Sebuah hajatan tak ubahnya seperti sebuah perayaan. Sekecil apapun bentuknya perayaan masih saja mengandung pengertian “pesta”. Dan sebuah pesta membawa makna bersenang-senang bersama. Tentu disertai dengan sebuah jamuan makan dan minum yang tidak seperti “biasanya”. Kebiasaan hampir semua komunitas adat di masing-masing daerah akan merayakan sebuah peristiwa yang berkesan khusus. Misalnya sunatan, mantu, ngunduh mantu, tingkeban. Ada juga acara seperti tunangan, ulang tahun dan lain sebagainya. Diantara semua hajatan yang ada, yang umum mengandung kata “buwuh” adalah sunatan dan pernikahan. Selain kedua peristiwa tersebut istilahnya lebih umum menggunakan kata hadiah atau “kado”
“Buwuh” mempunyai makna sebuah “pemberian”. Rupa awalnya adalah bahan makanan atau bahan pokok seperti beras, gula, minyak goreng atau bisa berupa buah kelapa yang sudah tua. Bahan-bahan ini dikemas dalam sebuah wadah plus “uang” dalam amplop yang nilainya relatif kecil. Sepertinya hanya untuk formalitas atau syarat saja. Lalu bahan dan amplop tersebut diantar pada seseorang yang sedang mempunyai “hajat”. Yang paling umum adalah hajatan pernikahan dan khitanan atau sunatan. Kebiasaan “buwuh” ini sudah menjadi tradisi hampir di semua komunitas masyarakat di daerah masing-masing. Dengan adat istiadat yang juga berlaku di masing-masing kelompok atau suku.
Semula tradisi seperti ini terlihat hanya sebagai buah atau bukti “kerukunan” antar penduduk sebuah desa atau penduduk di luar desa. Berbeda dengan kebiasaan di kota besar. Awalnya kata “buwuh” mengandung pengertian memberikan sejumlah “uang” yang telah dimasukkan ke dalam amplop dan sudah diberi nama ke seseorang yang mempuyai hajat. Dan semula “buwuh” hanya akrab di kaum “tua”. Sedang untuk mereka yang muda umumnya memberikan hadiah berupa “kado”. Yaitu sebuah barang yang telah dibungkus sedemikian rapi sebagai kenang-kenangan bagi mereka yang “dihajatkan”.
Sejalan dengan perubahan jaman, tradisi buwuh pun sedikit mengalami perubahan. Kecenderungan masyarakat untuk tidak terlalu ribet dalam memilih dan memberikan “hadiah” kepada mereka yang mengundang, membuat kaum mudapun mulai melirik apa yang dilakukan kaum “senior”nya. Yaitu memilih untuk mengemas “uang” dalam amplop dan memberikan secara “sembunyi-sembunyi” melalui jabat tangan dengan mereka yang berhajat. Cara ini dianggap lebih praktis. Karena hadiah “mentahan” seperti ini dianggap lebih “manusiawi”. Lebih fleksibel penggunaanya kelak setelah selesai acara hajatannya.
Semakin lama Tradisi Buwuh semakin menemukan jati dirinya. Yaitu pemberian “hadiah” yang lebih menjurus ke pemberian “sumbangan”. Karena sifat “buwuh” yang “berputar” menjadikan tradisi ini semakin dekat dengan aktifitas “arisan” tidak resmi. Padahal sebenarnya “buwuh” bukanlah “arisan”. Tetapi aktifitas “buwuh” berpotensi menjadi sebuah “arisan”. Hanya tidak ada “pathokan” mengenai besarnya nominal uang yang ada di dalam amplop. Tetapi janganlah kita berpikir kalau besarnya uang buwuhan tidak tercatat. Nilai nominal uang yang ada di dalam amplop akan dicatat oleh “Tuan Rumah” untuk suatu saat dibuka kembali guna “mengintip” seberapa besar uang buwuhan orang yang saat ini mengundang kita.
Itulah realitas saat ini. Bahkan ada sebuah desa yang mengkoordinir “hajatan” warganya dengan membentuk sebuah panitia khusus menangani “buwuhan”. Yang ini benar-benar rapi administrasinya. Panitai akan tahu berapa nilai uang yang sudah diterima seseorang, dan berapa besar orang itu harus mengembalikan “buwuhan” yang pernah diterimanya plus “investasi” baru dengan jumlah nominal “sesukanya”. Jadi jika seseorang berniat “hajatan” panitia sudah bisa menghitung berapa nilai minimal yang akan diterimanya selesai hajatan nanti.
Salahkah ? Tidak juga. Hal itu sangat tergantung pada kesepakatan masyarakat yang bersangkutan. Tapi ada yang terasa “hilang” dari tradisi buwuh ini. Yaitu sesuatu yang semula hanya simbol kerukunan dan kepedulian yang dibalut keikhlasan, berubah menjadi suatu “investasi” yang harus selalu diingat “jumlahnya” untuk kemudian di tarik lagi atau “diunduh” pada suatu saat yang tepat. Biasanya momentum yang digunakan adalah pada saat mantu, ngunduh mantu atau sunatan. Selain acara itu sepertinya masih terlihat kurang “pantas”. Dan lagi menimbulkan banyak persepsi dari mereka yang diundang.
Demikianlah, uang bisa merubah sebuah tujuan. Perayaan yang seharusnya merupakan wujud berbagi kebahagiaan dengan banyak membagikan sedekah, terutama jamuan makan dan minum telah berubah menjadi sebuah keinginan yang bermuara pada “profit”. Hingga lama kelamaan tradisi buwuh inipun berubah menjadi sesuatu yang kadang dipaksakan. Demi meraup “amplop” sebanyak mungkin, sesuatu yang seharusnya tidak dilakukanpun akan “tega” dilakukan. Seperti misalnya, awalnya undangan hanya akan diberikan kepada seseorang yang telah dikenal sebelumnya. Tapi saat ini mereka yang belum pernah dikenalpun akan “kebagian” undangan. Lalu apa maksudnya?
Dengan alasan apapun orang akan berpikiran bahwa orang yang mengundang tersebut sedang melakukan “spekulasi” dengan kertas undangan. Dengan bahasa yang lebih halus orang tersebut sedang memancing dengan mata kail “kertas undangan”. Jika mata kail dimakan dan mereka datang pada acara hajatan, maka umpan atau sedekahnya baru diberikan. Tentu saja mereka yang datang sudah mempersiapkan amplop berisi uang yang akan dimasukkan ke dalam kotak “tombang”. Jika tidak datang maka nilai nominal selembar undangan akan “hilang”. Lantas benarkah mereka yang berhajat akan menangguk keuntungan ? Belum tentu, hajatan “nikah” dan “sunatan” mempunyai perbedaan dalam biaya yang harus dikeluarkan.
Untung atau tidak akan sangat bergantung pada biaya yang telah dikeluarkan oleh yang empunya hajat. Mereka yang berniat merayakan dan berbagi kebahagiaan akan memperhatikan “jamuan” yang akan mereka hidangkan kepada para undangan. Mereka akan menjaga “harga diri”nya dengan memberikan sesuatu yang “layak” untuk dihidangkan. Sehingga suasana pesta akan benar-benar terasa. Sedangkan mereka yang berniat “gambling” dengan hajatan dan undangan, mereka tidak perduli dengan apa yang akan disajikan untuk tamunya. Yang penting sudah “disuguhi”. Dimakan atau tidak dimakan terserah. Yang penting amplop sudah masuk “tombang”.
Mereka yang bertujuan membelokkan arti sebuah perayaan yang semula berniat “mengumumkan” kepada khalayak dan berbagi kebahagiaan pada tujuan untuk “menangguk” keuntungan pasti sudah mempersiapkan “make up” yang tebal untuk menutupi seluruh wajah. Karena keuntungan dari sebuah hajatan hanya bisa di dapat dengan pelayanan yang seadanya. Tidak perduli “harga diri” dan tidak perduli pada tamu yang diundang. Asal sudah ada terop, kursi, dan hidangan ala kadarnya ya sudah ! Dimakan silahkan tidak dimakan ya biarkan saja.
Inilah realitas. Sebuah tradisi yang semula didasari perasaan tulus dan ikhlas untuk berbagi kebahagiaan dari mereka yang mempunyai hajat. Dan rasa tulus ikhlas dari para undangan melalui sebuah langkah kaki yang disertai sekedar “buwuh”, berubah menjadi tradisi yang penuh dengan tendensi. Terutama berharap akan mendapat pemasukan yang jauh lebih besar dari pada biaya yang akan dikeluarkan untuk sebuah hajatan. Jika benar tendensi mengharap “susuke hajatan” telah mendominasi dalam pelaksanaan hajatan, berarti lambat laun pelaksaan hajatan akan “full image” dengan kata “buka warung”, “dodol sego” atau “golek susuk”.
Namun begitu tidak seluruh hajatan akan diberi “label” demikian. Hajatan yang “menghormati” tamu, terutama dengan jamuan yang “pantas” otomatis tidak akan mendapatkan label yang berkonotasi negatif. Penentu label adalah pelayanan tamu dan jamuan atau hidangan. Meriahnya acara dengan mendatangkan kelompok penghibur papan ataspun tidak akan bisa menghapus kesan yang ditinggalkan oleh “Maa`idah” atau hidangan. Oleh karena itu kita mesti hati-hati dengan “jamuan” yang akan kita hidangkan dalam sebuah acara hajatan. Salah sedikit bisa “jatuh” nama kita di hadapan para tamu.
Hidangan yang pantas tidak harus mewah atau beraneka ragam macamnya. Tidak. Hidangan yang pantas adalah hidangan yang “umum” dihidangkan di sebuah resepsi. Jenis makanan tidak begitu mutlak. Tapi jika anda menghidangkan jamuan yang tidak lebih baik dari apa yang biasa di beli di warung pinggir jalan, maka siap-siaplah dicibir banyak orang selesai hajatan. Jika yang anda hidangkan “soto” maka janganlah “asal soto” atau jika yang anda hidangkan “rawon” maka jangan asal “hitam” plus satu atau dua iris daging rawonan. Karena yang paling banyak meninggalkan kesan minus adalah dua jenis hidangan ini, maka kita harus berhati-hati dengan hidangan “soto” dan “rawon”.
Image hajatan terletak pada pelayanan dan apa yang akan kita berikan pada orang-orang yang kita undang. Jika kita peduli pada harga diri kita dan peduli pada orang yang kita undangan. Layanilah mereka dengan baik dan berikan jamuan kepada mereka dengan hidangan yang ”pantas”. Karena bagaimanapun juga, mendatangi sebuah hajatan tidak sama dengan pergi ke warung. Jadi buatlah para tamu anda mempunyai kesan mendatangi sebuah “resepsi” bukan hanya “ngiseni” tombang terus pulang dengan senyum “kecut”.
Memang tidak ada standart khusus antara kata “puas” dan “kecewa”. Sangat relatif sekali. Semua sangat tergantung pada selera tiap-tiap tamu yang diundang. Tapi asal tidak “terlalu” dalam jamuan atau hidangan, Insya Allah kita akan terhindar dari komentar-komentar yang bernada negatif. Kita semua juga menyadari bahwa tidak ada sesuatu yang bisa begitu sempurna dilakukan. Orang punya hajat itu, “apik dicacat elek yo dicacat”. Tapi jika kita tidak ada kepedulian untuk berbuat sesuatu yang lebih baik niscaya yang kita terimapun akan tidak lebih baik pula. Yang harus kita ingat adalah, kesan dari sebuah hajatan tak mudah sirna tertiup angin. Buatlah hajatan “minim” masalah dan buwuh yang meninggalkan “kesan” indah.
Semua paparan diatas sedikit mengesampingkan nilai-nilai ajaran agama. Seharusnya semua kejadian yang ada di depan mata kita dan yang sedang kita hadapi adalah sebagai cobaan buat kita. Kesan yang terjadi setelah berlangsungnya hajatan yang kita laksanakan adalah sebuah cobaan bagi kita. Tetapi jika kita telah berusaha dengan sebaik-baiknya dalam pelaksanaan dan pelayanan terhadap orang-orang yang kita undang, niscaya semua cobaan itu dapat kita minimalkan. Hingga kita tidak terlalu menanggung banyak beban pikiran akibat pelaksaan sebuah hajatan kita yang terlalu banyak kekurangan.
Demikian juga dengan mereka yang diundang, apapun yang akan kita temui dan kita dapatkan di sebuah resepsi hendaknya kita jadikan sebuah cobaan. Baik atau buruk, hendaknya kita tidak terlalu banyak mempermasalahkan. Yang demikian akan menjadi lebih baik buat kita. Terlepas dari niatan mereka yang mempunyai hajat, baik sekedar berbagi kebahagiaan ataupun ada tendensi yang lain dari hajatannya kita sikapi dengan positif saja. Karena kalau tidak demikian kita justru bertindak atau berbuat zhalim pada diri sendiri. Yaitu dengan mengotori jiwa dengan hal-hal tidak seharusnya bersemanyam di dalamnya.
Jadikanlah apa yang telah kita keluarkan sebagai sesuatu yang kita lepaskan secara ikhlas, jangan selalu mengingat-ingat dan jangan pula berharap untuk kelak akan kita “tagih” lagi semua pemberian kita. Yang demikian itu akan menjadikan diri kita sebagai manusia yang jauh dari ketulusan dan keihklasan karena Allah semata. Berikan sesuatu pada seseorang dikarenakan hak mereka. Sertailah pemberian anda dengan ucapan karena “Bismillahir rahmanirrahim”.
Dan jika pada suatu saat tiba giliran kita berhadapan dengan resepsi yang akan laksanakan, usahakan mengingat sedikit paparan di atas. Dan jangan kita melanggar norma-norma yang kurang bisa diterima oleh masyarakat pada umumnya. Berikan undangan terbatas hanya pada orang-orang yang kita kenal, terutama sekitar rumah tinggal kita. Janganlah “memancing” amplop dengan kertas undangan. Alias jangan kita berspekulasi dengan orang-orang yang tidak seberapa kita kenal dengan mengirim undangan. Karena yang demikian bisa memancing persepsi-persepsi yang kurang enak di dengar.
Bersihkan keinginan jiwa dari hal-hal yang bersifat duniawi, terutama “uang” yang diperoleh dari hasil spekulasi yang lebih mendekati “judi nasib”. Yakinlah bahwa Allah akan memberikan jalan bagi semua kesulitan urusan kita. Terutama untuk urusan dunia yang kadang begitu membelit hati dan pikiran. Jangan pula melanggar atau membuat sesuatu yang baru yang mendatangkan praduga tentang tujuan kita yang sebenarnya. Lakukanlah sesuatu menurut aturan yang lazim di pakai oleh sebagian besar masyarakat. Jangan pertaruhkan “muka” atau wajah kita dengan sesuatu yang tak lazim atau cenderung mengada-ada.
Belokkanlah keinginan jiwa ke arah yang menjurus pada ketakwaan. Karena dalam ketakwaan Allah akan memudahkan segala urusan kita dan akan memberikan kita rezeki dari arah yang tidak pernah kita sangka datangnya. Selain itu, dalam ketakwaan Alah akan memperbaiki amalan-amalan kita, akan melipat gandakan pahalanya dan akan mengampuni seluruh dosa-dosa kita. Kemudian Allah akan memasukkan kita pada surganya jika kita benar-benar bisa mencapai derajat takwa yang sebenarnya.
Sekian.
Rabu, 28 Juli 2010
Tradisi "Buwuh"
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar