Bid`ah mempunyai arti “sesuatu” atau masalah yang baru. Hasil dari pada pemikiran manusia. Ada yang bermuara pada kebenaran terhadap suatu jalan (thariqah), ada yang bermuara pada sesuatu yang jelek atau buruk. Karena memang hanya ada dua muara yang berlawanan. Baik atau buruk. Dan tidak semua masalah baru itu jelek, buruk atau sesat. Banyak sekali sesuatu yang baru justru mendatangkan manfaat bagi yang mengikutinya. Dan hal ini berlaku tidak hanya berkaitan dengan sesuatu yang zhahir saja, sesuatu yang bersifat bathin juga akan bisa berdampak baik bagi pengamalnya, sepanjang sesuatu yang baru tersebut tidak bisa di tolak oleh mayoritas hati manusia dan di dukung oleh Firman Allah dan sabda Rasulullah saw.
jika kita mengatakan bahwa sesuatu yang baru semuanya adalah sesat, berarti kita yang harus berintrospeksi terhadap tingkah laku kita selama ini. Dalam banyak hal yang tidak berhubungan langsung dengan masalah agama, sesuatu yang baru tidak sedikit mendatangkan manfaat untuk kehidupan manusia. Dan ini sudah menjadi ketentuan Allah, jika “budaya” manusia semakin hari juga semakin berkembang sejalan dengan kinerja akal yang teraplikasi pada otak manusia.
Penyebab lahirnya sesuatu yang baru adalah akal yang dipergunakan oleh manusia. Dan Allah sangat membenci orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya. Perkembangan tehnologi adalah buah kinerja akal. Yang bisa menguak banyaknya rahasia alam semesta ini hanyalah akal yang dipergunakan sebagaimana mestinya. Bukan malah membatasi penggunaan akal untuk terus berkutat dengan prinsip “opo anane” dan “nrima ing pandum” dalam hal pemahaman. Pemikiran-pemikiran seperti ini secara tidak langsung “mengebiri” kemampuan akal yang telah diaplikasikan oleh Allah pada otak manusia.
Agama Islam muncul karena kehendak Allah, yang di sampaikan kepada manusia yang mempunyai “akal” dan mau menggunakan akalnya. Agama Nasrani lahir sesudah agama Yahudi. Lahirnya agama Nasrani adalah sesuatu yang baru saat itu, bisa juga disebut “bid`ah”. Tapi sebuah bid`ah yang mempunyai fungsi yang lebih baik, yaitu meluruskan sebuah kesalahan yang disebabkan tidak bekerjanya akal secara maksimal.
Demikian juga dengan lahirnya agama Islam. Agama Islam lahir sebagai sesuatu yang baru pada jamannya. Yang lama adalah agama Nasrani, dan yang lebih lama lagi agama Yahudi. Tapi apakah Islam sebagai agama yang baru pada saat itu membawa kesesatan ? Tidak ! Justru Agama baru ini membawa sebuah kebenaran yang tak bisa terbantahkan. Membawa pesan kebenaran dan meluruskan kebengkokan yang telah terjadi saat itu.
Juga pada waktu Rasulullah saw. hijrah ke Yatsrib, agama baru yang di bawa oleh Nabi baru dan terakhir ini telah banyak mengubah kebiasaan penduduk Yatsrib yang sebelumnya akrab dengan kebiasaan-kebiasaan lamanya. Permusuhan yang begitu sengit antara satu suku dengan suku yang lain telah dapat dipersatukan dengan datangnya Rasulullah dan ajaran barunya. Dengan demikian telah terbukti dengan bekerjanya akal untuk bisa menerima sebuah kebenaran yang baru terungkap menyebabkan sebuah kehidupan agama bisa menjadi lebih baik.
Jadi, sesuatu yang baru belum tentu sesat, jelek atau buruk. Jika berkaitan dengan agama, selama tidak bertentangan dengan Al Qur`an, bukanlah merupakan sesuatu yang sesat. Tidak semua niat atau kemauan yang baik bisa terakomondasi pada zamannya. Marilah kita perhatikan beberapa amalan dibawah ini :
Pengumpulan ayat ayat yang terserak dan penulisannya serta pembukuannya sebagai mushhaf (kitab) oleh sahabat pada zamannya, adalah sesuatu yang baru. Karena kekhawatiran kemungkinan akan hilangnya ayat-ayat dan meninggalnya penghafal Qur`an. Ini bid`ah bermanfaat bagi umat.
Perbuatan yang dilakukan sahabat Umar bin Khattab mengumpulkan kaum muslimin untuk shalat tarawih adalah hal baru, dan sahabat Umar mengatakan “Bid`ah ini sungguh nikmat”.
Pemberian gelar sarjana pada Universitas Islam, adalah hal baru. Padahal para sahabat dan tabi`it adalah orang-orang pandai dalam hal agama, mereka tidak pernah memakai gelar.
Adzan dengan pengeras suara, ceramah dengan pengeras suara, pembangunan masjidil haram yang begitu megah, adalah sesuatu yang benar-benar berbeda dengan zaman Rasulullah saw. dan semua itu adalah hal baru yang justru menjadi kebanggaan umat Islam.
Rumah-rumah yang kita huni saat ini, terutama orang-orang Islam yang kaya begitu banyak yang megah dan indah baik kualitas bangunan dan model bangunannya. Sangat berbeda dengan rumah yang di huni Rasulullah saw. yang penuh kesederhanaan. Dan hal ini adalah bid`ah pula karena rumah kita juga kita gunakan untuk shalat sebagaimana Rasulullah menggunakan rumahnya untuk shalat, terutama untuk shalat-shalat sunnah.
Sebenarnya banyak sekali hal-hal baru yang sebenarnya kita suka, tapi kita selalu berkelit untuk “menghalalkannya”. Padahal kalau kita mau mencontoh pribadi Rasulullah saw. dan para sahabat terutama sahabat Abu Bakr dan Umar ra. juga sudah jelas pula contohnya. Hidup sederhana, tidak banyak menyimpan harta, tampilan yang sederhana, banyak menolong orang miskin di sekitarnya.
Sedangkan kita ? Mengejar materi. Lalu bermegah-megahan rumah dan perabotnya. Membangga-banggakan kekayaan dan titel sarjananya. Memalingkan muka jika bertemu orang miskin. Berpenampilan eksklusif dengan pakaian yang serba mahal diantara banyaknya fakir miskin. Tidak malu berkendara dengan mobil mewah di antara motor kreditan yang sangat banyak di jalan. Bukankah ini cermin orang hipokrit ! Tapi jika dikatakan hipokrit atau munafik kita selalu berkelit mencari-cari alasan dan pembenaran perilaku kita.
Banyak dari umat Islam yang mengatakan mengikuti perilaku nabi saw. Tapi ketika dihadapkan pada kekayaan dan gaya hidupnya, dari mulai penampilan, rumah tinggal, gaya hidup yang cenderung berlebih-lebihan, menyimpan harta yang “unlimited”, mereka cenderung mengingkarinya. Jujur saja, kita tidak mau hidup seperti Rasulullah dan para sahabat, yang sangat sederhana, tidak menyimpan harta kecuali sedikit sekali, senang mengunjungi orang-orang miskin dan memberikan bantuan.
Dimana ? Dimana sebenarnya kita bisa menemukan orang-orang islam yang mempunyai hati sekualitas Rasulullah dan para sahabatnya ? Mungkin ada ! Di desa-desa terpencil yang jauh dari “dunia” atau di atas gunung-gunung seperti hidupnya para penyebar agama Islam di Indonesia. Dengan jujur saya katakan, tidak ada dari kita yang mau hidup jauh di desa terpencil dengan segala keterbatasannya. Apalagi mengajarkan ilmu agama di atas gunung yang demikian tinggi.
Diantara kita ada yang menuhankan sebuah kalimat, “orang Islam harus kaya”. Dengan alasan untuk membantu yang miskin dan banyak berbuat sesuatu dengan mereka yang fakir. Tapi sesungguhnya kekayaan yang telah di dapat tak lebih dari pada untuk mencukupi kebutuhan diri pribadi dan keluarganya saja. Jauh dari amalan yang di contohkan Rasulullah dan para sahabatnya. Kita hanya bersembunyi di balik sebuah pernyataan yang baik, indah, suci dan agung seperti yang di perintahkan oleh Allah dalam kitab.
Banyak orang berkoar setiap hari agar mencontoh kehidupan Rasulullah dan para sahabatnya, tapi tidak pernah menyadari kalau keluarganya sendiri jauh dari gaya hidup Rasulullah dan sahabatnya. Mengejar materi tanpa batasan waktu, memborong keperluan diri dan perut di tempat perbelanjaan modern yang notabene milik orang yang tidak se-iman dengan kita. Dengan bangganya menghambur-hamburkan uang hanya untuk membeli “prestise”. Yang Rasulullah dan sahabatnya tidak pernah memperdulikan “prestise” tersebut.
Jujur pula saya katakan, kalau kita lebih berkiblat pada “gengsi”. Kita lebih yakin dengan pepatah jawa “Ajining raga saka busana”. Sehingga kita berusaha untuk membentuk diri kita agar lebih “diajeni” di tengah-tengah masyarakat. Tapi dilain waktu kita menyuruh orang lain untuk hidup sederhana dengan mencontoh perilaku nabi saw. Sangat berlawanan sekali dengan perilaku kita sendiri.
Kita mengatakan sesuatu yang baru adalah bid`ah yang menyesatkan. Tapi kenyataannya kita lebih cenderng dengan sesuatu yang baru, bahkan paling baru. Pakaian model terbaru, rumah model terbaru, motor model terbaru, mobil model terbaru. Yang kesemuanya itu tidak dilakukan oleh Rasulullah saw. walaupun beliau sangat mampu untuk melakukannya. Seperti raja-raja di benua eropa saat itu. Karena apa ? Tidak lain karena harta bukanlah “jembatan” utama menuju keridhaan Allah. Banyaknya harta justru membuat kita lebih banyak mengingkari tingkah laku dan gaya hidup yang di contohkan Rasulullah dan para sahabat.
Pernah dalam suatu sidang Jum`ah seorang khatib berkhatbah dengan sangat berapi-api. Padahal kaum yang ada di depannya lebih banyak yang tidak se“mazhab” dengannya. Sang khatib berkhotbah dengan tema bahwa semua bid`ah adalah dholalah atau sesat. Dengan mengambil beberapa hadist yang sengaja di lemahkan kesahihannya dan perawi dari hadist-hadist tersebut dikatakan sebagai orang-orang yang suka “nggedabrus” alias banyak omong yang nggak ada buktinya.
Dia menyoroti kaum muslimin yang mengamalkan puasa di bulan rajab serta shalat-shalatnya. Dikatakannya bahwa shalat di bulan rajab sebagai sesuatu kegiatan “jungkal-jungkel” yang tidak ada pahalanya, bahkan cenderung sirik. Lalu puasa di bulan rajab di katakan sebagai amalan yang “tiwas luwe” gak onok ganjarane. Saya jadi sangat heran mendengarnya. Kok ada seorang ustadz yang mempunyai bahasa yang demikian “kasar” dan tidak mencerminkan hormatnya kepada para salafus shalih.
Sang khatib mengatakan bahwa, dia juga pernah terlena dalam “kesesatan” seperti yang banyak dilakukan oleh sebagian besar kaum muslimin saat ini. Lalu dia belajar memperdalam ilmu dan merasakan bahwa yang dilakukan selama ini ternyata banyak yang “sesat” atau tidak ada tuntunannya. Sehingga dia harus mengubah seluruh tatacara beribadahnya menurut “gurunya” tersebut. Lalu dengan semangat yang tinggi berusaha memerangi amalan-amalan “saudaranya” yang dianggapnya salah dan sesat tersebut.
Saya lalu berpikir, bahwa siapa saja dari kita apabila membaca buku agama haruslah selektif, tidak sedikit buku agama yang di jadikan rujukan banyak orang, sebenarnya justru menjadi penyebab permusuhan diantara umat Islam. Karena isi dari buku tersebut justru lebih banyak menghujat kelompok lain dengan menjelekkan amalan-amalan yang dilakukannya. Dan menganggap amalannya sendiri sebagai suatu amalan yang paling benar dan paling di terima oleh Allah.
Banyak sekali buku yang seperti tersebut. Dan isinya yang cenderung memecah belah umat mengingatkan kita akan usaha-usaha orang di luar Islam yang menginginkan kehancuran Islam. Dengan segala cara, mereka masuk ke dalam agama Islam dan berusaha memporak-porandakan persatuan dan persaudaraan kaum muslimin yang sudah terjalin demikian kuat. Melalui buku atau tulisan-tulisan mereka berusaha untuk meracuni keteguhan Iman kaum muslimin yang sudah terbangun kuat dan demikian lama.
Bagaimana mungkin seorang berilmu bisa mengatakan, kalau Shalat yang didalamnya banyak di sebut nama Allah adalah suatu amalan yang tidak “bermanfaat”. Dan puasa yang didasarkan karena Allah adalah sesuatu yang sia-sia. Padahal para salaf yang mengajarkannya tidak mempunyai maksud lain kecuali untuk mendapatlkan ampunan serta ridhanya Allah semata. Kita yang mempunyai kualitas jauh di bawah kuatnya iman para salafus shalih lalu dengan mudah menghakimi sebagai sesuatu yang “sesat”. Betapa “sembrono” lisan kita. Dan betapa jauh dari ajaran agama yang menebarkan kedamaian dan persaudaraan dalam Iman dan Islam.
Terdorong dari rasa hati yang sedikit “terusik” beberapa jama`ah shalat jum`at berusaha untuk sedikit meng”klarifikasi” penggunaan kata-kata yang dirasa kurang sopan dan kurang mendidik tersebut. Kepada sang ustadz mereka meminta secara arif untuk tidak lagi menggunakan kata-kata yang cenderung kasar dalam mengungkapkan segala sesuatu, terutama dalam khtbah Jum`at. Dan Alhamdulillah sang ustadz bisa menerima “saran” dari beberapa jama`ah tersebut.
Sebenarnya dalam Al Qur`an sudah jelas diperintahkan, seperti di surat Al Hujurat yang sering kita dengar dari “corong” masjid. Janganlah satu kaum menjelekkan kaum yang lain, jangan-jangan kaum yang dianggapnya jelek itu bahkan lebih baik dari mereka yang menjelekkannya. Dan di ayat lain yaitu surat Al Israa` Rasulullah diperintahkan untuk mengatakan, biarlah tiap-tiap diri berbuat menurut keadaanya, dan hanya Allah lah yang mengetahui, siapa diantara kita yang paling benar jalannya.
Kita ini orang Islam. Yang bersaksi dengan kesaksian yang sama. Ber-Tuhan pada Tuhan yang sama yaitu Allah yang ahad dan Maha Besar. Dengan ruku` dan sujud yang sama. Dengan jumlah raka`at yang sama. Dengan bacaan yang sama-sama di contohkan Rasulullah saw. Dengan berpuasa di bulan yang sama. Berhaji di tempat yang sama pula. Maka sudah sepatutnya kalau kita saling menghargai antara satu dengan lainnya. Berinteraksi, baik di dalam masjid maupun di luar masjid. Saling kasih dan sayang karena sesungguhnya kita adalah saudara.
Banyak yang tidak menyadari kalau secara tidak sengaja kita justru mengingkari ayat-ayat Al Qur`an dengan perbuatan dan tingkah laku yang ditujukan pada orang lain, terutama saudara-saudara kita se-Iman. Dengan cara mengkafirkan dan memberikan cap “musyrik” pada kaum muslim yang lain hanya karena tidak sepaham dengan pemikiran kita.
Untuk itulah hendaklah kita segera berhenti dari sikap-sikap seperti tersebut diatas, karena kebenaran yang kita klaim belumlah sepenuhnya benar. Karena hanya Allah yang paling tahu siapa di antara kita yang paling benar dan paling takwa. Dan sesungguhnya pula setan selalu membisikkan kepada kita agar kita selalu dalam perselisihan. Tapi kita tidak menyadari hal tersebut dan cenderung menurutinya. Sehingga kita tidak menyadari pula kalau setan selalu menari-nari di belakang kita dengan ucapan-ucapan kita yang menyakitkan hati saudara-saudara kita yang lain.
Mudah-mudahan sedikit tulisan ini bisa di jadikan pengingat masing-masing diri umat Islam agar menyadari bahwa musuh kita yang paling utama adalah setan. Bukan amalan-amalan dari saudara-saudara kita sesama muslim. Sadarlah, di belakang kita banyak setan yang selalu berusaha mempengaruhi lisan kita untuk berbicara pahit dan menyakitkan. Jika tidak waspada akan semakin dalamlah jurang kebencian yang kita ciptakan diantara sesama muslim.
Sekian
Wrote by : Agushar.
Minggu, 13 Juni 2010
Alergi Bid`ah.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
sungguh argumentasi yang berdasar pada otak dan pemikiran belaka..! tidak ada dalil yang mendasar yang dapat diterima oleh mahluk yang berakal yang mau menerima wahyu dengan baik dan benar
Posting Komentar