Jumat, 25 Juni 2010

Mempersiapkan Kematian.


Ketakutan yang paling besar pada diri manusia adalah “mati” . Kemudian takut kehilangan “dunia” yang seakan sudah menjadi milik kita sendiri. Contoh-contoh kematian manusia yang kita saksikan selama ini telah pula memberikan gambaran sedikit tentang sebuah “kematian”. Diam, tak bergerak. Diiringi tangis dan kerumunan orang. Diangkat beramai-ramai, untuk kemudian “ditanam” dalam-dalam di komunitas yang “penuh sesak”. Disambut keheningan dalam nuansa sepi yang kadang mencekam.

Kematian memang selalu mencekam. Isak tangis bersahutan dari orang-orang yang selama ini begitu dekat dan saling berbagi rasa dengan kita. Yang tidak mungkin lagi akan menggugah kita dalam “tidur” yang panjang. Sementara diluar kamar orang banyak membicarakan sebab kematian kita. Ada yang bernada kasihan, ada pula yang merasa kehilangan. Orang-orang banyak membicarakan kebaikan kita selama dalam kebersamaan. Sebagian “musuh” kita mencibir dan “mensyukuri” kematian kita. Sebagian kecil yang lain menganggapi dengan biasa saja. Tak ada sedih, tidak juga gembira. Mereka menanggap kematian adalah hal biasa yang bisa menimpa diri siapa saja. Kapanpun waktunya dan dimanapun tempatnya.

Itulah realitas setiap peristiwa “kematian” disekitar kita. Kita tidak mengharapkan kematian itu akan segera menghampiri. Karena kita memang benar-benar “takut” dengan kematian. Tapi, sangatlah perlu membangun keyakinan, bahwa kematian pasti akan menghampiri. Tidak ada satupun dari diri kita yang bisa menghindar dari kematian. Karena kematian sudah merupakan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah kepada setiap makhluk yang hidup di muka bumi. Hingga mau tidak mau kita juga akan menghadapinya dan menerimanya dengan suka atau terpaksa. Seperti dalam surat Ali Imran ayat 185 dan beberapa ayat di bawah ini.

QS. Al Anbiyaa` 35.

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۗ وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً ۖ وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ﴿٣٥﴾
“Kullu nafsin dza`iqatul mauti,wa nabluuwakum bisysyarri wal khairi fitnah. Wa ilainaa turja`uuna”

”Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan”.


QS. Al Ankabuut 57.

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ۖ ثُمَّ إِلَيْنَا تُرْجَعُونَ﴿٥٧﴾
“ Kullu nafsin dza`iqatul mauti, tsumma ilainaa turja`uuna”.

”Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan”.


QS. Al Qashash 88.

وَلَا تَدْعُ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ ۘ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ ۚ لَهُ الْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ﴿٨٨﴾
“Wa laa tad`u ma`allahi `ilahan aakhara, laa `ilaha illa huwa, kullu syai`in halikun illa wajhah, lahulhukmu wa ilaihi turja`uuna”

”Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, Tuhan apapun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nya-lah segala penentuan, dan hanya kepada-Nya-lah kamu dikembalikan”.

Beberapa ayat di atas memberikan penegasan kepada manusia bahwa setiap diri kita pasti akan mati. Dan jika kita mati pasti dihadapkan pada situasi seperti yang telah kita gambarkan diatas. Kita semua adalah milik Allah, maka kitapun akan kembali kepada Allah. Ibarat seorang pengembara yang kembali ke tempat asalnya. Maka, apa yang dibawa dari pengembaraan itu akan menjadi kunci penentu bermanfaat dan tidaknya sebuah pengembaraan.

Begitu juga hidup kita. Ibarat sebuah perjalanan yang penuh dengan cobaan. Dengan keterbatasan waktu, kita dituntut cepat kembali dengan membawa “oleh-oleh” yang akan kita tunjukan kepada Allah untuk kemudian dikembalikan lagi kepada kita dengan sejumlah “tambahan” balasan. Nah, tambahan balasan inilah yang menentukan setiap diri kita termasuk dalam golongan orang-orang yang “berarti” dalam hidup atau “tidak berarti” sama sekali. Baik bagi diri kita sendiri, bagi orang lain maupun bagi alam sekitar kita.

Untuk itulah mengapa kita sangat perlu mempersiapkan kematian kita. Sebab kesempatan tidak akan datang dua kali. Umur kita tidak akan berjalan mundur, jika rambut sudah memutih, tidak akan ada lagi yang bisa merubah hitam kecuali sebuah kepalsuan. Kepalsuan yang berguna hanya untuk sementara, karena dalam waktu yang tak begitu lama kondisi sebenarnya akan muncul kembali. Hal ini dikarenakan bahwa kenyataan tak akan bisa tertutupi untuk selamanya. Karena “kenyataan” adalah milik Allah dan kepalsuan adalah milik sebagian besar dari kita.

Maka dari itu, menjadikan diri “sekali berarti sesudah itu mati” adalah sebuah kewajiban yang mutlak. Ibarat pohon pisang, hidup hanya untuk sebuah pengabdian. Pengabdian hanya kepada Allah swt. Selama hidup dipergunakan untuk bertasbih dan bersedekah. Tunas yang tumbuh besar dan tinggi menghasilkan pelepah yang bisa di gunakan untuk tali pengikat sayuran. Kadang tunas dan batang “diambil” jasanya untuk mendampingi sebuah prosesi pernikahan. Daun-daun yang lebar dan memanjang selalu dibutuhkan dalam beberapa keperluan. Terakhir adalah buah yang dihasilkan memberikan sedikit penghidupan pada diri manusia. Setelah itu pohon pisang harus “mati” sebagai sebuah ketetapan.

“Mati”nya pohon pisang adalah mati yang “berarti”. Warisan yang di tinggalkan adalah selalu bertasbih dan berbuat amal kebaikan untuk makhluk lain. Tunas-tunas yang tumbuh dari pohon pisang yang telah mati “mewarisi” akhlak induknya. Mereka hidup dengan mudah dimana-mana tempat di atas bumi. Apa tujuannya ? Tak lain hanyalah memberi contoh kepada manusia bagaimana seharusnya hidup. Tapi kebanyakan diri kita hanya mengambil dan memanfaatkan “diri” pohon pisang, bukan “pesan” yang disampaikan. Sehingga pelajaran hidup yang seharusnya kita contoh dalam menjalani kehidupan menjadi sebuah pesan yang sia-sia. Karena kita yang tidak bisa menerjemahkannya.

Itulah kenapa kita harus mempersiapkan prosesi kematian diri kita, baik di hadapan Allah maupun dihadapan manusia. Dengan memperhatikan beberapa perkara kita coba untuk membuat mati kita menjadi sebuah kematian yang di inginkan oleh banyak orang. Karena sesungguhnya “kebaikan” kita akan terkuak pada saat ajal datang menjemput. Kenyataan yang kita lihat selama ini adalah, ada sesorang yang dikala “mati”nya banyak orang lain yang merasa kehilangan. Karena mereka turut merasakan manfaat dari hidupnya orang tersebut. Ada pula seseorang yang mati tanpa ada yang merasa kehilangan kecuali hanya kerabat terdekatnya saja.

Yang perlu kita perhatikan dalam mempersiapkan kematian kita adalah sebagai berikut :

Umur berapa kita akan meninggalkan dunia ini ?
Apa yang akan menyebabkan kematian kita ?
Apa yang kita tinggalkan disaat kita mati ?
Apa kesan para pelayat tentang diri kita disaat kita masih hidup ?
Siapa dan berapa banyak orang yang akan mengantarkan ke tempat tidur terakhir kita ?

Pada umur berapa kita akan meninggal dunia ?

Tidak satupun diri kita yang tahu kapan akan meninggal, walaupun kematian itu sudah ada di ujung tanduk. Karena hanya Allah yang paling tahu kapan ajal kita akan menjemput. Baik saat ini maupun saat yang akan datang kita tidak tahu tentang kepastian ajal kita. Yang kita tahu hanyalah bahwa kita akan meninggal. Dan itu pasti. Bisa dekat waktunya bisa pula agak lama bisa pula Allah memberikan umur yang panjang kepada kita. Semua kemungkinan itu bisa terjadi.

Karena kita tidak tahu kapan kita akan mati, maka tidak ada alasan bagi kita untuk menunda sebuah pertaubatan. Kita harus segera memulai untuk sebuah pembekalan diri dengan amalan-amalan yang baik. Yang nantinya akan bisa kita kita gunakan disaat kita membutuhkanya. Dan bekal yang paling baik yang bisa diandalkan kelak adalah takwa. Seperti firman Allah yang disebutkan dalam satu ayat yaitu,

QS. Al Baqarah 197.

….. ۗ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ ۚ وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ﴿١٩٧﴾
“Watazawwaduu fa`inna khairazzaadit takwaa, wattaaquuni yaa uliil albaabi”

“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal”.

Ayat ini mengingatkan orang-orang yang berangkat ibadah haji dan persiapan bekalnya. Ada diantara orang-orang yang tidak membawa bekal dan hanya mengatakan bahwa mereka hanya bertawakal kepada Allah saja. Kemudian turunlah ayat di atas untuk memperingatkan orang-orang agar jika berangkat haji hendaknya membawa bekal. Dan bekal yang paling baik untuk dibawa adalah takwa. Dan takwa adalah bekal yang paling baik pula untuk dibawa dalam kematian kita.

Apa yang akan menyebabkan kematian kita ?

Contoh-contoh sebab kematian seseorang sering kita ketahui dari peristiwa-peristiwa kematian orang-orang di sekitar kita. Ada yang mati karena usia yang begitu uzur, ada yang mati di usia muda karena kecelakaan, terlalu banyak minum alkohol. Ada yang mati di usia sekitar 40 sampai 50 tahun karena penyakit ganas semacam tumor, kanker, hiv atau aids atau penyakit apa saja yang bisa cepat menimbulkan kematian. Semua penyebab kematian itu insya Allah bisa kita minimalkan.

Dengan pola hidup yang “benar” kita akan bisa terhindar dari sebuah kematian yang “menyusahkan” diri dan keluarga kita. Contoh nyata dari perilaku atau pola hidup yang benar adalah dengan mencontoh perilaku sehari-hari kehidupan Rasulullah saw. Dengan memperbanyak ibadah shalat, berpuasa, makan secukupnya (tidak terlalu berlebihan), mengerjakan shalat malam, bersedekah, berkata yang baik dan benar insya Allah, semua itu bisa meminimalkan kesempatan mati karena dihinggapi banyaknya penyakit.

Saat ini banyak sekali penyakit yang menghinggapi diri manusia yang disebabkan pola makan yang merangsang selera. Makan menjadi kesenangan hidup. Tidak mau makan kalau tidak “nikmat” rasanya. Hingga banyak manusia tidak memperdulikan lagi bumbu-bumbu racikan setan yang banyak mengakibatkan timbulnya berbagai macam penyakit. Obesitas atau kegemukan yang banyak merangsang timbulnya penyakit, lebih banyak dikarenakan makan yang tidak ada kontrol. Dibarengi dengan banyak tidur yang otomatis mengurangi banyaknya gerak atau aktifitas semakin mempercepat terjadinya kegemukan.

Apa yang kita tinggalkan disaat kita mati ?

Kebanyakan kita kalau sudah berbicara “tinggalan” hampir pasti yang terlintas adalah “warisan” materi. Warisan materi yang banyak justru bisa menjadi buah simalakama. Mati meninggalkan kekayaan yang berlimpah, jika tidak disertai sifat dermawan sewaktu masih hidup akan memberikan cap atau label pada jasad kita sebagai orang yang pelit, kikir bin bakhil. Dan itu akan menjadi pembicaraan yang tidak enak di telinga bagi keluarga yang di tinggalkan.

Yang perlu kita perhatikan tentang “peninggaan” ini adalah, anak-anak yang shalih, ilmu yang bermanfaat, dan shadaqah jariyah. Pertama, anak-anak yang shalih menunjukkan keberhasilan kita dalam mendidik dan membentuk pribadi-pribadi generasi yang taat beragama. Yang kedua, Ilmu yang bermanfaat bagi diri, keluarga dan orang-orang di sekitar kita. Terutama ilmu agama. Dan yang ke tiga adalah amalan yang baik semacam sedekah yang dilakukan secara terang-terangan ataupun secara sembunyi. Itulah yang patut kita “tinggal”kan untuk anak cucu kita. Bukan kekayaan materi yang pasti akan habis tak bersisa.

Apa kesan para pelayat tentang diri kita disaat kita masih hidup ?

Selama kita menyaksikan sebuah kematian seseorang, yang banyak dibicarakan adalah kebaikan-kebaikan yang pernah di buat selama masih hidup. Baik atau buruk itulah yang akan menjadi image mereka yang masih hidup dan menyaksikan kematian seseorang. Jika selama hidup banyak menebarkan kasih sayang dan berbuat kebaikan, insya Allah “Image”nya akan baik pula. Tapi jika hanya perbuatan buruk yang selalu di kerjakan pasti “image” yang melekat adalah kesan yang buruk pula.

Untuk itulah hidup ini harus dibuat sedemikian berarti. Baik bagi diri sendiri, keluarga maupun untuk orang lain. Dengan selalu berbuat baik dengan sesama dan diringi dengan sikap santun, sabar, menghormati orang yang lebih tua. Bersikap merendah dan tidak sombong. Berkata yang benar saja dan diam jika tidak perlu untuk dibicarakan. Berinteraksi dengan banyak orang dan tidak bersikap membenci pada orang yang tidak senang dengan kita. Membela orang yang lemah dan membantu mereka yang membutuhkan bantuan kita. Insya Allah kita akan mati dengan meninggalkan kesan yang baik dan di-ingin-kan sebagian besar orang.

Siapa dan berapa banyak orang yang akan mengantarkan ke tempat tidur terakhir kita ?

Pernahkah kita melihat iringan jenazah yang begitu panjang menuju ke tempat pemakaman ? Itulah hasil jerih payah dari jenazah sewaktu masih hidup. Mereka yang di cintai banyak orang dikala hidupnya hampir pasti banyak orang yang merasa kehilangan diwaktu matinya. Dan ini akan berakibat pada banyaknya kerabat dan teman sejawat atau mereka yang bersimpati ingin mengiringkan jenazah sampai ke persinggahan terakhir. Sebagai penghormatan terakhir pada si mati.

Sambutan orang atas kematian kita sangat tergantung pada sikap dan tingkah laku kita sewaktu masih hidup. Jika perjalanan hidup kita selalu mengacu pada tuntunan Alqur`an dan perilaku Rasulullah saw. niscaya akan meninggalkan kesan yang baik pada mereka yang kita tinggalkan. Iman yang menjadi pegangan hidup bisa berimbas pada amalan yang baik. Tentu saja Iman dengan sebenar-benarnya Iman. Jika kita yakin akan hari kebangkitan dan kehidupan akhirat, niscaya kita akan mulai menata hidup kita mulai saat ini untuk mempersiapkan kematian kita.

Sekali berarti sesudah itu mati, buatlah hidup sebagai pengabdian kepada Allah dan kesempatan berbuat baik kepada orang lain dan alam sekitar kita. Sehingga tujuan hidup kita dan angan kita untuk mati dalam damai benar-benar bisa tercapai. Ujian atau cobaan dari Allah pun Insya Allah akan bisa kita lalui dengan ridha Allah dan bimbingan Rasulullah saw. melalui sunnah-sunnahnya. Dan kematian kita adalah sebuah kematian yang “berarti”. Baik bagi diri sendiri, keluarga, orang lain dan bagi kehidupan alam sekitar kita.

Sekian.

Ditulis oleh : Agushar, 17 Juni 2010.

Tidak ada komentar: