Rabu, 17 Februari 2010

Pelaku Nikah siri akan di pidanakan.

Nikah siri di-pidana-kan.

Saya baca di Jawa Pos Senin 15 Pebruari 2010 dan malamnya saya lihat di metro TV.

Dengan alasan sudah banyak korban dari pelaku nikah siri dan kawin kontrak, mereka yang melakukan nikah siri di pidanakan atau penjara. Logikanya, kalau pelaku nikah siri akan di pidanakan ya mestinya nikah siri harus di buatkan fatwa “haram” dulu ! Kira-kira berani nggak ? Kalau kawin kontrak sih kurang masuk “logika”. Okelah tinggal atur aja undang-undangnya. Masalahnya Al Qur`an membolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Dan apabila semua syarat itu terpenuhi, agama tidak melarang.

QS. AN Nisaa` : 3

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا ﴿٣﴾
”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Sudah lama sekali kalau “poligami” selalu di perdebatkan, dengan alasan yang macam-macam, mulai dari merendahkan derajat perempuan, perempuan yang menjadi korban, status anak-anak yang terlahir dari perkawinan itu. Mungkin masih banyak lagi ! Tapi kalimat Allah telah sempurna. Tidak akan ada perubahan terhadap kalimat Allah yang ada di dalam Al qur`an.

Mestinya bukan hanya pelarangan dengan sanksi yang berat saja yang harus di pikirkan. Harus ada solisinya. Mungkin dengan melegalkan poligami dengan syarat-syarat yang lebih konkret dan lebih berat lagi sehingga bisa menjamin tidak akan terjadi kekerasan dan korban dalam sebuah perkawinan. Mungkin juga syarat yang sangat berat yang hampir tidak mungkin di penuhi oleh mereka yang benar-benar tidak mempunyai kemampuan, baik secara material maupun moril. Sehingga tidak akan terjadi sebuah pengingkaran terhadap suatu ayat Al Qur`an, yang dampak dari pengingkaran itu kita semua sudah banyak yang tahu, dari berbagai ayat yang ada.

Selalu berdebat ! Tidak ada ujungnya. Paling-paling ujungnya adalah waktu yang terbuang sia-sia, karena tidak pernah menghasilkan suatu rumusan bagaimana cara mengantisipasinya. Lha bagaimana bisa ketemu ? Satunya pakai hukum Allah dan satunya pakai hukum manusia ? Kecuali kalau hukum yang di produk manusia itu mau mengakomodasi hukum Al Qur`an.

Dan yang pro dan kontra ya kelompok itu-itu saja yang merasa direndahkan, diperlakukan diskriminatif, di rugikan dan pahlawan-pahlawan atau pembela mereka yang nggak jelas apa tendensinya. Satunya lagi mereka yang cenderung atau sudah melakukan praktik poligami.

Yang satu sudah jelas hukumnya, tinggal penuhi syarat-syaratnya bisalah dilakukan perkawinan atas dasar suka dan keikhlasan antara keduanya. Prahara yang akan terjadi selanjutnya adalah konsewensi dari perkawinan itu sendiri, jangankan yang berpoligami, yang beristri satupun tak luput dari prahara dari sebuah perkawinan yang mereka tempuh.

Rujukan hukum melarang poligami itu dari mana asalnya ? Apa dari logika ? Logikanya siapa ? Orang-orang mu`min atau orang-orang di luar Islam. Kalau orang di luar Islam, itu orang mana ? Orang indonesia ? Atau orang-orang benua Asia atau justru dari orang-orang di luar benua Asia ? Mungkin lebih spesifik lagi orang-orang benua Eropa atau benua Amerika ?

Kalau dari luar benua Islam, mesti diteliti lagi bagaimana kehidupan sehari-hari mereka, lebih baik dari pada kehidupan orang-orang Islam dengan segala aturan ke-Islaman-nya atau memang mereka lebih baik perilakunya dari orang-orang mu`min ? Ataukah justru perilaku mereka yang mirip kera dan babi ?

Bagaimanapun juga kita orang Islam telah meyakini kalau Al qur`an dan seluruh isinya itu haq atau benar adanya. Kita tentunya harus berpikir positif untuk apa ayat itu ada dan apa maksudnya ? Harus juga di kaji seberapa besar kontribusi poligami terhadap perkembangan dan kemajuan agama tauhid ini ?
Kalau ke belakang melihat sejarah, jaman pra Islam perempuan tidak di hargai, Islamlah yang menghargai perempuan dengan penerapan syariat-syariatnya. Sangat berbeda dengan keadaan perempuan di luar Islam atau laki-laki di luar Islam !

Bandingkan saja ! Perempuan Islam yang taat menjalankan ibadah dan taat dalam menjalankan syariatnya, betapa indah mereka ! betapa anggun mereka ! dan laki-laki muslim yang memegang aturan syariatnya bagaimana perilakunya ? bagaimana cara berpakaiannya ? Bukankah itu indah sekali !

Sedangkan perempuan di luar Islam terutama di benua yang lain dari benua yang kita tempati ini ? Ini tidak merendahkan lho ! Bagaimana perilaku mereka ? Bagaimana cara berpakaian mereka mirip nggak dengan perilaku kera ? Yang suka menunjukkan pantatnya ? Dan laki-lakinya ? Bukankah itu mirip dengan perilaku babi ? Milikku milkmu ! Milikmu milikku ! Cepat atau lambat budaya-budaya yang seperti itu akan dan mungkin sudah menular di benua asia bahkan di negara kita yang tercinta.

Mereka menolak poligami, tapi perilaku mereka tidak lebih baik dari pelaku poligami bahkan melebihi batas. Batasan-batasan mengenai perkawinan hanyalah bingkai belaka, untuk membungkus segala kerusakan dan kebusukan yang ada di dalamnya. Kalaupun ada pria-pria dan wanita-wanita Islam yang ikut gaya dan perilaku mereka, sangat perlu di pertanyakan, Islamkah mereka ? Jangan-jangan hanya labelnya saja Islam ?

Sebuah perkawinan, adalah atas kemauan dan kerelaan bersama, jika takut akan terjadi apa-apa di kemudian hari. Lebih baik dipikirkan lagi saja, apakah harus di teruskan atau di batalkan demi masa depan keduanya.

Perkawinan, baik itu sah menurut hukum sipil atau sah menurut hukum agama adalah di bangun atas kemauan bersama. Sudah sepatutnyalah sebagai negara yang mayoritas penduduknya muslim harus bisa mencari solusinya. Dan sudah sepetutnya juga kalau solusi itu bisa di jadikan jembatan antara hukum sipil dan hukum agama. Tidak bertentangan ! Jika sampai bertentangan, sudah siapkah kita ? Untuk bersedia di hakimi sebagai orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Allah ? Sepertinya kita ini lebih tahu dari Allah mengenai takwil suatu ayat. Sehingga berani membuat keputusan yang bertentangan dengan hukum-hukum Allah.

Tulisan ini bukan untuk mendukung salah satu dari mereka yang pro dan yang kontra, bagi saya poligami itu sesuatu yang tidak harus selalu diterapkan, tetapi saya tidak mau menolaknya atau menerima untuk segera di buang ke tempat sampah, tidak sama sekali. Saya mencoba untuk berpikir positif dan mengembalikan ke hakihat awal sebuah kehidupan.

Bahwa kehidupan ini adalah sebuah kesempatan untuk mengikuti ujian dari Allah. Barang siapa lolos dengan menyandang ijazah takwa dialah yang akan berhak untuk menikmati segala sesuatunya di alam “sana”. Siapapun itu orangnya sepanjang mati dengan membawa ke-Iman-an dan amal shaleh niscaya dia akan memperoleh kemenangan yang nyata.

Laki-laki atau perempuan, tua atau muda, janda atau duda, beristri atau lajang, bersuami atau atau masih perawan, tidak ada bedanya semua akan menghadap Allah dengan sendiri-sendiri dengan membawa amalnya sendiri-sendiri pula. Tidak ada halangan status mereka untuk mendapatkan ke-ridha-an Allah, tidak ada halangan status mereka untuk menempati surganya Allah.

Suami, istri, harta, banyaknya anak hanyalah kebersamaan di dunia yang akan berakhir tidak lama lagi, sepanjang umur yang tersisa. Catatan tentang kualitas Iman dan amalan yang shaleh menjadi tanggungan sendiri-sendiri. Segala apa yang menimpa kita masing-masing adalah tidak lepas dari sebuah cobaan Allah. Untuk mengetahui siapa diantara kita ini yang paling baik amalnya !

Seorang suami yang tidak mendapatkan ijin dari istrinya untuk berpoligami walaupun dia mampu secara materi adalah juga cobaan, seberapa kesabarannya dalam menghadapi larangan istrinya. Demikan juga seorang istri yang dimintai ijin suaminya untuk berpoligami, adalah juga cobaan seberapa kerelaan atau keikhlasannya dalam menghadapi keinginan dari suaminya.

Keikhlasan dan kesabaran itu pertanggungan jawabnya ada di tangan Allah. Kalau di sadari bahwa kita hidup ini adalah mencari ke-ridha-an Allah semata, tentu akan ada solusi untuk keduanya. Tentunya solusi itu tidak lepas dari hukum Allah. Kesabaran suami ada nilainya sendiri, keikhlasan atau kerelaan dari istri tentu juga ada nilai sendiri. Ini kalau diri kita dan hidup kita terbungkus oleh ke-Iman-an dan ke-tauhid-an. Dan tentunya juga sudah dilandasi oleh ilmu dari keduanya.

Laki-laki dan perempuan itu sama mempunyai keinginan untuk menguasai satu sama lain, kalau laki-laki sudah jelas, rasa ingin menguasainya besar sekali. Tetapi juga dibarengi dengan tanggung jawab yang besar pula, dimana laki-laki harus menafkahi, mengayomi, membimbing dalam agama, melindungi dari segala gangguan keamanan terhadap istri-istrinya. Suatu beban tanggung jawab yang tidak ringan.

Sedangkan perempuan juga mempunyai rasa ingin menguasai laki-laki. Laki-laki dengan segala apa yang ada pada dirinya kalau bisa hanya untuk dirinya sendiri. Mana ada perempuan yang mau memberi ijin suaminya untuk berpoligami ? Mana ada istri yang mau membagi-bagi hartanya kepada perempuan lain ? Kalaupun ada justru di anggap sebagai suatu kebodohan ! Suatu keanehan, padahal poligami ini telah melibatkan banyak tokoh-tokoh besar. Tokoh sekaliber nabi-nabi, para sahabat nabi. Dan perempuan yang rela dan ikhlas untuk berbagi dengan perempuan lain juga tidak sedikit.

Lantas apakah perempuan di jaman dahulu itu kita anggap bodoh dan aneh ? Dan perempuan di jaman sekarang yang tidak mau mengijinkan suaminya berpoligami, dianggap lebih pintar dan lebih berderajat? Jawabnya relatif, dilihat dari sudut mana ? Ini menyangkut masalah dunia dan akhirat.

Sekali lagi tulisan ini bukan untuk mendukung yang pro atau yang kontra. Tetapi kalaupun terpaksa harus mendukung karena selalu terjadi perdebatan yang tak kunjung ada ujungnya, saya lebih memilih untuk mendukung Al Qur`an. Bahkan jika saya tidak mengerti bagaiman takwil dari ayat tersebut, saya akan tetap mendukungnya. Karena hanya Allahlah yang mengetahui takwil ayat yang sebenarnya.

Dasarnya ? Saya tetap akan membela agama tauhid ini sehingga bisa berharap bisa masuk dalam barisan pembela pembela agama Allah. Dasar lainnya?

Saya baca di surat Al An`am ayat 115 – 117.

وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ صِدْقًا وَعَدْلًا ۚ لَا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِهِ ۚ وَهُوَ السَّمِيعُ الْعَلِيمُ﴿١١٥﴾

“Wa tammat kalimatur rabbika shidqan wa `adlan, laa mubaddila li kalimaatihi, wa huwas samii`ul `aliimu”
“Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al qur`an) sebagai kalimat yang benar dan adil. Tidak ada yang dapat merubah-rubah kalimat-kalimat-Nya dan Dialah yang Maha mendengar dan Maha mengetahui.

وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ ۚ إِنْ يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ﴿١١٦﴾
“Wa in tuthi` aktsara man fiil ardhi yudhilluuka `an sabiilillahi, `in yattabi`uuna illadh zhanna wa inhum illa yakhrushuuna”
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).

إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ مَنْ يَضِلُّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ﴿١١٧﴾

“Inna rabbaka huwa a`lamu man yadhillu `an sabiilihi, wa huwa a`lamu bil muhtadiina”
Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang orang yang mendapat petunjuk.

Sekian.

Tidak ada komentar: