Sebelum ada video player dengan kaset “pita” orang secara sembunyi mencari dan menyimpan majalah porno terbitan eropa atau amerika. Tidak begitu banyak, tapi ada. Apalagi di kalangan pelajar saat itu. Lalu datang perangkat pemutar film jenis pita, lebih dikenal dengan kaset VHS. Mulailah era film biru atau BF. Sebuah film yang menyuguhkan permainan sex normal dan abnormal. Tidak semua orang bisa menikmati BF saat itu. Hanya orang-orang tertentu yang “mampu” membeli perangkat pemutarnya yang bisa dengan leluasa menikmatinya.
Lama kelamaan semakin banyak beredar player-player sejenis, dan BF pun punya tempat tersendiri di masyarakat. Terutama orang “kaya” dan kalangan muda atau pelajar tingkat menengah. Pada akkhirnya BF dipertontonkan secara umum dengan sembunyi-sembunyi karena takut razia petugas. Dan anak-anak setingkat SMP dan SD pun akhirnya bisa menikmati dengan membayar sejumlah uang sebagai “ticket”nya. Jadilah kita masyarakat penikmat film porno secara ilegal. Juga buku-buku “putih” yang berisikan cerita-cerita sex yang sangat digemari kaum muda.
Beberapa waktu kemudian datang perangkat yang lebih baru yang disebut Laser Disc. Saat itu harganya masih begitu mahal. Hanya orang “kaya” yang leluasa menikmatinya. Termasuk menikmati film biru produksi manca negara. Walaupun secara resmi “dilarang” tapi orang dengan mudah mendapatkan film-film porno di tempat-tempat tertentu yang sudah menjadi langganan mereka. Belum begitu lama laser disc beredar, muncul lagi tehnologi pemutar film yang relatif lebih murah harganya. VCD Player yang kemudian disusul dengan DVD player. Yang membuat banyak orang bisa membeli dengan mudah.
Mulailah kebiasaan memutar film di rumah menjadi kesenangan baru. Hampir tiap rumah mempunyai perangkat pemutar film ini. Dan peredaran film biru pun semakin transparan. Bahkan banyak dijual secara sembunyi-sembunyi di kios-kios pedagang kaki lima. Ditambah lagi dengan beredarnya ponsel berkamera dan kemudahan mengakses internet serta masuk ke situs-situs porno, membuat semakin merajalelanya pornografi di mata dan pikiran masyarakat dari segala lapisan.
Kita boleh mengingkari semua paragraf diatas, tapi kalau kita merasa hidup sekitar tahun 80-an sampai saat ini, saya yakin banyak yang bisa menjelaskan lebih detil lagi tentang maraknya peredaran film biru di kalangan remaja pelajar dan masyarakat tertentu yang menggemari jenis film tersebut. Apalagi untuk saat ini. Tehnologi kamera yang teraplikasi pada ponsel yang sudah seperti “jajanan” anak-anak membuat hampir setiap mata dengan mudah untuk melirik adegan sex mulai dari yang “sopan” sampai yang demikian “kurang ajar”.
Jika boleh diambil kesimpulan, bahwa pornografi saat ini ada di depan mata kita dan benar-benar sudah “telanjang” bulat. Betapa tidak ? Dari mulai majalah, tayangan televisi, yang penuh “dada” dan “paha” sampai lempengan cakram dan “siaran langsung” dari kamera digital maupun kamera ponsel. Dan sebagian besar dari kita sudah sangat akrab dengan perangkat-perangkat tersebut. Lantas ? Masihkah kita akan mengingkarinya ?
Realitas yang ada saat ini adalah, kita semua tidak punya daya atau kekuatan untuk menghentikannya. Tidak masyarakat, aparat atau pejabatnya sekalipun. Bahkan merupakan sebuah kemungkinan yang besar, bahwa kita adalah penikmat pornografi “dibelakang” pintu. Kalau diluar pintu kita sok bersih, sok suci, sok tidak pernah melirik adegan “panas”. Berteriak keras-keras menolak dan ikut menghujat. Tapi bagaimana seandainya kita berada di ruangan yang steril dari penglihatan manusia beneran ? Hanya diri kita masing-masing dengan kejujuran yang sangat “langka” yang bisa memberikan informasi mengenai aktifitas hati dan mata kita yang “apa adanya”.
Sekali lagi kita boleh membantah semua paragraf di atas. Tapi pertimbangkan juga realitas yang terjadi saat ini di masyarakat. Pergaulan remaja yang demikian bebas, tempat hiburan malam yang bertebaran hampir di semua sudut kota. Tempat prostitusi yang dipertahankan keberadaannya, bahkan para “karyawan”nya banyak yang di ”bina” demi “kepuasan” pelanggan. Masihkah kita berpikir bahwa, pornografi akan segera hilang ? Atau mungkin justru semakin “vulgar” penyajiannya.
Kalau ditanya salah siapa ? Kita banyak mengelak dengan saling tuding antara siapa yang seharusnya bertanggung jawab dengan berlangsungnya semua kemaksiatan ini. Kita ini lebih banyak bersembunyi dibalik kata “urusan” moral. Dan moral itu merupakan wilayah agama. Ujung-ujungnya kita justru menyalahkan para ulama yang telah bersusah payah menyampaikan pesan-pesan yang terkandung dalam Kitabullah dan hadist Rasulullah saw. Dengan memberikan label kegagalan dalam pembinaan moral keagamaan.
Yang paling tidak kita sadari adalah peran para ulama yang hanya sebatas menyampaikan ilmu agama dengan segala kebenaran yang dikandungnya. Bukan “menyihir” seseorang agar berubah menjadi seperti yang kita kehendaki. Kita sebagai penerima ilmunya-lah yang justru mempunyai kewajiban untuk merubah diri menjadi seseorang yang benar-benar ber-agama. Salah satunya dengan tidak memberikan ruang gerak untuk kegiatan-kegiatan pornografi di semua tempat atau wilayah Islam.
Banyak orang hanya menyandarkan moralitas dan perilaku yang baik pada “kualitas” Iman. Sedangkan kita tahu bahwa keberadaan Iman seperti halnya juga air laut. Ada pasang dan surutnya. Jika tidak ada “proyek” besar untuk membendung agar air yang sudah pasang tidak segera surut atau bahkan kering, maka yang terjadi adalah bersoraknya pasukan setan karena lawan mereka tidak punya senjata pemecah pasukan berupa aturan yang melarang berdirinya tempat hiburan malam yang memberikan ruang dan kesempatan terjadinya transaksi sex. Yang bisa menyebabkan setan kesulitan untuk berkumpul dan berserikat dengan bangsa manusia.
Saat ini pasukan setan justru berada di atas angin. Mereka dengan mudah berserikat dengan bangsa manusia di tempat-tempat yang dilindungi oleh hukum produk manusia sendiri. Dengan leluasa pasukan setan membaur dengan rekan-rekannya di remang-remang jalanan, di tempat-tempat hiburan malam, bebas keluar masuk tempat pijat plus. Bahkan sangat bebas berkeliaran di daerah lokalisasi yang dilegalkan. Dan yang paling canggih setan dengan leluasa masuk melalui situs-situs internet di warung-warung atau di rumah-rumah manusia.
Banyak orang yang berusaha membela dan melindungi fasilitas-fasilitas perusak moral dengan dalih bahwa mereka tidak memanggil orang untuk datang ke tempatnya. Tapi orang-orang sendirilah yang dengan sukarela datang ke tempat-tempat mereka. Karena mereka membutuhkan menu yang disediakan di dalamnya. Alasan mereka bisa dimaklumi, karena mereka mungkin telah menempatkan konsultan dan bodyguard dari pimpinan para setan. Sehingga mereka begitu berani untuk melakukan perlawanan dengan sesama manusia.
Kadang memang sangat tidak masuk di akal. Kita sebagai manusia yang mengaku mengenggam Iman, sudah semestinya memberikan fasilitas-fasilitas yang bisa melindungi manusia dari kekeringan Iman, bukan malah memberikan fasilitas kepada lawan manusia. Hukum atau aturan yang tegas yang didasarkan pada keyakinan hanya pada Allah semata, akan sangat membantu manusia dalam melindungi diri dari lawan. Fasilitas-fasilitas untuk sarang setan tidak semestinya ada di bumi yang menjadikan Allah sebagai pimpinan dalam hidupnya. Kalau kita tetap bersikeras dengan beribu alasan perut dan hak untuk berserikat dengan setan, maka sudah sepatutnya kita membungkus diri kita dengan cermin yang berbentuk tabung. Bukan dengan bahan yang terbuat dari tekstil. Agar kita dengan mudah bisa mengenali diri kita terjangkit atau tidak dengan “virus” setan.
Ada pula orang yang berdalih, sebesar dan sekuat apapun fasilitas yang diberikan untuk membentengi manusia dari setan, masih sangat tergantung dari diri manusia itu sendiri. Kalimat ini mengandung kebenaran. Tetapi, selama belum ada usaha yang mengarah ke sana, selama itu pula kita tidak pernah tahu akibat yang akan dihasilkan. Dan dasar keluarnya pernyataan seperti ini tidak lebih karena condongnya kita pada kemaksiatan-kemaksiatan yang selalu ditawarkan oleh bagian pemasaran perusahaan yang dipimpin oleh setan.
Maka sudah sepantasnyalah kalau bumi yang dihuni mayoritas orang-orang beriman, para pimpinannya juga memberikan perlindungan kepada Iman rakyatnya. Dengan tidak memberikan kesempatan kepada musuh manusia mendirikan pangkalan-pangkalan militernya di wilayah kekuasaan Islam. Dengan perlahan namun pasti para pimpinan beriman yang hidup diatas bumi Islam harus berusaha untuk mem”bina”sakan tempat-tempat maksiat yang berkedok tempat hiburan. Hingga jelas yang mana pemimpin yang peduli Iman dan mana pemimpin yang tidak mempedulikan Iman.
Jujur atau tidak, maraknya pornografi telah membuat sebagian kecil orang untuk mempunyai keinginan ambil bagian di dalamya. Dari mulai menirukan seluruh adegan yang pernah di lihat sampai pada membuat film sejenis dengan bintang saudara-saudara kita. Bahkan jika memungkinkan kita sendiri yang jadi bintangnya. Semua peralatan sudah tersedia di pasar. Tinggal klik saja. Langsung jadi dan bisa langsung dinikmati pula. Sudah berapa banyak video porno beredar dengan bintang lokal. Dari mulai pelajar, suami istri yang sah dan tidak sah sampai dengan para eksekutif dan artis yang notabene seorang publik figure.
Dan bebasnya peredaran film-film porno dari manca negara mempunyai peran yang tidak kecil. Bahkan inspirasi pembuatan film-film porno dengan bintang lokal lebih banyak diambil dari film-film manca negara. Hal ini semestinya sudah bisa kita sadari jauh-jauh sejak sebelum warnet mewabah di sudut-sudut kampung. Tapi yang terjadi adalah, sikap “menunggu” apa yang akan terjadi dengan maraknya video porno di masyarakat. Sambil mencari-cari di pasar gelap barangkali ada video porno yang paling di tunggu-tunggu tersebut.
Ketika barang yang ditunggu-tunggu muncul, yang terjadi adalah “demo” atau unjuk rasa dan tuntutan proses hukum bagi para pelakunya, tentunya setelah semua yang terlibat dalam demo dan proses hukum “melihat” barang buktinya. Kenapa harus ada hukuman penjara kalau yang selama ini beredar dan meracuni masyarakat tidak bisa dibendung dengan hukum ? Inilah yang saat ini terjadi. Banyak orang yang mungkin sebenarnya “penikmat” Triple X menyuarakan penolakan dan tuntutan hukum. Padahal ada kemungkinan dia “suka" film-film seperti itu. Apa sebenarnya yang mereka dicari ?
Biarlah kita tidak usah ikut berkomentar dengan peristiwa yang sedang terjadi. Kualitas filmnyapun tidak se”hebat” produksi manca negara. Serahkan saja semuanya pada aparat hukum dan aturan hukum yang ada. Lantas ? Lantas kita koreksi diri kita sendiri. Apa yang selama ini telah kita perbuat dengan maraknya pornografi produksi luar negeri ? Kita lebih banyak “diam”. Tak bereaksi. Bahkan kadang ikut menikmati meskipun hanya kadang kala.
Mestinya kita bersuara lantang meminta kepada wakil-wakil kita untuk mem-”bina”-sakan sarang-sarang setan yang dihuni oleh manusia. Yang sama dan satu species dengan kita. Kita membiarkan sarang-sarang setan tetap exist bahkan cenderung meng-update-nya. Dengan bersembunyi dibalik kata karaoke, transaksi-transaksi sex berlangsung aman dan terkendali. Tak pernah terpikirkan untuk membebaskan bumi yang kita cintai ini bebas dari tetesan-tetesan kemaksiatan.
Sudah waktunya kita berpikir tentang islam secara “kafah”. Dengan jalan masuk dan menerima semua konsekwensi hukum-hukum Islam. Dengan demikian secara tidak langsung kita akan mengarahkan diri dan masyarakat ke dalam kebenaran Iman. Kita “bina”sakan lokasinya, kita arahkan penghuninya ke arah hidup ber-agama dan kita angkat derajat mereka sebagai manusia yang terhormat. Dan yang terakhir, kita selamatkan mereka dari pedihnya azab Allah yang kemungkinan besar akan diterima. Lalu kita ajak mereka dalam indahnya hidup di atas bumi yang berlandaskan Iman. Tentunya dengan Iman hanya kepada Allah semata. Bukan yang lain. Apalagi Setan atau Iblis yang seharusnya menjadi musuh bersama manusia yang mengaku bahwa dirinya adalah pemeluk agama Islam yang mengutamakan Iman.
Sekian.
Ditulis oleh : Agushar, 25 juni 2010.
Senin, 05 Juli 2010
Pangkalan Militer Setan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar