Kamis, 15 Juli 2010

Mengendalikan Keinginan Jiwa


Nafs adalah jiwa, tetapi kita sudah terlanjur mengidentikan nafs dengan nafsu. Yang mempunyai makna sebagai sebuah keinginan menggebu yang cenderung ke arah perilaku negatif. Sebuah makna yang sengaja di lepaskan dari subyek yang sebenarnya yaitu “jiwa”. Nafsu yang sebenarnya adalah jiwa yang selalu mempunyai keinginan-keinginan. Yaitu sebuah keinginan atau kemauan untuk melakukan sesuatu hal yang kadang bernilai positif kadang juga bernilai negatif. Keberadaanya melekat pada diri setiap manusia yang masih bernafas. Manusia yang “hidup” pasti disertai nafs atau jiwa. Sementara mereka yang sudah mati nafs nya akan terlepas dari raga seperti juga ruh yang “pergi” meninggalkan jasad.

Jadi secara umum kita telah memberikan pengertian tentang nafsu dengan sebuah makna yang lepas dengan jiwa. Yaitu sebuah keinginan untuk selalu berperilaku yang menjurus ke arah yang berlawanan dengan ajaran agama. Dan pada akhirnya kita hanya menghubungkan nafsu dengan keinginan-keinginan yang banyak bernilai negatif, walaupun kita juga tidak mengingkari kalau nafsu kadang juga kita perlukan untuk membangkitkan semangat berbuat baik kita yang kadang loyo bahkan hilang sama sekali. Padahal tidak demikian. Nafsu tidak pernah meninggalkan kita dan tidak pernah hilang dari diri kita.
Jiwa dan raga selalu bersama. Nafs atau jiwa adalah bagian dari diri manusia yang “aktif”. Nafsu bagai sebuah kendaraan tunggangan yang disertakan pada tiap manusia sebagai sarana untuk mencapai tujuan kehidupan dunia dan akhirat. Nafsu ibarat kuda tunggangan kita. Nafsu atau jiwa akan menggunakan raga untuk merealisasikan rencana dan keinginan-keinginannya. Ibarat kuda yang menarik kereta, apabila dilecut, nafsu akan berlari kencang, liar dan tanpa arah. Ketidakmampuan kita dalam mengendalikan akan menjadikan kuda tunggangan kita menjadi binal dan tak terarah jalannya.

Binalnya kuda tersebut tidak hanya berbahaya bagi penumpangnya, tapi juga berbahaya bagi orang lain yang terkena dampaknya. Karena manusia cenderung untuk berinteraksi dengan manusia lain, maka kadang kala manusia juga bisa menjadi obyek pelampiasan hawa nafsu atau keinginan jiwa yang tak terkendali. Oleh karena itu diperlukan sebuah kemampuan mengendalikan dan mengarahkan kuda atau hawa nafsu agar kereta bisa berjalan atau berlari secara terarah sesuai dengan keinginan tuannya. Bukan tuannya yang harus tunduk pada keinginan kuda. Tapi kuda atau hawa nafsulah yang harus tunduk pada keinginan kita agar kita selamat selama dalam perjalanan.

Dalam realita sehari-hari kita tidak pernah berusaha untuk memahami tentang kuda dan tuan atau kusirnya. Dalam bahasa yang jelas kita tidak pernah mau memahami tentang jiwa dan raga. Kita lebih banyak tahu secara tekstual tentang diri “nafsu”. Sehingga pikiran kitapun terisikan tentang jenis-jenis nafsu yang telah disesuaikan dengan kecerendungan perilakunya. Seperti nafsu amarah, nafsu lawwamah, nafsu mutma`inah dan nafsu lainnya. Bukan terisi tentang diri nafsu atau jiwa yang sebenarnya.

Nafsu membutuhkan perlakuan. Yaitu sebuah perlakuan yang baik atas nama Allah. Untuk itulah diperlukan sebuah komunikasi antara raga dan nafsu atau jiwa yang kita miliki. Dan komunikasi harus selalu terjalin antara raga dan nafs atau jiwa. Raga meliputi seluruh fisik manusia yang ada termasuk “hati”. Raga dengan “hati” nya inilah yang mempunyai korelasi dengan pembentukan nafsu atau jiwa. Jika kita menghiasi “hati” dengan Iman atau keyakinan hanya kepada Allah saja, niscaya jiwa akan terisi oleh sesuatu yang “baik” pula. Tapi jika kita menghiasi “hati” dengan keyakinan pada selain Allah, maka jiwa akan terisi dengan sesuatu yang “jelek” atau buruk pula. Sehingga perilaku yang akan munculpun akan selalu bernuansa buruk atau negatif.

QS. Asy Syams 7 & 8.
وَنَفْسٍ وَمَا سَوَّاهَا﴿٧﴾
“Wa nafsin wa maa sawwaahaa,

”dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),

فَأَلْهَمَهَا فُجُورَهَا وَتَقْوَاهَا﴿٨﴾
“Fa alhamahaa fujuurahaa wa taqwaahaa”

“maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”.

Karena tidak adanya minat untuk memahami tentang diri nafsu inilah banyak dari kita yang justru terlena dengan kerancuan yang terjadi antara “nafsu” dengan “jiwa”. Sehingga usaha kita lebih terfokus pada “pembunuhan” diri hawa nafsu. Yang justru mengakibatkan terlumatnya jiwa dengan kematian hawa nafsu itu sendiri. Padahal jiwa tidak boleh kosong. Jiwa harus terisi dengan “sesuatu'. Entah sesuatu itu bernilai baik atau bernilai buruk. Karena kesempurnaan jiwa adalah terisinya jiwa dengan rekaman-rekaman perbuatan kita selama hidup di dunia.

Isi jiwa inilah yang akan berbicara banyak tentang diri kita kelak. Kita akan menjadi orang yang beruntung di akhirat, jika kita mengisi jiwa kita dengan sesuatu yang baik, bersih dan suci. Yang berimbas pada keinginan-keinginan untuk tunduk pada Allah swt. dengan jalan melaksanakan semua apa yang diperintahkan bersama-sama dengan raga atau jasad. Dan merugilah kita apabila kita mengisi jiwa kita dengan perilaku-perilaku kotor yang dilarang oleh Allah seperti yang termaktub dalam kitab dan ucapan-ucapan Rasulnya.

QS. Asy Syams 9 & 10.
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا﴿٩﴾
“Qad aflaha man zakkaahaa”

”sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu”,

وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا﴿١٠﴾
“Wa qad khaaba man dassaahaa”

”dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”.

Itulah nafsu atau jiwa. Tak berlebihan kiranya Rasulullah saw mengatakan bahwa jihad yang paling besar dan berat adalah perang melawan “hawa nafsu” atau keinginan jiwa. Karena keinginan jiwa lebih tertuju pada sesuatu yang nyata dan bersifat duniawi. Logis, karena kehidupan yang sedang kita jalani adalah kehidupan dunia. Hingga keinginan-keinginan yang munculpun lebih banyak bersifat duniawi. Permasalahan menjadi lebih jelas tatkala kita mengetahui dan meyakini tentang adanya informasi tentang kehidupan lain setelah periode kehidupan dunia. Yaitu kehidupan akhirat.

Kehidupan akhirat mensyaratkan tentang “kualitas” jiwa untuk bisa mendapatkan “ridha” dari Allah swt. maka dari itu jiwa atau nafs yang mempunyai kualitas “baik” saja yang bisa dengan mudah memperoleh ridha Allah. Sedangkan persepsi tentang nafsu juga harus diubah. Selama ini kalau kita menyebut nafsu, yang terlintas di pikiran kita hanyalah suatu keinginan yang menggebu-gebu terhadap sesuatu. Jarang sekali terlintas di pikiran kita tentang jiwa dan penyempurnaannya. Yang bisa menyebabkan diterima atau tidaknya penyerahan diri kita kelak kepada Allah.

Nafs atau jiwa harus diberi sesuatu. Seperti seorang anak yang mempunyai banyak keinginan, hawa nafsu harus dikendalikan. Mana yang harus dipenuhi dan mana yang “tidak” harus dipenuhi. Bukan demi siapa-siapa tapi demi jiwa kita sendiri. Jika semua keinginan jiwa kita penuhi tanpa banyak pertimbangan, yang terjadi adalah, penuhnya “jiwa” dengan sesuatu yang hanya bisa di rasakan di dunia, tetapi sama sekali tidak berguna untuk kehidupan selanjutnya, yaitu akhirat.

Lantas bagaimana untuk bisa mengendalikan keinginan jiwa yang begitu banyak tersebut ?

Banyak dari kita yang berkonsentrasi untuk menahan nafsu atau keinginan dengan menghindar dari larangan yang telah tertulis dalam banyak buku pengetahuan agama. Kebanyakan dari kita juga hanya ingin tahu, apa larangan-larangan yang ditetapkan untuk manusia yang ber-agama. Padahal ada cara yang lebih efektif untuk bisa mengendalikan banyaknya keinginan jiwa dalam keduniaan tersebut. Yakni dengan membungkus jasad dengan perbuatan yang baik dan menghiasi hati dengan iman disertai pemahaman terhadap tanda-tanda Allah di seluruh alam semesta.

Hati harus bisa menjadi pemimpin atas jiwa dan raga. Jika hati tidak mampu memberikan solusi yang baik terhadap keinginan-keinginan jiwa yang berorientasi keduniaan, maka yang terjadi adalah pemenuhan jiwa dengan sesuatu yang tidak banyak membawa manfaat bagi kepentingan akhirat kita. Karena hati tidak pernah bisa menolak apa yang di inginkan oleh jiwa. Untuk itu hati harus sesering mungkin kita “traning” dengan lebih banyak memahami ilmu-ilmu agama. Dengan banyak belajar melalui para alim ulama` atau kitab-kitab yang mereka susun dan sebarkan.

Tujuannya adalah membentuk sebuah keyakinan yang kuat terhadap ketauhidan Allah dan kekuasaan Allah yang tak terbatas. Hingga hati mempunyai kekuatan dan otoritas untuk mengatur keinginan jiwa dan perilaku raga atau jasad. Dengan demikian tidak semua keinginan jiwa akan terpenuhi. Hal ini dikarenakan adanya sebuah kepentingan yang lebih besar berkaitan dengan jiwa dan raga. Bahwa hidup adalah sebuah persiapan menuju kematian. Dan kematian adalah jembatan menuju kehidupan akhirat yang jauh lebih kekal dari kehidupan dunia.

Hati adalah pemimpin jiwa dan raga. Jika hati tidak mempunyai kekuatan Iman, maka hati tidak bisa menjadi pemimpin yang baik. Sedangkan Raga adalah jasad. Yaitu tubuh atau fisik manusia yang bisa tumbuh dan mempunyai kekuatan. Untuk bisa kuat, raga membutuhkan “makan”. Untuk bisa sehat raga harus banyak bergerak dan makan dari bahan yang berkualitas “baik”. Demikian juga jiwa. Jiwa juga memerlukan asupan makanan. Jika yang di”konsumsi” berupa makanan yang “baik”, niscaya jiwa akan selalu sehat. Dan jiwa yang sehat tentu akan membawa kita pada situasi dan kondisi yang “normal” dan sehat pula.

Hati yang mempunyai kekuatan dan kemampuan untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah pasti akan bisa memilah-milah mana keinginan jiwa yang harus dipenuhi dan mana keinginan jiwa yang harus di tolak. Hati akan selalu bertindak selektif dalam memilihkan makanan untuk jiwa dan raganya. Baik mengenai kualitas maupun kuantitasnya. Sehingga antara jiwa dan raga nantinya akan bisa berjalan secara selaras sesuai dengan tuntunan-tuntunan yang bersumber dari Allah melalui petunjuk-petunjuk yang ada dalam kitabNya dan contoh-contoh perilaku RasulNya.

Untuk itulah hati harus selalu diusahakan kekuatan Imannya, sehingga hati bisa memimpin jiwa dan raga dalam batas-batas perilaku orang yang beriman. Yang memerintah dan mengajak raga bertindak atas nama Allah serta mengisi jiwa dengan keinginan-keinginan yang bermanfaat bagi kebersihan dan kesucian jiwa sendiri. Serta memurnikan niatan-niatan berbuat sesuatu dalam keikhlasan karena Allah semata. Sehingga secara otomatis hati yang penuh Iman akan menghindarkan diri kita dari “hawa nafsu” atau keinginan jiwa yang kadang tidak memperdulikan keselamatan diri sendiri di hadapan Allah swt.

Bagaimana jika hati tidak berhias Iman ?

Hati yang tidak tersentuh oleh Iman atau keyakinan tentang tauhid dan kuasanya Allah tidak akan mempunyai kemampuan untuk menjadi pemimpin dalam mengisi kekosongan jiwa dari sesuatu yang baik dan tingkah laku raga atau jasad. Hingga hati akan selalu menyetujui apa yang menjadi keinginan jiwa atau “hawa nafsu”. Jika hati tidak bisa memimpin dan menghadang kemauan jiwa yang selalu “haus dan lapar”, maka yang terjadi adalah lahirnya ke-angkara murka-an di muka bumi. Yang bukan saja berbahaya bagi diri sendiri, tapi juga berbahaya bagi orang lain dan makhluk-makhluk Allah yang lain yang hidup bersama-sama kita.

Bagaimana tidak ? Jiwa yang kosong seperti keberadaan perut yang lapar. Selalu membutuhkan sesuatu untuk dimasukkan ke dalamnya hingga kenyang atau puas. Kemudian timbul lagi dan timbul lagi di saat yang lain. Seperti sebuah disket atau flash disc dalam kesatuan sebuah komputer. Manusia yang mengoperasikan bertindak sebagai “hati”, monitor bertindak sebagai raga dan memory penyimpanan berupa cakram di dalamnya bertindak sebagai jiwa.

Makanan raga atau layar monitor adalah data yang dimasukkan dari keyboard, sedang makanan jiwa atau harddisk adalah file-file yang tersimpan di dalamnya. Jika manusia atau hati komputer berkekuatan Iman, maka yang tampak di layar dan tersimpan di harddisk adalah sesuatu yang benar menurut ajaran agama. Jika manusia atau hati komputer tidak berkekuatan Iman, maka yang tampak di layar dan tersimpan di harddisk adalah sesuatu yang tidak banyuak berguna bahkan bertentangan dengan ajaran agama. Demikian akan berlangsung terus sepanjang kita menggunakan komputer tersebut sampai monitor rusak atau harddisk penuh sesak.

Demikian juga dengan manusia, jika mayoritas manusia mempunyai hati yang lemah Iman, yang terjadi adalah sebuah kekacauan dalam kehidupan. Baik bagi diri sendiri, keluarga, lingkungan sekitarnya sampai lingkungan dalam skala yang lebih luas lagi, yaitu komunitas sebuah masyarakat. Dimana tidak ada kejelasan antara yang benar dan yang salah. Yang ada hanyalah sifat-sifat kebinatangan. Dimana berlaku hukum rimba, siapa yang kuat dialah yang menang. Yang akan berlanjut pada perlakuan perebutan kekuasaan, penindasan, pelecehan hak-hak manusiawi dan pemusnahan masal etnik-etnik manusia yang dianggap tidak berguna bagi dirinya atau kelompoknya.

Demikianlah, hawa nafsu atau keinginan jiwa jangan hanya dibunuh atau dimusnahkan, tetapi kendalikan dan gantikan dengan sebuah keinginan-keinginan yang positif. Yaitu sebuah keinginan yang berlandaskan pertimbangan hati yang penuh kekuatan Iman. Sehingga keinginan-keinginan jiwa yang sebelumnya banyak berorientasi pada nikmatnya dunia bisa berubah orientasi menjadi kepentingan dunia dan akhirat dengan penekanan pada kehidupan akhirat yang lebih utama.

Sekian.
Ditulis oleh : Agushar, 13 Juli 2010.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

jiwa nafsu dan raga harus terkomunikasi dengan baik ibarat sebuah tim sepak bola. jiwa juga ingin survive, nafsu juga ingin survive, raga juga ingin survive, terus masalahnya dimana ini fakta, bukan pendapat benar dan salah, manusia menderita karena alam rasa dari rasa yang bermacem macem. tetapi nanti kalau sudah mati maka akan terlefas dari semua penderitaan nafsu yang membuat sengsara di dunia, apa kira kenikmatan duniawi tidak membawa sengsara, karena kehausanya. berapa orang yang menderita ini dari orang orang yang berkuasa dan banyak harta