Minggu, 11 Juli 2010

Mempermainkan Iman


Iman yang menghiasi diri orang-orang mukmin adalah sebuah anugrah dari Allah. Sebuah rahmat yang menjadi impian dan dambaan orang-orang yang menginginkan mati dalam keadaaan Islam. Dimana antara pahala dan dosa sudah jelas perhitungannya. Antara surga dan neraka yang begitu dekat keberadaanya. Dalam Islamlah orang beriman berharap akan benar-benar bertemu dengan TuhanNya. Dialah Allah swt. Tuhan yang sebenar-benarnya Tuhan. Yang akan memberikan keadilan atas semua amalan yang telah dibawa oleh masing-masing orang ketika masih berada di alam dunia.
Sebuah ajaran yang membawa keseimbangan dalam penyampaian berita dari alam akhirat. Berita-berita dari neraka dengan berbagai siksanya. Berita-berita dari surga dengan berbagai kenikmatannya. Semua tersaji dengan transparan, tanpa ada yang perlu disembunyikan. Sebuah agama yang benar-benar membawa kejujuran kepada para pengikutnya. Sebuah agama yang dicari dan dibutuhkan. Sehingga orang-orang mengikutinya dengan kerelaan diri dan keikhlasan hati. Bukan sebuah agama yang hanya menjual surga dengan mengingkari neraka. Seperti sebuah agama yang selalu ingin menambah pengikutnya dan selalu disibukkan dengan perekrutan anggota-anggota baru untuk menunjukkan sekedar “keberadaan”nya.

Islam membawa pesona. Sehingga mereka yang mau menggunakan akalnya, hampir pasti seluruh hasil pemikirannya akan bermuara pada ketauhidan hanya kepada Allah swt. Inilah yang membuat pemimpin agama yang ada sebelum Islam begitu khawatir akan perkembangan agama baru ini. Hingga dengan susah payah mereka berusaha dengan berbagai cara untuk mempengaruhi orang-orang yang telah mengikhlaskan dirinya masuk agama Islam. Dengan jalan halus maupun dengan jalan kekerasan. Hal ini berlangsung terus sejak jaman Rasulullah saw sampai dengan saat ini.

Mereka yang telah membulatkan tekad untuk mati dalam Islam tidak akan ada yang bisa menghalangi niatannya. Seberat apapun siksa yang akan diterimanya dari orang-orang yang sebelumnya menjadi tuan atau pernah menjadi kawannya, tak kan bisa menggoncangkan Iman mereka. Contoh nyata yang masih banyak diingat orang-orang yang hidup saat ini adalah kisah Bilal yang sangat mengharukan. Dimana kekuatan Iman tidak bisa menggoncangkan keinginan untuk tetap dalam ketauhidan. Siksaan dan cacian hanya semakin menambah kuatnya keyakinan, bahwa apa yang dibawa Nabi Muhammad saw, adalah sebuah kebenaran yang nyata.

Disamping perjalanan hidup Rasulullah saw dalam mempertahankan dan menawarkan kebenaran ber-Tuhan, masih banyak kisah para sahabat yang patut dijadikan contoh atau teladan untuk orang-orang yang hidup pada saat sekarang. Dimana kesibukan pelaksanaan ibadah tidak membuat mereka enggan atau bosan. Bahkan semakin menambah kuat Iman mereka. Juga manis dan gemerlapnya dunia tidak pernah membuat mata mereka silau. Hingga cita-cita untuk mati dalam Islam benar-benar bisa kesampaian. Dan harapan untuk bisa “hidup” bersama-sama dengan orang-orang saleh menjadi sebuah kemungkinan yang sangat besar.

Realitas kehidupan umat saat ini tidak jauh berbeda dari jaman dulu. Mereka yang telah menggenggam Iman belum tentu akan terus menggenggamnya. Bahkan Iman bisa begitu mudah akan meninggalkan diri seseorang jika orang tersebut memalingkan diri dan hatinya dari Allah. Iman senantiasa bergerak. Seperti pasang surutnya air laut atau bergeraknya angin. Sedangkan manusia senantiasa dihadapkan pada dinamisnya perkembangan budaya kehidupan. Dimana manusia bertingkah laku selaras dengan laju perkembangan gaya hidup kapitalis. Yang menyebabkan manusia saling berlomba meraih sukses dunia. Hingga hampir tidak ada waktu yang tersisa untuk sekedar mengingat Allah.

Membangun Iman adalah sesuatu yang berat. Hasil riilnyapun baru bisa kita rasakan kelak setelah kita meninggalkan semua apa pernah kita miliki di dunia. Antara satu orang dengan orang yang lain berbeda “keteguhan” dalam beriman. Sedangkan teguh atau tidaknya sebuah keimanan sangat bergantung pada respon kita terhadap segala sesuatu yang kita terima melalui kelima indera yakni mata, telinga, hidung, lidah dan kulit. Jika kita jujur, tentu respon itu akan kita teruskan pada “hati”. Jika kita tidak jujur, tentu kita akan berlaku khianat dengan menghentikan laju informasi pada saat kita merasakan nikmat atau senang.

Seseorang beriman yang terbiasa hidup susah belum tentu bertahan dalam keimanannya apabila ditawarkan kepadanya sejumlah materi yang akan membuat dia bisa hidup bergelimang harta. Walaupun orang yang menawarkan lapangan kerja tersebut mempunyai tendensi tertentu. Misalnya ingin menariknya kedalam komunitas mereka yang berlainan agama. Dan hal seperti ini sangat sering terjadi di masyarakat. Satu contoh, mereka yang kesulitan mendapatkan lapangan kerja dalam jangka waktu yang begitu lama akan mempertimbangkan tawaran materi tersebut, walau dengan taruhan berpindah keyakinan.

Dan sebuah keputusan yang “salah” bisa saja begitu mudah untuk diambil. Dalam kebingungan yang panjang seseorang akan menutup mata dan hati dari lingkungan sosial sekitarnya. Demi lapangan kerja sebuah keyakinan tentang sesuatu yang “benar” rela dipertaruhkan. Ditukar dengan sebuah lapangan kerja yang dianggap akan bisa menjamin kebutuhan perut, lalu merelakan diri menerima sebuah keyakinan yang sebelumnya begitu dia yakini sebagai sesuatu yang “tidak” logis. Padahal lapangan kerja yang ditawarkan kadang hanya penjaga dan perawat rumah, penjaga keamanan rumah, atau pelayan toko.

Seperti juga mereka yang rela untuk tidak lagi berjama`ah di masjid dan perlahan namun pasti berjalan menjauhi saudara-saudaranya seiman demi bingkisan bahan pokok pengisi perut yang akan diterimanya pada setiap bulan. Mereka adalah orang-orang yang tidak tahan terhadap ujian yang diberikan oleh Allah kepadanya. Padahal Allah menjanjikan sebuah balasan di akhirat yang jauh melebihi dari apa yang telah diterima sekedar untuk mengenyangkan perut. Tapi bagaimanapun pilihan telah dijatuhkan. Mereka lebih memilih untuk berpaling dari Allah demi sesuap nasi.

Mereka inilah orang-orang yang memalingkan perutnya dari rasa lapar ke “asal” kenyang. Tidak perduli lagi dengan arti sebuah keyakinan dalam beragama. Mereka adalah orang-orang yang tidak tahan menderita dalam keimanan. Sangat berbeda dengan mereka yang mengikhlaskan dirinya dalam Islam. Mereka tetap akan bertahan untuk tetap mempertahankan Iman, walaupun harus hidup dalam kesulitan dan kekurangan materi. Mereka lebih memilih untuk hidup miskin asal tetap bertahan dalam Iman dan ketauhidan pada Allah dari pada “kenyang” tapi mengingkari sebuah kebenaran tentang Allah.

QS. Ali Imran 177.

إِنَّ الَّذِينَ اشْتَرَوُا الْكُفْرَ بِالْإِيمَانِ لَنْ يَضُرُّوا اللَّهَ شَيْئًا وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ﴿١٧٧﴾
“Innal ladziinasy tarawul kufra bil Imaan lan yadhurrullaha syai`an wa lahum adzaabun aliimu”

”Sesungguhnya orang-orang yang menukar iman dengan kekafiran, sekali-kali mereka tidak dapat memberi mudharat kepada Allah sedikitpun; dan bagi mereka azab yang pedih”.

Kalau dijaman Rasulullah banyak orang berbalik arah menjadi kafir lagi karena takut dengan kaum musyrik dengan segala ancamannya, maka orang di jaman sekarang bukan takut akan serangan dengan senjata, tapi takut hidup dalam kefakiran dan takut tidak bisa memperoleh sesuatu untuk makan esok harinya. Dan Allah tidak akan merasa dirugikan sedikitpun dengan ulah orang-orang seperti itu. Dan tidak pula akan mengurangi kekayaan dan kekuasaanNya atas langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada diantara keduanya. Dan hendaknya semua orang tahu bahwa siksa Allah sangatlah pedih buat mereka yang menukar Iman dengan kekafiran.

Ada lagi yang rela meninggalkan amalan-amalan yang tadinya begitu dida`wamkan atau lebih berani menerjang larangan-larangan yang tadinya begitu dia takuti. Hal seperti ini biasanya terjadi pada seseorang yang “lugu” dan terbiasa hidup dalam kesederhanaan. Lalu tiba-tiba ada kesempatan terbentang di depan mata, yaitu sebuah jalan atau cara agar bisa menjadi orang kaya dalam waktu yang “singkat”. Yang membuat pikirannya senantiasa tertuju pada tawaran tersebut. Mereka juga berpikir bahwa sangatlah sayang kalau kesempatan emas harus dilewatkan begitu saja. Padahal kesempatan tersebut sudah terbuka demikian lebar dan tinggal berkata “ya” atau “tidak”.

Cara-cara yang ditawarkan untuk bisa “kaya” begitu banyak ragamya. Ada yang bersedia memberikan persetujuanya dengan imbalan “uang” yang sangat “wah” jumlahnya. Bisa dilakukan sendiri atau secara berjama`ah. Seperti yang sering terjadi di level eksekutif maupun legislatif dalam sebuah pemerintahan. Ada yang meng”ada-adakan” sesuatu yang seharusnya tidak perlu ada demi keluarnya anggaran yang nantinya bisa digunakan secara pribadi. Ada pula yang dengan sengaja melakukan manipulasi data-data yang ada sehingga terjadi “surplus” dana. Sudah barang tentu kelebihan dana ini nantinya akan dipakai secara pribadi atau akan dipakai “bancakan” dengan sesama rekan.

Orang-orang seperti ini tidaklah perlu untuk berganti keyakinan. Mereka “cukup” mengingkari apa yang telah dilarang oleh Allah dalam KitabNya. Mereka mempertaruhkan Iman dengan berbuat sesuatu yang dilarang oleh agama yang mereka anut. Yang penting ada uang “masuk”. Toh kebutuhan sehari-hari juga sangat besar. Tak perduli kualitas Iman akan berkurang. Yang penting hasrat bisa terpenuhi. Perkara Iman menurun atau surut itu urusan nanti. Kan masih ada waktu buat menaikkannya kembali ?

Masih banyak cara untuk menjadi kaya dengan cepat. Diantara jalan tersebut ada sebuah jalan yang juga banyak ditempuh oleh orang-orang yang lemah Iman. Sebuah jalan yang disebut dengan “pesugihan”. Cara ini adalah cara yang paling berbahaya bagi diri sendiri. Dengan mempertaruhkan Iman kepada Allah dengan berganti keyakinan terhadap bangsa Jin untuk memperoleh apa yang di inginkan. Terutama kekayaan materi untuk hidup di dunia. Bukan tanpa resiko mencari kekayaan dengan cara seperti ini.

Sebuah perjanjian dengan jin harus dilakukan. Dan sebuah “wadal” atau sebuah “pengorbanan” harus dipenuhi jika tidak ingin sesuatu akan terjadi dengan dirinya sendiri. Sesuatu ini menyangkut keselamatan diri mereka yang mengadakan perjanjian dengan setan atau jin untuk sebuah “pesugihan”. Jika berhasil seseorang akan mendapatkan apa yang menjadi keinginan mereka. “Kekayaan” akan mereka dapatkan. Tentu saja bukan tanpa resiko. Orang-orang sekitarnya akan banyak pula yang meragukan. Sebab kekayaan yang diperoleh dengan tidak wajar pasti mengundang banyak pertanyaan .

Dan Allah mengancam orang-orang yang berperilaku seperti ini dengan neraka. Perilaku syirik atau menyekutukan Allah tidak akan mendapatkan ampunan sampai kapanpun dari Allah. Dan mereka akan berada di neraka selama kekalnya langit dan bumi. Orang-orang seperti ini “mengabaikan” Iman dan cenderung bertuhan pada selain Allah. Mereka berteman, bersekutu, bersandar dan meminta apa yang mereka hajatkan pada selain Allah. Sebuah dosa yang tidak akan pernah terampuni karena telah menyekutukan Allah.

Ada lagi seseorang yang mempertaruhkan diri dengan menukar sebuah keimanan dengan kekafiran. Seseorang yang rela membuang semua keimanannya kepada Allah hanya untuk melegalkan hubungan melalui sebuah pernikahan. Baik laki-laki atau perempuan, yang semula bertauhid kepada Allah lalu dengan ringan seakan tanpa beban berganti keyakinan lain dengan meninggalkan agama Islam ke keyakinan yang lain hanya demi mempertahankan “cinta”. Mereka merasa bahwa tidak ada seorangpun yang bisa memisahkan kebersamaannya kecuali sebuah kematian. Hingga mereka merelakan Iman hanya kepada Allah lepas dari hatinya.

Lantas bagaimana semua itu bisa terjadi ?

Penyebab utama tidak lain kecuali hanya lemahnya Iman. Iman yang lemah secara hirarki akan bertempat di posisi paling bawah. Tidak begitu penting keberadaannya. Dengan posisi yang lemah Iman tidak bisa berbicara banyak dalam menentukan langkah dan arah mana yang harus di tempuh. Iman hanya bisa bertindak sebagai pengikut atau penumpang sebuah caravan. Tidak punya andil dalam menentukan tujuan karena tidak punya power atau kekuatan. Sehingga lama kelamaan Iman akan memisahkan diri dari kafilah jika arah dan tujuan tidak lagi menuju pada satu titik sentral yaitu sebuah ketauhidan hanya kepada Allah swt.

Sudah seharusnya Iman menjadi pilot atau pengendali sebuah perjalanan, bukan sebagai penumpangnya. Karena pilot ataupun nachoda sebagai pengendali sebuah perjalanan lebih pantas dan terhormat untuk tetap bersama-sama pesawatnya dalam “kehancuran” jasad setelah menyelamatkan semua penumpangnya berupa amal perbuatan yang baik. Jika Iman tidak mempunyai power dan otoritas dalam merencanakan langkah dan arah mana yang akan dituju, maka yang terjadi adalah ke-tidakberdayaan Iman dalam menghindarkan diri dari musibah-musibah yang akan terjadi selama dalam perjalanan.

Maka dari itu setiap orang yang merasa beriman harus memberikan ruang dan otoritas kepada Iman dengan berusaha memperkuat atau memperkokoh kedudukan Iman sebagai pengendali perjalanan hidup kita. Agar kita senantiasa tetap berjalan pada jalur yang benar dan senantiasa terlindung dari bahaya-bahaya yang tampak di depan mata maupun yang tidak terlihat oleh mata. Dan menempatkan hawa nafsu di tempat yang tersimpan rapat dan tidak mudah lepas. Sehingga perjalanan kita akan menjadi sebuah perjalanan yang tenang, nyaman, aman, lancar dan selamat sampai di tujuan yaitu Allah swt.

Sekian.
Wrote by Agushar, 6 juli 2010.

Tidak ada komentar: