Jumat, 02 Juli 2010

Membeli Kemaksiatan


Kebahagiaan membutuhkan pengorbanan. Sebuah kalimat yang logis atau dapat diterima oleh akal. Suatu tujuan yang bermuara pada kebaikan sudah sepatutnya membutuhkan pengorbanan. Dari mulai pengorbanan waktu, tenaga, pikiran juga biaya. Agama bukanlah paksaan. Tapi agama mempunyai tujuan yang jelas, yaitu kebaikan atau kebahagiaan hidup dunia maupun akhirat. Agama identik dengan Iman atau keyakinan. Dan Allah memerintahkan pada orang-orang yang beriman untuk berjihad di jalan Allah dengan berkorban dengan harta dan jiwa.

Jihad adalah berjuang di jalan Allah. Perjuangan di jalan Allah ini tak bisa lepas dengan kata korban atau “kurban”. Mengapa harus berkorban ? Karena tujuannya adalah sebuah kebahagiaan. Sebuah tujuan yang “baik” membutuhkan sebuah pengorbanan. Sedangkan Jihad adalah tujuan yang mulia. Oleh karena itu jihad identik pula dengan perjuangan yang banyak membutuhkan pengorbanan.


Hidup adalah sebuah perjuangan untuk memperoleh keuntungan atau justru kerugian. Sedangkan kata untung dan rugi tak bisa lepas dari kata perniagaan. Hingga sebuah perjalanan hidup bisa dimisalkan bagai sebuah perniagaan yang bisa menghasilkan keuntungan atau bahkan kerugian. Dalam sebuah ayat, Allah memisalkan tentang perjalanan hidup dengan sebuah perniagaan ini.

QS. Ash Shaff : 10.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَىٰ تِجَارَةٍ تُنْجِيكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ﴿١٠﴾
“Yaa ayyuhal ladziina aamanuu hal adullukum `alaa tujaaratin tunjiikum min `adzabin aliimin”

”Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih?

QS. Ash Shaff : 11.

تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ﴿١١﴾
“Tu`minuuna billahi warasuulihi wa tujaahiduuna fii sabiilillahi bi amwalikum wa anfusikum, dzaalikum khairu lakum in kuntum ta`lamuuna”

”(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”.

Perjalanan hidup adalah sebuah perniagaan. Dan sebuah perniagaan yang tidak akan menimbulkan kerugian adalah berjihad atau berjuang dengan sebuah pengorbanan harta dan jiwa. Kata “berkurbanlah” sangat lekat dengan pengorbanan materi atau harta. Yaitu berjuang dengan mengorbankan harta benda kita di jalan Allah. Bisa berupa bantuan materi untuk pasukan muslim yang sedang berjuang demi agama. Bisa juga diartikan zakat, infaq dan sedekah yang berlanjut.

Pengorbanan yang lain adalah pengorbanan jiwa. Jiwa erat kaitannya dengan “rasa” atau bahkan kadang dihubungkan dengan nyawa. Jika dikaitkan dengan “rasa” berarti kita harus berusaha menghindari banyaknya rasa “dunia”. Dengan kata lain tidak menuruti hawa nafsu. Terutama nafsu amarah dan syahwat. Jika dikaitkan dengan “nyawa” berarti harus berjuang di medan pertempuran apabila memang benar dibutuhkan. Tujuannya adalah untuk memperoleh keuntungan di akhir kehidupan dunia.

Dan janji Allah sudah jelas. Jihad dengan harta dan jiwa yang dilandasi dengan keimanan kepada Allah dan Rasulullah, akan diampuni dosa-dosanya dan dimasukkan kedalam surganya Allah swt. dan tidak ada keberuntungan yang sangat besar dalam hidup ini kecuali ampunan atas segala dosa dan dimasukkannya diri kita ke dalam surga dengan segala kenikmatannya. Itulah membeli kebahagiaan.

Lantas bagaimana dengan orang-orang yang membeli kemaksiatan ?

Iman bisa berfungsi sebagai filter perbuatan. Hanya perbuatan yang baik yang boleh mengalir berdasarkan Iman. Dan perbuatan buruk seharusnya berhenti dengan adanya Iman. Masalah terbesar yang kita hadapi adalah Iman yang tidak ada dalam genggaman. Kosongnya Iman ini menyebabkan bercampurnya kebaikan dengan keburukan atau kemaksiatan. Bahkan yang justru banyak lolos adalah perbuatan buruk yang banyak mengandung kemaksiatan.

Maksiat adalah perbuatan yang dilarang oleh agama dan begitu banyak ragamnya. Dari yang transparan kata maksiatnya sampai dengan yang begitu jelas label maksiatnya. Berpikir negatif pada seseoang adalah sebuah kemaksiatan. Kata maksiatnya masih transparan dan tidak membutuhkan sebuah pengorbanan yang besifat materi. Seperti juga mengunjing dan berkata yang tidak semestinya atau bohong. Juga suka berbicara sesuatu yang tak berguna bahkan membuat fitnah untuk orang lain.

Marah adalah sebuah perbuatan yang menjurus pada perbuatan dzalim kepada orang lain. Kata maksiatnya agak lebih jelas, karena tidak mutlak membutuhkan pengorbanan materi. Kadang berbuat aniaya pada orang lain dengan tangannya sendiri, kadang menggunakan tangan orang lain dengan imbalan materi. Jelas ini membutuhkan pengorbanan materi. Termasuk orang-orang yang sengaja mendanai sebuah kerusuhan di masyarakat. Semacam demo yang mengakibatkan banyak korban jiwa. Ini termasuk membeli kemaksiatan.

Hawa nafsu yang dituruti atau dimanjakan juga banyak membutuhkan banyak pengorbanan materi. Bahkan bisa menjadi sesuatu yang mahal. Bahkan pada saat-saat tertentu bisa menjadi sangat mahal. Tergantung kesediaan kita dalam berkorban. Jika hati sudah begitu hasrat, maka tak akan berpengaruh lagi nilai nominal sebuah pengorbanan. Bahkan terkadang tidak bisa diterima akal. Karena sifat senang atau nikmat duniawi tidaklah kekal. Bahkan hanya sesaat, untuk kemudian timbul lagi dan meminta sebuah pelampiasan.

Mereka yang suka “belanja” untuk memenuhi kebutuhan pribadi akan rela mengeluarkan banyak uang untuk mendapatkan sesuatu yang disenangi. Dari mulai pakaian, motor yang harus selalu baru, perlengkapan rumah tangga yang berharga mahal, hiasan atau “patung-patung” untuk dipajang di dalam rumah sampai perhiasan dan mobil mewah. Semua membutuhkan pengorbanan materi yang kadang begitu besar dari yang seharusnya. Dan agama membatasi sesuai dengan kebutuhan. Tidak boleh terlalu berlebihan.

Mereka yang suka “berjudi” akan menghabiskan waktu dan pikirannya di meja judi. Tentu saja dengan pengorbanan materi yang tidak sedikit. Sebab judi membutuhkan materi berupa “uang”. Dan jika uang sudah habis, maka segala harta yang mereka punya bisa “berubah” menjadi uang. Untuk kemudian hinggap lagi di perjudian dan berakhir dengan kekalahan. Dan ini sama dengan membeli kemaksiatan.

Mereka yang suka “mabuk” akan menghabiskan waktu dan uangnya di “warung” atau bar di tempat-tempat hiburan malam. Tentu saja dengan modal uang yang kadang tidak sedikit. Hasil yang di dapat adalah hilangnya kesadaran atau tidak bekerjanya akal. Dan akibat selanjutnya dari hilangnya kesadaran ini bisa lebih fatal. Disamping merugikan diri sendiri, kadang justru banyak merugikan orang lain. Orang yang hilang kesadaran bisa berbuat apa saja tanpa memperdulikan benar dan salah. Bisa menganiaya orang lain, mencuri, memperkosa bahkan bisa membunuh. Dan ini adalah sebuah kemaksiatan besar yang di peroleh dari sebuah pembelian dengan uang.

Mereka yang suka “jajanan” seks akan mengarahkan waktu dan pikirannya untuk mencari wanita-wanita yang sesuai dengan seleranya. Tentunya ada tempat-tempat tertentu yang memang setiap saat atau pada saat saat tertentu menyediakan “boneka” asli yang siap untuk diajak “berlayar” di surga dunia. Tentu dengan dengan pengorbanan yang tidak sedikit. Sesuai dengan situasi, kondisi dan kelas yang diinginkan. Orang-orang seperti ini cukup beruntung, karena tempat-tempat seperti itu cukup banyak bertebaran di berbagai tempat. Inilah kemaksiatan yang paling laris karena pembelinya juga cukup banyak. Semua fasilitas untuk itu juga disediakan lengkap. Benar-benar tempat maksiat yang legal atau sah !

Demikianlah derajat kemaksiatan. Sebuah perilaku yang mempunyai derajat paling bawah, tapi berharga cukup mahal. Bahkan kita kerap lupa berapa pengorbanan materi yang kita keluarkan untuk belanja maksiat ini. Dan jika kita sudah masuk ke dalam kelompok “pembeli” maksiat, akan sulit untuk bisa menghentikannaya kecuali sebuah peringatan berupa azab yang datangnya dari Allah swt. hanya sebuah peringatan yang “keras” berupa “jalan” menuju kematian yang bisa menyadarkan para “customer” jenis ini.

Pengaruh maksiat terhadap diri sendiri.

Hilangnya Iman : Orang yang melakukan kemaksiatan adalah orang yang kehilangan Iman. Jika saat akan melakukan sebuah kemaksiatan dia mempunyai Iman, pasti kemaksiatan tersebut akan urung dilakukannya.

Tertutupnya Hati : Setiap dosa yang dilakukan akan memberi rona hitam pada hati setiap pelakunya. Lama kelamaan noda akan memenuhi relung hati dan akan membuat hati mengeras. Mengerasnya hati membuat sulit untuk kembali lunak seperti semula. Dan akan sulit untuk menerima sebuah pemahaman.

Terhalangnya Rezeki : dalam sebuah hadist rasulullah bekata, “Sesungguhnya seseorang hamba diharamkan mendapat rezeki karena dosa yang dilakukakannya”. (Ibnu Majah & Hakim).

Daya Ingat atau kemampuan menghafal buruk : Ilmu adalah cahaya. Dan Cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang-orang yang selalu berbuat dosa.

Hilangnya nikmat dan potensi diri : Sesungguhnya pertolongan Allah hanya diberikan kepada orang yang beriman buka orang-orang yang sering berbuat maksiat atau dosa. Demikian juga dengan kemampuan atau potensi diri. Kemaksiatan akan berakibat pada kebodohan karena tidak bisa maksimal dalam pemahaman ilmu.

Disamping berpengaruh bagi diri sendiri, terjadinya kemaksiatan juga berpengaruh terhadap keluarga dan masyarakat. Seperti hilangnya berkah dan rahmat bagi penduduk negeri, menyebabkan keresahan dan kekacauan dan terjadinya musibah yang dahsyat yang bisa menimpa semua penduduk. Baik yang beriman maupun yang sering berbuat maksiat atau dosa.

Mengapa bisa terjadi kondisi seperti ini ?

Penyebab utamanya adalah kesalahan dalam mempersepsi sebuah kata “basuki” atau bahagia. Kalau orang jawa mengatakan “Jer Basuki Mawa Bea” yang bisa di maknai, keselamatan, kesuksesan atau kebahagiaan itu membutuhkan biaya atau pengorbanan. Tentunya pengorbanan berupa tenaga, pikiran, waktu dan materi atau uang. Kesalahan persepsi ini disebabkan oleh kurangnya pertimbangan dalam menentukan arti keselamatan, kesuksesan atau kebahagiaan.

Kebanyakan kita mengukur “basuki” hanya dengan lima indera yang biasa kita pakai. Tanpa menggunakan dewan pertimbangan keputusan yang ada di “hati”. Sehingga makna kebahagiaan itu hanya terbatas pada “rasa” yang ada di mata, telinga, hidung, lidah dan kulit. Tidak pernah menyentuh “jiwa” sama sekali. Padahal tugas kita dalam hidup ini salah satunya adalah menjaga kebersihan “jiwa” kita. Dan kebersihan jiwa hanya bisa dilakukan kalau kita menyertakan hati dalam mengeluarkan sebuah keputusan amal atau perbuatan.

Lima indera yang kita miliki hanya bertugas memberikan informasi mentah. Sebuah informasi tanpa data yang akurat atau bisa dikatakan masih mentah. Sedangkan maksud atau apa yang sebenarnya terkandung dalam sesuatu yang diinformasikan lima indera tersebut hanya hati yang bisa mendeteksi. Jika hati tidak pernah dilibatkan, maka yang terjadi adalah lahirnya perbuatan yang tidak dilandasi dengan pertimbangan yang matang. Yang akhirnya akan selalu menjurus pada perbuatan-perbuatan yang justru bertentangan dengan perbuatan yang seharusnya dilakukan. Jika sudah demikian halnya maka tak berlebihan kiranya kalau kita disebut dengan manusia yang tak ber“hati”.

Sebuah pengorbanan sudah selayaknya menghasilkan kesenangan atau kenikmatan, bahkan bisa juga kebahagiaan. Permasalahannya adalah kita dihadapkan pada dua sisi dunia dan akhirat. Jika sebuah kebahagiaan hanya kita maknai hanya untuk dunia saja niscaya di akhirat kita tidak akan mendapatkan apa-apa. Jika hanya dimaknai untuk akhirat saja, maka dunia kita akan hilang sepanjang umur kita. Semua terserah pada diri kita sendiri. Mau memilih yang mana. Kalau “saran” agama, kita diperbolehkan mengambil “jatah” dunia kita asal jangan terlalu berlebihan. Karena segala sesuatu yang berlebihan belum tentu juga akan mendatangkan manfaat buat diri kita dan orang lain.

Pengorbanan yang kita lakukan harus mempunyai fokus yang jelas. Yang mempunyai keuntungan jangka panjang, yaitu keuntungan dunia dan akhirat. Untuk bisa menghasilkan keputusan berbuat “baik” kita harus selalu melibatkan “hati”. Dan untuk bisa mengolah dengan baik, maka hati juga harus mempunyai perangkat-perangkat penunjangnya. Perangkat penunjang yang dimaksud adalah “pemahaman” ilmu-ilmu yang bisa mengarahkan pada perbuatan-perbuatan yang akan menguntungkan kita di akhirat kelak.

Pengorbanan materi untuk mencari ilmu, terutama ilmu agama akan bisa menghasilkan kepahaman tentang kebenaran yang dibawa ayat-ayat yang ada dalam kitab dan tersebar di seluruh alam. Hingga tingkah laku dan perbuatan kita akan merefleksikan sebuah kebenaran yang universal. Yaitu sebuah kebenaran yang dianggukkan oleh seluruh alam. Suatu perbuatan yang mengisyaratkan ketaatan pada perintah yang ada dalam kitabullah. Yaitu menjalankan semua yang diperintahkan dan menghindari semua yang dilarang sesuai dengan garis-garis atau aturan yang telah di tetapkan oleh Allah dan Rasulullah saw.

QS. Faathir : 29.

إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَنْ تَبُورَ﴿٢٩﴾
”Innal ladziina yatluuna kitaaballahi wa aqaamush shalaata wa anfaquu mimmaa razaqnaahum sirran wa `alaa niyatan yarjuuna tijaaratan lan tabuura”

”Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan shalat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi,”

Untuk bisa berperilaku, minimal seperti diinformasikan ayat di atas tentu dibutuhkan banyak pengorbanan. Baik pengorbanan waktu, pikiran dan materi atau harta. Untuk itulah, mudah-mudahan kita segera di beri petunjuk oleh Allah untuk bisa membelanjakan harta kita lebih banyak di jalan Allah dengan jalan memperbanyak ilmu dan memberikan bantuan kepada lembaga-lembaga sosial keagamaan serta banyak memberikan bantuan materi (bersedekah) kepada fakir miskin.

Dengan demikian kita telah membeli sebuah kebenaran untuk kita jadikan simpanan atau tabungan yang akan sangat berguna kelak pada saat kita membutuhkannya. Bukan senantiasa membeli kemaksiatan yang justru akan sangat merugikan kita di dunia maupun kelak di kehidupan akhirat. Tumbuhkan Iman dengan segera karena waktu hidup kita tidak begitu lama. Gunakan kesempatan yang sangat terbatas ini untuk segera kembali kepada Allah dengan membangun keyakinan yang kuat guna mewujudkan perbuatan baik berdasarkan tuntunan Al Qur`an dan sunnah-sunnah Rasulullah saw.

sekian.

Ditulis oleh : Agushar, 24 juni 2010.

Tidak ada komentar: