan ke neraka menjadikan agama Islam memberikan gambaran yang sebenarnya bahwa lebih mudah untuk masuk neraka dari pada masuk ke surga. ini adalah sebuah pernyataan yang logis. Bahkan sangat logis.
Lantas mengapa banyak orang mempercayai Islam sebagai agamanya ? Bukankah ada agama lain yang banyak menjanjikan mudahnya masuk surga dan janji tidak akan masuk neraka bagi pemeluknya ? Dengan cara beribadat yang lebih ringan dan banyak pula memberikan dispensasi dalam banyak hal yang berkaitan dengan perbuatan atau tingkah laku. Begitu jarang memberikan ancaman atas perbuatan -perbuatan buruk yang dilakukan oleh pemeluknya. Yang memberikan persepsi bahwa agama hanya di dalam tempat peribadatan. Diluar tempat ibadah, agama tidak perlu dibawa-bawa.
Banyak “hati” meyakini Islam sebagai agama yang “benar”. Agama yang membawa kejujuran. Yang tidak hanya berbicara tentang surga, tetapi juga jelas mengambarkan neraka dan apa saja yang menyebabkan masuknya. Banyak pula orang menjauhi Islam. Karena beratnya syariat yang harus di jalankan. Karena begitu sulitnya jalan ke surga dan begitu mudahnya jalan ke neraka. Mereka lari ketakutan. Mencari sebuah agama yang memberikan banyak kelonggaran dan memberikan kemudahan dalam mencapai surga.
Shalat minimal lima waktu bukanlah perkara yang mudah bagi orang yang tidak memiliki Iman yang kuat. Bangun dari tidur untuk shalat di waktu orang lain nyenyak tidur bukanlah perkara yang ringan. Shalat diwaktu banyak orang berpikir mengisi perut di siang hari juga tidak mudah. Juga shalat di waktu lelah-lelahnya badan disaat ashar. Belum lagi shalat magrib di saat banyak makanan tersedia di meja makan. Dan shalat Isyaa diwaktu nikmatnya hiburan malam di luar rumah maupun di dalam rumah melalui setan kotak atau televisi.
Itu baru shalat wajib, belum shalat-shalat sunnah yang mengikutinya. Apalagi perintah untuk shalat malam seperti yang selalu dilakukan oleh Rasulullah saw. Juga kewajiban Puasa wajib dan puasa-puasa sunnah yang diamalkan oleh Rasulullah. Dan keharusan sedekah dengan harta yang kita cintai. Memang Islam agama yang penuh dengan syarat-syarat yang tidak ringan. Hanya manusia yang bisa melihat sebuah kebenaran yang akan rela masuk ke dalam agama Islam.
Semua itu dikarenakan kejujuran yang di bawa Islam. Islam membawa ajaran yang “orisinil” dalam sebuah kitab yang “orisinil” pula. Tidak ada perubahan di dalamnya. Dan surga yang di janjikan adalah surga yang “orisinil” seratus persen. Bukan surga “imitasi” yang banyak diedarkan di dunia. Maka dari itu jalan yang harus ditempuhpun juga begitu sulit. Kalau dihitung biaya, pasti biayanya “mahal” karena yang akan di dapat juga barang yang mahal pula yaitu sebuah surga yang “orsi”. Biaya adalah pengorbanan yang dikeluarkan oleh pemeluknya. Dari mulai kewajiban yang harus dipenuhi sampai usaha menjaga diri dan jiwa agar supaya tetap dalam keadaan bersih dan suci. Itulah agama Islam.
Apakah mereka yang menyatakan diri beriman, yang melakukan shalat lima waktu, melakukan perbuatan-perbuatan yang baik sudah terbebas dari ancaman neraka ? Ternyata belum juga ! Seluruh amalan atau perbuatan yang kita anggap baik belum tentu bernilai baik dihadapan Allah sebagai dzat yang paling berhak memberikan balasan atau pahala. Hanya perbuatan baik yang didasarkan pada Allah saja yang akan mempunyai nilai. Yang tidak didasarkan pada Allah tidak akan mempunyai nilai akhirat. Karena segala perbuatan yang tidak di dasarkan hanya karena Allah semata, pasti mempunyai tendensi balasan keduniaan. Kita sering menyebutnya dengan kata riya`.
Iman yang benar dan amalan shalih yang berlandaskan ikhlas karena Allah, yang akan memberikan jaminan surga bagi pengamalnya. Dan itu bukan perkara yang ringan. Bukan pula perkara main-main. Sehingga bagi siapa saja yang menjadikan Agama Islam sebagai suatu permainan belaka, niscaya dia akan menerima balasan yang setimpal dengan perbuatannya. Dan Allah maha mengetahui seluruh apa yang dilakukan oleh manusia, bukan saja yang nampak di mata, tapi juga apa yang tersirat di hati kita. Sebuah amalan bisa dianggap baik jika diawali dengan niat yang baik dan dilakukan dengan hati yang ikhlas karena Allah.
Kebanyakan manusia menganggap berat beragama Islam. Tapi Allah maha benar dengan segala firmannya. Bahwa Allah tidak akan memberikan beban kepada manusia melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dengan demikian semua apa yang telah diperintahkan sudah diukur dengan kekuatan atau kesanggupan manusia sendiri. Tidak ada manusia yang tidak sanggup menjalani perintah Allah kecuali manusia yang tidak punya keyakinan tentang Allah. Kecuali keengganan mengakui sebuah kebenaran. Walaupun kebenaran itu telah dianggukkan oleh seluruh alam. Kecuali orang-orang yang membungkus dirinya dengan selimut kemalasan yang diproduksi oleh setan.
QS. Al An`am : 125.
فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ ۖ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ ۚ كَذَٰلِكَ يَجْعَلُ اللَّهُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ﴿١٢٥﴾
”Faman yuridillahu an yahdiyahu yasyrah shadrahu lil `islaam, waman yurid anyudhillahu yaj`al shadrahu dhayyiqan harajan ka`annamaa yasha`adu fiissamma`i, kadzaalika yaj`alullahur rizsa `alalladziina laa yu`minuuna”
”Barangsiapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit. Begitulah Allah menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman”.
Lalu untuk apa kita mempertahankan diri dalam Agama Islam ? Tak lain karena Islam adalah agama Allah. Dan karena kejujuran yang dibawa oleh Agama Islam sendiri. Keseimbangan informasi tentang surga dan neraka menjadi pertimbangan sendiri bagi orang yang “sadar” tentang agama. Agama yang mempunyai hukum yang tegas. Yang akan membukakan pintu yang lebar bagi yang berhak surga, dan akan rela memberikan banyak pengikutnya yang berdosa kedalam “jurang” neraka yang paling dalam. Sebuah prinsip yang benar-benar konsisten. Tak ada rekayasa dan tawar menawar untuk surga dan neraka. Semua sudah jelas. Tinggal tergantung kita yang menjalaninya.
QS. Ali Imran : 83.
أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ﴿٨٣﴾
“Afaghaira diinillahi yabghuuna wa lahu aslama man fiis samaawaati wal ardhi thau`an wa karhan wa ilaihi yurja`uuna”.
”Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allahlah mereka dikembalikan”.
Apalagi yang membuat mereka bertahan dalam Islam ? Harapan akan dapatnya sepercik ampunan dari segala dosa yang telah banyak kita lakukan. Melalui jembatan taubat, setitik harapan kita gantungkan. Karena kejujuran dan kesungguhan janji ampunan dari segala dosa, kita nekad bertahan dalam kereta Islam. Walaupun saat ini kita hanya bergelantungan di kanan dan kiri kereta, namun kita semua punya harapan akan sampai di tujuan, walau dengan keadaan yang babak belur karena hempasan angin dan benturan-benturan yang akan kita dapatkan.
Masihkah ada lagi sandaran harapan yang lain ? Marilah kita perhatikan satu ayat dibawah ini. Yang menganjurkan untuk bertakwa dengan sebenar-benarnya takwa. Dan janganlah seseorang mati kecuali dalam keadaan beragama Islam.
QS. Ali Imran : 102.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ﴿١٠٢﴾
“Yaa ayyuhal ladziina aamanuut taqullaha haqqat tuqaatihi walaa tamuutunna illa wa antum muslimuuna”
”Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam”.
Janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam. Penggalan ayat ini mempunyai makna yang dalam. Tapi sebagian dari kita menganggap kematian dalam agama Islam akan memberikan keselamatan kelak di akhirat. Tidak. Tidak begitu. Islam adalah sebuah agama yang membawa kebenaran. Dan tidak akan pernah mengingkari sebuah kebenaran. Mereka yang memilih agama Islam harus “benar-benar” Islam. Kata Islam bisa bermakna “berserah diri” hanya kepada Allah. Dan kondisi itu hanya bisa dicapai oleh orang-orang “beragama” Islam yang sudah mencapai derajat “Muttaqiin”. Bukan orang-orang yang hanya memeluk agama Islam untuk memberi label pada dirinya sebagai “Muslim”.
Kata muslim lebih banyak dimaknai dengan “pemeluk” agama Islam. Bukan sebagai orang-orang yang berserah diri hanya kepada Allah. Sehingga banyak dari diri kita nanti justru “singgah” di neraka karena salah dalam mempersepsi ayat. Sehingga kita begitu menikmati hidup sebagai orang Islam tanpa harus mempelajari dan memahami apa sebenarnya menu yang disediakan oleh Islam sebagai agama.
Untuk itulah kita harus segera bangun dari mimpi yang kita buat sendiri. Dengan menggugah kesadaran spiritual kita untuk lebih banyak mengetahui dan memahami apa sebenarnya yang harus kita lakukan sebagai orang yang beragama Islam. Agar kita tahu bagaimana beragama dengan benar dan agar kita tahu apa yang diberikan agama kita serta agar kita tahu apa yang harus segera kita lakukan demi “ke-Islam-an” kita
sekian.
Wrote by : Agushar.
Selengkapnya...
Selasa, 15 Juni 2010
Warisan yang tak Berarti.
Dengan tertatih-tatih perjuangan Rasulullah saw dan para sahabat berlangsung di tanah kelahiran beliau sendiri di kota Mekah. Kesabaran dan ketabahan serta kekuatan Iman telah melangkahkan kaki Rasulullah dan para sahabat ke tanah Yatsrib atau Madinah. Sambutan yang luar biasa dilakukan oleh penduduk Yatsrib yang telah mengenal dan menyediakan diri dalam Iman dan Islam seakan memberikan pertanda akan semakin luas dan besarnya pengaruh agama ini kelak di kemudian hari.
Hari demi hari berlalu. Dengan keyakinan yang semakin bertambah kuat, bertambah besar pula semangat kaum muslimin. Keyakinan yang begitu dalam dan semangat yang begitu menggelora yang lahir dari berbagai kesulitan yang terlalui, menyebabkan Allah memberikan dukungan dengan mengirimkan malaikat untuk membantu perjuangan Rasulullah dan para sahabat serta kaum muslimin dalam mempersiapkan sebuah perang besar.
Sebuah peristiwa perang yang kelak menjadi legenda sepanjang sejarah Islam, karena hanya dengan sejumlah 300 orang pasukan telah mampu mengalahkan seribu orang lawan lebih. Sesuatu yang hampir tidak bisa diterima akal, karena pasukan lawan terdiri dari orang-orang yang sudah terbiasa berperang dengan jumlah pasukan yang jauh lebih banyak. Kalau bukan karena pertolongan Allah, mustahil pasukan muslimin akan memperoleh kemenangan dalam perang badar tersebut.
Kemenangan dalam perang tersebut telah memberikan suntikan motivasi dan bertambahnya keyakinan akan kebenaran agama baru yang mereka anut. Bahwa mereka tidak salah mengambil keputusan untuk bergabung dengan keyakinan baru dan pemimpin sekaligus seorang nabi yang telah diutus oleh Allah untuk menanamkan ketauhidan dalam hati setiap orang dan menyebarkan kebenaran serta kedamaian dalam kehidupan yang telah sampai pada titik paling mengkhawatirkan yaitu kemusyrikan.
Sebuah kemenangan sedikitnya memberikan rasa bangga. Dan keyakinan bahwa kelak dalam perang yang lain pasti akan menjumpai kemenangan yang sama. Karena Allah pasti akan memberikan bantuannya lagi kepada pasukan yang di pimpin oleh seorang nabi yang menjadi kepercayaan dan tumpuan harapan mereka. Menjadikan kaum muslimin sedikit lengah. Dan teguran Allah dalam perang di bukit uhud cukuplah membuat kau muslimin tersentak dan segera menyadari apa yang telah terjadi pada diri mereka dan kaum muslimin.
Menyadari apa yang telah terjadi dan belajar dari kesalahan yang telah mereka perbuat, kaum muslimin bertekad untuk lebih mempersiapkan diri lebih matang dalam perang yang akan terjadi kelak di kemudian hari. Mereka membangun kekuatan Iman dan kekuatan pasukan perang demi kewibawaan dan kelangsungan Agama mereka. Perang demi perang yang terjadi kemudian selalu mereka menangkan. Dan tibalah saatnya untuk sebuah pekerjaan yang sangat besar, yaitu menaklukkan kota mekah dan membebaskan masyarakatnya dari kebodohan beragama.
Dengan masuknya Khalid bin Walid ke dalam Islam semakin membuat pasukan kaum muslimin begitu kuat. Dan kota Mekkahpun dapat ditaklukkan tanpa terjadi kekerasan setelah menunggu waktu satu tahun dari sebuah perjanjian antara kaum muslimin dengan penduduk Mekkah. Lalu mulailah sebuah perjalanan yang sangat menentukan dari sebuah agama baru yang membawa kebenaran dan menawarkan kedamaian diantara manusia.
Dengan kekuaan Iman dan pesona Islam sebagai sebuah agama pembawa kebenaran. Dalam waktu yang relatif singkat Islam telah menyebar ke berbagai wilayah jazirah arab. Semakin lama semakin jauh wilayah penyebaran Islam. Karena apa ? Kesungguhan Iman telah menurunkan rahmat Allah kepada perjuangan kaum muslimin. Dengan Khalid bin Walid sebagai panglima perang tidak ada satu tempatpun yang sanggup bertahan dari kekuatan pasukan muslimin yang membawa misi kebenaran beragama. Tidak juga pasukan Rumawi, mereka takluk dibawah kewibawaan dan keperkasaan pasukan muslimin.
Namun setelah berabad-abad berlalu dan Islam telah benar-benar membawa rahmat bagi pengikutnya, kekuatan Iman bukan lagi menjadi tumpuan utama dalam sebuah perjuangan. Cahaya iman yang berkilauan yang diwariskan Rasulullah dan para sahabat semakin meredup. Karena telah tergantikan dengan kilaunya cahaya dunia. Rasa persaudaraan yang begitu kuat, saat ini seakan terputus. Semua itu lebih banyak di sebabkan berpalingnya hati dan perut pada materi keduniaan dan nikmatnya aneka makanan yang telah bercampur dengan bumbu-bumbu racikan setan.
Allah memberikan begitu besar nikmat dunia pada sebagian besar negara Islam, tapi sejalan dengan besarnya nikmat yang kita terima luntur pula kecenderungan mencontoh perilaku Rasulullah saw. kebanyakan dari kita hanya sedikit meniru perilaku Rasulullah. Penampilan sehari-hari yang sangat jauh seperti gambaran keseharian Nabi. Menumpuk harta sedemikian banyaknya, yang nabi dan sahabatnya sendiri sangat takut dengan banyaknya harta. Amalan shalat malam yang sangat minim, juga sangat jauh dari perilaku Rasulullah yang mendakwamkannya.
Harta dan kekayaan telah menutup pintu hati kita dari kuatnya Iman seperti yang dimiliki Rasulullah dan para sahabat serta para tabi`it tabi`in di masa lalu. Kekayaan telah menjauhkan diri kita dari fakir miskin dan orang-orang yang teraniaya, padahal Rasulullah dan para sahabat begitu mencintai fakir miskin dan selalu membela mereka yang teraniaya. Karena kecintaan kepada fakir miskin menunjukkan kedekatan kita kepada Allah. Semuanya itu lebih dikarenakan kita mengacuhkan ilmu agama dan ancaman-ancaman Allah yang ada di dalamnya.
Yang lebih memprihatinkan adalah ketidak pedulian kita terhadap saudara-saudara kita yang ketakutan dalam kuatnya cengkeraman orang-orang kafir. Ketidak pedulian yang disebabkan karena ketakutan akan kehilangan dunia. Yang berimbas pada berubahnya kiblat ke-tunduk-an hanya kepada Allah menjadi sebuah ketundukan pada manusia lain yang kita anggap lebih perkasa. Dengan tingginya tehnologi persenjataan yang di miliki oleh orang lain menyebabkan hilangnya “nyali” yang semula begitu kuat menempel pada diri Rasulullah dan para sahabatnya.
Mungkin masih bisa kita temukan beberapa pemimpin Islam yang mewarisi kuatnya Iman dari Rasulullah dan para sahabat tersebut. Tapi itu jumlahnya tidak banyak. Dan pemimpin yang seperti itu tidak hanya berjuang melawan kuatnya lawan nun di seberang lautan. Tapi juga melawan kuatnya “saudara” sendiri yang cenderung ke “lawan”. Saudara sendiri yang haus akan kekuasaan. Suatu sifat yang sebenarnya di wariskan oleh kerajaan atau kekaisaran di luar Islam.
Keadaan dunia saat ini sudah bisa dijadikan cermin, betapa lunturnya warisan “hati” Islam tersebut. Orang-orang kafir begitu leluasa memporak-porandakan sebuah wilayah Islam hanya karena keinginan menguasai “rahmat” Allah yang tercurah di sana. Dan kekalahan demi kekalahan kita terima tanpa bisa harus berbuat apa. Hanya menunggu sebuah kehancuran diri dan harta benda yang kita punya untuk kemudian tunduk dan patuh tanpa kata. Tanpa asa dan tanpa saudara seperti seseorang yang hidup sebatang kara di medan perang dan membiarkan sebuah mesiu menembus dada kita.
Iman kita telah “tidur”. Berganti menjadi sebuah “ketakutan” akan hilangnya dunia dari diri kita. Tidak perduli manusia dari sisi mana saja, kalau hati sudah berpaling pada dunia, niscaya yang tinggal hanya sebuah “ketakutan” yang amat sangat akan kehilangan nikmat-nikmat dunianya. Iman yang seharusnya menyebarkan kekuatan “hati” dalam Islam justru semakin terpendam jauh ke dalam dasar hati yang paling dalam.
Yang terjadi kemudian hanyalah timbulnya ambisi untuk memenuhi keinginan-keinginan pribadi. Membentuk diri menjadi manusia yang bergelimang harta, untuk kemudian menyembunyikan diri dari pandangan mata kaum papa atau fakir miskin. Menjadi lupa. Islam yang semula memberikan kekuatan Iman dan kepedulian pada fakir miskin berganti menjadi sebuah ketidak pedulian dan perasaan tega melihat saudara-saudara se iman kita hancur dalam gempuran musuh-musih Islam. Bahkan terhadap saudara se iman yang sangat dekat letaknya dengan bumi yang kita injak.
Kita semua lupa, kalau bukan karena Islam, niscaya sudah hancur tiap jengkal tanah, kemudian berganti dengan tirani-tirani penghisap darah yang akan menghisap habis seluruh apa yang ada di dalam buminya maupun apa yang ada di dalam dadanya. Kalau bukan karena Allah dan Rasulnya niscaya kita akan benar-benar terhina hidup sebagai manusia. Kalau bukan karena kekuatan Iman Rasulullah dan para sahabat niscaya seluruh bumi ini tidak akan pernah ber-Tuhan pada Allah. Niscaya akan semakin banyak muncul Tuhan-Tuhan lain yang bertebaran di muka bumi ini.
Islam bisa berkembang pesat karena kekuatan Iman pengikutnya. Rahmat Allah turun karena janji Allah kepada orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya Iman. Dan itu sudah dibuktikan oleh Allah ke tiap jengkal bumi yang menjadi pijakan Rasulullah dan para sahabatnya serta para salaf pada jamannya. Dan kesemuanya itu telah di wariskan kepada manusia-manusia yang hidup setelah mereka. Termasuk semua diri kita yang masih mengatakan bahwa dirinya beriman dalam Islam. Kekuatan Iman dan rahmat dari Allah telah di wariskan kepada kita oleh para pendahulu kita. Kita tinggal menjaganya dan menyebarkannya ke seluruh arah yang bisa kita jangkau.
Allah memberikan pertolongannya kepada kaum muslimin karena kebenaran Iman dan keikhlasan dalam setiap amal perbuatannya. Keberanian menantang maut dan tidak takut terhadap kematian telah pula menarik para malaikat untuk turut berperan dalam setiap langkah besar kaum muslimin dalam berperang. Semangat Iman dan Islam terbukti bisa menjadi penghancur musuh atau lawan. Tak terkecuali di negara yang kita cintai ini.
Tapi apa yang terjadi di dunia saat ini ? Warisan kuatnya Iman dari Rasulullah dan para sahabat serta para salaf telah banyak terkikis oleh gemerlapnya dunia, warisan “hati singa” hanya tertinggal pada diri orang beriman yang hidup dalam kefakiran. Sementara kita yang hidup dalam gelimang harta dan nikmatnya kehidupan semakin menuju ke kerasnya “hati”. Meninggalkan kebiasaan-kebiasaan “bergetar” karena lunak hati dan beningnya jiwa.
Akibatnya ? Kita menjadi manusia yang takut kehilangan. Takut kehilangan semua apa yang kita punya. Kita rela kehilangan Iman sedikit demi sedikit dan menggantinya dengan ambisi dan nafsu-nafsu arahan setan. Dan yang lebih parah lagi, ketakutan akan kematian. Takut aka kematian yang lebih banyak di sebabkan karena lemahnya Iman. Sehingga tidak ada lagi kepercayaan diri untuk berani melakukan sesuatu terhadap saudara-saudara kita yang hidup dalam kesengsaraan akibat perang yang berkepanjangan.
Dan apa yang telah di wariskan oleh Rasulullah dan para sahabatnya berupa kuatnya Iman telah berubah menjadi suatu warisan “hati” yang tak berarti. Karena secara pelan namun pasti kita telah membuang isinya dan menggantinya dengan lembaran-lembaran angka dan “berhala-berhala” emas. Yang senantiasa kita bangga-banggakan di hadapan manusia sebagai bukti bahwa kita telah hidup mulia di dunia yang sebenarnya fana.
Ketakutan yang juga lebih banyak dipengaruhi oleh keyakinan. Bahwa Allah tidak akan menurunkan pertolongannya pada orang-orang yang sekedar hanya beriman di pinggiran agama. Sehingga bayangan kematian selalu nampak di depan mata jika kita membayangkan sebuah pertempuran. Inilah yang membedakan “nyali” antara orang yang beriman dengan sebenar-benarnya Iman dan orang-orang yang asal beriman. Dan Allah lebih tahu tentang kualitas Iman masing-masing orang.
Itulah kenapa kita lebih banyak bersikap membiarkan saudara-saudara kita yang menderita akibat terkaman lawan dan tikaman senjata dari depan dan belakang. Hanya lisan kita yang bereaksi. Mengumpat, mengutuk dan mencaci maki. Lalu setelah puas, kita membeli kesengsaraan saudara-saudara kita itu dengan lembar-lembar bergambar yang belum tentu berarti. Tak ada kekuasaan dan kekuatan untuk ikut melepaskan mereka dari penderitan akibat perang yang berkepanjangan.
Saudara-saudaraku dalam Iman dan Islam yang sedang berada di medan perang, kuatkanlah hati kalian. Karena andalah pewaris “hati” Iman dan Islam yang sebenarnya. Bukan kami yang selalu dalam ketakutan akan datangnya kematian. Jemputlah kematianmu dalam kesyahidan, pertahankan tiap jengkal tanahmu demi ketauhidan. Niscaya Rasulullah akan menyambut kalian di pintu-pintu langit di suatu tempat di sebuah ketinggian.
Kami disini tidak mempunyai kemampuan untuk bisa memberikan dukungan di belakangmu. Karena kami yakin akan terkena peluru lebih dulu dari pada kalian yang ada di depan kami. Kami adalah sekumpulan orang-orang yang “takut” akan kematian. Kami hanya bisa bersama-sama berdo`a, mudah-mudahan pertolongan Allah akan segera datang, mudah-mudahan para malaikat akan selalu berada di samping kalian untuk membentengi kaki dan dada kalian. Agar kalian tetap dapat menegakkan kepala dalam menghadapi lawan yang dibantu pasukan setan.
Agar kalian tetap mempunyai kekuatan untuk melangkahkan kaki ke garis depan. Agar hati kalian menjadi pengobar semangat dalam menghadapi ganasnya lawan. Agar mata dan kepala siap menghadapi kematian dalam kesyahidan untuk mempertahankan tanah yang luhur yang telah di wariskan kepada diri kalian. Kami disini hanya bisa menitikkan air mata. Karena ketidak berdayaan akibat beratnya beban dunia yang kami letakkan di atas punggung kami. Yang sebenarnya telah kami sadari bahwa semuanya itu justru akan membawa diri kami ke dalam dalamnya jurang yang akan menelan diri dan jiwa kami.
Yakinlah bahwa Allah pasti akan menolong orang-orang yang menolong agamaNya. Selamat berjuang saudaraku, Insya Allah Rasulullah menunggu kalian, karena kalian telah berhadapan dengan lawan yang juga menjadi musuh Rasulullah, para sahabat dan seluruh umat Islam.
Sekian.
Wrote by : Agushar.
Selengkapnya...