Minggu, 25 Juli 2010

Miskin itu Dosa ?


Pahala dan dosa adalah wilayah teritorial agama. Sehingga keduanya “tidak” lazim digunakan untuk sebuah perbuatan yang tidak ada korelasinya dengan “keyakinan” tentang perintah dan larangan. Lalu bagaimana dengan judul diatas? Bahwa judul diatas adalah judul sebuah buku mungkin benar. Tapi kita tidak akan membahas isi buku tersebut. Saya hanya ingin mencari sebuah kemiskinan diantara banyaknya kemiskinan yang ada. Yaitu sebuah kemiskinan yang sebenarnya paling patut diberi “label” dosa. Agar kita semua tahu dan paham tentang kemiskinan yang menyeret sebuah kereta yang penuh dengan muatan “dosa”

Seorang motivator yang berorientasi profit pribadi adalah seorang “sales”. Mereka memasarkan diri dan kemampuan influince-nya seperti layaknya memasarkan produk sebuah perusahaan. Sebuah “jasa” motivasi bagi seorang karyawan atau pekerja dalam lingkup sebuah perusahaan. Motivasi tak ubahnya seperti “jamu” yang menumbuhkan semangat dan gairah kerja, hingga perusahaan bisa berharap “loncatan” Out put yang sesuai dengan hitungan “awangan”. Yang berimbas pada peningkatan profit yang sesuai dengan hitungan “awangan” juga.

Untuk itu diperlukan pemahaman yang lebih dalam terhadap setiap tawaran yang kadang terasa begitu menggiurkan. Dalam konteks meningkatkan output dan penjualan serta memperbesar market share sebuah perusahaan, motivasi karyawan saja belumlah cukup. Lingkungan kerja yang sehat, infrastuktur yang “fit”, hubungan antar lini dan departemen yang “hidup”, pelayanan yang baik, tersedianya bahan dengan lancar dan “salary” yang berbeda dengan perusahaan sejenis pada umumnya. Pengakuan-pengakuan atas keberhasilan atau prestasi yang dicapai masing-masing karyawan juga harus mendapatkan perhatian yang serius.

Dan yang tidak kalah penting jaminan sosial dan kesehatan serta jaminan terpenuhinya kebutuhan ruhani karyawan dalam mewujudkan diri menjadi makhluk yang hanya mengabdi pada Allah swt. melalui kewajiban-kewajiban pelaksanaan ibadah dan usaha-usaha pencerahan batin. Semua itu menjadi bagian atau aspek-aspek yang harus terintegrasi dalam sebuah kapal atau gerbong perusahaan yang di dalamnya terjadi proses produksi yang saling mendukung antar bagian.

Secara personal motivasi menawarkan sebuah janji sebuah “surga” dunia. Yaitu sebuah keberhasilan dalam mengumpulkan materi atau kekayaan yang sangat berlimpah. Yang bisa menyebabkan kita bisa meraih apa yang ingin kita raih. Yang bisa berakibat kita mendapat “label” jutawan, milyarder ataupun milyuner plus label konglomerat. Sehingga mereka bisa mengatakan bahwa dirinyalah pewaris “kekayaan” Tuhan. Sesungguhnya tidak demikian. Allah hanya “mewariskan” dalam arti memberikan semua nikmat dunia dan akhirat nanti pada saat semua manusia selesai menjalani penghitungan amal baiknya selama di dunia. Tentu saja amal baik yang didasari pada sebuah keyakinan tentang “tauhid”nya Allah swt.

Tapi jangan kaget ! Semua label kaya yang melekat tersebut belum tentu berakibat “pahala”. Karena semua kekayaan material pribadi bukanlah tujuan utama diciptakannya manusia di muka bumi. Sehingga kemiskinan materialpun belum tentu berakibat “dosa” karena pada dasarnya Allah tidak memerlukan “materi” yang dikumpulkan oleh manusia. Materi hanya untuk manusia secara keseluruhan. Apabila terjadi ketimpangan materi antara manusia sehingga timbul “kaya” dan “miskin” maka yang yang lebih “berhak” untuk menanggung dosa adalah mereka yang “kaya”. Bukan yang miskin !

Anda bisa saja menyanggah bahwa yang membuat kata-kata itu tentu orang “miskin”, dan jika yang membuat orang “kaya” pasti akan lain, karena sifatnya subyektif sekali. Tapi jika kita adalah orang ber”agama” yang membaca firman-firman Allah tentu akan cenderung membenarkan kata-kata tersebut, baik orang itu kaya atau miskin. Tapi apakah benar miskin itu dosa? Dan kemiskinan apa yang membuat seseorang menanggung banyak dosa? Inilah yang akan kita lanjutkan pembahasannya. Mudah-mudahan kita bukanlah seseorang yang melihat sebuah kemiskinan hanya berkaitan dengan material saja.

Sesungguhnya, kata miskin bisa menempel pada beberapa kata, misalnya miskin harta, miskin ilmu, miskin wawasan, miskin pengalaman bahkan miskin anak bagi mereka yang tidak mempunyai keturunan. Tapi yang paling berbahaya adalah miskin Iman. Karena miskin keyakinan tentang kebenaran Allah dan segala sifatnya akan berujung pada perbuatan-perbuatan yang tidak direkomendasikan oleh agama. Dalam bahasa yang lebih jelas, seseorang yang miskin “Iman” akan cenderung berbuat sesuatu yang melanggar norma atau aturan. Baik aturan agama maupun aturan-aturan lain yang dibuat demi kebaikan hidup bersama.

Mereka yang mempersempit makna kata miskin hanya pada miskin harta dan mengatakan bahwa miskin itu “dosa” maka bisa dipastikan bahwa orang-orang seperti ini orientasi hidupnya hanya pada “materi”. Karena menganggap bahwa hidup harus kaya atau berkecukupan materi. Jika hidup belum sampai pada status “kaya” maka harus ditempuh sebuah jalan dengan berbagai macam jurus yang di “Iman”i bisa menjadikan dirinya sebagai orang yang “berhasil” meraih “pahala” dunia berupa melimpahnya materi dalam kehidupannya.

Sifat-sifat seperti inilah yang banyak melahirkan manusia-manusia “tamak” atau “serakah”. Yang tidak akan pernah puas dengan apa yang telah didapat. Sehingga seluruh energi dan waktu yang dimiliki hanya ditujukan pada terwujudnya hidup dalam gelimang materi. Essensi dari kehidupan yang sebenarnya bahkan justru ditempatkan pada urutan yang paling akhir. Pengabdian kepada Allah sampai akhir hayat hanya diberi waktu yang sangat “minim”. Dari 24 jam yang ada mungkin hanya beberapa menit saja yang dipergunakan untuk “ingat” kepada yang telah menciptakannya. Dalam tujuh hari mungkin hanya puluhan menit saja yang digunakan untuk “memenuhi” seruanNya. Itupun dengan santai dan tak banyak keluar energi. Beda sekali dengan apa yang telah diusahakan untuk dunianya.

Mereka yang materialsentris seperti inilah yang mempunyai peran besar dalam menciptakan jurang pemisah antara manusia yang hidup dengan kekayaan hartanya dan manusia yang hidup dalam kemiskinan harta. Mereka yang hidup sederhana atau “miskin” hanya mengambil sebagian yang menjadi “hak”nya. Mereka yang hidup mewah dengan kekayaan harta tidak pernah menyadari kalau mereka telah mengambil “milik” Allah dengan berlebihan. Bahkan melebihi dari yang mereka butuhkan untuk “mengabdi” kepada Allah swt. Mereka lupa bahwa seluruh apa yang ada di alam ini adalah milik Allah, tapi dengan sombong mereka meng”klaim” bahwa semua yang diperolehnya adalah “milik”nya pribadi.

Orang-orang yang serakah tersebut dengan bangga memelihara status “kaya” mereka sampai beberapa keturunan. Mereka tidak sadar kalau pemeliharaan status kaya mereka itu sekaligus juga memelihara status “miskin” orang-orang diluar pagar rumah mereka. Bisa saja mereka berkilah dengan kekayaanya mereka bisa membantu orang-orang miskin. Seberapa besar yang mereka berikan untuk orang-orang miskin dibanding dengan harta yang mereka simpan? Jangan-jangan pemberian bantuan tersebut hanya untuk menutupi ketamakan dan keserakahan mereka semata? Agar tidak terlihat sebagai seorang yang pelit di mata orang-orang sekitarnya. Padahal yang mereka keluarkan sangat tidak sebanding dengan harta yang mereka miliki.

Mereka juga lupa kalau orang miskin bisa masuk surga dengan mudah karena kemiskinannya. Dan mereka juga lalai tentang sebuah kepastian tentang orang kaya yang masuk neraka karena kekayaanya. Tentu saja setelah mereka semua dihisab kadar Iman dan amalan baik yang pernah mereka lakukan semasa hidup. Dan Allah tidak membedakan antara orang kaya dan miskin. Yang paling mulia dalam pandangan Allah adalah mereka yang mempunyai ketaqwaan atau ketaatan dalam menjalankan perintah dan menghindari semua larangan yang telah ditetapkan dalam Kitabullah Al Qur`an.

Di dunia hanya ada pahala dunia, sedangkan di akhirat ada pahala dunia dan akhirat. Jika kita hanya mengusahakan menumpuknya pahala dunia, waktu yang gunakan untuk mengusahakan pahala akhirat begitu “minim”. Padahal akhirat tidak kalah pentingnya dari pada dunia. Kita terlena oleh bujuk rayu orang-orang yang sebenarnya tidak tahan hidup dalam kemiskinan. Kita terlena oleh bujuk rayu orang-orang yang menempatkan Iman kepada Allah dan perbuatan baik diurutan akhir setelah ketamakan terhadap harta. Kita lupa bahwa sebuah kematian tidak bisa ditebus dengan harta. Kematian justru akan memisahkan kita dengan harta kita. Dan harta yang berlimpah akan banyak menimbulkan pertanyaan pada pengadilan akhirat kelak.

Miskin Iman dan Amal shalih.

Dalam perspektif Islam, Iman atau keyakinan tidak bisa lepas dari amalan atau perbuatan. Oleh karena itu ada sebuah slogan yang pernah begitu populer di pakai oleh seseorang, yaitu sebuah kata : Hidup adalah perbuatan. Memang benar. Mereka yang bisa berbuat sesuatu adalah mereka yang “masih” hidup. Sedangkan mereka yang sudah mati tidak akan bisa berbuat sesuatu lagi di dunia. Kecuali apa yang telah di wariskannya berupa ilmu dan contoh-contoh perilaku atau teladan. Perbuatan yang bagaimana yang harus kita lakukan? Tentu saja perbuatan baik yang banyak memberikan manfaat baik bagi diri kita sendiri maupun bagi orang lain.

Seseorang bisa saja merasa telah berbuat baik. Karena perbuatan yang baik pada dasarnya bisa di lihat dari bermanfaat atau tidaknya perbuatan itu untuk diri sendiri maupun orang lain. Tetapi pada saat ditanya karena apa seseorang berbuat baik, akan banyak jawaban yang muncul. Diantara jawaban itu adalah karena “seseorang”. Yaitu seseorang yang lain yang menyebabkan dia berbuat kebaikan itu. Jika bukan karena orang lain tersebut, belum tentu kebaikan itu akan terjadi. Atau mungkin karena mengharapkan sesuatu balasan dari apa yang telah di perbuatnya tersebut. Mungkin juga karena ingin dipuji atau dipilih sebagai pemimpin.

Itulah sebagian kemiskinan dalam Iman atau keyakinan. Sebesar atau sebanyak apapun perbuatan baik yang kita lakukan, jika tanpa disertai dengan keyakinan hanya karena Allah semata niscaya akan menjadi sebuah fatamorgana. Yang kalau dilihat dari jauh seakan-akan nyata, tapi ketika didekati ternyata tidak ada di tempatnya. Itulah mengapa Iman atau keyakinan adalah sesuatu yang pertama-tama harus dibangun dalam hidup. Bukannya keberhasilan dalam pencapaian materi untuk meraih kekayaan. Hanya orang-orang yang ber-Tuhan pada materi saja yang mengatakan bahwa miskin harta itu sebuah dosa.

Miskin Iman dan amalan yang baik itulah yang justru menjadi penyebab terkumpulnya banyak dosa. Karena semua apa yang dilakukan tidak mempunyai landasan sama sekali. Hanya menurut persepsi pribadi dan tidak melibatkan Allah sebagai dzat yang menjadi penyebab semua ini terjadi. Termasuk bisa atau tidaknya kita berbuat sesuatu dengan seluruh anggota tubuh kita. Imanlah yang harus lebih dulu diwujudkan dalam hidup. Dan sebuah keimanan mempunyai konsekwensi pada perbuatan yang harus dilakukan dan tidak boleh ditinggalkan. Sedangkan materi dunia bukanlah sesuatu yang pertama harus diusahakan, tetapi bukan pula sesuatu yang harus ditinggalkan. Keseimbangan dan keselarasan dalam mengusahakan kuatnya Iman dan tetap berlangsungnya amal shalih serta mencari karunia Allah berupa harta dunia menjadi sebuah kewajiban demi berangsungnya “hidup” itu sendiri.

Takut miskin dan cenderung kaya akan menyebabkan terabaikannya sebuah kepastian yang akan menimpa diri kita. Yaitu sebuah “kematian”. Yang waktu atau saatnya semakin hari semakin mendekati masing-masing diri kita. Sementara waktu kita banyak terbuang sia-sia mengejar materi dan mengabaikan banyak kewajiban sebagai insan abdi Allah. Jika kita tidak segera menyadari dan memutar haluan niscaya kita akan sampai di tempat tujuan hidup tanpa membawa bekal sesuatupun. Itulah yang seharusnya kita takutkan. Sebuah akhir kehidupan tanpa makna dan tanpa asa. Yang akan membawa kita pada sebuah penyesalan yang panjang. Sepanjang alam semesta mengakhiri umurnya.

Jika saja dunia merupakan segalanya bagi manusia niscaya bumi ini kan hancur lebih cepat. Karena ekplorasi kekayaanya menjadi tak terkontrol lagi. Manusia akan saling berebut harta walaupun harus mempertaruhkan nyawa. Slogan “hidup kaya atau mati lebih awal” pasti akan semakin populer. Tapi sayang, dunia bukanlah segala-galanya dan Allah tidak menciptakan manusia untuk dunia, tetapi Allah menciptakan “bumi” untuk manusia. Dunia adalah sebuah jembatan. Dunia adalah sebuah cobaan. Dunia adalah sebuah ujian bagi manusia untuk masuk dan hidup pada dunia yang sebenarnya. Sebuah dunia lain yang menurut Allah akan berbeda dengan kehidupan dunia saat ini.

Tapi manusia, yang telah diberi hak untuk menentukan kehidupan dengan seleranya sendiri lebih cenderung untuk memilih “hanya” yang tampak di mata telanjang saja. Mereka menganggap sesuatu yang masih berupa janji bukanlah sebuah kenyataan. Mereka juga menganggap bahwa sesuatu yang tidak tampak di “mata” tidaklah bisa diterima akal. Sehingga mereka tidak perlu untuk berpikir lebih jauh untuk hal-hal yang belum tentu menjadi kenyataan. Baik dalam jangka waktu yang dekat atau jangka waktu yang akan datang sesudah datangnya kematian.

Pada akhirnya yang mereka kejar hanyalah yang nampak di depan mata juga, yaitu sebuah kekayaan, kedudukan dan kekuasaan serta kemuliaan hidup di dunia. Walaupun untuk mewujudkan semua itu mereka harus mempertaruhkan sebuah kebenaran dengan sebuah kata yaitu “pengingkaran”. Pengingkaran terhadap sesuatu yang “ghaib” yang sebenarnya hanya karena keterbatasan pandangan yang dimilikinya. Padahal mata kita ini begitu kecil dibanding dengan luasnya wajah kita. Dan mata kita hanya bisa kita gunakan untuk melihat sesuatu yang berada di depan nya saja, dibelakang kepala mata hampir tidak berguna. Ironisnya juga yang berada di belakang kepala kita jauh lebih besar dan lebih luas dari apa yang bisa kita lihat.

Manusia tak ubahnya setitik debu yang berterbangan di alam semesta. Begitu kecil sekali. Hingga yang bisa dilihatnyapun sangatlah terbatas. Celakanya, yang tidak bisa tertangkap oleh mata ditolak pula oleh akal, dengan alasan tidak bisa melihat dengan mata dan kepala sendiri. Sehingga yang ada dalam otak hanyalah apa yang tampak di mata. Lalu apa saja yang tidak tampak dan tidak bisa diterima akal dengan mudah kita ingkari. Akibatnya, kita tidak pernah lagi berpikir tentang dunia yang “lain”. Dan hanya terfokus pada apa yang ada di dunia “fana” ini saja. Lalu jadilah kita sebagai manusia-manusia yang hanya mengutamakan harta kekayaan. Dan mengusahakannya dengan tak kenal lelah dan tak kenal waktu, karena mereka menganggap “Waktu adalah Uang”.

Sekian.

Tidak ada komentar: