QS. Al Maaidah : 114.
قَالَ عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا أَنْزِلْ عَلَيْنَا مَائِدَةً مِنَ السَّمَاءِ تَكُونُ لَنَا عِيدًا لِأَوَّلِنَا وَآخِرِنَا وَآيَةً مِنْكَ ۖ وَارْزُقْنَا وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ﴿١١٤﴾
“Qaala `iisabnu maryamallahumma rabbanaa anzil `alainaa maa`idatan minas samaa`i takuunu lana `iidan liawwalinaa wa aakhirinaa wa ayatan minka, warzuqnaa wa anta khairur raaziqiina”
”Isa putera Maryam berdoa: "Ya Tuhan kami turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rezekilah kami, dan Engkaulah pemberi rezeki Yang Paling Utama".
Sebagian dari kita ada yang berdo`a dengan referensi ayat tersebut diatas. Tidak ada masalah, karena dinukil dari Al Qur`an. Permasalahannya adalah, pada saat kita meminta dengan mengucapkan kata-kata dari Al Qur`an tersebut, apa yang terlintas di benak kita ? Apakah hidangan siap saji yang tertata rapi di atas meja seperti kalau kita makan “prasmanan” “ ataukah hidangan lain yang nyata-nyata turun dari langit, misal berupa hujan. Atau berupa petunjuk yang bisa membuat kita mendapatkan sebuah pencerahan batin. Tapi bukankah petunjuk itu sudah diturunkan oleh Allah dari langit, berupa Al Qur`an ?
Marilah kita mencoba untuk sedikit mencermati ayat tersebut dan hubungannya dengan ayat-ayat sebelumnya serta ayat-ayat sesudahnya. Mungkin akan bisa tergambar dengan jelas makna rangkaian ayat tersebut dengan memperhatikan ayat demi ayat yang berkaitan dengan peristiwa tersebut.
QS. Al Maaidah : 112.
إِذْ قَالَ الْحَوَارِيُّونَ يَا عِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ هَلْ يَسْتَطِيعُ رَبُّكَ أَنْ يُنَزِّلَ عَلَيْنَا مَائِدَةً مِنَ السَّمَاءِ ۖ قَالَ اتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ﴿١١٢﴾
”Idz qaalal hawaariiyuuna yaa `iisaabna maryama hal yastathii`u rabbuka an yunazzila `alainaa maa`idatan minas samaa`i, qaalaat taquullaha in kuntum mu`miniina”
”(Ingatlah), ketika pengikut-pengikut Isa berkata: "Hai Isa putera Maryam, sanggupkah Tuhanmu menurunkan hidangan dari langit kepada kami?". Isa menjawab: "Bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang yang beriman".
QS. Al Maaidah : 113.
قَالُوا نُرِيدُ أَنْ نَأْكُلَ مِنْهَا وَتَطْمَئِنَّ قُلُوبُنَا وَنَعْلَمَ أَنْ قَدْ صَدَقْتَنَا وَنَكُونَ عَلَيْهَا مِنَ الشَّاهِدِينَ﴿١١٣﴾
”Qaaluu nuziidu an na`kula minhaa wa tathma`inna quluubunaa wa na`lama an qad shadaqtanaa wa nakuuna `alaihaa minay syahidiina”.
”Mereka berkata: "Kami ingin memakan hidangan itu dan supaya tenteram hati kami dan supaya kami yakin bahwa kamu telah berkata benar kepada kami, dan kami menjadi orang-orang yang menyaksikan hidangan itu".
Dua ayat tersebut memberikan informasi kepada kita bahwa, ada keraguan di hati mereka yang mengikuti Nabi Isa dalam meyakini bahwa Nabi Isa as. Benar-benar Nabi utusan Allah. Mereka menginginkan bukti yang nyata di mata mereka untuk bisa mempercayai dan meyakini bahwa Nabi Isa benar-benar Nabi utusan Allah seperti yang selama ini di katakan kepada para pengikutnya tersebut.
Mereka mengajukan permintaan yang sebenarnya tidak bisa diterima oleh akal. Sebuah hidangan dari langit. Hidangan yang dimaksudkan adalah benar dalam bentuk makanan yang siap untuk dimakan. Hal yang biasanya hanya bisa dilakukan oleh tukang “sihir”. Dan permintaan para pengikut Nabi Isa itu semula hanya dijawab dengan sebuah kalimat yang mengingatkan mereka agar betaqwa kepada Alah jika mereka benar-benar beriman kepada Allah.
Tapi ketika nyata bahwa permintaan mereka tidak main-main atau suatu permintaan yang sangat serius untuk membuktikan bahwa apa yang dikatakan kepadanya mengenai kenabian dirinya adalah benar. Bukan merupakan kebohongan. Untuk menambah pengetahuan mereka bahwa Nabi Isa adalah Nabi utusan Allah. Juga untuk menambah makin mantapnya keyakinan mereka tentang kerasulan Nabi Isa. Serta keinginan untuk menyaksikan sendiri bahwa Nabi Isa mampu memenuhi permintaan mereka yang hampir mustahil.
Kemudian Nabi Isa memohon kepada Allah dengan beberapa kalimat, “Ya Tuhan kami turunkanlah kiranya kepada kami suatu hidangan dari langit (yang hari turunnya) akan menjadi hari raya bagi kami yaitu orang-orang yang bersama kami dan yang datang sesudah kami, dan menjadi tanda bagi kekuasaan Engkau; beri rezekilah kami, dan Engkaulah pemberi rezeki Yang Paling Utama".
Saya begitu yakin, bahwa pada saat mengucapkan do`a tersebut Nabi Isa benar-benar meminta kepada Allah sesuatu seperti apa yang dibayangkan oleh para pengikutnya. Yaitu sebuah hidangan berupa makanan yang siap untuk dimakan. Janji Nabi Isa adalah akan menjadikan hari itu, yaitu hari turunnya hidangan tersebut menjadi hari raya atau hari yang akan dimuliakan oleh segenap pengikutnya yang hidup di masa itu serta orang-orang yang datang (hidup) sesudah mereka. Serta akan menjadi tanda bukti akan kekuasaan Allah serta bukti kenabian dirinya atau bukti bahwa dirinya adalah benar seorang “Nabi” yang telah diutus oleh Allah.
Allah mendengar permintaan Nabi Isa. Kemudian Allah berfirman :
QS. Al Maaidah : 115.
قَالَ اللَّهُ إِنِّي مُنَزِّلُهَا عَلَيْكُمْ ۖ فَمَنْ يَكْفُرْ بَعْدُ مِنْكُمْ فَإِنِّي أُعَذِّبُهُ عَذَابًا لَا أُعَذِّبُهُ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ﴿١١٥﴾
”Qaalallahu innii munazziluhaa `alaikum, faman yakfur ba`du minkum fa`innii u`adzdzibuhu `adzaaban laa u`adzdzibuhu ahadan minal `aalamiina”.
”Allah berfirman: "Sesungguhnya Aku akan menurunkan hidangan itu kepadamu, barangsiapa yang kafir di antaramu sesudah (turun hidangan itu), maka sesungguhnya Aku akan menyiksanya dengan siksaan yang tidak pernah Aku timpakan kepada seorangpun di antara umat manusia".
Perhatikan ayat tersebut, Allah akan mengabulkan permintaan Nabi Isa seperti apa yang diminta oleh para pengikutnya. Yaitu sebuah hidangan yang siap untuk dimakan. Tapi dengan sebuah janji dari Allah, jika mereka tetap dalam keingkarannya tentang ketauhidan Allah dan kenabian Isa as, maka Allah akan menyiksa mereka dengan sebuah siksaan yang tidak pernah ditimpakan kepada seorangpun manusia di bumi.
Kemudian malaikat turun seraya membawa hidangan dari langit, berupa tujuh buah roti dan tujuh macam lauk-pauk, lalu mereka memakan sebagian dari makanan tersebut sampai mereka kenyang. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas hidangan tersebut berupa roti dan daging, lalu mereka di perintahkan agar jangan sampai berkhianat dengan janjinya dan juga jangan menyimpannya hingga keesokan harinya. Akan tetapi ternyata mereka berkhianat dan menyimpan sebagian hidangan itu sampai keesokan harinya, akhirnya mereka dikutuk menjadi kera-kera dan babi-babi. Demikian yang tertulis dalam Al Qur`an dan tafsirnya.
Kutukan menjadi kera dan babi ini mungkin tidak bisa diartikan secara lahir dengan berubahnya tubuh mereka menjadi binatang kera dan babi. Tetapi bisa pula diartikan berubahnya sifat-sifat mereka akibat pengkhianatan janji beriman menjadi atau persis dengan sifat-sifat kera dan babi. Dimana sifat-sifat kera yang tidak pernah mengenal malu untuk selalu menunjukkan pantatnya kepada siapa saja. Dan sifat-sifat babi yang “cuek” atau tidak perduli dengan apa yang diperbuat oleh babi jantan lain terhadap babi perempuan pasangannya. Sehingga satu babi perempuan bisa hidup dengan dua atau tiga babi jantan dalam satu kandang.
Lantas bagaimana dengan kita yang saat ini menjadikan ayat tersebut sebagai rujukan do`a kita ?
Saya coba untuk mengulang lagi, kira-kira apa yang ada di benak kita saat kita mengucapkan do`a atau permintaan kepada Allah berupa hidangan dari langit ? Apakah itu makanan siap untuk dimakan seperti yang kita temui tiap hari ? Ataukah yang lain, misal berupa air hujan ? Atau rizqi berupa petunjuk dari Allah ? Kalau petunjuk, kenapa kita nggak langsung minta “petunjuk” saja dari Allah berupa pemahaman ayat-ayatnya ?
Karena dalam do`a tersebut Nabi Isa benar-benar minta “hidangan” dalam arti yang sesungguhnya. Yang bisa dimakan. Yang bisa dinikmati. Yang bisa membuat perut kenyang. Dan hidangan itu benar-benar diantar oleh malaikat dari langit. Mereka benar-benar menikmati hidangan tersebut. Bahkan ada yang menyimpannya sampai esok harinya. Lalu bagaimana dengan permintaan kita ?
Jika Allah benar-benar akan menurunkan buat kita sesuatu seperti apa yang kita inginkan, apakah kita benar akan menjadikan hari turunnya “hidangan” tersebut sebagai “hari raya” atau sebagai hari yang kita muliakan untuk kita dan anak cucu kita kelak ? Atau justru kita akan mengingkarinya seperti para pengikut Nabi Isa as. Lalu sudah siapkan kita untuk menerima akibat dari keingkaran itu ?
“Hidangan” bagi sebagian kita tetaplah sebuah hidangan. Minimal rizqi berupa materi. Kalau sebuah petunjuk, katakan saja sebagai sebuah petunjuk. Jika memang materi yang ada di benak kita, lalu oleh Allah diturunkan secara melimpah kepada kita, akankah kita menjadikannya sebagai sebuah “hari raya” ? Dan menjadikannya sebagai bukti kekuasaan Allah ?
Padahal bukti-bukti tentang kuasanya Allah yang sudah jelas nampak di depan mata kita saja kita banyak mengabaikannya. Isi atau kandungan Al Qur`an yang terbukti kebenarannya banyak memberikan bukti tentang kuasanya Allah. Tapi kita hampir tidak penah memperhatikan. Kita lebih banyak menyimpannya sebagai benda “keramat” dari pada membaca untuk mempelajarinya dan memperoleh petunjuk darinya.
Lalu benarkah limpahan “hidangan” berupa materi yang kita miliki bisa menambah keyakinan kita tentang tauhidnya Allah ? Dalam kenyataan sehari-hari yang kita lihat justru memberikan gambaran bahwa sebagian besar dari kita kalau mendapat rizqi berupa materi yang berlimpah, justru banyak yang lupa kepada Allah. Dan lebih banyak terlena dengan harta benda yang telah di kuasakan oleh Allah kepada kita tersebut. Lebih banyak bermewah-mewah dalam penampilan dari pada membelanjakannya di jalan Allah.
“Hidangan” nyata yang kita dapat dari “kenduri” atau kondangan saja tidak banyak mempengaruhi kualitas Iman kita. Padahal jelas “berkat” berupa nasi dan lauk pauk serta kue-kue yang kita bawa pulang adalah “hidangan” yang kita harap-harap. Seperti kalau kita berdoa dengan referensi dari Nabi Isa tersebut. Dan kita tidak menjadikan hari diwaktu kita dapat “berkat” tersebut sebagai hari raya yang akan selalu kita muliakan.
Boleh-boleh saja kita berdo`a dengan do`a yang di ucapkan oleh Nabi Isa tersebut, tapi yang lebih penting adalah apa yang kita maksudkan dengan permintaan do`a itu. Atau justru kita hanya berdo`a dengan asal mengucapkan saja tanpa harus paham apa yang kita ucapkan ? Lantas bagaimana kita bisa melakukan sesuatu yang kita sendiri tidak tahu maksudnya ? Dengan kata lain, “asal” sudah berdo`a, tak perduli apa isi dari do`a-do`a yang kita ucapkan. Dan apa akibat yang akan di timbulkannya.
Untuk itu marilah kita selalu berusaha memahami tentang semua apa yang kita ucapkan. Baik dalam komunikasi sehari-hari dengan orang-orang di sekitar kita dalam bahasa yang sudah kita mengerti maupun dalam berkomunikasi dengan “Allah” melalui media Shalat dan do`a-do`a yang kita ucapkan. Sehingga kita bisa dikatakan benar-benar dalam keadaan “sadar”. Tahu atau mengerti semua yang kita ucapkan. Bukan seperti perkataan atau ucapan orang-orang yang terkena pengaruh alkohol hingga dirinya tidak tahu dan tidak sadar semua apa yang dilakukan dan diucapkannya.
Islam adalah agama Ilmu. Ayat-ayat dalam Al Qur`an sarat dengan Ilmu-ilmu Pengetahuan. Oleh karena itu, beragamalah dengan Ilmu. Karena segala sesuatu itu ada ilmunya. Dan Allah melarang kita untuk mengikuti segala sesuatu yang kita sendiri tidak tahu ilmunya. Karena sesungguhnya Mata, Telinga dan Hati akan dimintai pertanggungan jawabnya kelak di akhirat.
Sekian.
Wrote by : Agushar.
Rabu, 02 Juni 2010
Hidangan dari Langit.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar